Pendahuluan
Paper ini akan membahas
tentang perkembangan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Sabang dalam
memajukan perekonomian. Sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat, Sabang telah
ditetapkan kembali sebagai kawasan strategis nasional yang ditingkatkan menjadi
kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. Secara umum, tujuannya tentu
saja untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi sumber daya alam Sabang baik
untuk kepentingan lokal, nasional maupun internasional. Sabang pun dibangkitkan
kembali sebagai kawasan ekonomi global yang memiliki keistimewaan layaknya
Batam, Bintan dan Karimun.
Pelabuhan Bebas Sabang |
Pada umumnya, kawasan
perdagangan bebas dan pelabuhan bebas memiliki keistimewaan tersendiri untuk
mengembangkan usaha-usahanya yang awamnya dilakukan secara terbuka dan bebas
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, sehingga adanya hubungan secara
internasional yang terbentuk di wilayah tersebut oleh para pelaku usaha yang
melakukan perdagangan baik impor maupun ekspor. Dalam hal ini, Sabang dipandang
sebagai kawasan strategis yang secara historis memiliki rekam jejak kesuksesan
perekonomian internasional melalui perdagangan bebas dan pelabuhan bebas sejak
era orde baru, hingga akhirnya status itu dicabut dengan UU No. 10 Tahun 1985
tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1970 tentang Pembentukan Daerah
Perdagangan Bebas dengan Pelabuhan Bebas Sabang.
Akhir-akhir ini,
mencuat berbagai isu yang berkembang secara kontradiktif terhadap penetapan
kembali status Sabang tersebut melalui UU No. 37 Tahun 2000. Hal ini
dilatar-belakangi oleh pesimisme terhadap minimnya kontribusi dari institusi
terkait, contohnya Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) yang belum
memperlihatkan perubahan mendasar bagi pertumbuhan ekonomi[1]. Namun, optimisme dunia internasional pun
terlihat lewat kajian dalam Forum Ekonomi Aceh Jepang yang mendukung urgensi
status Sabang sebagai “lokomotif” ekonomi bagi pengembangan ekonomi dan
pariwisata Aceh dan wilayah barat Indonesia[2]
Dengan demikian, perlu
kiranya bagi penulis untuk mendeskripsikan dan menganalisa perkembangan
perdagangan bebas dan pelabuhan bebas di Sabang menurut perspektif dan kaidah-kaidah
ilmu ekonomi untuk kebijakan publik. Berdasarkan fenomena tersebut, setidaknya
ada 2 (dua) isu penting yang diangkat dalam paper ini. Pertama, peran perdagangan bebas dan pelabuhan bebas dalam mempengaruhi
kesejahteraan ekonomi pada tingkat lokal, nasional maupun global. Kedua, upaya yang dilakukan oleh
pemerintah untuk mengembangkan kawasan Sabang dengan baik.
Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas: Aplikasi Perdagangan Internasional
Sejarah Singkat
Perkembangan Kawasan Sabang
Secara historis, Sabang
telah menjadi pusat perdagangan dan persinggahan sejak zaman kolonial Belanda.
Sumber website Pemerintah Kota Sabang[3]
menerangkan bahwa pada tahun 1896, Sabang dibuka
sebagai pelabuhan bebas (vrij haven)
untuk perdagangan umum dan sebagai pelabuhan transito barang-barang terutama
dari hasil pertanian Deli yang telah menjadi daerah perkebunan tembakau
semenjak tahun 1863 dan hasil perkebunan berupa lada, pinang, dan kopra dari
Aceh sendiri, sehingga Sabang mulai dikenal oleh lalu lintas perdagangan dan
pelayaran dunia. Nilai historik ini menjadi dasar bagi pemerintah orde baru
untuk menetapkan status Sabang menjadi daerah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan
Bebas pada tahun 1970.
Namun,
pada tahun 1985 pemerintah mengeluarkan UU No. 10 Tahun 1985 tentang Pencabutan
UU No. 4 Tahun 1970 tentang Pembentukan Daerah Perdagangan Bebas dengan
Pelabuhan Bebas di Sabang. Kebijakan menutup status Sabang tersebut alasannya
adalah karena maraknya penyelundupan dan dibukanya Batam sebagai kawasan
perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. Selain itu, pengembangan kawasan Sabang
saat itu tidak ditunjang dengan alokasi anggaran dari APBN untuk membangun
saranan dan prasarana sehingga perkembangan Sabang tidak seperti yang
diharapkan[4].
