“Allahu
Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.
Laa
ilaaha illallahu Allahu Akbar. Allahu Akbar, wa lillahil hamd”
Chapter 4
Takbir, tahlil, dan tahmid berkumandang
di seantero bumi Sultan. Jumat yang penuh berkah memberi kedamaian bagi
jiwa-jiwa yang senantiasa haus akan kasih sayang Allah. Bagiku, Idul Adha kali
ini adalah hari lebaran yang penuh dengan keindahan. Ketika keindahan terpadu
dalam kasih sayang-Nya, seakan Jabal Rahmah berdiri kokoh di hadapanku. Dan aku
melihat sebuah sisi monumen yang masih kosong. Akahkah terpahat ukiran namaku
dan namamu yang baik disana? Taqabbalallahu
minna wa mingkum.
Jabal Rahmah dan Monumennya |
Kawan, tahukah engkau tentang Jabal
Rahmah?
Bukit berbatu di bagian timur Padang
Arafah itu menyiratkan sebuah risalah cinta pertama kali dalam sejarah
kehidupan manusia di bumi Allah ini. Ketika Adam dan Hawa diturunkan dari surga
Allah ke dunia karena menyantap buah yang dilarang-Nya, mereka terpisah begitu
jauh. Seiring kesedihan mereka akan dosa karena telah menzalimi diri sendiri,
untaian doa dan uraian taubat yang larut dalam rindu pada Sang Khalik menuntun
mereka untuk bertemu di sebuah daerah padang pasir yang tandus dan gersang.
Luapan rindu satu sama lain teriring
rasa syukur yang amat dalam bagi Yang Maha Cinta berpadu di atas bukit tempat
mereka berdiri, Bukit Kasih Sayang. Jabal Rahmah—begitu sebutan orang Arab
untuk bukit tersebut—menjadi saksi kisah cinta yang abadi sepanjang masa pasangan
manusia pertama ciptaan Allah, kisah pencarian kasih sayang yang berujung
kebahagiaan.
Hingga kini, Jabal Rahmah menjadi
destinasi monumental bagi umat manusia yang mengguratkan romantisme percintaan
yang suci nan indah. Jabal Rahmah juga menjadi tanda bagi umat manusia untuk
merenungi kehidupan keluarga yang telah dijalani, agar janji sehidup semati
terpatri hanya karena Allah Swt.
Tenda-tenda Wukuf di Padang Arafah |
Bagaimana dengan Padang Arafah?
Arafah berarti mengenal atau memahami. Arafah—yang
menjadi wilayah luas dari Bukit Jabal Rahmah—juga tidak hanya menjadi simbol
sejarah pertemuan dan perkenalan kembali antara Adam dan Hawa. Dalam rukun
haji, wukuf yang berarti berhenti
atau berdiam diri di Arafah menjadi rukun yang utama bagi seseorang yang
menunaikan ibadah haji. Bermula pada setiap tanggal 9 Dzulhijjah, para jama’ah
haji diwajibkan untuk wukuf di Arafah mulai dari waktu Dzuhur hingga matahari
terbenam.
Jabal Rahmah dan Padang Arafah menjadi kombinasi
tempat suci bagi para jama’ah haji yang fokus untuk berdoa, berzikir dan
membaca Al-Quran. Di tempat inilah, Allah mengijabah doa-doa para hamba-Nya
yang mengharap keridhaan dan kasih sayang Allah. Sangat ingin pergi ke tempat itu, Insya Allah.
Kembali ke Yogyakarta.
Ya, tidak semua keluarga besar Pandega
Siwi yang berminta untuk shalat Ied di Alun-alun Utara Kraton Ngayogyakarta.
Hanya kami berempat—purna praja Aceh angkatan 15, 16, 17 dan 18—yang memilih
untuk shalat disana. Terik matahari pagi dan gersangnya lapangan tempat
bernaungnya para jama’ah menjadi pelengkap ibadah saat itu. Usai bermaaf-maafan
dan berbuka puasa dengan jajanan khas jawa di Pasar Beringharjo, kami mendokumentasikan
momen lebaran di seputaran titik Nol Kilometer Yogyakarta. Apalagi kalau bukan
Benteng Vre Der Burg dan Gedung Agung
Yogyakarta yang saling berhadap-hadapan itu. Selain itu? Nothing. Kembali berdiam di kontrakan, tanpa kue lebaran, tanpa
sirup merah Cap Patung, tanpa lontong
dan ketupat, dan tanpa daging rendang.
Usai Shalat Ied di depan Benteng Vre Der Burg |
Tunggu dulu. Sebelum shalat Jumat, hari
itu aku diundang—tepatnya bersilaturahmi—ke kontrakan teman SMA-ku dulu. Dia
seorang mahasiswi S2 di jurusan Ilmu Linguistik UGM Yogyakarta. Sebagai
seseorang yang pernah menjalin hubungan khusus dan punya kedekatan yang spesial
dengannya dahulu kala, setelah lama tak bersua aku senang ia selalu sehat dan
tetap gigih belajar. Ia seorang wanita yang multitalented.
