“Ya
Allah, atas kehendak rasa aku mencintainya dalam diam. Jika diamku membawa
sebuah isyarat, jagalah pandangan dan hatiku dari segelintir nafsu yang
membutakan mata. Ya Allah, jika yang kurindu dalam diamku akhirnya bukan
untukku, leburkanlah rasa ini bersama waktu mengalun pergi”
Chapter
3
Doa menjadi tumpuan manusia sebagai makhluk
yang lemah dan tak berdaya menghadapi kenyataan kehidupan. Atas ketidakkuasaan
yang dimiliki makhluk, mutlak bagi hamba dhaif untuk meminta dan memohon kepada
Allah sesuai tuntunan Rasulullah.
Setidaknya, itulah doa yang kerap
kupanjatkan kepada Ilahi. Bukan karena kegalauan akibat putus cinta. Tidak pula
karena perasaan sayang yang bertepuk sebelah tangan. Jangan pernah sebut aku
lelaki suci tanpa khilaf. Namun, hal rumit ini lebih kepada buah perenungan
dari kejadian-kejadian di masa silam, menyajikan rasa pelajaran amat berharga
yang kupetik dari suka duka ranting perjalanan hidup. Mari berbenah, kembali memupuk harapan penuh cinta.
Berbenah di suatu pagi. Bukan rumah kontrakan
laki-laki namanya kalau tidak lepas dari predikat kotor, amburadul dan tidak teratur. Aku rasa juga tidak demikian. Akhir
zaman ini, semakin banyak wanita yang keluar dari kesan bersih. Ya, dalam makna
dan alasan apapun. Apalagi untuk mereka yang menjalani status sebagai mahasiswa
super sibuk atau wanita karir penuh schedule.
Lain cerita kalau disebut sebagai oknum.
Bagaimanapun, hidup di perantauan yang
menuntut kemandirian dengan sendirinya menumbuhkan rasa malu dan sadar diri.
Walau terpaksa. Kalau tidak, siap-siap mendengar ceramah berbahasa jawa dari
Mbah Sumo. Layaknya seorang dalang senior nan sepuh, beliau sangat energik menegur anak-anak kontrakannya
agar merawat lingkungan dengan baik. Sudah setua itu, Mbah Sumo Sang Pemilik
Kontrakan selalu setia dan menjunjung tinggi jargon go green di wilayah kekuasaannya. Salut, sekaligus takut.
Jika sudah berhari-hari sampah di
keranjang depan rumah tidak juga disetor ke penampungan pinggir jalan, biasanya
anaknya Mbah Sumo—yang juga sudah paruh baya—yang akan bertindak dengan gerakan
menyindir. Bapak itu sendiri yang membuang kumpulan sampah kami ke penampungan,
sekaligus membersihkan sebagian teras rumah kontrakan kami. Tanpa banyak
bicara, hanya senyum gagah nan menawan. Itu tindakan sindiran paling halus dari
seorang warga Sleman yang menjunjung tinggi budaya kejawen.
Namun, hari itu berbeda. Seisi rumah
sedang sibuk berbenah kamar masing-masing. Mempedomani perencanaan relokasi
kamar yang baru, berhubung beberapa orang penghuni lama telah selesai masa baktinya
dari kontrakan tersebut. Pantas saja, dari jauh Mbah Sumo dan anaknya yang sedang
makan mangga mangut-mangut. Mungkin bangga. Atau aneh. Mengapa anak-anak menjadi rajin begini?
Sudahlah. Kita akhiri saja basa-basi
singkat di awal bagian ketiga ini.
Seperti biasa, kawan. Rutinitas
perkuliahan yang begitu padat mengurungku rapat. Perlahan namun pasti, berbagai
aktifitas terlewati dengan semakin mudah. Itu karena Allah menganugerahkan kami
berkumpul dengan teman-teman luar biasa yang datang dari berbagai
kabupaten/kota di Indonesia. Sebagian besar dari Jawa. Sebagian besar meraih
titel sarjananya di UGM Yogyakarta. Sebagian besar sudah menikah dan memiliki
anak. Beberapa orang dari mereka bahkan telah menjadi pegawai negeri sejak
akhir era orde baru. Tentu kau bisa
bayangkan begitu banyak pengalaman dari perjalanan hidup yang telah menempa
mereka. Inilah anugerahnya. Bagian dari ilmu dan cerita mereka menjadi hal
penting untuk disimak dan dipelajari. Merekalah yang menjadi sahabat selama
setahun ke depan. Anugerah sahabat memang anugerah yang indah.
