Skip to main content

Merantau Jilid 2: Pertemuan-pertemuan Bersejarah

“Ya Allah, atas kehendak rasa aku mencintainya dalam diam. Jika diamku membawa sebuah isyarat, jagalah pandangan dan hatiku dari segelintir nafsu yang membutakan mata. Ya Allah, jika yang kurindu dalam diamku akhirnya bukan untukku, leburkanlah rasa ini bersama waktu mengalun pergi”

Chapter 3

Doa menjadi tumpuan manusia sebagai makhluk yang lemah dan tak berdaya menghadapi kenyataan kehidupan. Atas ketidakkuasaan yang dimiliki makhluk, mutlak bagi hamba dhaif untuk meminta dan memohon kepada Allah sesuai tuntunan Rasulullah.
Setidaknya, itulah doa yang kerap kupanjatkan kepada Ilahi. Bukan karena kegalauan akibat putus cinta. Tidak pula karena perasaan sayang yang bertepuk sebelah tangan. Jangan pernah sebut aku lelaki suci tanpa khilaf. Namun, hal rumit ini lebih kepada buah perenungan dari kejadian-kejadian di masa silam, menyajikan rasa pelajaran amat berharga yang kupetik dari suka duka ranting perjalanan hidup. Mari berbenah, kembali memupuk harapan penuh cinta.
Berbenah di suatu pagi. Bukan rumah kontrakan laki-laki namanya kalau tidak lepas dari predikat kotor, amburadul dan tidak teratur. Aku rasa juga tidak demikian. Akhir zaman ini, semakin banyak wanita yang keluar dari kesan bersih. Ya, dalam makna dan alasan apapun. Apalagi untuk mereka yang menjalani status sebagai mahasiswa super sibuk atau wanita karir penuh schedule. Lain cerita kalau disebut sebagai oknum.
Bagaimanapun, hidup di perantauan yang menuntut kemandirian dengan sendirinya menumbuhkan rasa malu dan sadar diri. Walau terpaksa. Kalau tidak, siap-siap mendengar ceramah berbahasa jawa dari Mbah Sumo. Layaknya seorang dalang senior nan sepuh, beliau sangat energik menegur anak-anak kontrakannya agar merawat lingkungan dengan baik. Sudah setua itu, Mbah Sumo Sang Pemilik Kontrakan selalu setia dan menjunjung tinggi jargon go green di wilayah kekuasaannya. Salut, sekaligus takut.
Jika sudah berhari-hari sampah di keranjang depan rumah tidak juga disetor ke penampungan pinggir jalan, biasanya anaknya Mbah Sumo—yang juga sudah paruh baya—yang akan bertindak dengan gerakan menyindir. Bapak itu sendiri yang membuang kumpulan sampah kami ke penampungan, sekaligus membersihkan sebagian teras rumah kontrakan kami. Tanpa banyak bicara, hanya senyum gagah nan menawan. Itu tindakan sindiran paling halus dari seorang warga Sleman yang menjunjung tinggi budaya kejawen.
Namun, hari itu berbeda. Seisi rumah sedang sibuk berbenah kamar masing-masing. Mempedomani perencanaan relokasi kamar yang baru, berhubung beberapa orang penghuni lama telah selesai masa baktinya dari kontrakan tersebut. Pantas saja, dari jauh Mbah Sumo dan anaknya yang sedang makan mangga mangut-mangut. Mungkin bangga. Atau aneh. Mengapa anak-anak menjadi rajin begini?
Sudahlah. Kita akhiri saja basa-basi singkat di awal bagian ketiga ini.
Seperti biasa, kawan. Rutinitas perkuliahan yang begitu padat mengurungku rapat. Perlahan namun pasti, berbagai aktifitas terlewati dengan semakin mudah. Itu karena Allah menganugerahkan kami berkumpul dengan teman-teman luar biasa yang datang dari berbagai kabupaten/kota di Indonesia. Sebagian besar dari Jawa. Sebagian besar meraih titel sarjananya di UGM Yogyakarta. Sebagian besar sudah menikah dan memiliki anak. Beberapa orang dari mereka bahkan telah menjadi pegawai negeri sejak akhir era orde baru.  Tentu kau bisa bayangkan begitu banyak pengalaman dari perjalanan hidup yang telah menempa mereka. Inilah anugerahnya. Bagian dari ilmu dan cerita mereka menjadi hal penting untuk disimak dan dipelajari. Merekalah yang menjadi sahabat selama setahun ke depan. Anugerah sahabat memang anugerah yang indah.
MAP Bappenas 007

