Skip to main content

Modernisasi Baru Pembangunan Otonomi Khusus Aceh: Mewujudkan Percepatan, Kesejahteraan dan Kemandirian


Pendahuluan

Otonomi Khusus merupakan bagian dari resolusi konflik yang berkepanjangan serta upaya perdamaian yang dibarengi dengan semangat rehabilitasi, rekonstruksi dan rekonsiliasi Aceh pasca bencana tsunami tahun 2004 silam. Berawal dari penandatangan kesepakatan damai MoU Helsinki antara RI dan GAM pada 15 Agustus 2005 dan legalnya UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, seluruh komponen negara berbondong-bondong memusatkan perhatian dan potensi bangsa untuk meningkatkan percepatan pembangunan di Aceh seperti sedia kala, dan bahkan jauh lebih baik. Salah satu upaya kongkret dari pemerintah pusat untuk mempercepat pembangunan di Aceh adalah mengalokasikan dana otonomi khusus.
Secara logis, dana otonomi khusus yang diberikan sebesar 2 % dari DAU Nasional selama 15 tahun dan 1 % DAU Nasional untuk 5 tahun berikutnya dalam jangka waktu 20 tahun sebagaimana tersebut dalam Pasal 183 UU No. 11 Tahun 2006 telah memberikan kesempatan bagi Aceh untuk merealisasikan percepatan pembangunan tersebut melalui program prioritas yang telah diamanatkan oleh undang-undang. Program prioritas tersebut adalah pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial dan kesehatan.


Limpahan dana otonomi khusus yang sedemikian besarnya bagi Aceh seakan menjadi booster atau pendorong kuat yang meledak laksana sebuah roket yang melesat demi mengejar ketertinggalan pembangunan akibat konflik dan bencana. Sebuah artikel yang ditulis oleh Martunis Muhammad[1] menilai bahwa keberhasilan kinerja pembangunan di Aceh setidaknya mesyaratkan pada akumulasi dari produktifitas setiap komponen pembangunan, seperti sebuah konsep pembangunan berupa O-Ring Theory of Development yang dikemukakan oleh seorang ekonom Michael Kremer. Apabila dianalogikan dengan sumber pembiayaan pembangunan dalam bentuk alokasi dana otonomi khusus, maka setiap komponen pembangunan di dalam Pemerintah Aceh harus menyumbangkan produktifitasnya terutama pada program prioritas otonomi khusus demi tercapainya percepatan pembangunan dan kemandirian
Namun, kenyataan yang hadir di Aceh saat ini menunjukkan tanda-tanda bahwa pembangunan yang diprioritaskan dalam pesan undang-undang justru kurang berhasil menyerap dana otonomi khusus secara maksimal. Padahal, sumber pembiayaan terbesar di Aceh dalam struktur anggaran pendapatan dan belanja daerah menempatkan sumbangan dana otsus pada peringkat pertama yang cenderung meningkat tiap tahunnya semenjak tahun 2008. Bahkan, realisasi dana otsus pada setiap kegiatan prioritas pembangunan justru menuai beragam masalah mulai tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan, sehingga mengancam kesejahteraan.
Berdasarkan fenomena yang terjadi, penulis menganggap perlu untuk mengkaji dan menganalisa permasalahan terkait dengan model pembangunan di Aceh melalui dana otonomi khusus untuk mengejar ketertinggalan, meningkatkan kesejahteraan dan melahirkan kemandirian. Dengan demikian, setidaknya ada 3 (tiga) isu penting yang diangkat dalam paper ini dan dianalisa berlandaskan konsep dan teori pembangunan.
Pertama, peran komponen pembangunan di dalam pemerintah Aceh untuk melalukan percepatan pembangunan. Harus disadari keberhasilan suatu model pembangunan yang diterapkan melalui dana otonomi khusus oleh pemerintah, swasta dan masyarakat sebagai komponen pembangunan di Aceh ditunjukkan oleh sejauh mana Aceh mampu mengejar ketertinggalan pembangunan yang telah dilakukan oleh daerah-daerah lainnya di Indonesia. Hal ini sangat relevan dengan sejauh mana akumulasi produktifitas pembangunan yang dijalankan oleh 23 kabupaten/kota di Aceh dalam memanfaatkan dana otonomi khusus. Sumber pembiayaan besar yang sifatnya terbatas seharusnya dapat dimanfaatkan oleh seluruh komponen dengan mengedepankan prioritas pembangunan. Apabila model pembangunan tersebut gagal, maka daerah-daerah lain akan menuntut Aceh sebagai sebuah provinsi yang tidak produktif.
Kedua, realisasi pembangunan prioritas otonomi khusus dalam menunjang kesejahteraan masyarakat. Secara teoritis sederhana, alokasi dana besar bagi pembangunan suatu daerah akan meningkatkan kesejahteraan penduduk di daerah tersebut atau diistilahkan dengan hipotesis trickle down effect. Kuncoro (2003: 36)  mengemukakan bahwa trickle down effect merupakan dampak yang merembes ke bawah, sehingga dapat diartikan apabila pertumbuhan ekonomi meningkat maka akan berdampak baik pula bagi pembangunan manusia. Ironisnya, berdasarkan data-data yang disajikan di bagian pembahasan paper ini mengasumsikan bahwa pembangunan prioritas dengan dana otsus justru kurang memperlihatkan peningkatan kesejahteraan yang signifikan dari tahun ke tahun. Sebagai contoh, menurut data BPS[2] persentase kemiskinan pada tahun 2011 mencapai 19,57 % yang lebih tinggi dari persentase kemiskinan nasional sebesar 12,49 %. Begitu pula dengan tingkat pengangguran terbuka (TPT) Aceh pada tahun 2010 sebesar 8,60 % dan lebih tinggi dari angka pengangguran Indonesia sebesar 7,41 %.
Ketiga, kontribusi pembangunan dengan dana otsus bagi perwujudan kemandirian pembangunan di Aceh. Ketergantungan Pemerintah Aceh terhadap dana otsus dapat dilihat dari struktur APBD yang minim PAD dan kaya akan dana perimbangan serta dana otsus. Apabila ketergantungan bantuan yang dikucurkan mulai tahun 2008 hinga berakhir tahun 2027 nanti tidak dimanfaatkan pada kegiatan pemberdayaan ekonomi rakyat secara maksimal, maka mustahil untuk dapat mewujudkan kemandirian di Aceh di masa yang akan datang.


