Skip to main content

Merantau Jilid 2: Jabal Rahmah, Padang Arafah dan Taman yang Indah


“Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.
Laa ilaaha illallahu Allahu Akbar. Allahu Akbar, wa lillahil hamd”

Chapter 4

Takbir, tahlil, dan tahmid berkumandang di seantero bumi Sultan. Jumat yang penuh berkah memberi kedamaian bagi jiwa-jiwa yang senantiasa haus akan kasih sayang Allah. Bagiku, Idul Adha kali ini adalah hari lebaran yang penuh dengan keindahan. Ketika keindahan terpadu dalam kasih sayang-Nya, seakan Jabal Rahmah berdiri kokoh di hadapanku. Dan aku melihat sebuah sisi monumen yang masih kosong. Akahkah terpahat ukiran namaku dan namamu yang baik disana? Taqabbalallahu minna wa mingkum.
Jabal Rahmah dan Monumennya
Kawan, tahukah engkau tentang Jabal Rahmah?
Bukit berbatu di bagian timur Padang Arafah itu menyiratkan sebuah risalah cinta pertama kali dalam sejarah kehidupan manusia di bumi Allah ini. Ketika Adam dan Hawa diturunkan dari surga Allah ke dunia karena menyantap buah yang dilarang-Nya, mereka terpisah begitu jauh. Seiring kesedihan mereka akan dosa karena telah menzalimi diri sendiri, untaian doa dan uraian taubat yang larut dalam rindu pada Sang Khalik menuntun mereka untuk bertemu di sebuah daerah padang pasir yang tandus dan gersang.
Luapan rindu satu sama lain teriring rasa syukur yang amat dalam bagi Yang Maha Cinta berpadu di atas bukit tempat mereka berdiri, Bukit Kasih Sayang. Jabal Rahmah—begitu sebutan orang Arab untuk bukit tersebut—menjadi saksi kisah cinta yang abadi sepanjang masa pasangan manusia pertama ciptaan Allah, kisah pencarian kasih sayang yang berujung kebahagiaan.
Hingga kini, Jabal Rahmah menjadi destinasi monumental bagi umat manusia yang mengguratkan romantisme percintaan yang suci nan indah. Jabal Rahmah juga menjadi tanda bagi umat manusia untuk merenungi kehidupan keluarga yang telah dijalani, agar janji sehidup semati terpatri hanya karena Allah Swt.
Tenda-tenda Wukuf di Padang Arafah
Bagaimana dengan Padang Arafah?
Arafah berarti mengenal atau memahami. Arafah—yang menjadi wilayah luas dari Bukit Jabal Rahmah—juga tidak hanya menjadi simbol sejarah pertemuan dan perkenalan kembali antara Adam dan Hawa. Dalam rukun haji, wukuf yang berarti berhenti atau berdiam diri di Arafah menjadi rukun yang utama bagi seseorang yang menunaikan ibadah haji. Bermula pada setiap tanggal 9 Dzulhijjah, para jama’ah haji diwajibkan untuk wukuf di Arafah mulai dari waktu Dzuhur hingga matahari terbenam.
Jabal Rahmah dan Padang Arafah menjadi kombinasi tempat suci bagi para jama’ah haji yang fokus untuk berdoa, berzikir dan membaca Al-Quran. Di tempat inilah, Allah mengijabah doa-doa para hamba-Nya yang mengharap keridhaan dan kasih sayang Allah. Sangat ingin pergi ke tempat itu, Insya Allah.
Kembali ke Yogyakarta.
Ya, tidak semua keluarga besar Pandega Siwi yang berminta untuk shalat Ied di Alun-alun Utara Kraton Ngayogyakarta. Hanya kami berempat—purna praja Aceh angkatan 15, 16, 17 dan 18—yang memilih untuk shalat disana. Terik matahari pagi dan gersangnya lapangan tempat bernaungnya para jama’ah menjadi pelengkap ibadah saat itu. Usai bermaaf-maafan dan berbuka puasa dengan jajanan khas jawa di Pasar Beringharjo, kami mendokumentasikan momen lebaran di seputaran titik Nol Kilometer Yogyakarta. Apalagi kalau bukan Benteng Vre Der Burg dan Gedung Agung Yogyakarta yang saling berhadap-hadapan itu. Selain itu? Nothing. Kembali berdiam di kontrakan, tanpa kue lebaran, tanpa sirup merah Cap Patung, tanpa lontong dan ketupat, dan tanpa daging rendang.
Usai Shalat Ied di depan Benteng Vre Der Burg
