Woodrow Wilson |
1.
Dinamika perubahan fokus administrasi
publik, mulai dari administrasi sebagai administrasi negara sampai dengan
administrasi publik dalam paradigma governance
serta implikasi pada praktik administrasi publik.
Dinamika
Pertama, administrasi sebagai administrasi negara.
Administrasi negara
telah mengalami tahapan perkembangan yang diklasifikasikan berdasarkan berbagai
cara pandang (paradigma) dalam rentang waktu tertentu yang memiliki ciri-ciri
tertentu sesuai dengan locus dan focus paradigma tersebut. Akan tetapi,
tidak semua paradigma memiliki penekanan pada locus dan focus secara sekaligus atau bersamaan. Menurut Thoha (2008:
18), locus menunjukkan dimana bidang
ini secara institusional berada, sedangkan focus
menunjukkan sasaran spesialisasi dari bidang studi tersebut. Untuk
mengidentifikasi perubahan fokus pada dinamika pertama administrasi sebagai administrasi
negara, lebih lanjut Henry dalam Yudiatmaja (2012: 9) membagi paradigma
administrasi negara atas lima paradigma secara diakronis, yang terdiri dari:
a. Dikotomi Politik Administrasi
(1990-1926). Berdasarkan pendapat Wilson dan Goodnow yang dijelaskan oleh
Sugandi (2011: 10), dikotomi politik administrasi memfokuskan kepada
memposisikan pejabat administrasi yang sesuai dengan kehendak politik, sehingga
para pejabat publik menjadi tidak netral dan cenderung berat kepada elit
politik untuk mempertahankan kekuasaannya. Melalui konsep tersebut, dapat
dipahami bahwa fokus dikotomi politik administrasi terletak pada administratur
yang bekerja dalam lingkungan birokrasi. Pemisahan antara fokus politik dan
administrasi berimplikasi pada munculnya cara pandang dalam bentuk sikap netralitas
para pegawai negeri dalam melakukan proses administrasi kebijakan pemerintah
yang mencegah keberpihakan antara pegawai dan pejabat politik.
b. Prinsip-prinsip Administrasi
(1927-1926). Melalui tulisan Paper on the
Science of Administration yang
dikemukakan oleh Gullick dan Urwick, menurut Thoha (2008: 23) focus memegang peranan penting pada
paradigma kedua ini. Sehingga, fokus prinsip-prinsip administrasi terletak pada
planing, organizing, staffing, directing,
coordinating, reporting, dan budgeting
atau yang lebih dikenal dengan POSDCORB. Lebih lanjut, Thoha (2008: 26)
menjelaskan pula bahwa perkembangan paradigma prinsip-prinsip administrasi
telah melahirkan dilema bagi administrasi negara. Implikasi fokus paradigma ini
berdampak pada rentang kendali (span of
control) dari sebuah struktur organisasi yang tambun agar tercapainya
komunikasi yang efektif dan terhindar dari distorsi. Implikasi tersebut sejalan
dengan uraian Simon (1974) bahwa psikologi sosial dapat mempengaruhi kedua
paradigma berjaan berdampingan tanpa konflik, sehingga mempengaruhi eksistensi penerapan
administrasi negara dengan paradigma dikotomi politik administrasi dan
prinsip-prinsip administrasi di masa selanjutnya.
c. Administrasi sebagai ilmu politik
(1950-1970). Berkembangnya kritik atas kedua paradigma tersebut melahirkan
sebuah paradigma baru yang dijelaskan oleh Thoha (2008: 27) sebagai suatu usaha
untuk menetapkan kembali hubungan konseptual antara administrasi negara dengan
ilmu politik. Fokus dari paradigma ini telah berubah dari tatanan esensial ilmu
administrasi sehingga mengarah pada wilayah kepentingan (area of interest) sebagai bagian dari ilmu politik. Sesuai uraian
Thoha, terdapat dua implikasi dari paradigma ini yaitu munculnya studi kasus
sebagai suatu sarana yang bersifat epistimologis serta munculnya studi perbandingan
dan pembangunan administarsi negara sebagai salah satu bagian dari administrasi
negara.