Apa saja yang kami lakukan bersama mereka?
Tidak ada kuliah yang tidak membosankan. Capek, penat, mengantuk, dan lapar sudah menjadi keluhan wajib setiap hari. Apalagi untuk kelas mahasiswa seperti kami. Padatnya jadwal menyiksa kami dalam jeda waktu yang sempit. Jadi, wajar saja jika setiap mata kuliah pertama yang dimulai pukul delapan pagi aku sering mengantuk. Mata kuliah kedua melibas waktu shalat dhuhur dan makan siang. Mata kuliah terakhir, mengantuk lagi. Begitu seterusnya.
Tidak semua. Tolong digaris-bawahi. Tidak semua seperti itu. Beberapa dosen yang cakap berbicara, bergaya nyentrik, wawasannya luas, misterius, humoris, oratoris, dan kritis sangat kami nantikan. Suasana kelas berubah. Diskusi menjadi lebih hangat di tengah dinginnya ruangan akibat air conditioner. Presentasi kelompok jadi makin trengginas. Layar sajian materi seperti muatan kisah klasik yang membuat setiap orang penasaran pada hal-hal baru di balik kenyataan potret bangsa dan anak negeri ini.
Sebagai salah seorang pria termuda di kelas itu, aku pernah menjadi bahan candaan mereka. Perbincangan itu tentang keanehan pada penampilanku dan caraku berbicara. Misalnya, bunyi sepatuku kerap kali memecah keheningan kelas yang sedang fokus menyimak diskusi dengan dosen. Ya, setiap aku melangkah keluar kelas hendak cuci muka atau buang air kecil, suara sepatu yang berderap nyaring dari langkahku membuat mereka tertawa. Maklum, sol sepatunya memang masih keras. Alhasil, suaranya pun keras. Sekeras tawa mereka yang senang dan menikmati lelucon konyol itu. Saking konyolnya, aku sangat hati-hati berjalan agar sang sepatu tidak berbunyi terlalu nyaring.
Sialnya, sepatu yang gagah nan kocak itu lenyap di rumah kontrakan. Karena kecerobohanku, ia raib tak tahu kemana. Mungkin dicuri. Padahal, begitu banyak kenangan bersama sepatu itu. Terutama saat ia setia menemani hari-hari lelahku saat pulang dan pergi bekerja dahulu. Saat aku kumal oleh debu, ia pun kotor dan kehilangan penampilan terbaiknya. Kala aku menerjang hujan, becek dan lumpur, ia tak pernah surut melekat di kakiku walau harus berubah warna menjadi cokelat. Selamat jalan sepatu. Semoga kau tetap bermanfaat di kaki orang yang merampasmu dariku.
Cukup nostalgianya.
Gayaku berbicara juga menjadi kesan khusus. Menurut mereka, aku masih terlalu kaku dan masih kentara dengan logat Aceh. Walaupun berhasil memilih diksi yang ringan dan tetap humoris, mereka bergeming. Hingga pada suatu saat, aku keceplosan mengucap kata “ulangi” pada setiap kalimat yang salah kuucapkan sehingga kalimat itu harus kuperbaiki kembali. Kontan saja mereka heran dan tertawa. Bagi mereka, kata “ulangi” itu identik dengan kesan militer atau orator formal para pejabat daerah. Mungkin karena aksen seperti itulah mereka menganggapku masih terlalu kaku. Namun, aku yakin mereka pasti merindukan kata “ulangi” itu kembali menghiasi diskusi di kelas. No way.
Pendapatku tentang mereka juga beragam. Tidak sulit untuk membaca dan membedakan karakter seseorang yang kasat mata. Maksudnya, beberapa orang pasti memiliki kehidupan pribadi yang ia simpan dalam kotak pandora dan mencegah karakter aslinya muncul ke permukaan. Salah seorang seniorku pernah berkata, jika kita paham karakter lawan bicara, maka seharusnya kita mampu menguasai keadaan atau menyesuaikan pembicaraan.