Modernisasi Baru dan O-Ring untuk Percepatan Pembangunan

Bagian pertama ini akan memaparkan dan menganalisa konsep pembangunan di Aceh sebagai sebuah bentuk modernisasi pembangunan baru dan ledakan pembangunan yang terjadi, serta hubungan keduanya terhadap percepatan pembangunan melalui dana otsus Aceh.
Pada era reformasi, Aceh dipersepsikan sebagai sebuah wilayah yang telah mengalami kelelahan atau disebut juga dengan Aceh Fatigue[3]. Kelelahan tersebut diidentifikasikan sebagai dampak dari konflik politik yang mengancam disintegrasi bangsa antara GAM dan RI, serta bencana gempa dan tsunami 2004 yang merusakkan hasil pembangunan yang telah dicapai sebelumnya. Konflik politik pun ternyata berakar dari kesenjangan dan ketidakadilan ekonomi yang diterima oleh Aceh, disebabkan eksploitasi besar-besaran sumberdaya alam Aceh demi menumpuk keuntungan pusat. Hanya sebagian kecil masyarakat Aceh yang dapat menikmati hasil pembangunan. Peliknya masalah diskriminasi tersebut menemukan puncaknya ketika Aceh luluh lantak dan tidak berdaya akibat bencana alam internasional. Daerah-daerah luar Aceh terutama Jawa mengalami masa pembangunan yang pesat, sementara pembangunan di Aceh “jalan di tempat” dan semakin tertinggal.
Atas dasar kedua kelelahan (fatigue) itulah seluruh potensi dalam dan luar negeri dikerahkan, terutama untuk mewujudkan perdamaian akibat konflik politik dan merekonstruksi Aceh pasca tsunami. Lahirnya kebijakan desentralisasi asimetrik berupa pemberian otonomi khusus atau kewenangan khusus kepada suatu daerah otonom yang sedang bergolak dan hendak melepaskan diri[4] serta didukung oleh dana otonomi khusus untuk mempercepat pembangunan diyakini merupakan bagian dari model pembangunan yang berlandaskan modernisasi baru.


