Skip to main content

Chapter 1: Rahasia Pengobatan Al-Quran

Kesejukan kota memang menjadi idaman bagi muda-mudi hingga orang tua untuk melajukan sepeda motornya sekedar berkeliling kota menjelang senja turun. Beberapa pengguna mobil juga tak kalah saing. Mereka menghabiskan akhir pekannya bersama keluarga untuk duduk di tepi pantai Batu Putih menyaksikan sunset yang indah. Orang-orang yang berada tak jauh dari pesisir juga cukup berjalan kaki untuk berkumpul bersama menenangkan pikiran menyambut azan maghrib di pinggir warung sambil menyeduh secangkir kopi.
Pantai Batu Putih memang fenomenal. Bagiku, pantai ini menyimpan sejuta kenangan masa kecil yang tak akan tergantikan oleh apapun. Sebenarnya tidak ada keistimewaan yang begitu memukau dari wilayah di sekitar pesisir pantai. Tidak ada taman bermain yang menyediakan permainan-permainan menarik bagi anak kecil. Tidak juga diperindah dengan berbagai macam karya, seperti indahnya pantai Ancol, Loh Sari, Pangandaran, Kuta, Anyer atau beberapa pantai lainnya di Indonesia. Tidak ada olahraga selancar, skiboat, diving, banana boat dan apapun nama yang sejenis itu. Yang ada hanya beberapa nelayan yang bersiap melaut, atau anak-anak lelaki pesisir yang bertelanjang dada menarik pukat untuk mendulang ikan sebagai santapan makan keluarganya nanti malam dan sisanya dijual ke pasar ikan, atau juga beberapa orang yang belum puas mandi sore di rumahnya sendiri kemudian mereka melanjutkan membasahi tubuhnya dengan air laut samudera Hindia sambil sesekali bermain pasir dan mengambil beberapa buah kelapa muda dari pohonnya.
Tugu Kupiah Meuketop Teuku Umar, Batu Putih


Secara historis, pantai ini merupakan saksi perjuangan rakyat Aceh mengusir dan mempertahankan daerahnya dari jajahan Belanda. Pantai Batu Putih adalah bagian dari suak Ujung Kalak, yaitu tempat terakhirnya Teuku Umar bertempur melawan kompeni hingga ia tewas. Sebenarnya, pantai ini dahulunya bernama Ujung Kalak karena pesisirnya menghubungkan antara daerah Batu Putih sekarang dengan Ujung Kalak. Tugu pertama yang dibangun Belanda sebagai penghormatan bagi perjuangan gigih Teuku Umar adalah berada di pantai Ujung Kalak. Namun, karena terjadi abrasi perlahan tugu itupun lenyap bersama pasir pantai Ujung Kalak sehingga mengubah struktur pantai ini agak menjorok ke daratan. Kemudian, pemerintah daerah kami kembali membangun tugu berbentuk Kupiah Meukeutop sebagai simbolisasi kegigihan Teuku Umar mempertahankan keutuhan Aceh dari tangan-tangan keji Belanda. Akhirnya, tugu yang tegap gagah berdiri di pantai barat Meulaboh itu pun kembali hancur tak bersisa dilahap bencana ketika gempa berguncang dan tsunami bergemuruh seantero pesisir Aceh tanggal 26 Desember 2004.
Semenjak kecil, Batu Putih adalah objek wisata mingguan keluarga kami setiap sore. Sinar matahari yang merah temaram sangat indah dipandang mata, menggairahkan setiap insan akan kebesaran Sang Maha Pencipta, keagungan yang tak ternilai harganya. Ketika itu surya mulai menyentuh garis horizon langit dan laut di batas ujung pandanganku pada samudera Hindia. Sinarnya ibarat adegan dalam film-film fiksi yang memberi ketenangan batin bagi orang yang menyaksikan untuk merebahkan tubuh yang lelah, kemudian memberi semangat kehidupan untuk menjalani hari esok dengan hal-hal baru.
Biasanya kami melajukan kendaraan dari rumah sekitar pukul 5 sore. Setibanya di pinggir jalan lokasi pantai, aku dan adikku langsung merangsek dengan girang ke tugu Kupiah Meukeutop itu. Kami berlarian kesana-kemari sambil memberi pose yang bagus bagi ayah untuk memotret tawa kami yang lepas kemudian diabadikan dalam album kenangan masa kecil kami. Setelah puas bermain, seperti biasa kami selalu memesan es kelapa muda dan segera duduk di pinggir pantai, berteriak sekerasnya mengalahkan deru ombak, dan mengabadikan foto berlatar mentari petang. Akhirnya, suara azan maghrib yang lantang menjadi ending wisata rutin kami sore itu. Sungguh suatu konsep alur wisata yang kompleks antara jiwa dan raga, antara lahiriyah dan batiniyah, antara jasmani dan rohani. Kepuasan yang kami rasakan sejak kecil akan selalu teringat hingga tubuh kami sepuh dan ringkih. Aku yakin ibu dan ayah juga merasakan hal yang sama. Mereka pasti senang melihat anak-anaknya tumbuh dewasa, senang memberikan yang terbaik kepada anak-anaknya tentang hal-hal yang sebelumnya tidak pernah mereka rasakan ketika usia belia. Rasa syukur dan terima kasih kepada Allah yang telah melahirkanku dari kedua orang-tua yang luar biasa memperhatikan kami sejak kecil.
Berpose di Pantai Suak Ujung Kalak, Batu Putih