Masih belum mengerti? Begini. Bayangkan bila temanmu adalah seorang pribadi yang sok tahu, sombong, merasa paling benar, tetapi tidak punya prinsip. Barangkali, kau bisa membincangkan prestasimu, atau berpura-pura tidak mendengar pendapatnya, atau segera mengalihkan topik, atau mendominasi dirinya dengan tidak memberi kesempatan baginya untuk menyela dan berbicara kembali. Memang ekstrim. Tapi, dijamin ampuh. Hanya saja, jangan terlalu sering mencobanya. Sebisa mungkin hindari konflik.
Sementara, temanmu lainnya memiliki cara pandang yang kritis, senang bertanya dan mengutarakan opininya, punya interest yang kuat dan wajar terhadap hal-hal positif, namun pendiriannya teguh, maka kau perlu memposisikan diri sebagai pendengar budiman. Jikalau ingin menyela, pastikan kata-kata yang kau keluarkan telah kau pikirkan matang-matang sehingga tidak sia-sia. Menyimak curhat kolegamu yang panjang lebar sangat butuh kesabaran dan sikap rendah hati. Apabila ia menginginkan pendapatmu dan tertarik dengan statement yang kau lontarkan, maka peluang kerja sama—paling tidak kemitraan dalam hal-hal tertentu—akan terbuka lebar. Istilah lainnya adalah keakraban. Namun, sebisa mungkin hindari untuk berinisiatif masuk dalam persoalan pribadinya.
Hanya beberapa deduksi sederhana dari pengalaman yang kualami, teman.
Dari beberapa orang teman, ada seorang pria yang menarik untuk diperbincangkan. Mengapa? Karena, aku jarang bertemu dengan orang yang rendah hati. Dia satu-satunya mahasiswa di kelas kami yang berasal dari wilayah Indonesia bagian timur, tepatnya di gugusan pulau-pulau kecil yang indah dan tersusun bagaikan sebuah huruf.
Mollucas. Begitulah sebutan daerah tempat ia berasal. Namun, wilayahnya sekarang merupakan bagian baru yang dimekarkan dari daerah induknya pada era reformasi. Dahulu kala, daerah itu terkenal dengan kemegahan Kesultanan Ternate dan Tidore.
Nama klan-nya adalah Namotemo. Aku baru tahu saat berkunjung ke kosan-nya, bahwa ia adalah seorang putra dari kepala daerah tempat ia tinggal. Tak ayal membuatku kagum. Bukan karena ayahnya seorang kepala daerah. Tapi, lebih karena kerendahan hatinya, cara ia bersikap dan bertutur kata, serta wawasannya yang tinggi. Ia tidak hanya pintar mengelabui kami dengan kemampuan finansial yang dimilikinya, namun ia juga pintar menempatkan diri tanpa embel-embel sosok figur penting yang ada di balik dirinya. Kapasitas otaknya menyerap perkuliahan serta mengelaborasinya menjadi ragam pertanyaan dan komentar, menurutku sangat baik. Ia salah satu bintang di kelas. Kelemahan yang ia miliki adalah kurang mampu mengingat dan mengenal dengan cepat teman-teman barunya. Istilah kami—kurang respek. Beberapa kali ia kesulitan menyebutkan nama seorang teman dan darimana ia berasal. Ada-ada saja.
Saat presentasi Public Finance: Paying Education for Rural China
Barangkali, beberapa orang dari kalian sudah terbiasa bertemu dengan orang-orang yang rendah hati dan pintar seperti ini. Namun, bagiku hal ini sungguh sebuah fenomena langka. Pasalnya, beberapa teman-temanku dahulu yang merupakan putra seorang gubernur, bupati, walikota, camat, pengusaha, dandim, kapolres, kapolda dan pejabat lainnya kerap kali berkutat pada kasus bolos kuliah, seks bebas, perkelahian dan penindasan, hingga mengkonsumsi narkoba. Bagaimana tidak, beberapa orang di antara mereka dibesarkan dengan modal sosial dan uang yang melimpah. Mereka bebas melakukan apa saja yang mereka inginkan. Ketika terlibat persoalan, nama seorang ayah dan ibu diikuti dengan jabatan dan pengaruhnya menjadi potensi besar berikutnya untuk membebaskan mereka dari persoalan-persoalan itu. Menakjubkan, bukan ?!