Teori Modernisasi Baru: Sebuah kritik terhadap Teori Dependensia Klasik

Teori Modernisasi Baru muncul pada akhir tahun 1970-an sebagai tanggapan atas kritikan yang diberikan oleh penganut teori dependensia klasik dan memberikan kritik balasan atas kelemahan-kelemahan pada teori dependensia klasik[5]. Pada dasarnya, teori tersebut memberikan perhatian pada persoalan pembangunan yang dialami oleh negara dunia ketiga atau disebut juga dengan negara berkembang. Dalam Kuncoro (2003: 72), Theotoni Dos Santos memperluas argumentasi Andre Gunder Frank yang beranggapan bahwa titik berat proses ketergantungan tidak hanya merupakan “faktor eksternal” semata, namun “faktor internal” juga mempengaruhi.
Sejalan dengan penjelasan Dos Santos, menurut Alvin Y. So[6] teori Modernisasi Baru menggunakan metode kajian yang berbeda dengan membawa kembali peran analisa sejarah sehingga lebih memberikan perhatian pada keunikan dari setiap kasus pembangunan yang dianalisa. Beberapa kajian baru yang dilakukan terhadap teori Dependensia Klasik atau Modernisasi Klasik telah menghasilkan beberapa paradigma yang dirumuskan dalam teori Modernisasi Baru tersebut[7].
Pertama, dua perangkat sistem nilai pembangunan yaitu nilai-nilai tradisional dan nilai modern dipandang sebagai perangkat yang dapat berdampingan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Kedua, hasil karya modernisasi baru lebih cenderung memberikan perhatian yang seksama pada kasus-kasus nyata sehingga menghindari pandangan yang abstrak dan tipologif. Ketiga, memberikan landasan berfikir bahwa negara di dunia ketiga memiliki kesempatan ntuk menempuh dan menentukan model pembangunannya sendiri. Keempat, perhatian antara faktor eksternal dan internal dapat terintergrasikan dengan baik, seperti faktor-faktor konflik, dominasi ideologi dan peranan agama. Melalui empat paradigma tersebut, maka setidaknya dapat disimpulkan bahwa konsep nasionalisme menjadi bagian dari nilai-nilai pembangunan dan ketergantungan negara dunia ketiga tidak dipandang sebagai sesuatu yang negatif .
Pada tataran lokal, penulis berpendapat bahwa teori Modernisasi Baru telah mengilhami negara—dalam hal ini Pemerintah Indonesia—dalam menentukan model percepatan pembangunan di Aceh melalui dana otonomi khusus. Analisa berdasarkan kajian pustaka melalui teori-teori tersebut, maka penulis berkeyakinan bahwa percepatan pembangunan di Aceh merupakan suatu bentuk ketergantungan Aceh terhadap alokasi dana otonomi khusus dari pemerintah pusat selama 20 tahun, yang bertujuan untuk mengejar ketertinggalan pembangunan akibat dampak buruk orde baru, konflik politik disintegrasi bangsa dan bencana tsunami. Hal tersebut dapat dilihat melalui beberapa contoh analogis sebagai berikut.
Pertama, nilai-nilai tradisional dan nilai modern di Aceh terbukti dapat berdampingan satu sama lain. Walaupun Aceh merupakan daerah yang identik dengan tradisionalisme yang menguat dari budaya berdasarkan syariat Islam, namun keterbukaan terhadap pengaruh modern negara-negara maju semenjak bencana tsunami mulai meningkat. Kedua, bencana tsunami memiliki hikmah khusus bagi pemerintah dalam menyelesaikan konflik dan mewujudkan perdamaian di Aceh. Ini merupakan nilai khusus dan unik yang menginspiransi negara serta Aceh untuk merancang pembangunan yang sinergis antara mantan kombatan GAM, korban konflik, korban bencana tsunami, pemerintah, swasta, masyarakat, dan bantuan lembaga asing. Ketiga, ketergantungan Aceh dengan dana otonomi khusus memberikan kebebasan bagi Aceh untuk menentukan arah pembangunannya sesuai dengan kehendak masyarakat. Walaupun ini bukan suatu hal yang baru, namun arah pembangunan dengan dana otsus harus betul-betul ditentukan dengan oleh pemerintah bersama rakyatnya secara terencana, efektif dan efisien. Keempat, perhatian model pembangunan dengan dana otsus di Aceh mampu mensinergikan faktor ekspansi ekonomi baik dari pemerintah pusat maupun negara-negara luar terhadap sumberdaya alam dan kualitas manusia Aceh dari berbagai komponen.
Adapun satu hal penting yang diperhitungkan oleh teori Modernisasi Baru adalah perubahan ekonomi dan teknologi harus berjalan bersamaan dengan perubahan sosial serta politik, sehingga keberhasilan pembangunan di Aceh yang bergantung pada dana otonomi khusus mensyaratkan sistem adminitrasi pemerintahan yang baik dan benar-benar menunjukkan birokrasi. Oleh karena itu, baik tidaknya ketergatungan daerah melalui model Modernisasi Baru harus diimbangi dengan produktifitas komponen pembangunan daerah itu sendiri.