Wawasannya luas, keterampilannya tinggi dan sikapnya ramah. Walau sedikit
egois. Dari beberapa orang alumni Wira Bangsa Angkatan Perdana, kami salut dan
bangga dengan beragam prestasinya saat masih kuliah di TEN IAIN Ar-Raniriy Banda Aceh dulu. Dia satu-satunya angkatan
perdana yang berhasil melanglang-buana ke negeri Tirai Bambu dan ke negeri Mustafa
Kemal Ataturk. Dengan bakat menari dan aktif berorganisasi, ia dan
teman-temannya sukses membawa harum nama Aceh hingga tingkat internasional di
Shanghai dan Turki. Dia pula yang menjadi alumni Wira Bangsa Angkatan Perdana
yang pertama kali melanjutkan pendidikan ke jenjang magister. Luar biasa, bukan?!
Gadis Aceh itu di sebelah kiri foto |
Setelah mencicipi lontong buatan gadis
aceh kelahiran 8 Agustus ini, ia kembali mengundangku untuk berkenan hadir pada
malam harinya. Katanya, ada acara syukuran yang dibiayai oleh alumni Wira
Bangsa yang lulus kualifikasi bekerja di salah satu perusahaan mineral terkenal
di pulau Borneo sana.
Malam itu, hatiku membuncah. Jiwaku
seolah menjadi sebatang besi yang tertarik oleh jutaan energi elektromagnetik
dari seseorang yang juga menjadi tamu undangan pada acara malam itu. Seisi
rumah temanku itu seolah berpendar layaknya bangunan padang pasir yang
berkilauan disinari purnama. Dari ekor mataku, aku menyaksikan bidadari biru
yang melangkah perlahan dan memberi salam hangat bagi seisi rumah. Dia bukan
tuan rumah. Bukan. Sinar matanya dan
lekuk wajahnya terasa seperti tidak begitu asing lagi bagiku. Namun, getaran
suaranya yang asing, lembut dan jernih begitu merasuk ke relung kalbu.
Itulah pertemuan pertamaku dengannya.
Seseorang yang sebenarnya tidak etis kuungkapkan dalam ceritaku, namun aku
berharap dapat menceritakannya padamu lebih banyak di lain kesempatan.
Seseorang yang selama ini namanya kusebut pada tiap sujud dan doa-doaku.
Seseorang yang dahulu kugantungkan harapan padanya untuk bertemu walau sesaat
saja. Seseorang yang berkomunikasi denganku hanya dengan pesan dari salah satu
jejaring sosial. Ia adalah taman yang indah. Bertemu dengannya bagiku layaknya pertemuan
Adam dan Hawa di Jabal Rahmah. Baginya belum tentu begitu.
Entah mengapa, pertemuan yang singkat
itu sungguh indah dan bermakna. Padahal, berbicara dengannya saja tidak. Seolah
berbagai sapa dan salam yang terformulasikan dari hati dan pikiran, tersangkut
oleh simpul senyumku dan dia saja. Padahal, aku berharap Arafah menjelma secara
terminologis di antara kami berdua malam itu. Seolah rasa ingin mengenal dan
memahami tidak begitu penting lagi bagiku, walau masih banyak bagian dari
dirinya yang belum kumengerti hanya dari berbalas pesan di facebook.
Ilustrasi |
Assalamualaikum.
Wa’alaikumsalam. Aku pun
pamit membungkus erat jawaban salam yang ia haturkan. Saat sepeda motor melaju,
sebagian diriku masih tertinggal dan tertarik oleh keanggunan dirinya. Otakku
terbelah dua. Satu sisi, aku bahagia Allah mengizinkanku bertemu dengannya
walau tanpa bicara. Sisi lain, aku menyesal menyembunyikan keberanianku untuk
bicara lebih banyak dengannya.
Hikmah Idul Adha. Setiap pertemuan pasti punya makna. Demikian batinku menguatkan.
Bagiku, ia adalah wanita muslimah yang cerdas dan sopan. Pertemuan dengannya
membangkitkan motivasi untuk memantaskan diri. Bukan pantas baginya. Tapi,
pantas bagi Allah. Sungguh sulit. Terlampau banyak godaan dan syaithan yang
bersemayam dalam diriku. Namun, peristiwa “Jabal Rahmah dan Padang Arafah”
versi Klebengan—Yogyakarta—menjadi cambuk bagiku untuk tetap istiqamah. Hingga
Allah ridha aku pantas bertemu dengan wanita yang pantas dan hidup bersama. Aamiin.
Lalu,
kemana lagi perjalanan ini kutempuh?