Aku dilahirkan di sebuah keluarga yang sederhana. Ayahku adalah seorang perantau dari pulau Simeulue. Pulau tersebut adalah pulau besar di Aceh yang dikelilingi oleh laut Samudera Hindia dan terletak di selatan kota Meulaboh, sehingga untuk pergi ke sana butuh waktu lebih kurang 12 jam dengan menggunakan kapal fery.
Kampung ayah berada di ibukota Simeulue, yaitu Sinabang. Ayah terlahir pada tahun 1952 dari keluarga yang kurang mapan dalam hal ekonomi. Semenjak kecil, ayah terbiasa membantu orangtuanya menjual sayur ke pasar, berkebun, mencari kayu bakar untuk persiapan menanak nasi, dan mengawasi kail-kail pancing yang ia pasang setiap sore di pinggir pantai Sinabang. Ketika ibunya ayah—nenekku—melahirkan anak yang keempat, keluarga mereka hijrah ke Meulaboh, menetap di sebuah desa dan membeli sebidang tanah berukuran 5x7 meter kemudian membangun rumah disana. Desa itu bernama Suak Indrapuri yang terletak di pesisir pantai Ujung Karang.
Aku ingat pengalaman waktu kecil ketika ayah membawa kami mengunjungi rumah orang-tuanya. Waktu itu pertama kalinya aku mengenali nenek dan adik perempuan kandung ayahku yang kemudian kami sebut mandeh. Mandeh adalah sebutan bagi bibi yang sering digunakan oleh orang-orang Simeulue atau orang-orang Aceh yang berdarah minang.
Hampir setiap minggu kami selalu mengunjungi nenek. Maklum, nenek sudah ditinggal pergi oleh suaminya beberapa tahun sebelum aku lahir. Walaupun mandeh masih tinggal di rumah nenek dan sudah berkeluarga, akan tetapi ia tetap setia melayani perempuan tua yang makin bungkuk tubuhnya itu. Kasih sayang dan curahan jiwanya senantiasa dipersembahkan untuk nenek sebagai budi bakti akan jasa yang tak akan pernah terbalaskan walaupun oleh harta raja diraja di seluruh dunia.
Di rumah nenek, kami senang bermain di kebun belakang rumahnya. Seringkali nenek memberiku belimbing atau mangga yang langsung dipetiknya dari pohon. Jika belimbing dan mangga sedang tidak berbuah, aku senang membaca buku-buku lama yang tersimpan di lemari baju almarhum kakekku. Konon, buku tersebut adalah kitab-kitab kuno dari leluhur kakek yang tetap dijaga dan disimpan hingga saat itu. Kebanyakan buku itu bertuliskan huruf arab gundul yang sama sekali tak mengerti apabila kubaca. Ada juga buku-buku bertuliskan bahasa Indonesia zaman perjuangan yang mengkisahkan sejarah masuknya Islam ke Aceh, perjuangan bangsa Aceh melawan Belanda, kisah-kisah nabi dan rasul, dan rahasia pengobatan melalui al-Quran.
Al-Quran Al-Karim

