Skip to main content

Analisis atas Persoalan Buruh dari Perspektif Ekonomi.


Apa persoalannya?

Akhir-akhir ini, buruh melakukan gerakan yang bertujuan menuntut penghapusan sistem outsorcing yang diamanatkan oleh pemerintah untuk dilakukan oleh swasta atau perusahaan. Situasi probematis menurut c.tempo.co tanggal 1 Oktober 2012 yang diakses pada tanggal 10 Oktober 2012 adalah bahwa Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSPSI) Kabupaten Tangerang menuntut pemerintah menghapus sistem kerja outsorcing, penolakan upah murah dan pemberian upah layak lewat revisi UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Alasannya adalah karena buruh menduga pemerintah melakukan pelanggaran HAM terhadap hak-hak buruh.

Buruh berdemo di depan Gedung Sate, Bandung
Mengapa hal tersebut terjadi?

Sebelum membahas lebih lanjut, saya mendasari pengertian awal outsorcing atau alih daya adalah mengalihkan fungsi pekerjaan di perusahaan kepada perusahaan lain yang fokus keahliannya di bidang tersebut (dikutip dari Kompasiana.com tanggal 4 Oktober 2012 yang diakses pada tanggal 10 Oktober 2012). Adapun bidang kerja yang boleh diadidayakan menurut UU No. 13 Tahun 2003 tersebut adalah jenis pekerjaan seperti cleaning service, jasa pengamanan, jasa transportasi, catering,dan jasa tambahan dari pertambangan.

Fungsi Produksi menurut Mankiw (2009: 336) adalah hubungan antara jumlah input digunakan terhadap jumlah output dari barang. Input dalam fungsi produksi adalah faktor produksi diantaranya adalah kapital/modal, teknologi, dan labour (tenaga kerja).

Menurut Boediono (2010: 64), semua fungsi produksi tunduk pada hukum yang disebut The Law of Diminishing Returns yaitu hukum yang menyatakan bahwa bila satu macam input ditambah penggunaannya sedangkan input-input lain tetap maka tambahan output yang dihasilkan dari setiap tembahan satu unit input yang ditambahkan tadi mula-mula menaik, tetapi kemudian seterusnya menurun bila input tersebut terus ditambah.

Produk Marginal menurut Mankiw (2009: 337) adalah kenaikan dalam output yang muncul dari tambahan input. Oleh karena itu, mempedomani konsep-konsep tersebut menurut saya fenomena kasus buruh dapat dijabarkan melalui tiga tahap berikut:
 
  1. Suatu perusahaan memiliki keinginan untuk memproduksi tekstil. Maka, perusahaan harus mempersiapkan faktor-faktor produksi yakni modal, teknologi dan pekerja—dalam hal ini adalah buruh. Pada tahap pertama, perusahaan berupaya menaikkan output atau jumlah tekstil yang dihasilkan dengan buruh sebanyak 20 orang. Berdasarkan jumlah buruh, modal awal yang dimiliki serta teknologi yang digunakan, perusahaan dapat menghasilkan output sejumlah 50 produk tekstil.
  2. Pada tahap kedua, perusahaan berupaya mendapatkan output yang banyak dan keuntungan yang maksimum, sehingga perusahaan berinisiatif menambah jumlah buruh dari 20 orang menjadi 40, 60, 80 hingga 100 orang. Akhirnya, jumlah output yang dihasilkan pada masing-masing penambahan input (buruh) adalah sebesar 80, 110, 130, hingga 140. Produk marginal pada tiap penambahan input justru semakin berkurang. Akan tetapi, pada tahap inilah tindakan perusahaan dianggap rasional karena perusahaan dapat mencapai keuntungan maksimum melalui produk yang dihasilkan.
  3. Pada tahap ketiga perusahaan dihadapkan pada jumlah buruh yang semakin banyak sehingga menurunkan produktivitas. Akibatnya, jumlah kenaikan output yang dihasilkan pun makin lama makin kecil. Pada tahap maksimum, seharusnya perusahaan mulai dapat memutuskan apakah perlu dilakukan penambahan atau pengurangan buruh. Logikanya, apabila perusahaan tetap menambah faktor produksi, maka resikonya adalah keuntungan perusahaan dipastikan menurun karena harus mengupah buruh yang semakin banyak, sementara produk marginal makin kecil. Ketiga tahap tersebut termasuk dalam Hukum Diminishing of Returns.
Berdasarkan analogi tahap-tahap produksi tersebut dimana perusahaan hanya menambah jumlah buruh dan mengabaikan yang lain (modal dan teknologi), maka tabel fungsi produksi sesuai konsep ekonomi dapat dijabarkan sebagai berikut:

Tabel Fungsi Produksi dan Biaya Total Input Perusahaan Tekstil.
Jumlah Buruh
Output
Produk Marginal
Biaya Perusahaan
Upah Buruh
Biaya Total Input
0
0

1.000


20
50
40
1.000
10.000
11.000
40
80
30
1.000
20.000
21.000
60
110
30
1.000
30.000
31.000
80
130
20
1.000
40.000
41.000
100
140
10
1.000
50.000
51.000
Sumber: diilustrasikan berdasarkan Tabel 1 Mankiw (2010: 337)

Menurut saya, jika analogi tersebut dikaitkan dengan konsep ekonomi serta peristiwa yang terjadi tentang buruh saat ini, maka ada dua hal yang dapat disimpulkan yaitu:
 
  1. Menurut perusahaan, sistem outsorcing bagi buruh harus dipertahankan dengan tujuan agar perusahaan tetap berada pada produk marginal yang proporsional dengan jumlah output yang besar. Artinya, dengan sistem outsorcing perusahaan dapat mengendalikan tindakan penambahan atau pengurangan input (buruh) agar produk marginal yang dihasilkan semakin besar dan bukan semakin kecil. Pada kasus lain, perusahaan dapat memperbanyak output dan produk marginal dengan cara mengurangi jumlah buruh dan meningkatkan efisiensi penggunaan teknologi canggih.
  2. Menurut pemerintah, sistem outsorcing harus tetap dipertahankan agar iklim investasi yang berlangsung pada tiap-tiap perusahan berjalan dengan baik dan wajar sehingga memberikan keuntungan maksimum bagi perusahaan. Menurut Mankiw (2009: 333), keuntungan adalah selisih antara jumlah pendapatan yang diterima oleh suatu perusahaan sebagai hasil penjualan ouput dengan nilai pasar dari input (buruh, modal, teknologi) yang digunakan perusahaan untuk melakukan proses produksi.. Apabila perusahaan mendapatkan Total Revenue (Pendapatan) yang maksimum, maka pemerintah melalui pajak juga memperoleh pendapatan yang maksimum. Hal tersebut berdampak baik bagi kelangsungan pembiayaan pembangunan.
  3. Menurut buruh, perusahaan dan pemerintah telah melanggar HAM karena melakukan sistem outsorcing. Buruh merasa telah dieksploitasi oleh pemerintah dan perusahaan dengan sistem PHK, ketiadaan jaminan kesehataan, ketiadaan jaminan kerja, menuntut status kontrak/pegawai tetap, dan menuntut kenaikan upah minimum regional. Masalahnya, apabila perusahaan memperkerjakan buruh dengan sistem kontrak maka dapat dipastikan produk marginal akan semakin kecil karena output yang dihasilkan semakin sedikit, sehingga keuntungan perusahaan juga semakin kecil. Apabila keuntungan perusahaan kecil, maka pendapatan pemerintah dari sektor industri pun juga semakin kecil.

Solusi yang dapat diberikan?