 Tentu. Uang mampu berbicara segalanya. Kekuatan uang mampu mempengaruhi diri sendiri untuk bertindak lebih jauh. Rasulullah SAW saja menganjurkan umat muslim untuk kaya dan memiliki harta, agar mampu berderma lebih banyak hingga melakukan perjalanan untuk menunaikan ibadah haji ke Makkah Al-Mukaramah. Insya Allah.
Ngomong-ngomong soal perjalanan, dengan segala kesempatan-kesempatan kecil di tengah kesempitan perkuliahan, kami menyempatkan diri membungkus cerita lewat kebersamaan di beberapa tempat di Yogyakarta. Kami juga bertemu teman lama yang tengah meliburkan dirinya di Kota Pelajar ini.
Awal Oktober lalu, dua orang teman wanita sekelasku dan seorang teman wanita seorganisasi denganku di Jatinangor dulu singgah disini. Tepatnya melarikan diri. Ya, bagi seseorang yang juga berkutat dengan kesibukan pekerjaan dan kepenatan tugas-tugas kantor, mereka pun butuh liburan. Apalagi jarak antara Kendal dan Temanggung ke Yogyakarta tidak terlalu jauh. Kami bermalam minggu di Food Court Ambarukmo Plaza, kemudian esoknya sarapan pagi di pemukiman kuliner Gethuk di sekitar wilayah keraton. Lumayan buat bernostalgia kisah klasik saat penempaan dulu. Indah untuk dikenang, pantang untuk diulang.
Rombongan Rekanita dari Jawa Tengah
Pertengahan Oktober, seorang sahabatku yang bekerja di Nagan Raya—kabupaten pemekaran dari Aceh Barat—juga datang kemari. Bedanya, beliau hadir disini dalam rangka tugas pekerjaan dan pelatihan mekanisme keuangan daerah. Sebagai seorang sahabat yang petuah-petuahnya cukup berpengaruh di kalangan Purna Praja Aceh Barat Raya Angkatan 18, temanku yang satu ini sangat sukses dalam karir, keluarga dan juga cinta. Hingga saat ini, ia masih dipercaya atasannya mengemban amanah memimpin administrasi keuangan di kantornya, serta diberikan kesempatan pula untuk meningkatkan derajat pendidikannya di Banda Aceh. Bagi kami, menjalankan dua hal berbeda yang terjadwal penuh pada tujuh hari dalam seminggu sungguh bukan hal yang mudah. Butuh kesabaran, stamina, modal sosial—dan lagi-lagi—modal finansial. Untuk kategori yang terakhir, sahabatku itu cukup mumpuni mengumpulkan pundi-pundi fulusnya sehingga mampu mendukung karir, keluarga dan juga cintanya. Saat ia punya waktu luang di sela-sela pelatihannya, kami mengelilingi Yogya dan berbelanja oleh-oleh di Malioboro.
Suatu Sore di Malioboro
Idul Adha. Akhirnya, kembali melewati momen lebaran haji di Yogyakarta untuk kedua kalinya. Dulu, suasana lebaran haji yang kurasakan saat pertama di Yogya dalam rangka liburan sungguh tidak khidmat. Nyaris terlambat shalat Ied di Mesjid Kampus UGM, sok-sokan berpenampilan dengan pakaian dinas pesiar, dan rendang yang hanya hadir dalam bayangan memupuskan semangat liburan saat itu. Namun, Idul Adha 26 Oktober silam sungguh meninggalkan kenangan yang indah dari pertemuan yang indah dengan seorang keindahan kurnia Ilahi yang hadir di tempat yang indah pula. Subhanallah, senang bertemu dengannya.
Usai Shalat Ied, Istana Kepresidenan Yogyakarta