Aku tertarik melihat buku Rahasia Pengobatan melalui al-Quran tersebut. Bukunya sudah agak modern karena sampulnya bewarna dan kualitas kertasnya bagus. Namun, karena disimpan bersama dengan buku-buku tua lainnya, warna buku itu menjadi kuning dan berdebu. Kutiup debu-debu yang menyelimuti buku itu. Kemudian, kutatap penuh takzim huruf-huruf arab yang membentuk rangkaian lingkaran bertuliskan “al-Quranul Karim”. Huruf-hurufnya dihiasi warna emas kekuning-kuningan sehingga terlihat bersinar seumpama lampu sorot dari mobil. Sampulnya merah dan dominasi hijau, seakan menggambarkan betapa sakti dan mujarabnya ayat-ayat ilahi dalam menyembuhkan segala macam penyakit yang diderita oleh umat manusia di muka bumi ini.
Nama penulisnya tidak kelihatan lagi, entah kenapa. Sepertinya ada yang mencoret nama tersebut karena terlihat goresan pena hitam dan tebal yang aneh menutupi sederet huruf. Tapi, aku yakin penulisnya pasti telah mafhum betul tentang al-Quran dan Hadits. Atau, mungkin juga dia seseorang yang seumur hidupnya senantiasa sehat wal afiat hingga ajal menjemput karena telah lekat-lekat mengilmukan dan mengamalkan doa-doa penyembuh penyakit sekaligus penolak bala tersebut. Bisa jadi beliau tidak pernah sekalipun menginjakkan kakinya di Puskesmas, rumah sakit umum di daerahnya, praktek-praktek dokter yang sedang magang, dan pelayanan kesehatan lainnya. Mungkin saja dia tidak pernah merasakan stetoskop yang yang ditempelkan dokter di dadanya untuk mendengar denyut jantungnya, atau tidak pernah mengenal jarum suntik, antibiotik, obat sembelit, infus dan donor darah, obat sirup dan bubuk, sampai dikompres dengan kain hangat ketika demam. Sungguh hebat ayat al-Quran.
Aku minta izin kepada nenek untuk membawa pulang buku itu. Seketika itu juga wajah nenek berubah heran seakan tidak percaya aku yang masih duduk di kelas 3 SD waktu itu berminat membaca buku-buku seperti itu. Ayah juga heran dan hanya tersenyum sinis kepadaku.
Akhirnya kami pulang. Sore itu kami tidak berbelok menuju Batu Putih seperti yang kami lakukan tiap sore. Motor dinas ayah, Suzuki, berderu-deru suaranya mengejar waktu maghrib agar cepat tiba di rumah. Awan-awan hitam yang telah bergumul sejak siang perlahan menumpahkan isinya. Hujan gerimis, angin kencang dan suara guntur yang bersahut-sahutan di tengah perjalanan kami seakan mengisyaratkan bagi seluruh warga Meulaboh seraya berseru: tetaplah di rumah malam ini karena hujanku akan deras dan lama.
Sesampainya di rumah, ibu segera menyambut kami dengan handuk dan menyuruhku untuk mandi. Hal ini sudah menjadi kebiasaan dalam keluarga kami, terutama ibu yang ngotot memaksa kami untuk mandi jika kehujanan walaupun sebelumnya kami sudah mandi. Aku menunda perintah ibu, karena aku khawatir buku Rahasia Pengobatan melalui al-Quran yang dari tadi kusimpan di balik bajuku basah kena hujan. Ternyata benar. Cepat-cepat kunyalakan kipas angin dengan level nomor satu untuk mengeringkannya. Namun, ibu malah jengkel melihat sikapku yang tak menghiraukan perintahnya. Dengan menerima pasrah pukulan kecil di punggungku, aku buru-buru menyambar handuk dan mandi.