Tunggu dulu. Sebelum shalat Jumat, hari itu aku diundang—tepatnya bersilaturahmi—ke kontrakan teman SMA-ku dulu. Dia seorang mahasiswi S2 di jurusan Ilmu Linguistik UGM Yogyakarta. Sebagai seseorang yang pernah menjalin hubungan khusus dan punya kedekatan yang spesial dengannya dahulu kala, setelah lama tak bersua aku senang ia selalu sehat dan tetap gigih belajar. Ia seorang wanita yang multitalented. Wawasannya luas, keterampilannya tinggi dan sikapnya ramah. Walau sedikit egois. Dari beberapa orang alumni Wira Bangsa Angkatan Perdana, kami salut dan bangga dengan beragam prestasinya saat masih kuliah di TEN IAIN Ar-Raniriy Banda Aceh dulu. Dia satu-satunya angkatan perdana yang berhasil melanglang-buana ke negeri Tirai Bambu dan ke negeri Mustafa Kemal Ataturk. Dengan bakat menari dan aktif berorganisasi, ia dan teman-temannya sukses membawa harum nama Aceh hingga tingkat internasional di Shanghai dan Turki. Dia pula yang menjadi alumni Wira Bangsa Angkatan Perdana yang pertama kali melanjutkan pendidikan ke jenjang magister. Luar biasa, bukan?!
Gadis Aceh itu di sebelah kiri foto
Setelah mencicipi lontong buatan gadis aceh kelahiran 8 Agustus ini, ia kembali mengundangku untuk berkenan hadir pada malam harinya. Katanya, ada acara syukuran yang dibiayai oleh alumni Wira Bangsa yang lulus kualifikasi bekerja di salah satu perusahaan mineral terkenal di pulau Borneo sana.
Malam itu, hatiku membuncah. Jiwaku seolah menjadi sebatang besi yang tertarik oleh jutaan energi elektromagnetik dari seseorang yang juga menjadi tamu undangan pada acara malam itu. Seisi rumah temanku itu seolah berpendar layaknya bangunan padang pasir yang berkilauan disinari purnama. Dari ekor mataku, aku menyaksikan bidadari biru yang melangkah perlahan dan memberi salam hangat bagi seisi rumah. Dia bukan tuan rumah. Bukan. Sinar matanya dan lekuk wajahnya terasa seperti tidak begitu asing lagi bagiku. Namun, getaran suaranya yang asing, lembut dan jernih begitu merasuk ke relung kalbu.
Itulah pertemuan pertamaku dengannya. Seseorang yang sebenarnya tidak etis kuungkapkan dalam ceritaku, namun aku berharap dapat menceritakannya padamu lebih banyak di lain kesempatan. Seseorang yang selama ini namanya kusebut pada tiap sujud dan doa-doaku. Seseorang yang dahulu kugantungkan harapan padanya untuk bertemu walau sesaat saja. Seseorang yang berkomunikasi denganku hanya dengan pesan dari salah satu jejaring sosial. Ia adalah taman yang indah. Bertemu dengannya bagiku layaknya pertemuan Adam dan Hawa di Jabal Rahmah. Baginya belum tentu begitu.
Entah mengapa, pertemuan yang singkat itu sungguh indah dan bermakna. Padahal, berbicara dengannya saja tidak. Seolah berbagai sapa dan salam yang terformulasikan dari hati dan pikiran, tersangkut oleh simpul senyumku dan dia saja. Padahal, aku berharap Arafah menjelma secara terminologis di antara kami berdua malam itu. Seolah rasa ingin mengenal dan memahami tidak begitu penting lagi bagiku, walau masih banyak bagian dari dirinya yang belum kumengerti hanya dari berbalas pesan di facebook.
Ilustrasi
Assalamualaikum. Wa’alaikumsalam. Aku pun pamit membungkus erat jawaban salam yang ia haturkan. Saat sepeda motor melaju, sebagian diriku masih tertinggal dan tertarik oleh keanggunan dirinya. Otakku terbelah dua. Satu sisi, aku bahagia Allah mengizinkanku bertemu dengannya walau tanpa bicara. Sisi lain, aku menyesal menyembunyikan keberanianku untuk bicara lebih banyak dengannya.
Hikmah Idul Adha. Setiap pertemuan pasti punya makna. Demikian batinku menguatkan. Bagiku, ia adalah wanita muslimah yang cerdas dan sopan. Pertemuan dengannya membangkitkan motivasi untuk memantaskan diri. Bukan pantas baginya. Tapi, pantas bagi Allah. Sungguh sulit. Terlampau banyak godaan dan syaithan yang bersemayam dalam diriku. Namun, peristiwa “Jabal Rahmah dan Padang Arafah” versi Klebengan—Yogyakarta—menjadi cambuk bagiku untuk tetap istiqamah. Hingga Allah ridha aku pantas bertemu dengan wanita yang pantas dan hidup bersama. Aamiin.
Lalu, kemana lagi perjalanan ini kutempuh?
