Skip to main content

Chapter 2: Dua Puluh Sembilan Februari

Begitulah kehidupan keluarga kami saat itu, saat kami baru pindah ke rumah yang baru di sebuah lorong sempit bernama Abuid dengan formasi rumah-rumah warganya yang rapat satu sama lain. Saat-saat bahagia menunggu kelahiran adikku yang ketiga. Saat-saat aku menyongsong naik ke kelas 4 dan mempersembahkan kembali peringkat 1 kepada orang-tuaku yang telah tiga kali kupertahankan dalam setiap caturwulan.
Aku dilahirkan di Banda Aceh. Ibu bertaruh dengan maut saat mati-matian berjuang mendesakku keluar dari rahimnya di rumah sakit umum Zainal Abidin. Darah, peluh dan haru berbaur menjadi takbir, tasbih, dan tahmid yang dihaturkan ibu dan ayah bagi Tuhan Seru Sekalian Alam. Kata ayah, ibu dulu bersikeras menahanku untuk tinggal sehari lagi di dalam perutnya karena ia telah memilih tanggal yang tepat bagi anak pertamanya itu untuk lahir ke dunia. Tanggal lahir yang hanya ada satu kali dalam empat tahun. Tanggal yang akan aku ingat seumur hidupku selama berjalan mengikis waktu, mewarnai duniaku, menjemput takdir.
Aku juga heran mengapa aku lahir tanggal 29 Februari pagi itu. Setelah duduk di bangku SD dan mempelajari pengetahuan umum, aku baru tahu bahwa 29 Februari hanya ada sekali dalam empat tahun sehingga disebut sebagai tahun kabisat. Tanggal tersebut menambah jumlah hari dalam setahun, yakni menjadi 366 hari.
29 Februari