Comments

Popular posts from this blog

Kebijakan Relokasi Kerusuhan terhadap Korban Pengungsi di Kabupaten Sambas Tahun 1999: Konflik Etnis antara Madura dan Melayu

Internally displaced Persons adalah sebuah istilah bagi para kelompok masyarakat yang pindah dari tempat tinggalnya dan menetap di daerah lain untuk menetap sementara waktu atau hal ini dikenal dengan istilah pengungsi. Sambas adalah sebuah Kabupaten yang terletak di bagian pesisir yang di tempati oleh berbagai suku etnis misalnya suku bugis, madura, jawa batak dll, namun Kabupaten Sambas mayoritas ditempati oleh Melayu, Dayak dan Cina (Tiong Hoa). Khusus tentang konflik Sambas pada tahun 1999 yang terjadi adalah etnis Melayu Sambas dengan suku Madura (yang bertempat tinggal di Sambas) yang menewaskan ratusan jiwa dan hancurnya ratusan rumah dan harta warga Madura. Rekonsiliasi Konflik

KEPALA DESA 9 TAHUN DAN AGENDA REVISI UU DESA

Pada tanggal 15 Januari 2023 yang lalu, UU Desa telah beranjak usia 9 tahun. Dua hari kemudian, 17 Januari 2023, Kepala Desa berdemo di DPR menuntut perubahan masa jabatan Kepala Desa menjadi 9 tahun melalui revisi UU Desa. Ada apa dengan sembilan? Aspirasi bersifat politis ini sah-sah saja dilakukan. Entah dengan motif atau tujuan apa pun, entah didukung oleh elit siapa pun. Boleh saja. Konon lagi, mayoritas meyakini masa jabatan 9 tahun bagi Kepala Desa itu akan semakin membawa maslahat besar, khususnya bagi masyarakat Desa. Sebab itu, jika mengikuti pola pikir mayoritas ini, maka menurut saya ada beberapa tuntutan lain yang perlu untuk disuarakan. Pertama, sebaiknya masa jabatan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) juga dirubah dari 6 tahun menjadi 9 tahun, mengikuti rencana masa jabatan Kepala Desa. Bahkan, lebih cocok lagi bila mekanisme pemilihan Kepala Desa dan BPD diselenggarakan secara serentak dalam waktu yang sama. Harapannya, Kepala Desa dan BPD terpilih mendapat posisi sta...

Cerita seorang Pelaut

Ketika seorang pelaut yang baru pulang dari perjalanannya mengarungi keganasan Samudera Hindia ditanya, ”Manakah yang lebih mengasyikkan, berlayar dengan kapal pesiar di laut yang tenang atau dengan kapal butut di laut yang berombak?”. Maka ia pasti akan menjawab berlayar dengan kapal bututnya di laut yang berombak. Ketika ditanya lagi, ”Manakah yang lebih tangguh antara nelayan yang ahli memancing ikan-ikan besar untuk dimakan atau pelaut yang terombang-ambing di laut dengan cuaca buruk tanpa persediaan makanan dari rumah?”. Maka ia pasti menjawab pelaut yang terombang-ambing tersebut. Memang benar, tidak akan lahir pelaut yang tangguh lewat gelombang-gelombang kecil. Pelaut-pelaut yang tangguh akan lahir lewat gelombang-gelombang yang besar. Sebenarnya, hal ini bukan mengingatkan kita tentang sikap mental baja yang perlu dimiliki. Akan tetapi, bagaimana kebesaran hati seorang pelaut yang mengarungi ganasnya ombak samudera dan bertahan di laut dalam cuaca buruk. Kebesaran hati i...