“Ya Rabb, ampuni segala dosa dan kesalahan
kami. Pelihara dan lindungi kami. Tuntunlah perjalanan hidup kami. Jauhkan kami
dari marabahaya, dari sifat angkuh dan sombong. Mudahkan dan lancarkan segala
urusan kami, dan angkatlah derajat keluarga kami di dunia dan di akhirat.
Aamiin Allahumma Amin Ya Rabb”
Seharusnya hari ini tanggal 29 Februari.
Seperti biasa, angka itu akan tertunda muncul di kalender dalam kurun waktu
empat tahun sekali.
Entah berapa kali sudah aku diizinkan Allah
menjalani hari-hari pergantian usia di perantauan. Jauh dari keluarga dan
kampung halaman. Kali ini di kota Pelajar.
28 Februari 2013 s.d 01 Maret 2013 |
Tidak ada yang spesial, sesuai dengan
ekspektasi berdasarkan pengalaman tahun-tahun yang lalu. Bahkan, beberapa momen
yang terjadi saat 29 Februari muncul pada saatnya harus kulalui dengan bermacam
cerita. Ada yang tragis, namun tidak sedikit pula kisah yang manis.
Aku harus menulis kalimat terakhir tadi
dengan awalan yang buruk, kemudian kuakhiri dengan penutup paragraf yang baik.
Bukan memaksa-maksakan diri agar terlihat optimis di depanmu. Tapi, setidaknya
di usia yang tak lagi muda ini, wujud syukur kepada-Nya harus tetap terjaga
sampai kapan pun. Hanya Dia yang memperbolehkan aku hadir disini dan membasuh
tubuh yang sudah dua puluh lima tahun berada di bumi.
Kurasa, tidak banyak yang sadar bahwa
Februari kali ini kehilangan tanggal akhirnya. Tidak sadar—barangkali—karena tidak
sabar menyambut bulan Maret dan tanggal ulang tahunnya di bulan baru itu. Tidak
sadar—barangkali—karena tanggal 1 Maret segera menjanjikan rezeki rutin yang
mereka terima atas pekerjaannya. Tidak sadar—barangkali—karena mereka tidak
peduli bahwa beberapa anak manusia di atas dunia ini terlahir unik pada tanggal
yang berada di tahun Kabisat.
Teringat sebuah lelucon teman kontrakan. Satu
saat, dia pernah lupa dengan tanggal kelahiran adiknya. Namun, sebuah jaringan
sosial populer zaman ini dengan ramahnya “menginformasikan” kepadanya tentang
milad saudara kandungnya itu.
Separah itukah dunia akhir zaman ini?
Terkadang, teknologi benar-benar menjadi pengganti fungsi otak manusia hampir
bagi segala urusan. Satu sisi, social
network menjadi alat yang paling canggih dalam mengkonsolidasikan umat
manusia tanpa batas ruang dan waktu. Satu sisi lainnya, produk semacam itu merubah
pola prilaku kita dalam memberikan perhatian dan kepedulian terhadap sesama
saudara.
Aku, contohnya, termasuk orang yang kurang
respek terhadap saudara. Ketika aku nyaman pada keadaanku sekarang, bersama
dengan orang-orang yang dekat di sekitarku, maka keberadaan sanak saudara
seakan hilang dari peredaran.
Aku tak bisa membayangkan, jika perhatian aku
dan keluarga kami pada saudara-saudara kami hanya terjadi saat momen musibah,
cobaan, walimahan, atau keperluan tertentu lainnya. Bagaimana denganmu, kawan?
Aku sangat berharap bisa memperbaiki sikap
itu dari diriku di umur yang baru ini. Walau jauh dari mereka, aku tak mau
hilang empat tahun sekali. Layaknya tanggal 29 Februari itu yang hanya muncul
empat tahun sekali. Aku takut menjadi diagram kartesius yang hanya mengandalkan
hubungan horizontal dan vertikal yang terpisah satu sama lain. Tapi, aku ingin
menjadi penghubung sumbu x dan sumbu y itu agar perhatian dan kepedulian
terhadap saudara menjadi wujud ibadah kepada Allah SWT.
Ayahanda dahulu pernah berpesan. Orang-orang
yang paling dekat dengan kita, setelah keluarga inti telah tiada adalah sanak
saudara. Pesan itu akan selalu terbatin dan menjadi lecut buatku untuk
melaksanakannya.
Ya, kebetulan juga cerita ini berhubungan
dengan sebuah mata kuliah magisterku. Tentang modal sosial. Apalagi kalau bukan
menjalin komunikasi yang intens dan persaudaraan yang hangat di antara keluarga
besar dan handai taulan lainnya. Ini juga menjadi muhasabah terpenting bagiku. Tidak ada alasan untuk tidak menambah
pundi-pundi modal sosial. Bukankah ukhuwah
islamiyah merupakan sunah Rasulullah SAW?
Kabisat, engkau boleh datang dan pergi sesuka
hati. Sejak awal aku terlahit bersamamu, kuikhlaskan diriku kepada Allah akan
perjumpaan kita yang membutuhkan kesabaran tingkat tinggi. Seharusnya, hari ini
aku dua puluh lima. Menurutmu, aku empat seperempat.
Gelapnya Dusun Cot Nibong Lapang sudah pernah
kita lalui. Dinginnya Lembah Manglayang Jatinangor telah usai kita jalani. Kali
ini, aku menapak bersamamu di Depok Pandega Siwi. Semoga Allah memberkahi usia
kita dengan berbagai kesuksesan. Aamiin.
Hari ini,
memasuki usia yang ke 25 tahun. Usia yang agung dan mulia bagi seorang anak
muda, untuk menapaki hari-hari esok dan memaknainya dengan berbagai kebaikan
serta kesuksesan. Semoga selalu diberkahi kesehatan, kekuatan, rezeki
yang berlimpah, dan semakin giat beribadah. Selalu bersyukur, berkarya dan
berbakti dengan rendah hati. Pegang teguh amanah menuju hidup yang bermartabat,
toleran serta perkuat silaturahmi (Ayahanda, pergantian waktu 28 Februari dan
01 Maret)
Hari bahagia
penuh makna, Dua puluh lima tahun adalah usia tepat untuk menetapkan sikap dan
komitmen yang teguh. Darimana aku datang, untuk apa aku disini dan kemana aku
akan pulang. Semoga sehat, gembira dan sukses selalu (Ibunda, pergantian waktu 28 Februari dan 01
Maret)
Berhubung tidak ada tanggalnya. Semoga panjang umur, sehat selalu, cepet selesai kuliahnya, dan segera punya pendampin hidup (Tiga adinda, pergantian
waktu 28 Februari dan 01 Maret)
Ditulis pada pergantian waktu Februari dan Maret.
Dari Pandega Siwi 15B, Depok, Sleman, Yogyakarta.
Seorang anak yang tak pernah luntur dari dosa.
Comments
Post a Comment