O-Ring Theory of Development

Teori ini merupakan sebuah teori pertumbuhan ekonomi berdasarkan model kontemporer pembangunan dan keterbelakangan yang berpengaruh pada tahun 1990-an dari seorang ekonom bernama Michael Kremer. Pada dasarnya, teori ini telah menginspirasi sektor usaha bisnis sehingga menjadi rahasia sukses kinerja industri di era modern.
Menurut Michael Kremer[8], O-Ring Theory of Development menentukan bahwa kinerja sebuah pembangunan adalah akumulasi dari produktifitas setiap komponen pembangunan, sehingga berhasil tidaknya pembangunan tergantung bukan pada komponen terbesar atau terkuat namun pada komponen terlemah (the weakest link). Salah satu fitur yang paling penting dari fungsi produksi dalam teori ini adalah pencocokan pemilihan positif (positive asortative matching) yaitu bahwa para pekerja yang mempunyai keterampilan tinggi akan bekerja bersama, dan pekerja yang berketerampilan rendah pun akan bekerja bersama[9].
Salah satu implikasi dari penerapan model teori ini adalah jika pekerja dapat meningkatkan keterampilan mereka dan melakukan investasi pada pekerjaan sesua kepentingannya, maka mereka akan mempertimbangkan tingkat investasi sumberdaya manusia yang dilakukan oleh perusahaan lain sebagai komponen dari keputusan untuk memperoleh jumlah pekerja terampil lainnya. Dengan kata lain, ketika orang di sekitar kita mempunyai keterampilan rata-rata lebih tinggi, kita akan mempunyai insentif yang lebih besar untuk memperoleh banyak keterampilan.
Menurut penulis, teori ini dapat berjalan beriringan dengan teori Modernisasi Baru. Pada tataran pemerintahan Aceh, konsep O-Ring Theory of Development seharusnya menjadi bagian dari sebuah nilai yang disyaratkan oleh teori Modernisasi Baru, yaitu sistem birokrasi yang baik. Apabila seluruh birokrasi pemerintahan di Aceh dapat mengakumulasikan produktifitas mereka dalam memanfaatkan dana otsus untuk kepentingan pembangunan prioritas, maka usaha untuk percepatan pembangunan dalam rangka mengejar ketertinggalan pun akan dapat tercapai.
Ironisnya, inilah yang tidak dimiliki oleh birokrasi di Aceh. Secara umum, birokrasi di pemerintahan Aceh kurang produktif dalam memanfaatkan dana untuk mengejar ketertinggalan. Beberapa indikator pembangunan Aceh yang telah dicapai semenjak dana otsus dialirkan pada tahun 2008 hingga 2012 memang menunjukkan peningkatan, namun laju perkembangannya masih tertinggal apabila dibandingkan dengan output pembangunan di Indonesia. Padahal, jumlah dana otsus dari pemerintah dari tahun ke tahun semakin meningkat dalam struktur anggaran Aceh.
Salah satu contoh kongkretnya adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Data BPS menunjukkan bahwa IPM Aceh mengalami peningkatan, namun laju perkembangannya masih tertinggal dari IPM Nasional. Pada tahun 2008, selisih IPM Aceh dengan IPM Nasional adalah 0,41 poin. Pada tahun 2009, meningkat sebesar 0,45 poin, hingga pada tahun 2010 selisih IPM Aceh dan Nasional mencapai 0,57 poin. Ini artinya tren perkembangan IPM Aceh semakin tertinggal jauh dibandingkan dengan IPM nasional.
Apabila contoh ketertinggalan IPM tersebut dikaitkan dengan rendahnya produktifitas daerah dalam memanfaatkan dana otsus, maka penyebabnya adalah (1) buruknya relasi antara provinsi dan kabupaten/kota karena pengelolaan dana otsus yang sentralistik, sehingga sebagian besar pembangunan tidak didasari oleh kebutuhan masyarakat; (2) lemahnya pengawasan dari birokrasi pemerintahan di Aceh sehingga produktifitas pelaksaanaan program pembangunan di lapangan tidak terkontrol, bahkan menjadi sumber keuntungan kepada pihak-pihak tertentu; dan (3) minimnya sumberdaya manusia yang terampil dalam memanfaatkan potensi daerah.