d. Administrasi negara sebagai
manajemen (1956-1970). Menurut Sugandi (2011: 12), paradigma
ini merupakan suatu konsep lama yang ditawarkan pada berbagai cendikia
administrasi publik seperti konsep pengembangan/pembinaan organisasi yang
sangat paradoks dari kajian empiris ilmu politik. Fokus paradigma ini
dikemukakan oleh Thoha (2008: 20) mengarah pada teknik-teknik yang canggih,
memerlukan keahlian dan spesialisai dalam menjalankannya. Implikasi dari fokus
paradigma ini adalah berkembangnya teori-teori organisasi dan perilaku, perencanaan
dan pengambilan keputusan, teknik manajemen kepemimpinan, motivasi, komunikasi,
penganggaran, auditing, pemasaran dan sebagainya.
e. Administrasi negara sebagai
administrasi negara (1970). Pasolong (2007: 30)
mendefinisikan bahwa paradigma administrasi negara telah berkembang menjadi
ilmu administrasi negara sehingga dalam penerapannya, menurut Thoha (2008: 31)
fokus paradigma ini terletak pada teori organisasi, praktik dalam analisis public policy, dan teknik-teknik
administrasi dan manajemen yang sudah maju. Implikasi dari paradigma ini terletak
pada usaha untuk membedakan urusan-urusan negara yang ditangani oleh pemerintah
atau swasta yang terwujud dalam kegiatan pelayanan, sehingga muncul cara pandang
bahwa urusan pelayanan dilakukan oleh pemerintah sebagai aktor tunggal.
Berdasarkan
kelima dinamika perubahan fokus administrasi sebagai adminstrasi negara
tersebut, penulis dapat menyimpulkan dinamisasi fokus dan implikasinya melalui
tabel yang diolah sebagai berikut:
Tabel 1.
Dinamika Perubahan Fokus Administrasi sebagai
Administrasi Negara
Paradigma
|
Fokus
|
Implikasi
|
Dikotomi Politik Administrasi
|
Administratur
|
Netralitas
|
Prinsip-prinsip Administrasi
|
POSDCORB
|
Rentang kendali organisasi
|
Administrasi sebagai Ilmu Politik
|
Kepentingan Elit
|
Studi kasus dan perbandingan
|
Administrasi sebagai Ilmu Manajemen
|
Spesialisasi PNS
|
Organisasi dan Manajemen
|
Administrasi sebagai Administrasi Negara
|
Kebijakan Publik
|
Government
Action
|
Sumber: Diolah berdasarkan kajian
pustaka.
Dinamika
Kedua, administrasi sebagai administrasi publik dalam
paradigma governance.
Sejalan dengan perkembangan
kajian ilmu terhadap administrasi negara, paradigma tersebut perlahan mulai
bergeser sesuai dengan perkembangan locus
dan focus. Secara institusional,
urusan-urusan administrasi negara terutama pelayanan publik tidak hanya
melibatkan negara atau pemerintah saja (government),
akan tetapi pihak swasta dan masyarakat bersama dengan pemerintah (governance) juga
ikut terlibat dalam menentukan dan menjalankan proses administrasi tersebut.
Oleh karena itu, perubahan fokus paradigma administrasi negara menjadi
administrasi publik dalam konteks governance
dijelaskan oleh Denhardt dan Denhardt dalam Yudiatmaja (2012: 11) sesuai tabel
berikut:
Tabel 2.
Pergeseran Paradigma Administrasi Negara
Aspek
|
Old
Public Administration
|
New
Public Management
|
New
Public Service
|
Dasar teoritis dan Fondasi Epistemologi
|
Teori Politik
|
Teori Ekonomi
|
Teori Demokrasi
|
Konsep Kepentingan Publik
|
Kepentingan
publik secara politis dijelaskan dan di-ekspresikan dalam aturan hukum
|
Kepentingan
publik me-wakili agregasi kepenti-ngan individu
|
Kepentingan
publik ada-lah hasil dialog berbagai nilai
|
Responsivitas Birokrasi Publik
|
Clients
dan constituent
|
Customer
|
Citizen’s
|
Peran Pemerintah
|
Rowing
|
Steering
|
Serving
|
Akuntabilitas
|
Hierarki
administratif de-ngan jenjang yang tegas
|
Bekerja
sesuai dengan ke-hendak pasar
|
Multiaspek:
akuntabilitas hukum, nilai-nilai, komu-nitas, norma politik, stan-dar
profesional
|
Struktur
Organisasi
|
Birokratik
yang ditandai dengan otoritas top-down
|
Desentralisasi
organisasi dengan kontrol utama ber-ada pada para agen
|
Struktur
kolaboratif de-ngan kepemilikan yang berbagi secara internal dan eksternal
|
Asumsi terhadap motivasi pegawai dan administrator
|
Gaji
dan keuntungan, proteksi
|
Semangat
enterpreneur
|
Pelayanan
publik dengan keinginan melayana ma-syarakat
|
Sumber:
Denhardt dan Denhardt dalam Yudiatmaja.
