Kebijakan Relokasi Kerusuhan terhadap Korban Pengungsi di Kabupaten Sambas Tahun 1999: Konflik Etnis antara Madura dan Melayu
Internally
displaced Persons adalah sebuah istilah bagi para kelompok masyarakat yang
pindah dari tempat tinggalnya dan menetap di daerah lain untuk menetap
sementara waktu atau hal ini dikenal dengan istilah pengungsi. Sambas adalah
sebuah Kabupaten yang terletak di bagian pesisir yang di tempati oleh berbagai
suku etnis misalnya suku bugis, madura, jawa batak dll, namun Kabupaten Sambas
mayoritas ditempati oleh Melayu, Dayak dan Cina (Tiong Hoa). Khusus tentang
konflik Sambas pada tahun 1999 yang terjadi adalah etnis Melayu Sambas dengan
suku Madura (yang bertempat tinggal di Sambas) yang menewaskan ratusan jiwa dan
hancurnya ratusan rumah dan harta warga Madura.
Rekonsiliasi Konflik |
Sejarah Suku Madura Ke Sambas
Menurut
Kunto Wijoyo Latar Belakang Suku Madura melakukan migrasi beberap daerah di
Indonesia pada abad ke 19 dan awal abad ke 20 adalah karena :
1. Adanya
Monopoli Garam oleh pemerintah colonial sehingga sebagian besar dari masyarakat
mengalami krisis ekonomi
2. Kondisi
pulau Madura yang tandus mengakibatkan hasil perkebunan ataupun pertanian
kurang memadai
3. Menghindarkan
diri dari adat istiadat yang tidak disenangi
4. Menghindarkan
diri dari kewajiban masuk tentara kerajaan dan pemerasan dari para penguasa
yang tidak adil
Kemudian
sejarah suku Madura masuk ke Kalimantan barat adalah sebagai berikut :
1. Antara Tahun
1902-1942
Masa ini disebut masa perintisan, perpindahan
suku Madura ke Kalimantan Barat melalui jalur perdagangan, terutama perdagangan
Sapi, garam dan Kambing dengan menumpang kapal yang membawa barang dagangan
yang berasal dari Madura.
2. Antara Tahun
1942-1950
Masuknya pasukan Jepang ke Indonesia
mengakibatkan migrasi terhenti karena gejolak perang.
3. Antara
1950-1980
Pada Masa ini arus migrasi suku Madura
semakin lancar yang pada awalnya hanya tujuan ke desa menjadi ke kota dan
mereka rata-rat berprofesi menjadi penarik becak, penambang sampan, penggali,
pencari batu dan pengangkut batu untuk proyek pembangunan jalan raya.
Migrasi suku
Madura semakin besar karena SDA yang melimpah di Kalimantan Barat kemudian
mereka mengharapkan adanya perbaikan taraf hidup yang lebih baik karena
keterbatasan SDA yang terbatas di Pulau Madura. Namun seiring perkembangannya
dengan budaya yang ada di Kalimantan Barat dan Budaya yang ada di Madura memicu
konflik antar etnis yang terjadi salah satunya adalah di Kabupaten Sambas
kalimantan Barat.
Latar Belakang Konflik
Etnis Melayu
di Kalimantan Barat dapat dikatakan suku yang paling sabar di Kalimantan Barat
karena konflik etnis yang tercatat dari tahun 1962-1999 sebanyak 11 kali, suku
Melayu hanya 1 kali. Adapun 11 konflik yang pernah terjadi adalah antara
komunitas Dayak dengan Tiong Hoa sebanyak 1 kali pada tahun 1967 dan antara
Madura dengan dayak sebanyak 9 kali yang terjadi pada tahun 1963, 1968, 1972, 1977,
1979, 1983, 1996/1997 dan terakhir 1999 madura dan suku melayu. (Alqadrie,
1998:17)
Konflik
terbesar di Kalimantan Barat adalah pertikaian antara suku etnis Madura dan
Melayu di Sambas dimana salah satu penyebabnya adalah faktor demografi yaitu
tekanan penduduk di kabupaten Sambas pada umumnya dan tekanan jumlah penduduk
pendatang Madura terhadap kawasan pemukiman Melayu di Daerah tersebut. Kesempatan
kerja dan hak-hak kepemilikan yang secara perlahan berpindah tangan dari Melayu
Sambas ke Tangan Madura. Memang pada awalnya Suku madura bekerja dengan menyewa
alat transportasi orang melayu dengan memberikan setoran yang lebih tinggi
dibandingkan suku lainnya kemudian memposisikan suku madura sebagai mitra kerja
yang baik dengan perjanjian bagi hasil yaitu mengerjakan, memelihara, mengelola
lahan pertanian dll.