Realita Kesejahteraan Aceh dari Pembangunan Prioritas Otonomi Khusus

Bagian ini merupakan kelanjutan dari bagian pertama yang mendeskripsikan penerapan teori Modernisasi Baru pembangunan di Aceh melalui dana otonomi khusus dan menganalisa permasalahan yang terjadi ketika realisasi pembangunan dengan dana otsus belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara signifikan.
Asumsi awal dari isu kedua ini adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat Aceh merupakan wujud dari keberhasilan pembangunan prioritas dengan dana otonomi khusus yang mencakup pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial dan kesehatan. Apabila modernisasi baru dalam wujud ketergantungan Aceh terhadap dana otonomi khusus tidak dimanfaatkan secara maksimal serta diperparah oleh rendahnya akumulasi produktifitas dari pemerintah kabupaten/kota di Aceh, maka keberhasilan pembangunan dalam rangka mengejar ketertinggalan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat tersebut tidak akan tercapai.
Asumsi akhir dari isu kedua ini adalah bahwa teori Modernisasi Baru dan O-Ring Theory of Development merupakan konsep dasar pembangunan bagi daerah-daerah tertinggal, sehingga untuk mengejar ketertinggalan akibat konflik politik dan bencana tersebut diperlukan daya dorong dalam bentuk modal dan infrastruktur, sebagaimana teori “Big Push” yang dikemukakan oleh seorang ekonom Autrian, Paul Narcyz Rosenstein-Rodan[10]. Untuk mempersempit ruang pembahasan bagian ini, berdasarkan berbagai kajian pustaka maka penulis membatasi indikator kebeerhasilan pembangunan terhadap peningkatan kesejahteraan hanya pada hal-hal yang relevan dengan program prioritas pembangunan otonomi khusus, diantaranya adalah Pendidikan, Kesehatan, Kemiskinan, Pengangguran, dan Pertumbuhan Ekonomi.
Sesuai dengan UU Nomor 11 Tahun 2006, 20 % dana APBA dan APBK termasuk dana otonomi khusus harus dialokasikan untuk pendidikan. Namun, Angka Partisipasi Kasar (APK) siswa SMP/Mts/Paket-B Aceh pada tahun 2010 menunjukkan penurunan bila dibandingkan  dengan tahun 2010. Rasio jumlah siswa[11] pada tahun 2008 mencapai 92,16 %, sedangkan pada tahun 2010 menurun menjadi 87,99 %. Di beberapa kabupaten/kota di Aceh, terdapat pula catatan miring pada akses sekolah, infrastruktur, pengembangan kompetensi dan kualitas guru[12], bahkan pendidikan belum mengacu pada kepentingan dan kebutuhan pembangunan daerah[13].
Walaupun program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) dari dana otsus yang memberikan pelayanan kesehatan secara gratis bagi seluruh warga Aceh terus berlanjut hingga sekarang, namun muncul kabar buruk bagi perkembangan dunia kesehatan Aceh. Sesuai data BPS 2010, angka kematian bayi di Aceh mencapai 21,94 bayi dalam seribu kelahiran dan lebih tinggi dari angka kematian bayi di Indonesia sebesar 26,89 bayi dalam seribu kelahiran. Pada tahun 2011, kondisi kesehatan masyarakat Aceh berada di urutan 31 dari 33 provinsi di Indonesia[14] Kemudian, berdasarkan Data dari Kementerian Kesehatan pada tahun 2011 terjadi peningkatan kasus kumulatif HIV/AIDS sebesar 112 kasus, lebih tinggi dibandingkan tahun 2010 yang mencapai 71 kasus dan tahun 2009 yang mencapai 46 kasus[15].
Catatan kemiskinan di Aceh lebih memilukan. Sesuai data BPS, tingkat kemiskinan Aceh pada Maret 2012 adalah 19,46% di atas rata-rata kemiskinan nasional sebesar 12,36 %. Jumlah penduduk miskin cenderung meningkat dari 861.000 jiwa pada tahun 2010 menjadi 900.000 jiwa pada tahun 2011. BPS juga mengungkapkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Aceh pada tahun 2010 yang mencapai angka 8,60 %, lebih tinggi dari angka pengangguran Indonesia sebesar 7,41 % dan bahkan Papua (4,08 %) dan Papua Barat (7,77 %). Alhasil, pertumbuhan ekonomi Aceh pada tahun 2012 pun mengalami penurunan. Berdasarkan data BPS Aceh, pertumbuhan ekonomi Aceh pada triwulan III tanpa migas turun menjadi 1,53 % dari triwulan II yang mencapai 2,05 %.
Melalui deskripsi hasil pembangunan yang dicapai Aceh dengan dana otsus sejak tahun 2008 hingga saat ini dapat disimpulkan bahwa model pembangunan yang diterapkan oleh Pemerintah Aceh menunjukkan peningkatan yang sangat kecil dan cenderung lambat, sehingga masih tertinggal apabila dibandingkan dengan provinsi lainnya maupun skala nasional.
Dengan demikian, sesuai fakta dan kajian pustaka berbagai sumber penulis berpendapat bahwa model pembanguan Modernisasi Baru yang mengedepankan perpaduan nilai tradisional dan modern melalui kebutuhan nyata masyarakat di seluruh wilayah Aceh, serta kinerja birokrasi pemerintah sebagai komponen pembangunan yang dituntut produktif dalam memanfaatkan dana otsus di berbagai jenis pembangunan prioritas belum mampu diterapkan dengan baik.
Secara umum, penyebab rendah dan lambatnya pembangunan prioritas otonomi khusus tersebut disebabkan karena (1) pemetaan objek ketertinggalan pembangunan yang kurang tepat oleh pemerintah, sehingga percepatan pembangunan tidak berjalan dengan baik bahkan cenderung tidak tepat sasaran; dan (2) sebagian besar birokrasi belum mampu mensinergikan konsep modern pembangunan, ke dalam konteks lokal, sehingga tidak efektif dan efisien.