Sesuai dengan uraian
tabel dari Yudiatmaja tersebut, maka orientasi paradigma administrasi publik
yang paling mutakhir dan relevan dengan perkembangan zaman saat ini adalah New Public Service (NPS). Menurut
Yudiatmaja (2012: 53), dalam penerapan New
Public Service pemerintah bertugas sebagai pengarah yang memberikan energi
ekstra kepada organisasi di luar pemerintah, yakni organisasi privat (swasta)
dan organisasi masyarakat sipil untuk mengurus persoalan-persoalan domestik dan
internasional yang lebih strategis.Oleh karena itu, fokus New Public Service sebagai paradigma baru administrasi publik
adalah menempatkan unsur-unsur governance
atau kepemerintahan sebagai objek yang dilayani dan diberdayakan agar dapat
memenuhi seluruh kepentingan warga negara secara komprehensif.
Lebih lanjut, Denhardt
dalam Pasolong (2007: 36) mengemukakan ide pokok New Public Service yang dapat direlevansikan dengan praktik
administrasi publik melalui contoh riil sebagai berikut:
a. Serve Citizen,
Not Customers. Contoh: Pengelolaan
hasil migas di Aceh dengan kontraktor dan perusahaan migas tidak hanya
bertujuan untuk membangun hubungan baik pemerintah dan pihak swasta saja, akan
tetapi pengelolaan dana bagi hasil migas seharusnya dikelola secara transparan
berdasarkan UU Keterbukaan Informasi Publik.
b. Seek the Publik Interest.
Contoh: Pelaksanaan pembangunan infrastruktur desa melalui program PNPM-MP
merupakan wujud nyata kebersamaan yang seharusnya dirumuskan lewat musyawarah
dengan menyediakan wahana partisipasi masyarakat untuk menyampaikan
kebutuhannya.
c. Value Citizenship over
enterpreneurship. Contoh: Alokasi dana otonomi khusus
untuk Aceh seharusnya lebih dimanfaatkan pada bidang pemberdayaan ekonomi
kerakyatan agar dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan kemandirian daerah,
selain tetap membuka akses investasi bisnis bagi pihak swasta untuk mengelola
potensi daerah.
d. Recognized that Accountability is
Not Simple. Contoh: Pemanfaatan dana otonomi khusus berupa
pembangunan gedung sekolah di wilayah pesisir barat-selatan Aceh harus sesuai
dengan perencanaan strategis dan pengawasan yang kuat, sehingga hasil yang
dihasilkan sesuai keinginan masyarakat dan dapat dipertanggungjawabkan.
e. Think Strategically, Act
Democracally. Contoh: Pemerintah Aceh harus dapat
menyediakan wadah partisipasi bagi swasta dan masyarakat dalam setiap proses
pengelolaan anggaran, mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi
anggaran.
f. Serve rather than steer.
Contoh: Kemampuan seorang Kepala Daerah maupun aparatur pelayanan publik dalam
mengartikulasikan kepentingan masyarakat Aceh terkait pelaksanaan syariat islam
dengan menjamin kepastian hukum sesuai peraturan.
g. Value People, not just productivity.
Contoh: Konsep Pelabuhan Bebas di Sabang harus dijadikan sebuah momen kerjasama
antara pemerintah dan swasta dalam menguatkan kemampuan Sabang sebagai daerah
yang terbuka bagi dunia internasional, dengan tetap memperhatikan budaya dan
nilai-nilai kearifan lokal masyarakt Sabang serta saling menghargai proses
kepemimpinan aktor yang berwenang demi kelancaran program.
Daftar
Pustaka
Sugandi, Yogi Suprayogi. 2011. Administrasi Publik: Konsep dan Perkembangannya di Indonesia. Graha
Ilmu: Yogyakarta.