Seiring
perkembangan perekonomian di Indonesia, pemerintah pusat menetapkan kembali
Sabang sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas melalui Perpu No.
2 Tahun 2000 yang telah ditetapkan menjadi UU No, 37 Tahun 2000. Dalam
ketentuan umumnya, Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang yang
selanjutnya disebut Kawasan Sabang adalah suatu kawasan yang berada di dalam
wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari daerah
pabea sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, pajak pertambahan nilai, pajak
penjualan atas barang mewah dan cukai[5].
Langkah-langkah
kebijakan pemerintah terhadap keberadaan kawasan Sabang mulai menguat setelah
UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh memandang pembentukan kawasan
Sabang sebagai rangkaian dari upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Aceh, dan menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di kawasan Aceh
serta modal bagi percepatan pembangunan daerah lain[6].
Konsep Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas
Konsep perdagangan
bebas dan pelabuhan bebas sebenarnya merupakan penerapan konsep perdagangan
internasional negara-negara yang terlibat dalam perekonomian terbuka. Menurut
Mankiw (2007: 112), sebagian perekonomian dunia adalah perekonomian terbuka,
yaitu mengekspor barang dan jasa ke luar negeri, mengimpor barang dan jasa dari
luar negeri, serta meminjam dan memberi pinjaman pada pasar modal dunia.
Asumsinya, suatu negara baik negara maju maupun negara berkembang dipastikan
memiliki hubungan internasional satu sama lain sehingga menciptakan peluang
untuk melakukan perekonomian secara terbuka.
Bagi negara dunia
ketiga atau negara berkembang seperti Indonesia, kampanye perdagangan bebas
berhasil mempengaruhi para elit penguasa untuk membuka perekonomian negara ke
dunia internasional, terutama bagi negara-negara maju yang memiliki potensi untuk
membantu upaya pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Dasar
pelaksanaan perdagangan bebas di negara berkembang seperti Indonesia ini
menurut David Ricardo dalam Winarno (2011: 36) adalah teori keuntungan
komparatif, yaitu teori yang menyarankan agar suatu negara mengkhususkan diri
untuk memproduksi barang-barang yang mempunyai ongkos paling rendah
dibandingkan dengan negara lain berdasarkan keuntungan komparatif yang
dimilikinya. Mankiw (2009: 64) juga mengasumsikan, bahwa saat setiap orang mengkhususkan
diri dalam memproduksi barang yang ia miliki keunggulan komparatifnya, total
produksi dalam perekonomian meningkat dan peningkatan dalam ukuran perekonomian
ini dapat digunakan untuk memperbaiki keadaan setiap orang.
Atas dasar tersebut,
Indonesia mulai beradaptasi dan memberikan ruang bagi potensi strategis dalam
negeri melalui tinjauan perencanaan wilayah dan tata ruang agar dapat
memaksimalkan aplikasi perdagangan bebas dan pelabuhan bebas di mata dunia
internasional. Sabang merupakan salah satu contoh kawasan perekonomian terbuka
yang kini telah ditingkatkan statusnya menjadi kawasan perdagangan bebas dan
pelabuhan bebas.
Dalam aplikasi
perdagangan bebas, tujuan terpentingnya adalah menurunkan hambatan (tarif atau
non tarif) yang masuk dan keluar dari Sabangsehingga produktifitas bisnis dalam
kawasan Sabang meningkat, sebagaimana asumsi yang dibangun oleh Mankiw. Oleh
karena itu, menurut Nugroho dan Dahuri (2012: 98) setidaknya ada tiga peraturan
penting yang menjadi kunci penting bagi keberhasilan aplikasi perdagangan bebas
tersebut yaitu (1) dalam produksi
komoditi untuk konsumsi lokal, pembelian komponen impor dari luar kawasan
diberi kemudahan mekanisme pembayarannya; (2) proses produksi yang komponennya
diimpor dan produksinya diekspor dibebaskan dari tarif; dan (3) mekanisme pajak
hendaknya lebih dikenakan terhadap barang produk yang diimpor dibanding barang
yang dibuat di dalam kawasan.