Cerita kali ini adalah tentang beberapa keistimewaan yang terjadi pada waktu itu. Tahun 1996 yang lalu, adalah tahun istimewa bagiku. Tahun kabisat itu menjadi hadiah ulang-tahunku yang paling berharga, yaitu pindah rumah. Ya, keiistimewaan pertama: pindah rumah ke rumah baru. Dulu kami kami mengontrak rumah di jalan Gajah Mada. Rumah tersebut berlokasi persis di samping Kantor Bupati Aceh Barat. Lokasinya mirip sebuah komplek perumahan yang berimpit-impitan satu sama lain. Rumah-rumah di sepanjang jalan Gajah Mada termasuk rumah kami saat itu dimiliki oleh seorang wanita konglomerat Meulaboh bernama Abik Mi.
Rumah kami dulu bersebelahan dengan rumah seorang warga Cina. Aku dan adikku sangat akrab bersama dua putra orang-tua bermata sipit itu. Anak mereka bernama Willy dan Jimmy. Namanya seperti nama orang barat, prilakunya juga sangat ramah dan bersahabat.
Orang-orang Cina di Meulaboh sangat banyak jumlahnya. Mereka beranak-pinak dan mengabadikan jasadnya di tempat peristirahatan terakhir di Meulaboh. Bahkan ada juga Tionghoa yang rela disunat dan bersyahadat masuk Islam hanya sekedar untuk meminang dara Aceh. Jika mereka sedang untung besar, seluruh sanak-saudara, karib- kerabat, pelanggan setia toko-toko mereka, hingga tetangga-tetangga yang beradius 400 meter dari rumahnya pun diundang untuk diajak pesta bersama. Kebiasaan mereka jika sedang kaya adalah memakai kutang yang sudah robek-robek di bagian punggung dan perutnya, serta memakai celana pendek motif bunga. Ketika persiapan pesta dilaksanakan, mereka jarang sekali memanggang daging babi sebagaimana orang-orang Cina pada umumnya. Mereka sangat menghormati adat-istiadat serta mayoritas muslim masyarakat Aceh. Selain itu, alasan klasik lainnya adalah karena babi sangat susah untuk didapatkan di hutan-hutan sekitar Meulaboh. Biasanya nasib sang babi naas bertemu orang Aceh. Babi-babi itu dibunuh, dibakar, kemudian dikubur. Babi adalah hewan langka yang ada di Meulaboh dan juga hampir di seluruh daerah di Aceh.
Namun sebaliknya, apabila mereka tengah mendapat musibah, rugi besar, barang dagangannya tidak laku, mereka justru terbawa suasana. Sehingga, tak jarang aku melihat orang Cina yang membawa permasalahan pekerjaan—misalnya—kepada keluarganya sendiri, pelanggan setianya, atau karyawannnya. Pernah kulihat satu kali, tetanggaku yang Cina itu berseteru tengah malam di dalam rumahnya, sampai suara nyaring mereka seperti orang yang akan mati tenggelam itu bisa didengar oleh anjing yang berada di Kantor Bupati yang terletak 300 meter dari rumah kami. Permasalahannya sepele, karena suaminya telat pulang malam. Sang istri—cerita ibuku—mengunci pintu dan jendela rumahnya rapat-rapat, kemudian memasang perangkap untuk mencelakakan suaminya berupa air panas di dalam teko yang diletakkannya di atas palang pintu depan rumahnya. Ketika suaminya pulang, ia menyadari kemarahan istrinya. Kemudian ia menendang pintu rumah sekeras-kerasnya hingga jebol. Sayangnya, upaya sang istri tidak berjalan mulus karena posisi teko yang dipasang dapat langsung diketahui oleh suaminya karena terlihat dari luar rumah. Esoknya kudengar mereka telah akur kembali. Mereka minta maaf ke semua tetangga, terutama keluarga kami. Sebagai permintaan maafnya, mereka mengajak kami sekeluarga berjalan-jalan ke Batu Putih dengan mobil L300 Mitsubishi-nya. Demikianlah budaya mereka: sangat fenomenal, dramatis, fantastis, konyol, habis-habisan, heboh. Kami senang menjadi tetangganya.
Tapi pada tahun 1996 itu—kuulangi lagi—kami kehilangan tetangga sebaik mereka. Di rumah baru kami di Drien Rampak, kami menyesuaikan dengan situasi yang ada di tempat itu. Lorong Abuid namanya. Sebuah gang yang juga terletak di Jalan Gajah Mada. Tanah rumah kami dibeli ayah dari seorang dosen Akademi Perawatan dan pegawai pelayanan kesehatan di RSU Cut Nyak Dien, Pak Ubaidillah. Rumah beliau persis di depan rumah kami.
Keiistimewaan kedua adalah, untuk kesekian kalinya secara sederhana aku merayakan ulang-tahunku bersama adikku di rumah kontrakan tersebut. Untuk sementara dalam beberapa hari, kami harus bersabar pindah rumah karena listrik di rumah baru itu belum dipasang. Momen itu kami manfaatkan sebagai momen perpisahan dan berpamitan dengan tetangga-tetangga kami. Mereka layaknya keluarga berbeda kamar yang sangat dekat dengan kami, membantu kami ketika dalam kesusahan, tidak sungkan membagi-bagikan hartanya ketika mendapatkan rezeki. Tetangga kami layaknya saudara sendiri.
Aku dan adikku senang bukan kepalang ketika menerima kado-kado yang berjubel memenuhi kamar kecil kami. Kado ulang-tahun yang diberikan itu beragam bentuknya. Mulai dari kado kecil berupa sebungkus persegi panjang yang kutaksir berisi sebatang coklat Silverqueen, hingga kado kira-kira sebesar televisi 21 inch yang kutaksir berisi sirkuit mainan mobil tamiya 4WD. Ternyata, ketika kado paling besar itu dibuka aku terperanjat karena isinya bukan seperti yang kuduga. Kado itu terdiri dari tabung-tabung seukuran kaleng susu Dancow besar. Menyusul kemudian tabung-tabung lainnya yang lebih besar. Tabung-tabung itu memiliki plastik tebal di bagian atasnya yang dipasang menggunakan baut-baut pada tiap sisi-sisinya. Tiap tabung juga dilengkapi dengan tiang-tiang penyangga agar dia dapat berdiri. Belum habis aku terpana oleh tabung-tabung aneh itu, aku dikejutkan oleh dua buah piringan warna kuning keemasan yang berbeda besarnya. Suaranya berdenting-denting ketika dikeluarkan dari kotak kado. Piringan itu mirip kuali atau tempat penggorengan yang ibu gunakan untuk memasak, namun bentuknya lebih pipih dan salah satu piringan memiliki tonjolan di pusatnya. Piringan-piringan itu juga dilengkapi dengan tiang penyangga. Saat aku masih bertanya-tanya, ayah menyuruhku untuk mengambil satu barang lagi yang tersisa di dalam kotak. Kata ayah, jika melihat barang tersebut, maka aku akan tahu hadiah apa yang baru saja aku lihat itu.
Dengan penasaran, aku melongok ke dalam kotak. Ada sebuah kantongan plastik putih panjang yang dilingkari dengan selotip. Segera kuraih dan kubawa ke atas. Kuperlihatkan kepada semua orang dengan bangga seperti seorang petualang yang berhasil mendapatkan harta karun yang tak ternilai harganya. Sepasang stik kayu kira-kira sepanjang 40 cm itu tidak asing lagi bagiku. Dan aku mulai menyadari bahwa tabung-tabung aneh dan piringan mirip kuali penggorengan itu adalah sebuah alat musik terpenting bagi kelompok musik yang disebut band. Alat musik pukul yang menjadi inspirasiku ketika melihat Om Adek—pamanku—adik kandung ibuku yang lihai menabuh senar, floor, bass, dan cymbal mengikuti irama lagu yang dimainkan oleh teman-temannya. Kado itu menjadi hadiah istimewa bagiku sebelum pindah rumah. Sejadi-jadinya aku berteriak melepaskan bahagia dan penasaran yang terpendam lama sejak tadi: Drum!
Bersama Om Adek