Thoha,
Miftah. 2008. Ilmu Administrasi Kontemporer.
Kencana: Jakarta.
Pasolong,
Harbani. 2007. Teori Administrasi Publik.
Alfabeta: Bandung.
Yudiatmaja, Wayu Eko. 2012. Dinamika Administrasi Negara Kontemporer: Konsep dan Isu. Capiya
Publishing: Yogyakarta.
2.
Administrasi publik bisa didefinisikan
ke dalam dua pemahaman yang berbeda, tetapi keduanya bersifat kontinum.
Dalam penerapan NPS, pemerintah
harus menjamin tersedianya ruang bagi organisasi swasta dan organisasi masyarakat
sipil agar dapat berperan aktif menyukseskan penyelenggaraan pemerintahan
secara kolektif, yang di dalam pelaksanaannya terdapat public affairs (masalah publik) sebagai bagian dari public interest (kepentingan publik).
Perlu dicermati, bahwa
menurut Utomo (2009: 7) walau dalam lingkup definisi sederhana administrasi
negara atau administasi publik merujuk negara/pemerintah (government) sebagai agen tunggal implementasi fungsi negara atau pemerintahan,
namun dalam arti yang lebih kompleks administrasi publik menekankan fungsi negara
atau pemerintahan tidak hanya bertugas dalam public services atau pelayanan publik saja akan tetapi lebih
berorientasi kepada public demand are differentiated.
Sifat kontinum administrasi publik terletak pada fungsi pemerintah sebagai
fasilitator atau katalisator dengan fokus pada putting the customers in the driver seat. Pada perkembangannya,
mulai terjadi penurunan determinasi pemerintah terhadap public affairs dan public
interest sehingga keterlibatan aktor di luar pemerintah seperti organisasi
privat dan masyarakat dapat terwadahi.
Institusi dari
penyelenggaraan administrasi publik pada saat ini harus ditentukan melalui
keterlibatan masing-masing aktor terhadap public
affairs dan public interest. Hal
ini berkaitan dengan penjelasan Dwiyanto (2006: 120) bahwa barang publik dan
semipublik bukan lagi monopoli birokrasi pemerintah, tetapi juga menjadi lahan
mekanisme pasar dan asosiasi sukarela. Sebaliknya, birokrasi publik juga mulai
menyelenggarakan barang privat. Oleh karena itu, pada saat itulah administrasi
publik dipandang sebagai sebuah kolektivitas antara pemerintah, swasta dan
masyarakat yang berkontribusi terhadap penyediaan barang-barang publik maupun
barang-barang privat.
Menurut Thoha (2008:
67), administrasi publik dapat diartikan sebagai administrasi pemerintahan yang
dilakukan oleh aparat pemerintah untuk kepentingan masyarakat. Dari definisi
terakhir ini, penyelenggaraan administrasi pemerintahan seharusnya bersumber
dari aspirasi, kebutuhan dan kepentingan rakyat (public interest) dan dikembalikan kepada rakyat tersebut. Menurut
Warella (2004: 382-383), public interest
dapat berarti hal-hal umum yang dikehendaki semua orang, atau hal-hal dimana
terdapat konsensus di antara warga, atau hal-hal yang baik bagi suatu
masyarakat sebagai suatu masyarakat yang utuh.
Pemahaman
berbeda tentang administrasi publik dapat disimpulkan bahwa sifat kontinum
terletak pada jenis masalah publik yang mencakup bagian dari kepentingan
publik. Oleh karena itu, pemerintah sebagai fasilitator memiliki kapabilitas
dan kolektifitas untuk mengatasai masalah publik dan memenuhi kepentingan
publik bersama potensi yang dimiliki oleh organisasi swasta dan masyarakat
sipil.
Daftar Pustaka
Dwiyanto, Agus. 2006. Dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik: Pidato Guru Besar
Universitas Gadjah Mada. UGM: Yogyakarta
Thoha,
Miftah. 2008. Ilmu Administrasi Kontemporer.
Kencana: Jakarta.
Utomo, Warsito. 2009. Administrasi Publik Baru
Indonesia. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Warella, Y. 2004. Kepentingan Umum dan Kepentingan Perseorangan. “Dialogue” JIAKP,
Vol. 1 No. 3.
3.