Sejalan dengan pendapat
tersebut, apabila dianalogikan dengan keuntungan komparatif maka menurut
Hecksher dan Ohlin dalam Winarno (2011: 37) mengemukakan bahwa keuntungan
komparatif suatu negara akan meningkat sebagai akibat perbedaan faktor endowments, yaitu tenaga kerja dan modal. Oleh sebab itu, mutlak bagi negara
yang menerapkan perdagangan bebas untuk memproduksi barang yang mempunyai biaya
produksi paling murah dengan prospek meraih keuntungan dari arus perdagangan
internasional.
Secara sederhana, makna
perdagangan bebas dan pelabuhan bebas lahir dari asumsi pasar persaingan
sempurna. Boediono (2010: 108) menjelaskan pasar persaingan sempurna (perfect competition) adalah pasar dimana
(a) jumlah produsen banyak dan volume produksi setiap produsen hanya merupakan
bagian yang kecil dari volume transaksi total di dalam pasar; (b) produk yang
dihasilkan oleh para produsen adalah “homogen” sehingga produksi satu produsen
merupakan subtitute yang sempurna
bagi hasil produksi lain; dan (c) setiap produsen bisa mendapatkan informasi
pasar (harga yang berlaku) dengan cepat dan tepat (sempurna). Dengan kata lain,
keterlibatan pemerintah dalam urusan perdagangan atau pasar bebas sangat kecil
atau dapat dibilang hampir tidak ada.
Namun, konsep
perdagangan bebas dan pelabuhan bebas sesuai dasar keuntungan komparatif dan
pasar persaingan sempurna ternyata telah bertolak-belakang dengan kenyataan
atau fakta yang terjadi di negara dunia ketiga seperti Indonesia, khususnya
kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas seperti Sabang. Menurut Todaro
dan Smith (2006: 105), setidaknya ada 6 (enam) asumsi yang pelum dicermati
dalam model perdagangan yang diklasifikasikan sebagai perdagangan neoklasik
tersebut yang dapat membantu analisis penulis untuk mendeskripsikan dan
menganalisa tentang perdagangan bebas dan pelabuhan bebas di Sabang.
Secara singkat, asumsi
yang rancu tersebut menurutnya antara lain adalah: (1) segenap faktor produksi
atau sumber-sumber daya produktif yang ada di setiap negara dianggap baku dan
konstan, sehingga diasumsikan telah terdayagunakan secara penuh; (2) teknologi-teknologi
produksi dinyatakan baku atau relatif seragam di semua negara dan tersedia
bebas untuk semua negara, sehingga penyebarannya diyakini akan menguntungkan
semua pihak; (3) dalam lingkup domestik, sumberdaya atau faktor-faktor produksi
bebas bergerak dari satu kegiatan produksi ke kegiatan produksi yang lain; (4)
pemerintah nasional sama sekali tidak melakukan campur tangan dalam
hubungan-hubungan ekonomi internasional, sehingga perdagangan bebas akan
terjadi dengan sendirinya antara produsen dari berbagai negara; (5) perdagangan
akan selalu berada pada titik keseimbangan di setiap negara dan setiap waktu;
dan (6) keuntungan-keuntungan perdagangan yang diterima oleh suatu negara
dengan sendirinya bisa dinikmati oleh seluruh warga atau pelaku ekonomi yang
ada di negara tersebut.
Permasalahan Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas di Sabang
Pada bagian ini,
penulis menganalisis tentang konsep teoritis yang mendasari kegiatan
perdagangan bebas dan pelabuhan bebas serta teori yang mengkritisi teori
neoklasik perdagangan, kemudian menganalogikannya dengan permasalahan yang
terjadi dan data-data yang tersedia mengenai kawasan Sabang.
Perkembangan tingkat partisipasi
angkatan kerja dan tingkat pengangguran di Sabang dalam kaitannya sebagai
faktor produksi yakni tenaga kerja dapat dilihat berdasarkan tabel dari BPS[7]sebagai
berikut:
Tabel 1.
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja dan Tingkat
Pengangguran Terbuka
Kota Sabang dan Provinsi Aceh Tahun 2007 s.d 2011
Berdasarkan data di
atas menunjukkan bahwa angka partisipasi kerja dan pengangguran terbuka
cenderung mengalami kenaikan. Bahkan, tingkat pengangguran terbuka di Kota
Sabang melebihi tingkat pengangguran terbuka di Provinsi Aceh. Setidaknya ada 3
(tiga) hal yang dapat diasumsikan melalui perspektif ekonomi, yaitu (1) masih
terdapat begitu banyak jumlah pengangguran di Kota Sabang, baik karena tidak
dimanfaatkan secara penuh maupun penyerapan pada sektor-sektor usaha yang
kurang optimal; (2) masih terdapat permasalahan tentang iklim investasi yang
berkembang di Sabang, sehingga sektor-sektor swasta baik di dalam maupun luar
negeri tidak menyediakan peluang kerja yang sesuai dengan harapan masyarakat
Kota Sabang; dan (3) masih kurang terampilnya masyarakat di Kota Sabang untuk
bekerja pada sektor-sektor usaha yang telah disediakan dalam mendukung geliat
perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.
