Skip to main content

Review Prof. Dr. Miftah Thoha, MPA : “Birokrasi Pemerintah dan Kekuasaan di Indonesia"”


Tanggapan terhadap BAB 8: PERCAKAPAN IMAJINER DENGAN MAX WEBER
 
Pada bab ini, penulis mendeskripsikan tentang awal mula lahirnya konsep birokrasi melalui percakapan imajiner antara penulis dengan Max Weber. Secara umum, dapat dipahami bahwa penulis berupaya mengilustrasikan konsep Max Weber tersebut dengan kenyataan penerapan birokrasi yang dijalankan pada situasi dan kondisi yang berbeda-beda, seperti di Indonesia.
Menurut pemahaman saya, pada dasarnya Max Weber menciptakan sejenis konsep yang bermaksud untuk mengatur orang-orang pada suatu organisasi dalam menjalankan sebuah pekerjaannya untuk mencapai tujuan tertentu secara rasional dan efisien, serta mampu menampung prinsip-prinsip kehidupan kekinian. Konsep tersebut terlahir sebagai sebuah model “ideal type” yang merupakan konstruksi murni dari sifat-sifat yang menjadi gejala pelaksanaan organisasi. Sifat-sifat yang menonjol dari konsep Weber tersebut antara lain adalah: (1) prinsip kepastian dan diatur oleh hukum yang terkait dengan diferensiasi tugas manajemen pengisian jabatan; (2) prinsip tata jenjang dalam kedinasan dan tingkat kewenangan  agar terjadi kepemimpinan yang melahirkan keserasian kerja, keharmonisan dan rasionalitas; (3) prinsip pengelolaan administrasi yang didasarkan oleh dokumen-dokumen tertulis yang tahan lama dan dalam bentuk yang kuat; (4) prinsip kompetensi dan keahlian khusus para pejabat sesuai pembagian tugas dan fungsi dalam manajemen organisasi; (5) prinsip profesionalitas (impersonal) yang tidak mentolerir hubungan personal yang bersifat pribadi.

Doktrin keliru yang berkembang di birokrasi kita.



Konsep tersebut menurut Weber sangat teridentifikasi dengan jelas pada suatu lembaga organisasi terbesar yang awamnya disebut sebagai pemerintahan. Oleh karena itu, perlu adanya otoritas yang diperhatikan sebagai perangkat operasional pada organisasi yang legitimated. Otoritas tersebut adalah: (1) Otoritas tradisional, yang mewarisi kekuasaan dan kewenangan dari para leluhur atau pengalaman masa lampau, sehingga cenderung tidak berubah dan menciptakan hubungan pribadi yang baik antara atasan dan bawahan; (2) Otoritas kharismatik, yaitu kewenangan atau kekuasaan yang muncul dari kualitas pribadi seseorang semenjak ia lahir dan menciptakan kesetiaan pada pengikutnya, sehingga cenderung revolusioner dan mengabaikan peraturan yang sifatnya formal; (3) Otoritas legal-rasional, yaitu kekuasaan yang memadukan antara konsep tradisional dan kewenangan kharismatik, sehingga suatu peraturan dapat diubah secara rasional dengan tetap menjaga impersonality yang terkendali dan menyesuaikan dengan perubahan lingkungan.
Namun, dalam perkembangan penyelenggaraan organisasi terutama organisasi pemerintahan, sering dijumpai hal-hal yang membutuhkan pendekatan-pendekatan pribadi antara para pelaku birokrasi maupun para birokrat yang melayani dengan masyarakat yang menerima pelayanan. Oleh karena itu, saya sangat sependapat dengan penulis bahwa penyelenggaraan birokrasi di era modern dan serba dinamis harus disertai dengan pendekatan personal tanpa mengabaikan (impersonal). 
Sudah selayaknya Weber dalam tulisan penulis mengemukakan konsep yang bisa berlaku untuk masa depan, walaupun sebagian besar para ilmuwan dari kaum futurologist seperti Waren Bennis menganggap ciri-ciri impersonal tersebut akan membuat konsep Weber tentang birokrasi di masa depan akan menemui akhirnya. Menurut saya, birokrasi mutlak diperlukan dalam terutama dalam perkembangan penyelenggaraan pemerintahan saat ini dengan memadukan konsep personal dan impersonal. Para birokrat yang dipercaya untuk mengelola organisasi dan membangun hubungan dengan publik harusnya adalah birokrat yang dipercaya memiliki keahlian di bidang tugasnya, memahami aturan, mempunyai kemampuan mengendalikan otoritasnya, serta memiliki pengaruh sosial yang baik. Dengan demikian, sikap personal yang secara lahiriah telah terpatri bagi setiap manusia sebagai makhluk sosial dapat tetap terjaga untuk membangun kepercayaan publik terhadap pelayanan yang diberikan tanpa mengabaikan profesionalitas

