Analisis Pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Menurut Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam Position Paper Saran Pertimbangan terhadap Rancangan Peraturan Presiden tentang Penataan dan Pembinaan Usaha Pasar Modern dan Usaha Toko Modern yang diunduh dari www.kppu.go.id tanggal 10 Oktober 2012, setidaknya ada 2 (dua) persoalan yang mendasar mengenai implementasi UU No. 5 Tahun 1999 oleh pelaku usaha perdagangan eceran dalam hal ini Ritel Modern, yaitu:
- Adanya fenomena tersingkirnya pelaku usaha ritel kecil Indonesia dari pasar karena kemampuan kapital yang terbatas, manajemen pemasaran yang sederhana serta upaya perlindungan dan pemberdayaan yang minim, sehingga kalah bersaing dengan pelaku usaha ritel besar (modern).
- Adanya tekanan terhadap para pemasok kecil barang/produk yang dilakukan oleh pelaku usaha ritel yang memiliki kemampuan kapital yang sangat besar.
Mengapa hal tersebut terjadi?
Persoalan tersebut terjadi karena UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengakomodir dan memberikan kesempatan kepada pelaku usaha untuk melakukan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Oleh karena itu, untuk menjawab kedua persoalan tersebut dapat dikaitkan dengan konsep-konsep ekonomi mikro sebagai berikut:
Persoalan tersebut terjadi karena UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengakomodir dan memberikan kesempatan kepada pelaku usaha untuk melakukan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Oleh karena itu, untuk menjawab kedua persoalan tersebut dapat dikaitkan dengan konsep-konsep ekonomi mikro sebagai berikut:
- Perilaku Konsumen
- Perilaku Produsen
Dengan demikian, mendasari pada 2 (dua) konsep perilaku konsumen dan produsen tersebut, serta berdasarkan fakta di lapangan maka Ritel Modern akan melakukan ekspansi pasar atau perluasan wilayah usahanya dengan cara memperhatikan perilaku konsumen. Ritel Modern layaknya Carrefour, Indomaret, Circle-K, atau Giant cenderung menjual barang-barang impor atau barang-barang yang lebih menunjukkan representasi perilaku konsumen. Oleh karena itu, barang atau produk pada Ritel Modern cenderung lebih murah, kualitasnya baik, keamanan dan kebersihannya terjamin, serta memperhatikan ceteris paribus seperti sisi psikologis konsumen dengan melakukan inovasi-inovasi yang kurang diperhatikan oleh Ritel Tradisional.
Syarat mutlak agar Ritel Modern layaknya Carrefour atau Indomaret mampu melakukan hal tersebut adalah karena ditunjang oleh modal yang besar dari perusahaannya, sehingga mampu menyediakan stok barang melalui produsen secara cepat dan menjualnya dengan praktis, meningkatkan sarana dan prasarana gerai atau perluasan/penyebaran wilayah ritel, serta dapat membiayai inovasi yang menjamin kebersihan, keamanan dan selera konsumen. Akibatnya, ritel tradisional atau pasar tradisional tidak mampu bersaing karena cenderung menjual barang-barang lokal. Selain itu, modal yang dimiliki oleh pasar tradisional untuk mengembangkan usahanya cenderung lebih kecil, sehingga kemampuan manajerial pengelolaan penjualan barang tidak mampu bersaing dengan ritel modern.
Implementasi pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1999 terhadap perkembangan Ritel di dunia pasar justru memberikan kebebasan pagi pelaku usaha ritel dalam melakukan ekspansi pasar, sehingga berpotensi untuk membuat persaingan usaha menjadi tidak sehat. Keberadaan Ritel yang memiliki modal/kapital besar justru semakin kuat dengan salah satu pasal berikut ini:
Pasal 19 huruf (a) menyebutkan bahwa Pelaku Usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan tidak sehat berupa: “menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan”.
Pada penjelasan undang-undang disebutkan bahwa menolak atau menghalangi pelaku usaha tertentu tidak boleh dilakukan dengan cara yang tidak wajar ata dengan alasan non-ekonomi, misalnya karena perbedaan suku, rasa, status sosial , dan lain-lain.
Namun, pada ketentuan umum juga dinilai memiliki arti yang rancu sehingga memungkinkan adanya celah bagi pelaku usaha ritel untuk melakukan diskresi terhadap undang-undang yang secara tidak langsung merugikan pelaku usaha lainnya. Contohnya adalah Ketentuan Umum UU No. 5 Tahun 1999 menjelaskan bahwa Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah persaingan antar pelaku dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau penggunaan jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Dengan demikian, suatu pengusaha Ritel dapat memberikan hambatan yang bersifat subjektif kepada pesaingnya melalui penipuan substansi barang yang dijual, misalnya dengan dengan memberikan diskon hingga harga yang tertera pada label barang sejatinya sama dengan harga pada pasar, sehingga dapat mempengaruhi selera konsumen dan omset pelaku usaha lainnya menjadi menurun.
Pada penjelasan undang-undang disebutkan bahwa menolak atau menghalangi pelaku usaha tertentu tidak boleh dilakukan dengan cara yang tidak wajar ata dengan alasan non-ekonomi, misalnya karena perbedaan suku, rasa, status sosial , dan lain-lain.
Namun, pada ketentuan umum juga dinilai memiliki arti yang rancu sehingga memungkinkan adanya celah bagi pelaku usaha ritel untuk melakukan diskresi terhadap undang-undang yang secara tidak langsung merugikan pelaku usaha lainnya. Contohnya adalah Ketentuan Umum UU No. 5 Tahun 1999 menjelaskan bahwa Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah persaingan antar pelaku dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau penggunaan jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Dengan demikian, suatu pengusaha Ritel dapat memberikan hambatan yang bersifat subjektif kepada pesaingnya melalui penipuan substansi barang yang dijual, misalnya dengan dengan memberikan diskon hingga harga yang tertera pada label barang sejatinya sama dengan harga pada pasar, sehingga dapat mempengaruhi selera konsumen dan omset pelaku usaha lainnya menjadi menurun.
Solusi yang dapat diberikan?
Jika saya sebagai policy maker, maka beberapa alternatif yang dapat menjadi solusi agar implementasi undang-undang menjadi lebih baik adalah:
Jika saya sebagai policy maker, maka beberapa alternatif yang dapat menjadi solusi agar implementasi undang-undang menjadi lebih baik adalah:
- Memperbaiki regulasi dalam tatanan Peraturan Presiden atau Peraturan Daerah yang membatasi penyebaran wilayah ritel agar tidak berdekatan dengan pasar tradisional dengan mendukung infrastruktur yang memudahkan masyarakat untuk mengakses keberadaan ritel beserta kemudahan transaksinya.
- Menetapkan pajak tinggi bagi produk-produk impor berupa pangan yang dijual di ritel, sehingga harganya lebih mahal daripada pasar tradisional. Dengan demikian, pendapatan pemerintah dari pajak dapat digunakan untuk memberdayakan ritel atau pasar tradisional lainnya.
Comments
Post a Comment