Birokrasi menjadi institusi yang semakin
global yang dapat bekerja dengan logika-logika globalisasi dalam menyelesaikan
berbagai persoalan publik domestik dan pada saat yang sama mampu mengakomodasikan
berbagai persoalan global dalam irama kerja rutinnya.
Secara umum, implikasi
globalisasi terhadap birokrasi adalah munculnya perubaha-perubahan. Menurut
Dwiyanto (2008: 161), orientasi terhadap perubahan menunjuk pada sejauh mana
kesediaan aparat birokrasi menerima perubahan, tidak hanya menyangkut tuntutan
masyarakat yang senantiasa berkembang, akan tetapi juga pengetahuan mengenai
berbagai hal yang terjadi dalam lingkungan di luar birokrasi, contohnya adalah
perkembangan teknologi. Beberapa agenda yang dilakukan oleh negara akhir-akhir
ini adalah reformasi birokrasi. Karena birokrasi merupakan bagian dari
administrasi, maka upaya perubahan untuk menjadikan birokrasi sebagai sebuah
institusi yang semakin global dan mengarah kepada logika-logika globalisasi
adalah reformasi administrasi.
Reformasi Administrasi
menurut Susilo Zauhar dalam Yudiatmaja (2012: 246) adalah suatu usaha sadar dan
terencana untuk mengubah struktur dan prosedur birokrasi (aspek reorganisasi
atau institusional/kelembagaan) dan sikap serta perilaku birokrat (aspek
perilaku), guna meningkatkan efektivitas organisasi atau terciptanya
administrasi yang sehat dan menjamin tercapainya tujuan pembangunan nasional. Rekayasa
proses dan prosedur birokrasi menurut Sugandi (2011: 209) sangat bermanfaat
untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi lembaga pemerintah dalam rangka
mewujudkan good governance. Salah
satu bentuk reformasi administrasi adalah penerapan e-government atau adopsi banyak teknologi informasi dan komunikasi
oleh pemerintah.
Pada tataran
pemerintahan daerah, praktik e-government
semakin gencar disosialisasikan dan diterapkan melalui ketersediaan akses
internet sehingga memudahkan birokrasi menyelenggarakan agenda pemerintah
maupun menyelesaikan persoalan publik secara domestik. Contohnya adalah
ketersediaan website pemerintah
daerah, layanan pengaduan masyarakat secara online, atau e-procurement perihal pengadaan barang dan jasa yang bekerja sama
dengan pihak swasta. Artinya, nilai-nilai globalisasi birokrasi yang didukung
oleh kemampuan anggaran, kecakapan birokrat dan dukungan dari aktor di luar
pemerintah sangat relevan untuk diwujudkan dalam rangka kemapanan birokrasi.
Birokrasi
juga dituntut agar dapat mengakomodasikan berbagai persoalan global dalam irama
kerja rutinnya. Sejalan dengan hal tersebut Jresiat dalam Pramusinto (2007:
219) memberikan asumsi bahwa adanya kebutuhan yang meningkat dalam keterampilan
negosiasi antarnegara, sehingga birokratisasi globalitas melalui komunikasi
yang efektif diyakini semakin diperlukan dalam hal intergasi di bidang ekonomi,
kehidupan sosial, politik dan budaya. Oleh karena itu, birokrat dituntut mampu
menguasai ilmu pengetahuan serta teknik dalam bernegosiasi dan menjalin
hubungan antarnegara dalam rangka berkontribusi untuk isu-isu global, misalnya
konflik antara Palestina dan Israel, global
warming, kerjasama di bidang ekonomi, misi kemanusiaan dan promosi kebudayaan.
Daftar Pustaka
Dwiyanto, Agus. 2008. Reformasi Birokrasi Publik. Gadjah Mada University Press:
Yogyakarta.
Pramusinto, Agus. 2007. Globalisasi, Pembangunan dan Administrasi Publik. Interaksi: Jurnal
Politik dan Manajemen Publik Volume II, Nomor 1 (Maret 2007)
Sugandi, Yogi Suprayogi. 2011. Administrasi Publik: Konsep dan Perkembangannya di Indonesia. Graha
Ilmu: Yogyakarta.
Yudiatmaja, Wayu Eko. 2012. Dinamika Administrasi Negara Kontemporer: Konsep dan Isu. Capiya
Publishing: Yogyakarta.
Comments
Post a Comment