Namun lambat
laun alat transportasi, pertanian dan
alat kerja lainnya didominasi suku madura sambas dengan cara membeli alat-alat
produksi yang lebih murah dan cara-cara yang tidak jujur dan mengintimidasi.
Kemudian bila suku Madura yang bertetangga dengan suku Melayu mereka suka
mengambil berulang kali hasil2 yang terdapat diatas lahan tersebut tanpa
pemberitahuan dan berdalih bahwa mengambil sesuatu pada siang hari bukanlah
mencuri atau dengan berpura-pura mengatakan sudah meminta izin. Premanisme dan
kriminalitas juga terjadi di beberapa daerah Kabupaten Sambas dengan aksi
sasaran mereka adalah suku tiong hoa, melayu dll. Aksi – aksi Negatif dari suku
Madura pun membuat suku melayu merasa diijak-injak, kecewa, benci dan sakit
hati.
Pemicu
kejadian tragedi ini berawal dari Desa Parit Setia, Kecamatan Jawai yaitu di
bobolnya salah satu rumah warga Jawai ketika menjelang Idul Fitri dan aksi itu
pun tertangkap basah oleh warga setempat dan dihakimi oleh warga setempat. Atas
kejadian tersebut suku Madura pun tidak terima atas peristiwa tersebut , teman
pencuri tersebut pun menyerang warga Jawai ketika merayakan Idul Fitri dengan
membawa pedang sehingga bentrokan pun terjadi. Pada bentrokan tersebut 3 warga
Jawai pun meninggal dan suku Madura pun melontarkan yel-yel seperti : “Hidup Madura 3-0 bagi Melayu Kerupuk.
Hal itu pun membuat suku Melayu menjadi panas dan melakukan serangan balasan
yang dibantu oleh Suku dayak yang mengakibatkan 17 rumah milik kelompok
penyerbu yang beretnis Madura. Untuk mencairkan konflik pada tanggal 23 Januari
1999 dibuat pernyataan kertas yang ditandatangani 8 org tokoh dari kedua belah
pihak suku yang berkonflik untuk tidak menyimpan rasa dendam. Akan tetapi suku
Madura melakukan kriminalitas kembali dengan menusuk pemilik angkot ketika
menagih uang setoran angkotnya pada tanggal 21 Februari 1999 dan konflik pun
terjadi lagi. Kejadian ini semakin membesar karena suku melayu sudah
mengibarkan bendera kuning dan dayak mengikat kain merah dikepalanya.
Perdamaian pun kembali terjadi yang disaksikan Camat Jawai, Kepala kepolisian
dan tentara. Kembali lagi kerusuhan terjadi di Kec. Pemangkat dimana ada
beberapa pria suku Madura yang menenteng pisau dengan sembarangnya di muka umum
kemudian membuat suku melayu yang melihat menjadi panas dan konflik pun terjadi
dan menyebar ke 17 kecamatan karena suku melayu beranggapan bahwa suku madura
tersebut telah melanggar janji.