Comments

Popular posts from this blog

Rekrutmen dan Seleksi Pegawai Pemerintah: Sebuah Kajian dari Praktek dan Tren Modern Internasional

Pemerintah di seluruh dunia menghadapi tantangan kepegawaian yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pada saat pemerintah butuh bakat daya pikat paling trampil untuk pelayanan publik, kemampuan mereka untuk melakukannya telah begitu jarang sehingga rumit dan dibatasi oleh ekonomi, sosial dan tekanan organisasi. Artikel ini memberikan gambaran jenis inisiatif rekrutmen dan seleksi di tempat di banyak negara yang dapat membantu pemerintah dunia ini menarik dan mempertahankan bakat. Bergantung pada contoh dari Amerika Serikat dan Eropa Barat, namun juga mengintegrasikan pengalaman dari berbagai negara maju dan kurang berkembang (LDCs), kami menjelaskan serangkaian perekrutan dan seleksi "praktik terbaik." Suasana Penerimaan Peserta Tes CPNS

Kebijakan Relokasi Kerusuhan terhadap Korban Pengungsi di Kabupaten Sambas Tahun 1999: Konflik Etnis antara Madura dan Melayu

Internally displaced Persons adalah sebuah istilah bagi para kelompok masyarakat yang pindah dari tempat tinggalnya dan menetap di daerah lain untuk menetap sementara waktu atau hal ini dikenal dengan istilah pengungsi. Sambas adalah sebuah Kabupaten yang terletak di bagian pesisir yang di tempati oleh berbagai suku etnis misalnya suku bugis, madura, jawa batak dll, namun Kabupaten Sambas mayoritas ditempati oleh Melayu, Dayak dan Cina (Tiong Hoa). Khusus tentang konflik Sambas pada tahun 1999 yang terjadi adalah etnis Melayu Sambas dengan suku Madura (yang bertempat tinggal di Sambas) yang menewaskan ratusan jiwa dan hancurnya ratusan rumah dan harta warga Madura. Rekonsiliasi Konflik

Dinamika, Kontinum dan Globalisasi Administrasi Publik

Woodrow Wilson 1.         Dinamika perubahan fokus administrasi publik, mulai dari administrasi sebagai administrasi negara sampai dengan administrasi publik dalam paradigma governance serta implikasi pada praktik administrasi publik. Dinamika Pertama , administrasi sebagai administrasi negara. Administrasi negara telah mengalami tahapan perkembangan yang diklasifikasikan berdasarkan berbagai cara pandang (paradigma) dalam rentang waktu tertentu yang memiliki ciri-ciri tertentu sesuai dengan locus dan focus paradigma tersebut. Akan tetapi, tidak semua paradigma memiliki penekanan pada locus dan focus secara sekaligus atau bersamaan. Menurut Thoha (2008: 18), locus menunjukkan dimana bidang ini secara institusional berada, sedangkan focus menunjukkan sasaran spesialisasi dari bidang studi tersebut. Untuk mengidentifikasi perubahan fokus pada dinamika pertama administrasi sebagai administrasi negara, lebih lanjut Henry dalam Yudiatmaja (2012: 9) membagi paradigma administras