MAP Bappenas 007 |
Tidak ada kuliah yang tidak
membosankan. Capek, penat, mengantuk, dan lapar sudah menjadi keluhan wajib
setiap hari. Apalagi untuk kelas mahasiswa seperti kami. Padatnya jadwal
menyiksa kami dalam jeda waktu yang sempit. Jadi, wajar saja jika setiap mata
kuliah pertama yang dimulai pukul delapan pagi aku sering mengantuk. Mata
kuliah kedua melibas waktu shalat dhuhur dan makan siang. Mata kuliah terakhir,
mengantuk lagi. Begitu seterusnya.
Tidak semua. Tolong digaris-bawahi.
Tidak semua seperti itu. Beberapa dosen yang cakap berbicara, bergaya nyentrik, wawasannya luas, misterius,
humoris, oratoris, dan kritis sangat kami nantikan. Suasana kelas berubah.
Diskusi menjadi lebih hangat di tengah dinginnya ruangan akibat air conditioner. Presentasi kelompok
jadi makin trengginas. Layar sajian materi seperti muatan kisah klasik yang
membuat setiap orang penasaran pada hal-hal baru di balik kenyataan potret
bangsa dan anak negeri ini.
Sebagai salah seorang pria termuda di
kelas itu, aku pernah menjadi bahan candaan mereka. Perbincangan itu tentang
keanehan pada penampilanku dan caraku berbicara. Misalnya, bunyi sepatuku kerap
kali memecah keheningan kelas yang sedang fokus menyimak diskusi dengan dosen.
Ya, setiap aku melangkah keluar kelas hendak cuci muka atau buang air kecil,
suara sepatu yang berderap nyaring dari langkahku membuat mereka tertawa.
Maklum, sol sepatunya memang masih
keras. Alhasil, suaranya pun keras. Sekeras tawa mereka yang senang dan
menikmati lelucon konyol itu. Saking konyolnya, aku sangat hati-hati berjalan
agar sang sepatu tidak berbunyi terlalu nyaring.
Sialnya, sepatu yang gagah nan kocak
itu lenyap di rumah kontrakan. Karena kecerobohanku, ia raib tak tahu kemana.
Mungkin dicuri. Padahal, begitu banyak kenangan bersama sepatu itu. Terutama
saat ia setia menemani hari-hari lelahku saat pulang dan pergi bekerja dahulu.
Saat aku kumal oleh debu, ia pun kotor dan kehilangan penampilan terbaiknya.
Kala aku menerjang hujan, becek dan lumpur, ia tak pernah surut melekat di
kakiku walau harus berubah warna menjadi cokelat. Selamat jalan sepatu. Semoga
kau tetap bermanfaat di kaki orang yang merampasmu dariku.
Cukup nostalgianya.
Gayaku berbicara juga menjadi kesan
khusus. Menurut mereka, aku masih terlalu kaku dan masih kentara dengan logat
Aceh. Walaupun berhasil memilih diksi yang ringan dan tetap humoris, mereka
bergeming. Hingga pada suatu saat, aku keceplosan
mengucap kata “ulangi” pada setiap kalimat yang salah kuucapkan sehingga
kalimat itu harus kuperbaiki kembali. Kontan saja mereka heran dan tertawa.
Bagi mereka, kata “ulangi” itu identik dengan kesan militer atau orator formal
para pejabat daerah. Mungkin karena aksen seperti itulah mereka menganggapku
masih terlalu kaku. Namun, aku yakin mereka pasti merindukan kata “ulangi” itu
kembali menghiasi diskusi di kelas. No
way.
Pendapatku
tentang mereka juga beragam. Tidak sulit untuk membaca dan membedakan karakter
seseorang yang kasat mata. Maksudnya, beberapa orang pasti memiliki kehidupan
pribadi yang ia simpan dalam kotak pandora dan mencegah karakter aslinya muncul
ke permukaan. Salah seorang seniorku pernah berkata, jika kita paham karakter
lawan bicara, maka seharusnya kita mampu menguasai keadaan atau menyesuaikan
pembicaraan.