Implementasi Kebijakan
Kebijakan
Penanganan Pengungsi Korban Kerusuhan Sambas 1999
1. Keppres No.
3 Tahun 2001 dan Kep Sekretaris Bakornas PBP No. 2 Tahun 2001 tentang Pedoman
Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi, serta Kebijaksanaan Nasional
Percepatan Penanganan Pengungsi di Indonesia.
2. Surat Tugas
Gubernur Kalimantan Barat Nomor : 300/1343/iv / Bappeda Tanggal 12 April 1999
tentang pembentukan Tim Satuan Tugas Pelaksana Penanganan Penempatan Kembali
Pasca Kerusuhan di Kalimantan Barat.
3. Surat
Keputusan Gubernur Kalimantan Barat No. 220 Tanggal 3 Juli 2000 tentang
Pembentukan Tim Penanggulangan Pengungsi Pasca Kerusuhan Sosial di Kalimantan
Barat.
4. Surat
Keputusan Gubernur Kalimantan Barat No. 141 tahun 2001 tentang Pembentukan Tim
Gabungan Upaya Relokasi Pengungsi Korban Kerusuhan Sosial Sambas.
5. Keputusan
Gubernur Kalimantan Barat Nomor 143 tahun 2002 tentang Pembentukan Tim Gabungan
Penaggulangan Pengungsi Pasca Kerusuhan Sosial di Kalimantan Barat (Keputusan
ini mencabut SK Gubernur Kalbar No. 143 tahun 2001)
Penanganan
Pengungsi yang dilakukan oleh Pemda Kalbar melalui Tim Penanggulangan Pengungsi
Pasca Kerusuhan Sosial di Kalimantan Barat terbagi dalam 2 tahap yaitu
1. Tahap
Penyelamatan
Bentuk respon positif dari pihak pemerintah
daerah maupun aparat keamanan yakni dengan mengupayakan pertolongan darurat
bagi mereka yang terluka dan mengevakuasi semua etnis Madura yang tinggal
disekitar lokasi kejadian ke tempat-tempat penampunagn sementara yang aman di
luar Kab. Sambas.
2. Tahap
Normalisasi
Ditempuh 2 tahap yaitu :
a. Rekonsiliasi
Cara
mengusahakan agar para pengungsi dapat diterima oleh masyarakat setempat untuk
kembali bermukim di tempat semula. Langkah-langkahnya adalah
1. Menyelenggarakan
rapat-rapat koordinasi antar instansi terkait, baik tingkat propinsi maupun
kabupaten.
2. Mengadakan
dialog-dialog dengan masyarakat pengungsi termasuk para relawan dan simpatisan
lainnya
3. Mempertemukan
antara tokoh-tokoh pengungsi dengan relawan dan simpatisan lainnya agar satu
bahasa khususnya dalam hal ini mencari pola/ metode penyelesaian masalah
pengungsi.
4. Memfasilitasi
pertemuan antara tokoh pengungsi dengan Pemda Kabupaten Sambas.
5. Memfasilitasi
pertemuan antara tokoh (tua) pengungsi dengan tokoh-tokoh melayu Sambas.
6. Memfasilitasi
pertemuan antara tokoh (gabungan pemuda dan orangtua) pengungsi dengan
tokoh-tokoh gabungan Melayu Sambas.
Rekonsiliasi pun gagal
dilaksanakan karena masyarakat melayu yang diwakili oleh para tokoh adat
masyarakat menyuarakan bahwa Suku Madura
tidak dapat diterima kembali di Wilayah Kabupaten Sambas dikarenakan terlalu
banyak kecewa dengan Suku Madura dan trauma atas kejadian antar suku tersebut
dikarenakan untuk mengantisipasi terciptanya kerusuhan kembali dan hal itu
disampaikan kepada anggota DPRD Prop. Kalimantan Barat yang langsung terjun ke
lapangan (rekonsiliasi).