Comments

Popular posts from this blog

Kebijakan Relokasi Kerusuhan terhadap Korban Pengungsi di Kabupaten Sambas Tahun 1999: Konflik Etnis antara Madura dan Melayu

Internally displaced Persons adalah sebuah istilah bagi para kelompok masyarakat yang pindah dari tempat tinggalnya dan menetap di daerah lain untuk menetap sementara waktu atau hal ini dikenal dengan istilah pengungsi. Sambas adalah sebuah Kabupaten yang terletak di bagian pesisir yang di tempati oleh berbagai suku etnis misalnya suku bugis, madura, jawa batak dll, namun Kabupaten Sambas mayoritas ditempati oleh Melayu, Dayak dan Cina (Tiong Hoa). Khusus tentang konflik Sambas pada tahun 1999 yang terjadi adalah etnis Melayu Sambas dengan suku Madura (yang bertempat tinggal di Sambas) yang menewaskan ratusan jiwa dan hancurnya ratusan rumah dan harta warga Madura. Rekonsiliasi Konflik

KEPALA DESA 9 TAHUN DAN AGENDA REVISI UU DESA

Pada tanggal 15 Januari 2023 yang lalu, UU Desa telah beranjak usia 9 tahun. Dua hari kemudian, 17 Januari 2023, Kepala Desa berdemo di DPR menuntut perubahan masa jabatan Kepala Desa menjadi 9 tahun melalui revisi UU Desa. Ada apa dengan sembilan? Aspirasi bersifat politis ini sah-sah saja dilakukan. Entah dengan motif atau tujuan apa pun, entah didukung oleh elit siapa pun. Boleh saja. Konon lagi, mayoritas meyakini masa jabatan 9 tahun bagi Kepala Desa itu akan semakin membawa maslahat besar, khususnya bagi masyarakat Desa. Sebab itu, jika mengikuti pola pikir mayoritas ini, maka menurut saya ada beberapa tuntutan lain yang perlu untuk disuarakan. Pertama, sebaiknya masa jabatan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) juga dirubah dari 6 tahun menjadi 9 tahun, mengikuti rencana masa jabatan Kepala Desa. Bahkan, lebih cocok lagi bila mekanisme pemilihan Kepala Desa dan BPD diselenggarakan secara serentak dalam waktu yang sama. Harapannya, Kepala Desa dan BPD terpilih mendapat posisi sta...

Cerita seorang Pelaut

Ketika seorang pelaut yang baru pulang dari perjalanannya mengarungi keganasan Samudera Hindia ditanya, ”Manakah yang lebih mengasyikkan, berlayar dengan kapal pesiar di laut yang tenang atau dengan kapal butut di laut yang berombak?”. Maka ia pasti akan menjawab berlayar dengan kapal bututnya di laut yang berombak. Ketika ditanya lagi, ”Manakah yang lebih tangguh antara nelayan yang ahli memancing ikan-ikan besar untuk dimakan atau pelaut yang terombang-ambing di laut dengan cuaca buruk tanpa persediaan makanan dari rumah?”. Maka ia pasti menjawab pelaut yang terombang-ambing tersebut. Memang benar, tidak akan lahir pelaut yang tangguh lewat gelombang-gelombang kecil. Pelaut-pelaut yang tangguh akan lahir lewat gelombang-gelombang yang besar. Sebenarnya, hal ini bukan mengingatkan kita tentang sikap mental baja yang perlu dimiliki. Akan tetapi, bagaimana kebesaran hati seorang pelaut yang mengarungi ganasnya ombak samudera dan bertahan di laut dalam cuaca buruk. Kebesaran hati i...