Kemandirian dari Ketergantungan atas Dana Otonomi Khusus

Bagian ini merupakan bagian akhir paper dan akhir yang diharapkan oleh pemerintah bersama masyarakat Aceh ketika alokasi dana otsus selama 20 tahun tersebut berakhir. Ketergantungan Aceh terhadap dana otsus dalam wilayah fiskal struktur anggaran daerah seharusnya mampu memberikan nilai lainnya, yaitu kesiapan Aceh menyongsong kemandirian apabila dana otsus tersebut berakhir. Hal penting yang diperlukan adalah menggeser paradigma pembangunan Modernisasi Baru, dari ketergantungan terhadap trnasfer pusat menjadi paradigma ketergantungan terhadap sumber pendapatan daerah. Namun, perkembangan sumber pendapatan daerah sebelum dan saat menerima dana otsus cenderung fluktuatif[16]
Dengan mendominasinya dana otsus dalam struktur APBA dan APBK di Aceh, seharusnya arah pembangunan prioritas otonomi khusus juga diarahkan pada wilayah pembangunan ekonomi. Namun, faktanya realisasi dana otsus lebih ditujukan untuk pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur daerah, walaupun realisasi tersebut pun menuai masalah inefisiensi.
Oleh karena itu, menurut penulis ketergantungan terhdap dana otsus saat ini sebaiknya juga dimanfaatkan untuk pembangunan yang lebih luas, yaitu (1) memaksimalkan sektor-sektor lapangan usaha yang menyumbang Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB); (2) menguatkan ekonomi rakyat melalui pembinaan dan penguatan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM); (3) mendukung upaya peningkatan kinerja sektor pajak, retribusi daerah dan zakat; dan (4) membuka kesempatan bagi swasta untuk terlibat dalam bisnis dan investasi yang sesuai dengan nilai-nilai syariat Islam di Aceh. Keempat hal tersebut menjadi bagian yang bisa dilaksanakan apabila pembangunan prioritas kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat Aceh semakin baik, pengentasan kemiskinan dan pengangguran semakin nyata, serta peningkatan pertumbuhan ekonomi semakin  berkembang pesat[17].