Esok hari—setelah Hari Idul Adha—aku dan abangku berpetualang ke Kota Magelang. Tepatnya, menghabiskan waktu liburan yang tersisa dengan jalan-jalan sore naik sepeda motor. Tidak ada tempat yang begitu menarik disana. Selain kondisi cuaca yang kurang mendukung karena hujan, kota Pangeran Diponegoro ini tidak menawarkan objek-objek yang memanjakan mata. Kota Akademi Militer (Akmil) ini benar-benar membosankan. Akhirnya, kami melepas lelah di Alun-Alun Kota Magelang dan mengambil beberapa gambar disana.
Alun-alun Kota Magelang
Rutinitas pun dimulai kembali.
Ya, apalagi kalau bukan kembali ke kenyataan kehidupan. Beruntunglah bagi teman-teman yang memanfaatkan waktu liburan hari lebarannya bersama keluarga. Memasuki bulan November adalah saat-saat terakhir menyelesaikan perkuliahan di semester satu. Setelah itu, jangan harap waktu luang dapat disisihkan untuk jalan-jalan, karena ujian akhir semester satu akan segera mengekang diriku dan dirimu, kawan.
Sembari menjalani rutinitas, aku bertemu dengan temanku dari Aceh Singkil yang juga kuliah di MAP. Bedanya, ia sudah berada pada titik akhir perkuliahannya alias tahap penulisan tesis. Bukan, bukan. Malah ia sudah sampai pada tahap persiapan sidang, walaupun beberapa poin-poin dari karyanya masih menerima coretan-coretan perbaikan ringan dari dosen pembimbing. Usai shalat Jumat di Mesjid Kampus UGM, kami makan siang dan berbagi cerita. Terutama ia sebagai seniorku di magister ini, pesan-pesan khusus layak menjadi catatan untuk bersiap menuju tahap yang ia jalani sekarang.
Bersama sahabat dari Aceh Singkil
Pada hari lainnya, sahabatku dari Bontang—Kalimantan Timur—juga berkunjung kemari. Ia datang bersama tunangannya dari Temanggung yang kuceritakan tempo itu. Karena sebuah insiden kecil yang menimpa mobil mereka, sang ritem gitaris Bukan Band—band kami yang terbentuk saat kuliah di Jatinangor dulu—terpaksa mengurungkan niatnya untuk kembali ke Temanggung. Agar pikirannya tenang dan tidak terbebani oleh aki mobilnya yang bocor, kami nongkrong di Goeboex Cafe daerah Seturan. Sambil bermain batu domino, kami berbagi cerita dan rencana-rencana masa depan masing-masing.
Goeboex Cafe
Sesaat sebelum memasuki hari-hari ujian akhir semester, salah seorang mantan penghuni kontrakan Pandega Siwi lulusan Magister Ekonomi Pembangunan yang bekerja di Sukabumi menyambangi kami selepas maghrib. Ia mengajak kami makan malam di sebuah cafe, atau lebih tepatnya mini restoran, di lingkungan Keraton Ngayogyakarta. Konon, rumah makan itu satu atap dengan kediaman adiknya Sultan. Beragam makanan yang disajikan dibumbui cerita-cerita unik yang memikat para pengunjung. Para pelayan juga mempersilahkan kami melihat-lihat isi rumah saudara si Sultan itu, lengkap dengan berbagai perabotan antik dan pernak-pernik yang disimbolkan sebagai benda sakral. Pengunjung juga dilarang mengambil foto beberapa furniture rumah yang diberi sesajen oleh sang pemilik rumah. Tidak masuk akal? Aku yakin, penjelasan ilmiah dari hal-hal yang serupa dengan larangan atau anjuran tertentu menurut ilmu pariwisata bertujuan untuk menumbuhkan self-interest bagi pengunjung. Jikalau tidak, benda seperti kasur, gamelan, guci dan lain sebagainya bisa kehilangan keindahannya.
Isi rumah Restoran Saudara Sultan
Akhirnya, beragam momen indah setelah lebaran hingga menjelang ujian akhir semester menjadi cerita panjang yang seru dan mengasyikkan. Kawan, kali ini mungkin kita bakal lama bercerita kembali. Ada beberapa tugas negara yang harus dituntaskan dengan fokus dan semangat yang tinggi. Jabal Rahmah, Padang Arafah, taman yang indah, dan sahabat sejati tak pernah habis untuk dikisahkan. Saat ide-ide cemerlang yang akan dituangkan dalam tulisan menjadi mandeg, mengingat kisah-kisah indah bersama mereka merupakan salah satu motivasi bagi perjuangan kita di perantauan. Ganbate.