Masih
belum mengerti? Begini. Bayangkan bila temanmu adalah seorang pribadi yang sok
tahu, sombong, merasa paling benar, tetapi tidak punya prinsip. Barangkali, kau
bisa membincangkan prestasimu, atau berpura-pura tidak mendengar pendapatnya,
atau segera mengalihkan topik, atau mendominasi dirinya dengan tidak memberi
kesempatan baginya untuk menyela dan berbicara kembali. Memang ekstrim. Tapi,
dijamin ampuh. Hanya saja, jangan terlalu sering mencobanya. Sebisa mungkin
hindari konflik.
Sementara,
temanmu lainnya memiliki cara pandang yang kritis, senang bertanya dan
mengutarakan opininya, punya interest yang
kuat dan wajar terhadap hal-hal positif, namun pendiriannya teguh, maka kau
perlu memposisikan diri sebagai pendengar budiman. Jikalau ingin menyela,
pastikan kata-kata yang kau keluarkan telah kau pikirkan matang-matang sehingga
tidak sia-sia. Menyimak curhat
kolegamu yang panjang lebar sangat butuh kesabaran dan sikap rendah hati.
Apabila ia menginginkan pendapatmu dan tertarik dengan statement yang kau lontarkan, maka peluang kerja sama—paling tidak
kemitraan dalam hal-hal tertentu—akan terbuka lebar. Istilah lainnya adalah
keakraban. Namun, sebisa mungkin hindari untuk berinisiatif masuk dalam
persoalan pribadinya.
Hanya beberapa deduksi
sederhana dari pengalaman yang kualami, teman.
Dari
beberapa orang teman, ada seorang pria yang menarik untuk diperbincangkan.
Mengapa? Karena, aku jarang bertemu dengan orang yang rendah hati. Dia
satu-satunya mahasiswa di kelas kami yang berasal dari wilayah Indonesia bagian
timur, tepatnya di gugusan pulau-pulau kecil yang indah dan tersusun bagaikan
sebuah huruf.
Mollucas.
Begitulah sebutan daerah tempat ia berasal. Namun, wilayahnya sekarang
merupakan bagian baru yang dimekarkan dari daerah induknya pada era reformasi.
Dahulu kala, daerah itu terkenal dengan kemegahan Kesultanan Ternate dan
Tidore.
Nama
klan-nya adalah Namotemo. Aku baru tahu saat berkunjung ke kosan-nya, bahwa ia adalah seorang putra dari kepala daerah tempat
ia tinggal. Tak ayal membuatku kagum. Bukan karena ayahnya seorang kepala
daerah. Tapi, lebih karena kerendahan hatinya, cara ia bersikap dan bertutur
kata, serta wawasannya yang tinggi. Ia tidak hanya pintar mengelabui kami
dengan kemampuan finansial yang dimilikinya, namun ia juga pintar menempatkan
diri tanpa embel-embel sosok figur
penting yang ada di balik dirinya. Kapasitas otaknya menyerap perkuliahan serta
mengelaborasinya menjadi ragam pertanyaan dan komentar, menurutku sangat baik.
Ia salah satu bintang di kelas. Kelemahan yang ia miliki adalah kurang mampu
mengingat dan mengenal dengan cepat teman-teman barunya. Istilah kami—kurang respek.
Beberapa kali ia kesulitan menyebutkan nama seorang teman dan darimana ia
berasal. Ada-ada saja.
Saat presentasi Public Finance: Paying Education for Rural China |
Barangkali,
beberapa orang dari kalian sudah terbiasa bertemu dengan orang-orang yang
rendah hati dan pintar seperti ini. Namun, bagiku hal ini sungguh sebuah
fenomena langka. Pasalnya, beberapa teman-temanku dahulu yang merupakan putra
seorang gubernur, bupati, walikota, camat, pengusaha, dandim, kapolres, kapolda
dan pejabat lainnya kerap kali berkutat pada kasus bolos kuliah, seks bebas,
perkelahian dan penindasan, hingga mengkonsumsi narkoba. Bagaimana tidak,
beberapa orang di antara mereka dibesarkan dengan modal sosial dan uang yang
melimpah. Mereka bebas melakukan apa saja yang mereka inginkan. Ketika terlibat
persoalan, nama seorang ayah dan ibu diikuti dengan jabatan dan pengaruhnya
menjadi potensi besar berikutnya untuk membebaskan mereka dari persoalan-persoalan
itu. Menakjubkan, bukan ?!
