Skip to main content

Review Artikel: New Direction of Public Administration, Jocelyne Bourgon

International Review of Administrative Sciences. Responsive, responsible
and respected government: towards a New Public Administration theory


PENGANTAR

Perubahan dan perkembangan yang sangat dinamis pada tatanan pemerintahan dan kemasyarakatan saat ini telah mendorong terjadinya penyesuaian-penyesuaian sistemik, teknis maupun praktis bagi penyelenggaraan lembaga negara atau lembaga pemerintahan. Hal mendasar yang turut menyertai perubahan dan perkembangan tersebut berpengaruh besar pada konsep administrasi publik yang secara umum diterapkan di lingkungan birokrasi pemerintahan maupun di lingkungan bisnis swasta. Menurut Yogi Suprayogi (2011: 1), sejarah mencatat bahwa perkembangan administrasi publik saat ditinjau dari sisi ilmiah adalah ketika Woodrow Wilson sebagai founding father dari ilmu Administrasi Publik tersebut melihat bagaimana proses penyelenggaraan negara dengan prinsip-prinsip yang ada seperti dilakukan dalam administrasi bisnis[1].
New Public Administration

Oleh karena itu, konsep administrasi publik yang dibangun oleh Wilson maupun para ilmuwan administrasi publik pada masa tersebut tentunya telah mengalami kemajuan yang luar biasa jika kita kaitkan dengan perubahan nilai dan pilihan dari warga negara,  kelompok dan masyarakat  secara keseluruhan. Hal ini sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Jocelyne Bourgon dalam tulisannya yakni “International Review of Administrative Sciences. Responsive, responsible and respected government: towards a New Public Administration theory” yang saya review kembali melalui tulisan ini.

Tulisan ini mendeskripsikan tentang perspektif Jocelyne Bourgon yang mengemukakan tentang keberadaan New Public Administration pada era modern saat ini. Berawal dari teori akademis dan pengalaman praktis, Jocelyne menduga bahwa kehadiran New Public Administration cenderung menonjolkan karakteristik dan pola yang lebih inovatif pada struktur yang lebih tersusun apabila dibandingkan dengan konsep administrasi publik lainnya. Muncullah anggapan bahwa lahirnya New Public Administration adalah berkat perubahan dari nilai administrasi publik tradisional, sehingga menguatkan anggapan bahwa New Public Administration merupakan sebuah konsep yang mulai merancang pola baru dan mempersatukan teori administasi publik.
Pada bagian lainnya, tulisan ini juga mengkritisi kajian Jocelyne Bougorn yang menurut saya kurang objektif dalam mengintepretasikan konsep New Public Administration yang hanya relevan bagi negara-negara dengan sistem demokrasi liberal. Pada bagian akhir, saya dapat menilai dan menyimpulkan bahwa secara komprehensif beberapa konsep administrasi publik yang baru tersebut sangat rasional untuk dapat dikembangkan pada sistem penyelenggaraan negara lainnya.

