Pada tanggal 15 Januari 2023 yang lalu, UU Desa telah beranjak usia 9 tahun. Dua hari kemudian, 17 Januari 2023, Kepala Desa berdemo di DPR menuntut perubahan masa jabatan Kepala Desa menjadi 9 tahun melalui revisi UU Desa. Ada apa dengan sembilan?
Aspirasi bersifat politis ini sah-sah saja dilakukan. Entah dengan motif atau tujuan apa pun, entah didukung oleh elit siapa pun. Boleh saja. Konon lagi, mayoritas meyakini masa jabatan 9 tahun bagi Kepala Desa itu akan semakin membawa maslahat besar, khususnya bagi masyarakat Desa. Sebab itu, jika mengikuti pola pikir mayoritas ini, maka menurut saya ada beberapa tuntutan lain yang perlu untuk disuarakan.
Pertama, sebaiknya masa jabatan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) juga dirubah dari 6 tahun menjadi 9 tahun, mengikuti rencana masa jabatan Kepala Desa. Bahkan, lebih cocok lagi bila mekanisme pemilihan Kepala Desa dan BPD diselenggarakan secara serentak dalam waktu yang sama. Harapannya, Kepala Desa dan BPD terpilih mendapat posisi start yang sama saat mulai menyelenggarakan roda pemerintahan. Itu baru namanya teman seiring selangkah.
Kedua, sebaiknya perangkat Desa juga mengikuti masa jabatan Kepala Desa 9 tahun. Sudah menjadi rahasia umum ketika nakhoda berganti, maka anak buah kapal juga berpotensi diganti. Jadi, mbok ya, jangan tanggung-tanggung, gitu lho. Daripada tidak dibuat batasan masa jabatan perangkat Desa, ketika orangnya diganti malah marah lalu hapus bersih data-data penting di komputer atau bawa lari laptop berisi aplikasi Siskeudes.
Ketiga, agar Kepala Desa lebih semangat dan tertantang memimpin pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa dalam masa 9 tahun yang cukup panjang itu, sebaiknya perlu dibuat target kunci oleh Pemerintah Pusat. Misalnya: Dana Desa dari APBN akan dikurangi 30% per 3 tahun sekali dari jumlah yang harusnya diterima, Pendapatan Asli Desa (PADes) wajib meningkat 30% per 3 tahun sekali, jumlah keluarga miskin harus berkurang 3% setiap tahunnya, angka pengangguran mesti turun 3% setiap tahunnya, pendapatan per kapita penduduk Desa wajib meningkat 30% setiap tahunnya. Begitu pula target kunci lainnya di bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, ekonomi, dan lain-lain. Jika target kunci tersebut tidak tercapai, maka Kepala Desa wajib diberhentikan.
Keempat, setiap tahun sebaiknya Kepala Desa menyelenggarakan kegiatan peningkatan kapasitas masyarakat berbasis kaderisasi kepemimpinan. Sembilan tahun adalah waktu yang cukup lama bagi masyarakat Desa lainnya mempersiapkan diri menjadi calon Kepala Desa untuk periode berikutnya. Apalagi jika benar tuntutan periodesasi Kepala Desa ditiadakan, maka akan amat sulit bagi masyarakat Desa yang nantinya menjadi kompetitor mengalahkan petahana pada ajang pemilihan Kepala Desa. Pun demikian, Kepala Desa yang menjabat selama 9 tahun itu mestinya menyadari keterbatasan ambisi kepemimpinannya oleh faktor umur dan kesehatan, sehingga amat layak dan berwibawa bila Kepala Desa menyediakan kesempatan kaderisasi itu melalui kegiatan yang dibiayai langsung dengan APB Desa.
Kelima, selain agenda revisi UU Desa, maka bagi Keuchik (Kepala Desa) di Aceh sepertinya harus memperjuangkan satu revisi Undang-Undang lagi, yaitu UU Pemerintahan Aceh. Sebab, secara khusus pada Pasal 115 ayat (3) telah diatur masa jabatan Keuchik selaku pimpinan gampong selama 6 tahun. Sementara, UU Desa yang berlaku umum jika terwujud revisi masa jabatan menjadi 9 tahun tadi tidak dapat diberlakukan bagi gampong-gampong di Aceh yang tunduk pada aturan khusus UUPA.
Masa jabatan 6 tahun atau 9 tahun tidak hanya sekedar angka, tapi rangkaian waktu yang akan dicatat sejarah dengan 2 pilihan topik: menjadi Kepala Desa pemenang yang mampu memajukan Desa dan menyejahterakan rakyat, atau menjadi Kepala Desa pecundang yang umurnya makin panjang tapi tidak mampu berbuat sesuatu lalu tersungkur karena kegagalan.
Menarik pula bila cocoklogi peristiwa ini dengan nomor punggung pemain bola. Nomor 6 identik dengan gelandang tengah seperti Evan Dimas, Marc Klok, Paul Pogba, Xavi Hernandez, Joshua Kimmich, Nacho, dan lainnya. Tugas utamanya adalah mengalirkan bola, mengatur irama permainan, membantu penyerangan, dan sesekali mencetak gol. Nomor 9 identik dengan penyerang atau striker seperti Marko Simic, Ilija Spasojevic, Ronaldo, Luis Suarez, Robert Lewandowski, Karim Benzema, Erling Haaland, Tammy Abraham, Darwin Nunez, dan sebagainya. Eksekutor lini depan, memanfaatkan peluang, dan mencetak gol sebanyak-banyaknya adalah target prioritas.
So, kembali ke pertanyaan awal: ada apa dengan sembilan? Apakah tuntutan masa jabatan 9 tahun karena Kepala Desa tidak ingin lagi dianggap “gelandang tengah” yang sekadar membantu penyerangan, dan karena Kepala Desa harusnya berada di lini depan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat sehingga wajib menjadi “eksekutor” kebijakan? Bagaimana menurut Sobat Desa?
Comments
Post a Comment