Tentu. Uang mampu berbicara segalanya.
Kekuatan uang mampu mempengaruhi diri sendiri untuk bertindak lebih jauh.
Rasulullah SAW saja menganjurkan umat muslim untuk kaya dan memiliki harta,
agar mampu berderma lebih banyak hingga melakukan perjalanan untuk menunaikan
ibadah haji ke Makkah Al-Mukaramah. Insya
Allah.
Ngomong-ngomong
soal perjalanan, dengan segala kesempatan-kesempatan kecil di tengah kesempitan
perkuliahan, kami menyempatkan diri membungkus cerita lewat kebersamaan di
beberapa tempat di Yogyakarta. Kami juga bertemu teman lama yang tengah
meliburkan dirinya di Kota Pelajar ini.
Awal
Oktober lalu, dua orang teman wanita sekelasku dan seorang teman wanita seorganisasi
denganku di Jatinangor dulu singgah disini. Tepatnya melarikan diri. Ya, bagi
seseorang yang juga berkutat dengan kesibukan pekerjaan dan kepenatan
tugas-tugas kantor, mereka pun butuh liburan. Apalagi jarak antara Kendal dan
Temanggung ke Yogyakarta tidak terlalu jauh. Kami bermalam minggu di Food Court
Ambarukmo Plaza, kemudian esoknya sarapan pagi di pemukiman kuliner Gethuk di sekitar wilayah keraton.
Lumayan buat bernostalgia kisah klasik saat penempaan dulu. Indah untuk dikenang, pantang untuk diulang.
Rombongan Rekanita dari Jawa Tengah |
Pertengahan
Oktober, seorang sahabatku yang bekerja di Nagan Raya—kabupaten pemekaran dari
Aceh Barat—juga datang kemari. Bedanya, beliau hadir disini dalam rangka tugas
pekerjaan dan pelatihan mekanisme keuangan daerah. Sebagai seorang sahabat yang
petuah-petuahnya cukup berpengaruh di kalangan Purna Praja Aceh Barat Raya
Angkatan 18, temanku yang satu ini sangat sukses dalam karir, keluarga dan juga
cinta. Hingga saat ini, ia masih dipercaya atasannya mengemban amanah memimpin
administrasi keuangan di kantornya, serta diberikan kesempatan pula untuk
meningkatkan derajat pendidikannya di Banda Aceh. Bagi kami, menjalankan dua
hal berbeda yang terjadwal penuh pada tujuh hari dalam seminggu sungguh bukan
hal yang mudah. Butuh kesabaran, stamina, modal sosial—dan lagi-lagi—modal finansial.
Untuk kategori yang terakhir, sahabatku itu cukup mumpuni mengumpulkan
pundi-pundi fulusnya sehingga mampu mendukung karir, keluarga dan juga
cintanya. Saat ia punya waktu luang di sela-sela pelatihannya, kami mengelilingi Yogya dan berbelanja oleh-oleh di Malioboro.
Suatu Sore di Malioboro |
Idul
Adha. Akhirnya, kembali melewati momen lebaran haji di Yogyakarta untuk kedua
kalinya. Dulu, suasana lebaran haji yang kurasakan saat pertama di Yogya dalam
rangka liburan sungguh tidak khidmat. Nyaris terlambat shalat Ied di Mesjid
Kampus UGM, sok-sokan berpenampilan
dengan pakaian dinas pesiar, dan rendang yang hanya hadir dalam bayangan
memupuskan semangat liburan saat itu. Namun, Idul Adha 26 Oktober silam sungguh
meninggalkan kenangan yang indah dari pertemuan yang indah dengan seorang
keindahan kurnia Ilahi yang hadir di tempat yang indah pula. Subhanallah, senang bertemu dengannya.
Usai Shalat Ied, Istana Kepresidenan Yogyakarta |
Comments
Post a Comment