Hal ini sungguh ironis,
karena Kota Sabang memiliki banyak potensi yang dapat dimanfaatkan dan berpeluang
untuk membuka lapangan pekerjaan bagi penduduk di Kota Sabang. Pada sisi lain,
menurut Todaro dan Smith (2006: 110) argumen ini dikenal sebagai perdagangan
internasional yang menekankan pada pengejaran surplus, sehingga tidak
merelokasikan sumberdaya manusia secara penuh sesuai keinginan dan harapan
masyarakat.
Keberadaan investasi
sektor swasta dalam dan luar negeri di Sabang tentu sangat berperan penting
bagi ketersediaan lapangan kerja dan peningkatan pertumbuhan ekonomi, sehingga
diasumsikan munculnya multiplier effect
yang berdampak pada penurunan angka kemiskinan di Sabang, sesuai yang terlihat
pada tabel persentase kemiskinan dari data BPS[8]
berikut ini:
Tabel 2.
Persentase Penduduk Miskin Kota Sabang dan Provinsi
Aceh
Tahun 2006 s.d 2010
Walaupun persentase
kemiskinan di Sabang semakin menurun dari tahun ke tahun, namun kenyataannya
dalam RKPK 2013 Pemerintah Kota Sabang menganggap bahwa perdagangan bebas dan
pelabuhan bebas Sabang belum mampu mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif
dan padat karya (pro-growth & pro-job),
khususnya pertumbuhan sektor-sektor usaha yang melibatkan orang miskin (pro-poor) sehingga berkontribusi secara
ekonomis terhadap upaya pengurangan tingkat kemiskinan[9].
Alhasil, multiplier effect yang
diberikan pun terbilang kecil dan lamban untuk ukuran upaya percepatan
perekonomian regional.
Dari
sisi laju pertumbuhan ekonomi, Sabang mengalami pertumbuhan yang fluktuatif
karena pertumbuhan ekonomi secara sektoral dalam lima tahun terakhir juga
mengalami nilai relatif naik turun[10].
Namun, pertumbuhan ekonomi untuk kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas
Sabang masih didominasi oleh sektor perdagangan hotel dan restoran serta sektor
pengangkutan dan komunikasi.
Menurut penulis, selama
tidak ada upaya kongkret yang mampu menggairahkan sektor-sektor usaha lain demi
meningkatkan pertumbuhan ekonomi regional di Sabang, maka program kawasan
perdagangan bebas dan pelabuhan bebas menjadi sia-sia belaka. Padahal, begitu
banyak kegiatan usaha lainnya yang berkontribusi penting bagi PDRB Sabang dan perlu
perhatian maksimal sesuai amanat undang-undang, diantaranya adalah bidang
perdagangan, jasa, industri, pertambangan dan enegri, transportasi dan maritim,
pos dan telekomunikasi, perbankan, asuransi, pariwisata, pengolahan, pengepakan
dan gudang hasil pertanian, perkebunan, perikanan dan industri dari kawasan
sekitarnya[11].
Salah satu contohnya dapat dilihat melalui tabel berikut:
Tabel 3.
Kontribusi Sektor-sektor Ekonomi terhadap PDRB Kota
Sabang
Tahun 2001 s.d 2004
(dalam persen)
Sumber: BPS Aceh[12]
Hal lain yang
menyebabkan minimnya kontribusi dari perdagangan bebas dan pelabuhan bebas
Sabang adalah nilai ekspor dan impor. Memang, pada prinsipnya program
perdagangan bebas memudahkan setiap pelaku ekonomi dalam menentukan harga
barang sesuai harga pasar dunia, mempunyai informasi yang luas dan sempurna,
serta pembebasan dari pajak memberikan peluang baik bagi para pelaku pasar. Hal
tersebut terlihat dari tabel berikut:
Tabel 4.