Kesimpulan

Ketergantungan Aceh terhadap dana otonomi khusus yang diilhami lewat sebuah konsep Modernisasi Baru telah memberikan perubahan besar bagi Aceh untuk menata dan mengarahkan pembangunannya sesuai dengan kekuatan lokal, motivasi dari nilai-nilai modern negara maju dan produktifitas komponen pembangunan prioritas. Oleh sebab itu, mutlak bagi Pemerintah Aceh sebagai aktor utama yang menerapkan dan mengarahkan model pembangunan itu agar mampu mendobrak hambatan dan ancaman, serta merumuskan strategi dan memanfaatkan kesempatan yang singkat dalam rangka mencapai percepatan pembangunan, kesejahteraan masyarakat dan kemandirian di masa depan.
Dalam tatanan pemerintahan lokal pada era pembangunan Modernisasi Baru, Aceh dipandang sebagai sebuah daerah yang telah mengalami kelelahan (fatigue) pembangunan karena dampak dari konflik politik dan bencana alam yang menghancurkan output pembangunan yang telah dicapai. Keiistimewaan Aceh kemudian semakin diperkuat dengan lahirnya otonomi khusus sebagai upaya perdamaian dan mendorong pembangunan Aceh dengan modal dan infrastruktur. Melalui bantuan dari seluruh potensi dalam negeri dan luar negeri baik pemerintah, swasta dan masyarakat, ternyata menurut modernisasi baru Aceh belum dapat menerapkan model pembangunan tersebut secara maksimal dan optimal.
Peran penting dari pemerintah dalam hal ini birokrasi ditempatkan sebagai syarat utama pelaksanaan modernisasi pembangunan di Aceh. Produktifitas birokrasi di pemerintahan Aceh merupakan hal pokok agar akumulasi kinerja dari seluruh kabupaten/kota dalam memanfaatkan dana otonomi khusus diharapkan dapat mendorong percepatan pembangunan prioritas yang dimanatkan oleh UU Pemerintahan Aceh. Namun, buruknya relasi antarpemerintah terutama provinsi dan kabupaten/kota membuat percepatan pembangunan berjalan lambat, seiring perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan program kegiatan dana otsus yang bersifat sentralistik oleh pemerintah provinsi. Hal tersebut diperparah oleh kinerja dan produktifitas sumberdaya manusia di berbagai aspek prioritas pembangunan sehingga kinerja pemerintah dalam penyerapan dana otsus kerap menemui persoalan inefisiensi dan inefektifitas yang mengakibatkan hasil pembangunan tidak sesuai dengan harapan masyarakat.
Pemerintah Aceh sebagai komponen penting pembangunan seharusnya dapat memodernisasi tahapan proses pembangunan yang selama ini telah diterapkan. Tujuannya adalah agar cara-cara yang modern mampu mendorong kecakapan birokrasi untuk lebih produktif dalam menyelenggarakan pembangunan melalui dana otsus. Realisasi dana otsus selama 20 tahun bukan hanya perkata menghabiskan uang negara semata, tetapi merupakan hasil dari model pembangunan baru Aceh secara modern yang menginspirasi birokrasi bekerja lebih produktif.


Daftar Pustaka

Kuncoro, Mudrajad. 2003. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah dan Kebijakan. UPP AMP YPKN: Yogyakarta.
________________. 2012. Perencanaan Daerah: Bagaimana membangun Ekonomi Lokal, Kota dan Kawasan? Salemba Empat: Jakarta.

Sumber Lainnya

UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
Jurnal Ilmu Pemerintahan Edisi 22 Tahun 2006: Desentralisasi Asimetris.

Foot Notes


[1] Ledakan Challenger dan Pembangunan Aceh, http://cakrawalakaifa.blogspot.com tanggal 11 November 2012. Diakses pada tanggal 18 November 2012.
[2] Otonomi Khusus dan Kesejahteraan, http://acehintitute.org tanggal 8 September 2012. Diakses pada tanggal 18 November 2012.
[3] APBA dan Dilema Kemiskinan Aceh, http://atjehpost.com tanggal 30 Oktober 2012. Diakses pada tanggal 18 November 2012.
[4] Desentralisasi Asimetrik di Aceh oleh Djohermasyah Djohan. Jurnal Ilmu Pemerintahan Edisi 22 Tahun 2006.
[5] Teori Pembangunan Modernisasi Baru (Kajian Baru dari Teori Modernisasi) oleh Indrawadi, S.Si, M.AP, http://www.scribd.com/doc/101202435/Teori-Pembangunan-Modernisasi-Baru. Diakses tanggal 18 November 2012.
[6] Teori Pembangunan, http://cassiouvheyaa.wordpress.com tanggal 10 Juli 2011. Diakses pada tanggal 18 November 2012.
[7] Review tentang Pembangunan, Teori Modernisasi dan Penerapan Paradigma Pembangunan di Indonesia oleh Iskandar tahun 2006, http://ibnkato.multiply.com. Diakses pada tanggal 18 November 2012.
[8] ibid
[9] Model Kontemporer Pembangunan dan Keterbelakngan, http://anto.fe-unsa.blogspot.com, tanggal 6 April 2012. Diakses pada tanggal 18 November 2012.
[10] Lihat Kuncoro (2012: 160) bagian Pengembangan Daerah Tertinggal. Perencanaan Daerah: Bagaimana Membangun Ekonomi Lokal, Kota dan Kawasan.
[11] Otonomi Khusus dan Kesejahteraan, http://acehinstitute.org, tanggal 8 September 2012. Diakses pada tanggal 18 November 2012.
[12] Pendidikan Aceh Mau Kemana?, http://aceh.tribunnews.com tanggal 10 September 2012. Diakses pada tanggal 18 November 2012.
[13] Pasang Surut Dunia Pendidikan di Serambi Mekkah, http://juniawan.wordpress.com tanggal 12 November 2012. Diakses pada tanggal 18 November 2012.
[14] Kesehatan Warga Aceh Terburuk, http://aceh.tribunnews.com tanggal 18 September 2011. Diakses pada tanggal 18 November 2012.
[15] Aceh masuk Daerah Bermasalah dengan Kesehatan, http://analisadaily.com tanggal 26 Juli 2012. Diakses pada tanggal 18 November 2012.
[16] Briefing Paper Aceh Institute Quaterly Report-III (Mai 2010, hal: 6) http://www.acehinstitute.org. Diakses dan diunduh pada tanggal 11 November 2012.
[17] Fiscal Cliff: Antara Amerika Serikat dan Aceh, http://atjehpost.com 14 November 2012. Diakses 18-11-2012.