Ringkasan

Jocelyne Bourgon mendeskripsikan bahwa teori New Public Administration lahir dari teori model klasik administrasi dan teori manajemen publik baru. Teori model klasik administrasi publik mulai diperkenakan pada abad kedua puluh. Bagi beberapa negara yang demokratis khususnya negara-negara maju, teori model klasik ini dipandang sangat cocok dan stabil dalam menghadapi perubahan yang sangat variatif. Terlebih lagi ketika negara-negara maju tengah menggencarkan reformasi pemerintahan dengan tujuan efisiensi, efektifitas, produktivitas, transparatif dan responsif melalui upaya-upaya kongkret layaknya privatisasi, deregulasi, komersialisasi, kostumerisasi, atau desentralisasi.
Teori model klasik administrasi publik mengedepankan daya tahan seluruh sistem, personil dan tatanan organisasi dalam memberikan pelayanan publik dengan baik. Dengan demikian, birokrasi publik menjadi salah satu instrumen administrasi publik yang berkontribusi penting dalam upaya pembangunan ekonomi, pelayanan dan pengabdian kepada publik, serta pembangunan sebuah negara modern berbasis industrialisasi. Secara kelembagaan, teori model klasik ini menegaskan pemisahaan yang tegas antara politik dan profesionalitas para birokrat yang ditentukan oleh aturan yang tepat. Oleh karena itu, teori model klasik ini sangat cocok bagi negara yang struktur kekuasaannya bersifat vertikal dan hirarkis. Hal tersebut diyakini karena pelayanan publik mengacu pada ciri-ciri birokrat teori model klasik tersebut, yaitu diantaranya menghormati aturan hukum; komitmen untuk melayani kepentingan publik; serta menjunjung tinggi integritas, kejujuran dan ketidakberpihakan dalam melayani kepercayaan publik.
Namun, seiring dengan perkembangan masyarakat teori model klasik dihadapkan pada realita kompleksitas pelayanan publik baik internal maupun eksternal, diantaranya adalah kebutuhan masyarakat akan barang publik yang serba fleksibel, interaksi antara para penguasa dan kebijakan yang diterapkan, dan bentuk baru dari akuntabilitas. Fenomena kompleksitas tersebut dapat diidentifikasi lewat tiga hal yang menonjol pada teori model klasik ini, yaitu sebagai berikut:
1.  The Need for Flexibility
Seiring upaya kalangan legislatif dalam merumuskan undang-undang untuk mengatasi fleksibilitas masyarakat akan barang publik, implementasi kebijakan pelayanan justru tidak diatur dalam undang-undang. Alhasil, sebagian layanan publik yang diterjemahkan oleh pemerintah hanya sekedar berbasis “pengetahuan” dengan makna yaitu pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi yang logis semata.
Sayangnya, akibat pendelegasian kewenangan kebijakan pelayanan publik ini justru menunjukkan banyak kelemahan, di antaranya adalah layanan publik tidak berulang dan sulit untuk dikodifikasikan; tidak dapat mengakomodasikan tingkat pengambilan keputusan terhadap fleksibilitas kebutuhan individu yang tinggi; sulit menentukan kebijaksanaan untuk memastikan perlakuan adil bagi bagi masyarakat dan menghindari penyalahgunaan kewenangan; tidak adanya kerangka intelektual berupa pembinaan sumberdaya manusia untuk memandu kebijakan sehingga menyebabkan turunnya kepercayaan publik.

2.  Politics and Policies
Teori model klasik administrasi publik memiliki pandangan tentang pemisahan antara kebijakan dengan politik, dengan tujuan untuk mengehentikan campur tangan para penguasa dalam implementasi kebijakan publik untuk mencegah terjadinya korupsi. Implikasinya, konsep ini diyakini dapat meningkatkan keberhasilan pelayanan publik.
Namun, kenyataannya sangat sulit untuk memisahkan dua hal tersebut. Keputusan akhir suatu political will berada di tangan para pejabat publik terpilih yang merumuskan suatu kebijakan baru dan menjadi agenda pemerintahan selanjutnya. Oleh karena itu, kelemahan pada konsep ini adalah tidak menentukan pola interaksi demokratis yang baik antara para pelayan publik dengan masyarakat.

3.  New Forms of Accountability
Berdasarkan teori klasik, pejabat publik yang terpilih hanya bertanggung jawab dan akuntabel untuk menerjemahkan keinginan masyarakat dalam bentuk sebuah kebijakan. Tujuan akhirnya adalah untuk memastikan bahwa pemerintah responsif terhadap warga negaranya. Namun, ukuran akuntabilitas tradisional tersebut tidak sepenuhnya memuaskan masyarakat.