Realisasi
Nilai Ekspor-Impor di Kota Sabang 2001-2004 (dalam US$)[13]
Namun, dalam
perkembangannya hal ini justru merugikan bagi Sabang karena barang-barang yang
diimpor pada umumnya merupakan barang konsumsi kebutuan sehari-hari dan
sebagian kecil peralatan mesin untuk industri. Sementara, komoditi yang biasa
diekspor hingga saat ini belum menunjukkan peningkatan dan perubahan yang
signifikan. Hal tersebut dapat menyebabkan pelabuhan bebas Sabang tidak
berfungsi optimal dan perekonomian Aceh tidak tumbuh pesat, sebagaimana
hambatan investasi yang dikemukakan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
terhadap perdagangan bebas dan pelabuhan bebas di Sabang[14].
Hambatan investasi menurut
BKPM tersebut antara lain adalah: (1) belum tersedianya sarana dan prasarana
yang memadai di lingkungan pelabuhan; (2) belum optimalnya kerjasama yang
sinergi antar berbagai sektor sehingga skenario pengusahaan pelabuhan bebas
dapat terwujud; (3) belum optimalnya standar pelayanan yang tersedia; (4)
minimnya pelaku bisnis dalam melakukan aktivitas perdagangan dan industri,
sehingga masih melakukan transaksi dagang pada produk yang bersifat homogen; (5)
hampir tidak ada aktivitas industri berskala besar, yang diekspor melalui
pelabuhan Sabang kecuali beberapa home
industry; (6) kurangnya minat investor untuk berinvestasi di sektor
perdagangan dan industri; (7) kerjasama yang belum optimal dengan pihak
pengusaha/investor lokal dan asing; (8) masih terdapat pungutan liar terutama
di subsektor logistik baik saat pengangkutan maupun di pelabuhan sabang; dan
(9) kondisi sumberdaya manusia belum cukup memadai baik jumlah maupun
kualitasnya.
Kondisi yang
diungkapkan oleh BKPM tersebut seakan menyimpulkan analisa teoritis dan kajian
pustaka tentang peran perdagangan bebas dan pelabuhan bebas di Sabang. Menurut
penulis, masih banyak hal yang perlu dibenahi untuk meningkatkan perekonomian
regional melalui program tersebut. Oleh sebab itu, diperlukan keterlibatan
pemerintah pusat dan Pemerintah Aceh melalui institusi tertentu yang
bertanggung jawab dalam memperbaiki penyelenggaraan program kawasan Sabang itu.
Sejalan dengan hal di
atas, maka keberadaan pemerintah dipandang sangat penting baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk mengatur, menentukan dan mengendalikan program
perdagangan bebas dan pelabuhan bebas di Sabang agar sesuai dengan kepetingan
masyarakat secara regional dan nasional. Terbitnya PP No. 83 Tahun 2010 tentang
Pelimpahan Kewenangan Pemerintah kepada Dewan Kawasan Sabang merupakan suatu
alternatif kebijakan yang patut didukung agar permasalahan perdagangan bebas
dan pelabuhan bebas yang dihadapi oleh Sabang dan Aceh dapat segera diatasi,
mengingat pentingnya keberadaan strategis Sabang sebagai salah satu wilayah
yang berpotensi menciptakan iklim perekonomian yang dapat bersaing secara
lokal, nasional maupun internasional sehingga terciptanya kesehateraan.
Upaya Pemerintah untuk
Pengembangan Kawasan Sabang
Sebuah tesis dari
penelitian yang dilakukan oleh Pathurrachman[15]
mengungkapkan bahwa, berdasarkan hasil kuesioner yang dibagikan kepada para
pengusaha di Kawasan Sabang, diketahui 54 % responden menyatakan realitas
penetapan Sabang sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas belum
secara optimal menunjukkan adanya kemajuan pembangunan dan perekonomian kota
Sabang.
Perlu diketahui, bahwa
berdasarkan UU No. 37 Tahun 2000, UU No.11 Tahun 2006 dan PP No. 83 Tahun 2010
telah terbentuk Dewan Kawasan Sabang yang diketuai oleh Gubernur Aceh sebagai
pejabat ex-officio dan Badan
Pengusahaan Kawasan Sabang. (BPKS) Kedua lembaga tersebut berperang besar dalam
pelaksanaan pengelolaan, pengembangan dan pembangunan Kawasan Sabang sesuai
dengan fungsi-fungsi kawasan Sabang.