Comments

Popular posts from this blog

Rekrutmen dan Seleksi Pegawai Pemerintah: Sebuah Kajian dari Praktek dan Tren Modern Internasional

Pemerintah di seluruh dunia menghadapi tantangan kepegawaian yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pada saat pemerintah butuh bakat daya pikat paling trampil untuk pelayanan publik, kemampuan mereka untuk melakukannya telah begitu jarang sehingga rumit dan dibatasi oleh ekonomi, sosial dan tekanan organisasi. Artikel ini memberikan gambaran jenis inisiatif rekrutmen dan seleksi di tempat di banyak negara yang dapat membantu pemerintah dunia ini menarik dan mempertahankan bakat. Bergantung pada contoh dari Amerika Serikat dan Eropa Barat, namun juga mengintegrasikan pengalaman dari berbagai negara maju dan kurang berkembang (LDCs), kami menjelaskan serangkaian perekrutan dan seleksi "praktik terbaik." Suasana Penerimaan Peserta Tes CPNS

Kebijakan Relokasi Kerusuhan terhadap Korban Pengungsi di Kabupaten Sambas Tahun 1999: Konflik Etnis antara Madura dan Melayu

Internally displaced Persons adalah sebuah istilah bagi para kelompok masyarakat yang pindah dari tempat tinggalnya dan menetap di daerah lain untuk menetap sementara waktu atau hal ini dikenal dengan istilah pengungsi. Sambas adalah sebuah Kabupaten yang terletak di bagian pesisir yang di tempati oleh berbagai suku etnis misalnya suku bugis, madura, jawa batak dll, namun Kabupaten Sambas mayoritas ditempati oleh Melayu, Dayak dan Cina (Tiong Hoa). Khusus tentang konflik Sambas pada tahun 1999 yang terjadi adalah etnis Melayu Sambas dengan suku Madura (yang bertempat tinggal di Sambas) yang menewaskan ratusan jiwa dan hancurnya ratusan rumah dan harta warga Madura. Rekonsiliasi Konflik

Dinamika, Kontinum dan Globalisasi Administrasi Publik

Woodrow Wilson 1.         Dinamika perubahan fokus administrasi publik, mulai dari administrasi sebagai administrasi negara sampai dengan administrasi publik dalam paradigma governance serta implikasi pada praktik administrasi publik. Dinamika Pertama , administrasi sebagai administrasi negara. Administrasi negara telah mengalami tahapan perkembangan yang diklasifikasikan berdasarkan berbagai cara pandang (paradigma) dalam rentang waktu tertentu yang memiliki ciri-ciri tertentu sesuai dengan locus dan focus paradigma tersebut. Akan tetapi, tidak semua paradigma memiliki penekanan pada locus dan focus secara sekaligus atau bersamaan. Menurut Thoha (2008: 18), locus menunjukkan dimana bidang ini secara institusional berada, sedangkan focus menunjukkan sasaran spesialisasi dari bidang studi tersebut. Untuk mengidentifikasi perubahan fokus pada dinamika pertama administrasi sebagai administrasi negara, lebih lanjut Henry dalam Yudiatmaja (2012: 9) membagi paradigma administras