Novrizal Mourny—biasanya dipanggil Adek—putra bungsu orang-tua ibuku itu baru saja berangkat ke Kediri untuk mengikuti ajang lomba musik rock tergengsi yang diadakan setiap tahun di Indonesia. Log Zhelebour—kalau tidak salah begitu sebutannya—merupakan event musik yang mempertemukan band-band beraliran rock dari seluruh propinsi di Indonesia. Mereka mengikuti seleksi yang diselenggarakan mulai dari seleksi tingkat kabupaten atau kota sampai seleksi tingkat propinsi. Band yang memiliki kualitas musik paling mantap, menampilkan performa yang maksimal, mampu mengolah dan mengimprovisasi lagu dengan baik, dan yang terpenting adalah dapat memikat hati penonton dan dewan juri akan melaju ke seleksi akhir pada tingkat nasional.
Begitulah kira-kira gambaran yang aku ketahui ketika masih kecil.
Kami memanggilnya Om Adek. Hampir di setiap acara pernikahan, acara perpisahan sekolah-sekolah, festival dan parade band, serta acara-acara lainnya ia selalu hadir sebagai drumer. Permainan drumnya tidak perlu diragukan lagi. Jenis musik apapun—rock, jazz, funk, heavy metal, progresive atau hardcore—dapat ia mainkan dengan baik. Penampilannya sederhana, tidak terlalu gondrong namun seluruh lekuk tubuhnya dari ujung rambut sampai ujung kaki menegaskan bahwa dia adalah drumer rock sejati. Tabuhan drumnya energik menyerupai Matt Sorum-nya Guns N’ Roses, penampilannya gokil seperti Mike Portnoy-nya Dream Theatre, emosinya selaras dengan warna musik yang dimainkan layaknya Andrea Vadrucci dan Travis. Dialah sosok drumer yang pertama kali kukenal sewaktu umurku masih 8 tahun dari drumer band manapun di Indonesia dan di dunia. Om Adek menjadi sumber inspirasiku hingga aku dewasa.
Seingatku Om Adek sempat lolos ke ajang Log Zhelebour itu. Tahun 1996 di Kediri, seluruh grup band dari seluruh provinsi di Indonesia adu gengsi sesama saingannya. Om Adek mewakili Aceh bersama grup bandnya. Dan lebih hebatnya lagi, ia terpilih menjadi drumer terbaik pada saat itu diantara drumer lainnya. Sungguh suatu anugerah besar buat dirinya juga keluarga kami. Om Adek juga langsung membentuk grup band baru bersama the best player dari pemenang Log Zhelebour itu. Bandnya bernama Blue Band. Gokil ya, tapi musiknya benar-benar memacu adrenalin dan jiwa-jiwa rocker yang mendengarnya, terutama kaum hawa yang terpesona dengan vokal rock sang vokalis band itu. Tak kalah hebohnya lagi, Om Adek dikabarkan menikah dengan vokalis grup bandnya sendiri. Tante Ririn namanya. Setelah itu, hampir beberapa tahun aku tidak mendengar kabar mereka berdua lagi. Mungkin mereka sibuk mengolah musik, membuat album baru, booming di Hard Rock Cafe, mengikuti jadwal konser yang kian padat, atau sibuk memberikan tanda-tangan kepada fans Blue Band yang berjubel di depan mereka, atau juga mereka sedang berbulan madu dan liburan keliling Indonesia. Senangnya menjadi pemain band yang profesional seperti Om Adek.
Aku tidak tahu mengapa aku begitu menyukai drum. Padahal aku tidak pernah sedikitpun mempelajarinya secara mendalam, baik otodidak maupun diajarkan oleh orang lain. Pada awalnya, dari kecil aku hanya tekun bermain keyboard dan dibimbing oleh ayahku. Saat SMA, permainan keyboardku mulai berkembang dengan mengenal sebutan-sebutan chord, metronome, dan harmony. Namun, hal tersebut tidak berkembang maksimal karena aku mulai dekat dengan drum ketika SMA. Ya, ketika suatu hari sekolah kami diberikan bantuan berupa alat musik lengkap—gitar, bass, mixing, drum, dan keyboard—oleh organisasi palang merah Swiss. Walaupun tidak terlalu bagus, namun alat musik itu mengasah kemampuan dan bakat terpendam kami semua sehingga diam-diam akupun mulai beranjak ke dunia musik, mendalami drum tanpa seorang pun yang mengajariku alias otodidak, dan tampil bersama dengan teman-teman yang lain dalam sebuah ajang parade band di Meulaboh. Sungguh suatu kebanggaan dan proses pembelajaran yang baik dalam hidupku. Drum itu telah menjadi inspirasi bagiku. Bagiku dia adalah 29 Februari. Bukan Pearl, Tama, DW, Sabian, Sonor, atau Ludwig. Dialah 0229 Drum.