b. Relokasi
Pendekatan
ini timbul karena masyarakat Sambas menolak terjadinya rekonsiliasi. Pendekatan
Relokasi melalui cara dengan pengungsi diberikan fasilitas perumahan (tipe 21)
dan lahan pekarangan (lahan usaha seluas kurang lebih 1 ha/KK). Disamping itu
disediakan pula jadup (jaminan hidup) berupa beras 0,4 kg/KK/hari dan lauk pauk
Rp. 1500/KK/hari selama 3 bulan dan peralatan rumah tangga serta bantuan2
lainnya (benih/hewan ternak/pupuk dll)
Menurut
Tatang Iskandar, Juru Bicara Pemerintah Propinsi Kalimantan Barat, tujuan utama
relokasi adalah memukimkan kembali pengungsi Sambas di tempat yang baru yang
lebih sehat, tenang dan nyaman, dengan demikian, mereka tidak lagi berstatus
pengungsi melainkan warga masyarakat yang memulai hidup baru seperti sedia kala
di Sambas.
Pada
tahap awalnya Suku Madura Sambas disediakan tempat penampungan dimana dibedakan
3 kelompok yaitu tinggal di barak penampungan, tinggal diluar barak penampungan
(mandiri) dan tinggal direlokasi. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Yayasan
Korban Kerusuhan Sosial Sambas warga yang hidup membaur ditengah masyarakat
sebanyak 4011 KK, tersebar di Kota Pontianak 2641 KK (14.598 jiwa) dan di
Kabupaten Pontianak 1370 KK (7865 jiwa) dan yang tinggal di barak di wilayah
kota pontianan, Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Bengkayang sebanyak 4907 KK
atau 27.204 jiwa.
Program
jaminan Hidup, sebuah program sosial yang dilaksanakan Departemen Sosial untuk
membantu kebutuhan dasar warga pengungsi selama masa transisi hingga saat
mereka hidup mandiri. Dengan memberikan beras 0,4 kg/KK/hari dan lauk pauk Rp.
1500/KK/hari selama 3 bulan berdasarkan Surat keputusan Otoriter (SKO) I/ April
Dinas Sosnakerduk Kalimantan Barat.
Implementasi
Kebijakan Relokasi pun harus dilaksanakan dengan cepat karena harus tuntas Juni
2002 dimana Wapres Hamzah Haz pada saat itu menegaskan permasalahan pengungsi
harus diselesaikan (relokasi). Karena semakin lama suku madura yang ditampung
di barak penanpungan sementara membuat
resah warga Masyarakat melayu dan dayak di Pontianak. Pihak Pemerintah Daerah
pun akhirnya bekerja sama dengan dinas daerah terkait dan wilayah relokasi dan
berhasil memindahkan 1648 KK (8383 jiwa) ke komplek relokasi yang tersebar 23
wilayah dengan komplek relokasi yang berpola pertanian, perkebunan dan non
pertanian yang berada di Kabupaten Pontianak dan Kota Pontianak. Dan sisa dari
pengungsi tersebut ada yang pulang ke Pulau Madura sebanyak 21000 jiwa dan
sisanya melakukan kegiatan mandiri/tudak ikut program relokasi.
Kesimpulan
Implementasi
Kebijakan relokasi pengungsi Madura ini tidak lahir dengan sendirinya melainkan
proses panjang yang melelahkan. Pemda Kalbar sejatinya ingin memulangakn merek
ke Sambas Namun rekonsiliasi gagal dilakukan karena warga masyarakat Melayu
Sambas menolak kehadiran suku Madura kembali di daerahnya.
Karena
penolakan tersebut mengupayakan penampungan sementara Kabupaten Pontianak, Kota
Pontiank dan Singkawang kemudian program penampungan sementara dilnjutkan
dengan diadakannya program relokasi yang tersebar di 23 daerah di wilayah Kota
Pontianak dan Kabupaten Pontianak. Suku Madura yang diungsikan pun ada yang
mengikuti program tersebut, pulang ke pulau madura dan adapula yang hidup
mandiri.
Hasil Resume dari Tesis Susetyo, H. tahun 2003 (Universitas Indonesia, Jakarta)
Comments
Post a Comment