Sejalan dengan dua hal
tersebut di atas, maka sangat diperlukan usaha yang diinisiasi dan difasilitasi
oleh pemerintah, dalam hal ini Dewan Kawasan Sabang bersama dengan BPKS, serta
seluruh komponen pelaku usaha dan masyarakat luas untuk menciptakan suasana
kondusif maupun berpartisipasi aktif dalam rangka pengembangan kawasan Sabang.
Pertama,
pemerintah perlu mengurangi barang-barang impor yang menjadi barang konsumsi masyarakat
Sabang sehari-hari dengan memberlakukan kuota impor khusus bagi barang-barang
konsumsi sehari-hari. Namun, pemerintah juga perlu berupaya agar impor bahan
baku dan barang modal di Sabang semakin meningkat, sehingga dapat digunakan
untuk memperbaiki sarana dan prasarana serta melengkapi produksi domestik bagi
kepentingan pelaku usaha dalam negeri. Hal tersebut sesuai dengan teori yang
diungkapkan oleh Mankiw (2009: 226) tentang dampak pemberlakuan kuota impor,
yakni batas penjualan domestik dari suatu barang yang dihasilkan di luar. Contoh: apabila kuota impor sepatu di Sabang
diberlakukan, maka akan mengurangi jumlah impor dan membawa pasar mendekati
titik keseimbangan sebelum perdagangan bebas diterapkan.
Kedua,
pemerintah melalui Dewan Kawasan Sabang dan BPKS harus berani menjadi pelaku
dan pelindung masyarakat lokalnya dalam perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. Dalam
hal ini, pemerintah daerah khususnya Pemerintah Kota Sabang memiliki andil
besar untuk menjamin ketersediaan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan
keinginan masyarakat dan ketersediaan sumberdaya terampil yang dibutuhkan oleh
para investor, sehingga masyarakat lokal senantiasa dilibatkan dalam program
perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, khususnya pada sektor-sektor usaha yang
selama ini belum maksimal kontribusinya terhadap PDRB.
Ketiga,
melalui pelimpahan kewenangan yang diberikan kepada Dewan Keamanan Sabang dan
BPKS sebagai lini terdepan pengelolaan Kawasan Sabang, maka pemerintah perlu
menyerukan, mempromosikan menjamin kepada dunia usaha baik domestik maupun
internasional agar iklim investasi terbangun dengan baik. Selama ini, sektor
maritim dan perikanan di Sabang belum tersentuh oleh investor. Begitu pula
dengan sektor-sektor lainnya yang konon menjadi andalan penggerak perekonomian
Sabang. Dengan adanya kemudahan pelayanan dan perizinan, ketertarikan investor
terhadap usaha-usaha di Kawasan Sabang merupakan salah satu hal yang haru
ditonjolkan oleh institusi pemerintah.
Keempat,
perlunya pembenahan dan perbaikan infrastruktur yang bertaraf internasional.
Urgensi penabalan kembali status Sabang sebagai kawasan perdagangan bebas dan
pelabuhan bebas harus disertai dengan penyertaan modal yang dibutuhkan untuk
membangun infrastruktur. Apabila tidak, maka niscaya pengalaman pahit tahun
1985 ketika penutupan Sabang sebagai daerah perdagangan bebas dan pelabuhan
bebas akan kembali terulang.
Kelima,
perlunya pengawasan yang menyeluruh terhadap pengelolaan perdagangan bebas dan
pelabuhan bebas di Sabang yang berpotensi melahirkan pungutan liar (pungli),
penyelundupan, dan persaingan usaha tidak sehat. Pemerintah dalam hal ini Dewan
Kawasan Sabang dan BPKS harus meningkatkan kinerjanya pada bidang pengawasan
untuk mengontrol dan mengendalikan pelaksanaan program kawasan Sabang oleh para
pelaku usaha dan masyarakat Kota Sabang.