Semuanya berawal dari dua puluh sembilan Februari. Dari sekian puluh tahun yang kulalui hingga sekarang, dua puluh sembilan Februari menyimpan berbagai kenangan manis dan pahit yang berpadu dalam setiap jalan yang kutapaki. Dua puluh sembilan Februari itu menggoreskan berbait-bait puisi cinta, tawa canda, perjuangan, luka dan kesedihan. Nanti akan kuceritakan kepadamu tentang bait-bait puisi itu.

Comments

Popular posts from this blog

Kebijakan Relokasi Kerusuhan terhadap Korban Pengungsi di Kabupaten Sambas Tahun 1999: Konflik Etnis antara Madura dan Melayu

Internally displaced Persons adalah sebuah istilah bagi para kelompok masyarakat yang pindah dari tempat tinggalnya dan menetap di daerah lain untuk menetap sementara waktu atau hal ini dikenal dengan istilah pengungsi. Sambas adalah sebuah Kabupaten yang terletak di bagian pesisir yang di tempati oleh berbagai suku etnis misalnya suku bugis, madura, jawa batak dll, namun Kabupaten Sambas mayoritas ditempati oleh Melayu, Dayak dan Cina (Tiong Hoa). Khusus tentang konflik Sambas pada tahun 1999 yang terjadi adalah etnis Melayu Sambas dengan suku Madura (yang bertempat tinggal di Sambas) yang menewaskan ratusan jiwa dan hancurnya ratusan rumah dan harta warga Madura. Rekonsiliasi Konflik

KEPALA DESA 9 TAHUN DAN AGENDA REVISI UU DESA

Pada tanggal 15 Januari 2023 yang lalu, UU Desa telah beranjak usia 9 tahun. Dua hari kemudian, 17 Januari 2023, Kepala Desa berdemo di DPR menuntut perubahan masa jabatan Kepala Desa menjadi 9 tahun melalui revisi UU Desa. Ada apa dengan sembilan? Aspirasi bersifat politis ini sah-sah saja dilakukan. Entah dengan motif atau tujuan apa pun, entah didukung oleh elit siapa pun. Boleh saja. Konon lagi, mayoritas meyakini masa jabatan 9 tahun bagi Kepala Desa itu akan semakin membawa maslahat besar, khususnya bagi masyarakat Desa. Sebab itu, jika mengikuti pola pikir mayoritas ini, maka menurut saya ada beberapa tuntutan lain yang perlu untuk disuarakan. Pertama, sebaiknya masa jabatan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) juga dirubah dari 6 tahun menjadi 9 tahun, mengikuti rencana masa jabatan Kepala Desa. Bahkan, lebih cocok lagi bila mekanisme pemilihan Kepala Desa dan BPD diselenggarakan secara serentak dalam waktu yang sama. Harapannya, Kepala Desa dan BPD terpilih mendapat posisi sta...

Cerita seorang Pelaut

Ketika seorang pelaut yang baru pulang dari perjalanannya mengarungi keganasan Samudera Hindia ditanya, ”Manakah yang lebih mengasyikkan, berlayar dengan kapal pesiar di laut yang tenang atau dengan kapal butut di laut yang berombak?”. Maka ia pasti akan menjawab berlayar dengan kapal bututnya di laut yang berombak. Ketika ditanya lagi, ”Manakah yang lebih tangguh antara nelayan yang ahli memancing ikan-ikan besar untuk dimakan atau pelaut yang terombang-ambing di laut dengan cuaca buruk tanpa persediaan makanan dari rumah?”. Maka ia pasti menjawab pelaut yang terombang-ambing tersebut. Memang benar, tidak akan lahir pelaut yang tangguh lewat gelombang-gelombang kecil. Pelaut-pelaut yang tangguh akan lahir lewat gelombang-gelombang yang besar. Sebenarnya, hal ini bukan mengingatkan kita tentang sikap mental baja yang perlu dimiliki. Akan tetapi, bagaimana kebesaran hati seorang pelaut yang mengarungi ganasnya ombak samudera dan bertahan di laut dalam cuaca buruk. Kebesaran hati i...