Jika saya sebagai policy maker, maka beberapa alternatif yang dapat menjadi solusi agar buruh dan perusahaan sama-sama senang terhadap sistem outsorcing adalah:
  1. Upah Minimum Regional (UMR) bagi Buruh Outsorcing harus dinaikkan untuk menunjang kesejahteraan buruh.
  2. Menetapkan pajak yang rendah saat perusahaan menyediakan faktor-faktor produksi yang kena Pajak Bea Masuk atau Pajak Pertambahan Nilai, contohnya adalah teknologi, bahan baku, serta sarana kerja lainnya. Dengan demikian, perusahaan mampu mengembangkan input lainnya guna mendapatkan keuntungan yang maksimum.

Comments

Popular posts from this blog

Kebijakan Relokasi Kerusuhan terhadap Korban Pengungsi di Kabupaten Sambas Tahun 1999: Konflik Etnis antara Madura dan Melayu

Internally displaced Persons adalah sebuah istilah bagi para kelompok masyarakat yang pindah dari tempat tinggalnya dan menetap di daerah lain untuk menetap sementara waktu atau hal ini dikenal dengan istilah pengungsi. Sambas adalah sebuah Kabupaten yang terletak di bagian pesisir yang di tempati oleh berbagai suku etnis misalnya suku bugis, madura, jawa batak dll, namun Kabupaten Sambas mayoritas ditempati oleh Melayu, Dayak dan Cina (Tiong Hoa). Khusus tentang konflik Sambas pada tahun 1999 yang terjadi adalah etnis Melayu Sambas dengan suku Madura (yang bertempat tinggal di Sambas) yang menewaskan ratusan jiwa dan hancurnya ratusan rumah dan harta warga Madura. Rekonsiliasi Konflik

Rekrutmen dan Seleksi Pegawai Pemerintah: Sebuah Kajian dari Praktek dan Tren Modern Internasional

Pemerintah di seluruh dunia menghadapi tantangan kepegawaian yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pada saat pemerintah butuh bakat daya pikat paling trampil untuk pelayanan publik, kemampuan mereka untuk melakukannya telah begitu jarang sehingga rumit dan dibatasi oleh ekonomi, sosial dan tekanan organisasi. Artikel ini memberikan gambaran jenis inisiatif rekrutmen dan seleksi di tempat di banyak negara yang dapat membantu pemerintah dunia ini menarik dan mempertahankan bakat. Bergantung pada contoh dari Amerika Serikat dan Eropa Barat, namun juga mengintegrasikan pengalaman dari berbagai negara maju dan kurang berkembang (LDCs), kami menjelaskan serangkaian perekrutan dan seleksi "praktik terbaik." Suasana Penerimaan Peserta Tes CPNS

Bintang dari Manglayang dan Nakhoda Pemerintahan: Sebuah Refleksi Ikrar Pamong yang didedikasikan untuk seluruh Purna Praja STPDN/IPDN di Indonesia

Ksatrian IPDN Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat (Rabu, 28 Agustus 2013) “ Kami Putra-putri Indonesia yang memiliki profesi sebagai Pamong, berjanji: Setia kepada Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 ; Sedia berkorban untuk kepentingan, negara/bangsa dan masyarakat ; Siap melayani dan mengabdi untuk kepentingan masyarakat dimana pun kami bertugas. Kami sadar, ikrar ini didengar oleh Tuhan dan manusia, semoga Tuhan memberikan kekuatan lahir dan batin agar kami dapat melaksanakan ikrar kami ini.” ( Ikrar Pamong ) Bintang Purna Praja kembali bertambah jumlahnya dan bersinar di langit Indonesia. Sesaat setelah pin Purna Praja berwarna kuning keemasan itu disematkan di sebelah kanan dada pakaian kebesaran, suara lantang dari Pamong Praja Muda IPDN Angkatan XX berkumandang di Ksatrian dan seantero Jatinangor. Suara keyakinan dan kesiapan putra-putri Kawah Candradimuka yang menegaskan Ikrar Pamong bagi bangsa dan negara. Saat ikrar itu d