Kesimpulan
Dengan dihidupkannya kembali perdagangan
bebas dan pelabuhan bebas di Sabang, maka potensi untuk peningkatan
perekonomian lokal dan nasional sangat besar untuk dimanfaatkan semaksimal
mungkin. Namun, perlu digarisbawahi status perdagangan bebas dan pelabuhan
bebas jangan sampai dimanfaatkan untuk kepentingan negara-negara maju melalui
warga negara mereka yang kebetulan melakukan bisnis perdagangan di Sabang, sehingga
mengancam kesejahteraan produsen dan konsumen domestik dalam menggunakan
sumberdaya serta kemampuan yang ada. Urgensi perdagangan bebas dan pelabuhan
bebas tidak lain mengacu pada persaingan usaha di tingkat yang lebih tinggi,
dengan menaruh harapan lewat investasi, ekspor-impor dan lapangan kerja. Oleh
karena itu, Pemerintah Kota Sabang harus benar-benar dapat memaksimalkan
potensi sumberdaya yang ada agar mampu bersaing dengan kawasan perdagangan
bebas lainnya yang ada di Indonesia, mampu mengundang minat investor asing,
serta mampu berkontribusi terhadap kemajuan perekonomian Aceh dan nasional.
Daftar Pustaka
Boediono. 2010. Ekonomi Mikro. BPFE Ikapi: Yogyakarta.
Mankiw, N, Gregory. 2007. Makro Ekonomi (Edisi Keenam). Erlangga:
Jakarta.
________________. 2009. Principles of Economics: Pengantar Ekonomi Mikro (Edisi Ketiga). Salemba Empat: Jakarta.
Nugroho, Iwan dan Dahuri, Rokhmin. 2012. Pembangunan Wilayah: Perspektif Ekonomi,
Sosial dan Lingkungan. LP3ES: Jakarta.
Todaro, Michael P. dan Smith, Stephen C. 2006. Pembangunan Ekonomi (Edisi Kesembilan) Jilid
2. Erlangga: Jakarta.
Winarno,
Budi. 2011. Isu-isu Global Kontemporer.
CAPS: Yogyakarta.
Peraturan Perundang-Undangan
UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
UU No. 37 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas Sabang menjadi Undang-Undang.
UU No. 10 Tahun 1985 tentang Pencabutan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1970 tentang Pembentukan Daerah Perdagangan Bebas
dengan Pelabuhan Bebas Sabang.
UU No. 4 Tahun 1970 tentang Pembentukan Daerah
Perdagangan Bebas dengan Pelabuhan Bebas Sabang.
PP No. 83 Tahun 2010 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemerintah
kepada Dewan Kawasan Sabang.
Perpu No. 2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang.
Foot Notes
[1] BPKS
Belum Beri Konribusi Ekonomi Sabang, http://www.waspada.co.id tanggal 2
November 2012. Diakses pada tanggal 23 November 2012.
[2] Forum
Ekonomi Aceh-Jepang, http://bcsabang.beacukai.go.id
tanggal 26 November 2012. Diakses pada tanggal 28 November 2012.
[3] Sejarah
Sabang, http://www.sabangkota.go.id.
Diakses pada tanggal 23 November 2012.
[4] Sejarah
Free Zone di Indonesia, http://www.freezone-pengamat.blogspot.com
tanggal 1 Agustus 2009. Diakses pada tanggal 23 November 2012.
[5] Perpu
No. 2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang.
Diunduh pada tanggal 23 November 2012.
[6] Lihat
Bagian Umum Penjelasan atas UU No, 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
[7] BPS
Aceh, http://aceh.bps.go.id. Diundunh pada tanggah 23 November
2012.
[8] ibid
[9] RKPK
2013 Kota Sabang, Bab II: Evaluasi Hasil Pelaksanaan RKPK Sabang Tahun Lalu dan
Capaian Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan. Diunduh pada tanggal 23 November
2012.
[10] ibid
[11] Pasal
169 ayat (1) UU No, 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
[12]
Dipaparkan dalam Laporan Akhir Studi Integrasi Pengembangan Banda Aceh – Sabang
dan sekitarnya tahun 2006 oleh PT. Virama Karya. Diunduh pada tanggal 28
November 2012.
[13] ibid
[14]
Identifikasi Kebutuhan Investasi Perencanaan Pengembangan Terpadu Logistik dan
Pergudangan oleh BPKM Tahun 2011. Diunduh pada tanggal 28 November 2012.
[15]
Analisis Kebijakan Penetapan Kota Sabang sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas terhadap Perkembangan Investasi, Impor dan Ekspor di Sabang
oleh Febra Pathurrachman, http://lontar.ui.ac.id/opac/themes/ libri2/detail.jsp?id=109392&lokasi=lokal. Diunduh pada tanggal 28 November
2012.
Comments
Post a Comment