Comments

Popular posts from this blog

Kebijakan Relokasi Kerusuhan terhadap Korban Pengungsi di Kabupaten Sambas Tahun 1999: Konflik Etnis antara Madura dan Melayu

Internally displaced Persons adalah sebuah istilah bagi para kelompok masyarakat yang pindah dari tempat tinggalnya dan menetap di daerah lain untuk menetap sementara waktu atau hal ini dikenal dengan istilah pengungsi. Sambas adalah sebuah Kabupaten yang terletak di bagian pesisir yang di tempati oleh berbagai suku etnis misalnya suku bugis, madura, jawa batak dll, namun Kabupaten Sambas mayoritas ditempati oleh Melayu, Dayak dan Cina (Tiong Hoa). Khusus tentang konflik Sambas pada tahun 1999 yang terjadi adalah etnis Melayu Sambas dengan suku Madura (yang bertempat tinggal di Sambas) yang menewaskan ratusan jiwa dan hancurnya ratusan rumah dan harta warga Madura. Rekonsiliasi Konflik

Rekrutmen dan Seleksi Pegawai Pemerintah: Sebuah Kajian dari Praktek dan Tren Modern Internasional

Pemerintah di seluruh dunia menghadapi tantangan kepegawaian yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pada saat pemerintah butuh bakat daya pikat paling trampil untuk pelayanan publik, kemampuan mereka untuk melakukannya telah begitu jarang sehingga rumit dan dibatasi oleh ekonomi, sosial dan tekanan organisasi. Artikel ini memberikan gambaran jenis inisiatif rekrutmen dan seleksi di tempat di banyak negara yang dapat membantu pemerintah dunia ini menarik dan mempertahankan bakat. Bergantung pada contoh dari Amerika Serikat dan Eropa Barat, namun juga mengintegrasikan pengalaman dari berbagai negara maju dan kurang berkembang (LDCs), kami menjelaskan serangkaian perekrutan dan seleksi "praktik terbaik." Suasana Penerimaan Peserta Tes CPNS

Bintang dari Manglayang dan Nakhoda Pemerintahan: Sebuah Refleksi Ikrar Pamong yang didedikasikan untuk seluruh Purna Praja STPDN/IPDN di Indonesia

Ksatrian IPDN Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat (Rabu, 28 Agustus 2013) “ Kami Putra-putri Indonesia yang memiliki profesi sebagai Pamong, berjanji: Setia kepada Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 ; Sedia berkorban untuk kepentingan, negara/bangsa dan masyarakat ; Siap melayani dan mengabdi untuk kepentingan masyarakat dimana pun kami bertugas. Kami sadar, ikrar ini didengar oleh Tuhan dan manusia, semoga Tuhan memberikan kekuatan lahir dan batin agar kami dapat melaksanakan ikrar kami ini.” ( Ikrar Pamong ) Bintang Purna Praja kembali bertambah jumlahnya dan bersinar di langit Indonesia. Sesaat setelah pin Purna Praja berwarna kuning keemasan itu disematkan di sebelah kanan dada pakaian kebesaran, suara lantang dari Pamong Praja Muda IPDN Angkatan XX berkumandang di Ksatrian dan seantero Jatinangor. Suara keyakinan dan kesiapan putra-putri Kawah Candradimuka yang menegaskan Ikrar Pamong bagi bangsa dan negara. Saat ikrar itu d