Kemudian, muncullah teori manajemen publik baru yang dijabarkan oleh pemerintahan melalui pendekatan-pendekatan manajemen untuk mencapai produktivitas dengan perspektif pasar. Secara sederhana, Jocelyn Bourgon menyatakan bahwa pemerintah menjalankan administrasi publik dengan mengadopsi teknik-teknik lembaga swasta. Menurutnya, pada resiko yang tidak adil konsep ini sangat cocok untuk digunakan. Namun, terdapat beberapa isu mendasar yang menjadi persoalan dalam penerapan konsep ini terutama bagi pemerintah.
Isu tersebut yang pertama adalah Citizen-centered Services, yaitu pemerintah harus berkomitmen untuk melayani warga negara dalam rangka meningkatkan penyediaan barang publik. Implikasinya adalah, pemerintah wajib mensinergikan misi perbaikan layanan, penyediaan layanan yang terkoordinasi dari para lembaga terkait, penyediaan perangkat informasi modern dan teknologi komunikasi yang terbuka luas bagi publik. Polemiknya adalah sungguh sulit untuk menempatkan kepentingan dan harapan warga negara yang dibebankan kepada pemerintah.
Isu yang kedua merupakan isu tentang Value for taxpayers’ money, yaitu pemerintah memperoleh pendapatan melalui pajak dari masyarakat atas pelayanan publik yang diterima maupun dampak penyediaan barang publik terhadap semua warga negara. Pajak tersebut umumnya digunakan untuk memperbaiki kualitas barang publik. Namun, pada suatu saat hal tersebut menjadi beban bagi masyarakat karena mereka tidak dapat menentukan jumlah dan kualitas dari pelayanan yang mereka terima sebagai konsekuensi dari pajak yang mereka setorkan kepada pemerintah.
Isu ketiga yang dapat diindentifikasikan berupa isu A flexible public service workforce, yaitu pemerintah wajib memodernisasikan aturan main dalam hal pelayanan dan merespon kebutuhan masyarakat dengan cepat. Peran pelayan publik yang independen, profesional dan netral terhadap intervensi politik sangat diperlukan guna meningkatkan integritas dan kepercayaan publik. Namun, di sisi lain sangat sulit bagi pelayan publik untuk terhindar dari pengaruh politis baik secara langsung maupun tidak.
Secara pribadi, Jocelyne Bourgon menyatakan ketidakyakinannya terhadap konsep tersebut dengan argumen bahwa pendekatan manajemen publik baru sangat asing bagi sektor publik dan diragukan sendiri keefektifan pelaksanaannya pada sektor swasta. Menurutnya, teori administrasi publik baru merupakan perpaduan antara teori model klasik dan teori manajemen publik.
Teori New Public Administration menyorot konsep tentang kewarganegaraan, demokrasi atau kepentingan publik yang senantiasa berubah dari waktu ke waktu. Implikasinya adalah peran pemerintah dan pelayan publik ikut mengalami perubahan dengan cara melampau teori model klasik dan mengadopsi teori manajemen publik baru melalui pendekatan dengan poin-poin yang lebih komprehensif.

Perubahan atau pergeseran tersebut pada poin pertama terjabarkan lewat konsep Kewarganegaraan, yaitu setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata hukum sehingga adanya kesamaan atau pemerataan warga negara sebagai bagian dari lingkungan sosial dan politik. Aturan-aturan yang menentukan tentang hal tersebut lebih diarahkan pada musyawarah masyarakat dan penguatan persatuan bangsa. Poin yang kedua adalah konsep Kepentingan Publik. Hal ini terlihat pada pergeseran kumpulan kepentingan masing-masing individu kepada perspektif kepentingan masyarakat umum secara luas. Oleh karena itu, aspek regulasi diarahkan pada kebijakan yang mampu mengartikulasikan dan mewujudkan keinginan masyarakat. Poin yang ketiga adalah Layanan untuk Warga/Masyarakat. Kongkretnya, bagian layanan untuk warga negara ditentukan dari perumusan dan implementasi kebijakan, sehingga prosesnya lebih terintegrasi dan adanya diskusi yang interaktif antara pembuat kebijakan dengan pelaksana kebijakan. Hal tersebut mutlak didasarkan oleh sumberdaya manusia yang berilmu pengetahuan, ahli dalam pendekatan holistik untuk masyarakat dan memiliki andil untuk mendorong partisipasi warga negara agar dapat mendesai dan menerima pelayanan dengan baik.