Esok hari—setelah Hari Idul Adha—aku dan
abangku berpetualang ke Kota Magelang. Tepatnya, menghabiskan waktu liburan
yang tersisa dengan jalan-jalan sore naik sepeda motor. Tidak ada tempat yang
begitu menarik disana. Selain kondisi cuaca yang kurang mendukung karena hujan,
kota Pangeran Diponegoro ini tidak menawarkan objek-objek yang memanjakan mata. Kota Akademi
Militer (Akmil) ini benar-benar membosankan. Akhirnya, kami melepas lelah di
Alun-Alun Kota Magelang dan mengambil beberapa gambar disana.
Alun-alun Kota Magelang |
Rutinitas
pun dimulai kembali.
Ya, apalagi kalau bukan kembali ke
kenyataan kehidupan. Beruntunglah bagi teman-teman yang memanfaatkan waktu
liburan hari lebarannya bersama keluarga. Memasuki bulan November adalah
saat-saat terakhir menyelesaikan perkuliahan di semester satu. Setelah itu,
jangan harap waktu luang dapat disisihkan untuk jalan-jalan, karena ujian akhir
semester satu akan segera mengekang diriku dan dirimu, kawan.
Sembari menjalani rutinitas, aku bertemu
dengan temanku dari Aceh Singkil yang juga kuliah di MAP. Bedanya, ia sudah
berada pada titik akhir perkuliahannya alias tahap penulisan tesis. Bukan,
bukan. Malah ia sudah sampai pada tahap persiapan sidang, walaupun beberapa
poin-poin dari karyanya masih menerima coretan-coretan perbaikan ringan dari
dosen pembimbing. Usai shalat Jumat di Mesjid Kampus UGM, kami makan siang dan
berbagi cerita. Terutama ia sebagai seniorku di magister ini, pesan-pesan
khusus layak menjadi catatan untuk bersiap menuju tahap yang ia jalani
sekarang.
Bersama sahabat dari Aceh Singkil |
Pada hari lainnya, sahabatku dari
Bontang—Kalimantan Timur—juga berkunjung kemari. Ia datang bersama tunangannya
dari Temanggung yang kuceritakan tempo itu. Karena sebuah insiden kecil yang
menimpa mobil mereka, sang ritem
gitaris Bukan Band—band kami yang terbentuk saat kuliah di Jatinangor dulu—terpaksa
mengurungkan niatnya untuk kembali ke Temanggung. Agar pikirannya tenang dan
tidak terbebani oleh aki mobilnya yang bocor, kami nongkrong di Goeboex Cafe daerah Seturan. Sambil bermain batu domino, kami berbagi cerita dan
rencana-rencana masa depan masing-masing.
Goeboex Cafe |
Sesaat sebelum memasuki hari-hari ujian
akhir semester, salah seorang mantan penghuni kontrakan Pandega Siwi lulusan
Magister Ekonomi Pembangunan yang bekerja di Sukabumi menyambangi kami selepas
maghrib. Ia mengajak kami makan malam di sebuah cafe, atau lebih tepatnya mini restoran, di lingkungan Keraton
Ngayogyakarta. Konon, rumah makan itu satu atap dengan kediaman adiknya Sultan.
Beragam makanan yang disajikan dibumbui cerita-cerita unik yang memikat para
pengunjung. Para pelayan juga mempersilahkan kami melihat-lihat isi rumah
saudara si Sultan itu, lengkap dengan berbagai perabotan antik dan
pernak-pernik yang disimbolkan sebagai benda sakral. Pengunjung juga dilarang
mengambil foto beberapa furniture
rumah yang diberi sesajen oleh sang
pemilik rumah. Tidak masuk akal? Aku
yakin, penjelasan ilmiah dari hal-hal yang serupa dengan larangan atau anjuran
tertentu menurut ilmu pariwisata bertujuan untuk menumbuhkan self-interest bagi pengunjung. Jikalau tidak, benda seperti kasur,
gamelan, guci dan lain sebagainya bisa kehilangan keindahannya.
Isi rumah Restoran Saudara Sultan |
Akhirnya, beragam momen indah setelah
lebaran hingga menjelang ujian akhir semester menjadi cerita panjang yang seru
dan mengasyikkan. Kawan, kali ini mungkin kita bakal lama bercerita kembali.
Ada beberapa tugas negara yang harus dituntaskan dengan fokus dan semangat yang
tinggi. Jabal Rahmah, Padang Arafah, taman yang indah, dan sahabat sejati tak
pernah habis untuk dikisahkan. Saat ide-ide cemerlang yang akan dituangkan
dalam tulisan menjadi mandeg,
mengingat kisah-kisah indah bersama mereka merupakan salah satu motivasi bagi
perjuangan kita di perantauan. Ganbate.
Comments
Post a Comment