KRITIK

Saya menilai bahwa konsep New Public Administration pada tulisan Jocelyne Bougon tersebut sangat cocok untuk diterapkan dengan tujuan agar pelayanan publik dapat berjalan sesuai nilai-nilai baru yang dikembangkan.
Pada satu sisi, saya sepakat dengan uraian Jocelyne bahwa konsep New Public Administration dapat diterapkan pada negara demokratis liberal atau negara-negara maju. Argumennya adalah bahwa paham liberalisme yang dan dipercayakan bagi setiap warga negara di negara-negara maju tersebut merupakan perilaku kebebasan individu untuk mematuhi prinsip dasar kehidupan negara-negara maju. Prinsip-prinsip dasar tersebut diantaranya adalah: etika; kejujuran dan integritas; bertanggung-jawab; hormat pada aturan; hormat pada hak orang/warga lain; cinta pada pekerjaan; berusaha keras untuk menabung dan investasi; kerja-keras; dan tepat waktu[2].
Namun, pada sisi lain saya justru berpendapat bahwa New Public Administration tidak sepenuhnya ideal—atau adanya perbedaan—terhadap perkembangan masyarakat di negara berkembang, atau negara dengan paham demokrasi pancasila seperti Indonesia. Masyarakat yang terdiri dari berbagai macam karakter, suku, ras, maupun agama sangat rentan terhadap perubahan-perubahan, baik pada tataran ilmu maupun tataran praktis.
Hal tersebut dibuktikan melalui hasil studi banding antara negara maju dan negara berkembang yang dilakukan oleh Fred W. Riggs pada tahun 1957 yang mendeskripsikan perbedaan-perbedaan antara keduanya dalam hal administrasi pemerintahan dan kelembagaan[3]. Perbedaan itu antara lain adalah:
  1. Pada negara maju, pengangkatan/pemberhentian pegawai didasarkan pada suatu standar atau disebut juga meryt system. Sementara di negara berkembang terjadi cenderung karena birokrasi atau nepotisme; 
  2. Pada negara maju, adanya prinsip legal rational impersonal yaitu penyelesaian persoalan di dalam kantor secara hukum. Namun, negara berkembang bersifat bureaucratic click yaitu penyelesaian masalah dengan cara tidak legal-formal. 
  3. Pada negara maju, diferensiasi fungsi dalam administrasi terlihat jelas dan tegas, sementara pada negara berkembang tidak demikian. 
  4. Pada negara maju, penawaran dan pemintaan administrasi dilakukan melalui mekanisme formal market. Sedangkan pada negara berkembang, penawaran dan pemintaan terjadi melalui mekanisme informal market. 
  5. Pada negara maju, administrasi dijalankan secara efektif dan efisien. Namun, pada negara berkembang efektifitas kerja tidak diikuti oleh efisiensi.

Kesimpulan

Penerapan Administrasi Publik Baru pada negara maju atau negara berkembang harus didasari oleh kesiapan pengembangan dan model konsep yang cocok pada masing-masing karakter negara tersebut. Teori New Public Administration yang dianggap ideal pada negara demokrasi liberal dan negara maju dapat dipedomani atau dijadikan acuan bagi sistem pemerintahan lainnya pada negara berkembang. 
Menurut saya, dari tulisan Jocelyne Bourgon dan dipadukan oleh sumber-sumber lainnya, maka saya berpendapat bahwa: (1) penerapan pola administrasi publik baru harus disertai dengan adopsi yang positif sesuai nilai, karakter atau prinsip kewarganegaraan pada suatu wilayah; (2) peran birokrasi sangat penting untuk peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang menjadi aktor penting pelaksanaan administrasi publik dan menjalin hubungan dengan masyarakat, swasta atau aktor-aktor lainnya; (3) pola administrasi publik baru merupakan perpaduan antara realita dan kebijakan yang diterapkan, sehingga regulasi harus merepresentasikan kondisi pemerintah, swasta dan masyarakat yang serba dinamis; (4) administrasi publik baru lebih diarahkan untuk mewujudkan kepentingan publik sebagai pemegang kedaulatan rakyat; dan (5) pemberian layanan masyarakat sesuai pola administrasi publik baru harus dibarengi dengan pengawasan agar tidak terjadi penyimpangan.


[1] Suprayogi Sugandi, Yoga. 2011. Administrasi Publik, Konsep dan Perkembangan Ilmu di Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu.
[2] Faktor-faktor dan Perbedaan Antara Negara Maju dan Berkembang. http://tebar-ilmu.blogspot.com tanggal 15 Agustus 2010, diakses pada tanggal 15 Oktober 2012.
[3] Permasalahan Kelembagaan di Negara Berkembang. http://erhynugroho.blogspot.com tanggal 23 April 2012, diakses pada tanggal 15 Oktober 2012.

Comments

Popular posts from this blog

Kebijakan Relokasi Kerusuhan terhadap Korban Pengungsi di Kabupaten Sambas Tahun 1999: Konflik Etnis antara Madura dan Melayu

Internally displaced Persons adalah sebuah istilah bagi para kelompok masyarakat yang pindah dari tempat tinggalnya dan menetap di daerah lain untuk menetap sementara waktu atau hal ini dikenal dengan istilah pengungsi. Sambas adalah sebuah Kabupaten yang terletak di bagian pesisir yang di tempati oleh berbagai suku etnis misalnya suku bugis, madura, jawa batak dll, namun Kabupaten Sambas mayoritas ditempati oleh Melayu, Dayak dan Cina (Tiong Hoa). Khusus tentang konflik Sambas pada tahun 1999 yang terjadi adalah etnis Melayu Sambas dengan suku Madura (yang bertempat tinggal di Sambas) yang menewaskan ratusan jiwa dan hancurnya ratusan rumah dan harta warga Madura. Rekonsiliasi Konflik

Rekrutmen dan Seleksi Pegawai Pemerintah: Sebuah Kajian dari Praktek dan Tren Modern Internasional

Pemerintah di seluruh dunia menghadapi tantangan kepegawaian yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pada saat pemerintah butuh bakat daya pikat paling trampil untuk pelayanan publik, kemampuan mereka untuk melakukannya telah begitu jarang sehingga rumit dan dibatasi oleh ekonomi, sosial dan tekanan organisasi. Artikel ini memberikan gambaran jenis inisiatif rekrutmen dan seleksi di tempat di banyak negara yang dapat membantu pemerintah dunia ini menarik dan mempertahankan bakat. Bergantung pada contoh dari Amerika Serikat dan Eropa Barat, namun juga mengintegrasikan pengalaman dari berbagai negara maju dan kurang berkembang (LDCs), kami menjelaskan serangkaian perekrutan dan seleksi "praktik terbaik." Suasana Penerimaan Peserta Tes CPNS

Bintang dari Manglayang dan Nakhoda Pemerintahan: Sebuah Refleksi Ikrar Pamong yang didedikasikan untuk seluruh Purna Praja STPDN/IPDN di Indonesia

Ksatrian IPDN Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat (Rabu, 28 Agustus 2013) “ Kami Putra-putri Indonesia yang memiliki profesi sebagai Pamong, berjanji: Setia kepada Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 ; Sedia berkorban untuk kepentingan, negara/bangsa dan masyarakat ; Siap melayani dan mengabdi untuk kepentingan masyarakat dimana pun kami bertugas. Kami sadar, ikrar ini didengar oleh Tuhan dan manusia, semoga Tuhan memberikan kekuatan lahir dan batin agar kami dapat melaksanakan ikrar kami ini.” ( Ikrar Pamong ) Bintang Purna Praja kembali bertambah jumlahnya dan bersinar di langit Indonesia. Sesaat setelah pin Purna Praja berwarna kuning keemasan itu disematkan di sebelah kanan dada pakaian kebesaran, suara lantang dari Pamong Praja Muda IPDN Angkatan XX berkumandang di Ksatrian dan seantero Jatinangor. Suara keyakinan dan kesiapan putra-putri Kawah Candradimuka yang menegaskan Ikrar Pamong bagi bangsa dan negara. Saat ikrar itu d