Skip to main content

Merantau Jilid 2: Antara Tugu dan Pasar Senen


...hadirmu disini, akankah hadirmu juga disana? Kabari aku nanti...

Chapter 5

Sarapan pagi di Burjo Kang Emen
Waktu seakan berlari begitu cepat. Rasanya baru kemarin makan malam pertama di warung pecal lele depan pizza hut Jakal Km. 5,6 saat tiba di Yogyakarta. Sepertinya tidak pernah terlupakan masa-masa mengisi lambung dengan menu andalan nastel—nasi telur—di warung burjo buatan Kang Emen yang rasanya sangat standar namun harganya ramah, sangat ramah. Belakangan ini Kang Emen mulai kehilangan omset, karena pelanggan tetapnya—kami—dari keluarga besar rumah kontrakan Mbah Sumo mulai menemukan alternatif makanan lain yang lebih bergizi, enak dan terjangkau. Ya, ibu di lorong sebelah menyajikan pilihan makanan yang lebih variatif. Nasinya bisa tambah sesuka hati. Lauk seperti ayam, lele, tempe, dan telur dadar tersedia dengan porsi jumbo, lebih gemuk dibandingkan dengan lauk di warung burjo. Bisa request sambal juga, seperti sambal ijo, terasi, atau sambal bawang. Intinya, makanan di warung ibu sangat cocok dengan selera orang sumatera seperti kami.
Andalas, tepatnya sumatera bagian utara atau lebih dikenal dengan akronim sumbagut. Keluarga besar rumah kontrakan Mbah Sumo di Pandega Siwi mulai Oktober lalu telah resmi dihuni oleh mahasiswa magister dari sumbagut. Semuanya ada lima orang. Semuanya juga alumni pendidikan tinggi pamong praja di Jatinangor. Dari Aceh, aku dan dua orang seniorku—purna 16 dan purna 17. Sumatera Utara dan Sumatera Barat menyumbang masing-masing satu orang—purna 18 dan purna 17. Sebenarnya masih ada satu orang penghuni lagi yang berasal dari Papua. Rencananya, bulan Januari nanti dia mulai menempati kamarnya.
Lalu, mengapa waktu berjalan begitu cepat?
Mungkin kau pernah tahu tentang simbol angka 13 yang mewakili nasib sial. Namun, kali ini angka 13 pada tanggal 13 Desember yang lalu menjadi hari yang membahagiakan bagi aku dan temanku dari Binjai, Sumatera Utara itu. Sebabnya, kami telah berhasil menyelesaikan enam buah tulisan yang diistilahkan dengan paper demi memenuhi tugas akhir ujian semester satu. Rasanya, dalam pergantian tiga bulan purnama, waktu begitu cepat membawa kami berjumpa 13 Desember yang penuh dengan momen bersejarah.
Kawan, untuk orang seperti aku yang malas menulis dan tidak betah berlama-lama membaca teori-teori yang menebar janji surga di buku-buku kontemporer milik ilmuwan dan akademisi kampus ini, menggarap paper untuk enam mata kuliah—setiap paper rata-rata berisi 10 halaman—sungguh pekerjaan yang berat dan melelahkan. Terang saja, selama bekerja aku jarang mengasah kemampuan intelektualku dengan rutin membaca atau menulis opini sebagaimana yang dilakukan oleh teman-temanku. Waktuku di kantor justru tersita dengan bergaul bersama orang-orang kampung pada tahun pertama, serta berkonsentrasi di belakang meja bersama laporan-laporan kepegawaian dan keuangan pada tahun kedua.
Ah, alasan demikian niscaya terkesan klise bagimu, kawan. Aku tahu itu. Selain malas dan tidak ada kemauan, alasan apa lagi yang lebih tepat untuk merepresentasikan ketidakmampuan dan kekuranganku dalam menulis. Barangkali, itulah penyesalan pertama yang tebersit di pikiranku jelang penugasan enam paper akademik. Namun, tugas tetaplah tugas. Sudah menjadi kewajiban bagi mahasiswa seperti kami untuk melibatkan diri pada situsasi kerjasama akademik dengan dosen demi memperoleh nilai sesuai dengan prosedur yang ditentukan mereka. Ketika adrenalin terpacu pada kesempatan yang makin menipis, seluruh panca indera seakan berlomba dengan waktu.
Menjelang tanggal 13 Desember, beberapa paper sial yang membosankan nan rumit dan telah rampung tersebut terkompensasi menjadi keberuntungan berupa selembar tiket kelas bisnis Kereta Api Yogya Utama jurusan Tugu-Pasar Senen. Itu pun didapatkan dengan kesabaran tingkat tinggi karena harus rela menunggu selama dua jam di reservasi tiket Stasiun Tugu dalam keadaan mengantuk, plus kebodohan sebagai pendatang baru di Yogya yang tidak menyadari bahwa ternyata tiket bisa dibeli di Indomaret atau travel agent di seputaran Jalan Kaliwurang. Berkah perjuangan yang pertama.
Alasan aku dan temanku membeli tiket kereta api untuk tanggal 13 Desember itu pun sebenarnya merupakan rangkaian dari persiapan liburan semester. Melalui pertimbangan yang matang terhadap waktu liburan yang tersedia hingga awal Januari 2013, kami memutuskan untuk mengistirahatkan jiwa dan raga di kampung halaman masing-masing. Berkah perjuangan yang kedua pun hadir ketika tiket promo penerbangan tanggal 15 Desember dari Jakarta ke Banda Aceh tersedia dengan nominal yang murah. Keberuntungan ini sebanding dengan paper yang semakin selesai satu per satu. Perlahan namun pasti, binar mata yang semakin sipit disiksa monitor, buku dan suasana malam, kini mulai cemerlang. Sudut bibir yang berat oleh beban perkuliahan dan tugas, kini mampu tersungging ringan oleh motivasi liburan.
Stasiun Tugu
Tanggal 13 Desember pun tiba. Hari itu, tangan kanan kami menyerahkan tugas terakhir paper akademik yang telah rapi dengan percaya diri. Hari itu, tangan kanan kami menjinjing koper dan melangkah pasti menuju Stasiun Tugu. Hari itu, telepon genggam di saku kanan kami menerima pesan singkat berisikan giro yang menerangkan kiriman angpao allowance dari pihak penyedia beasiswa ke rekening kami. Hari itu, kami menempatkan diri dengan nyaman di baris sebelah kanan tempat duduk nomor 13 di gerbong kereta api. Hari itu, berkah perjuangan yang ketiga pun kami sambut dengan rasa syukur penuh suka cita.
Di perjalanan menuju Jakarta
Alhamdulillah. Syukur tak terkira bagi Allah yang Maha Pemberi Rezeki. Tepat tanggal 13 Desember itu pula, genap 100 hari kami berada di Yogyakarta. Allah menganugerahkan kami kesempatan untuk bersua bersama orang-orang terkasih dalam liburan kali ini. Perjuangan memang belum selesai. Cerita ini pun belum tamat. Berkah dari Allah pun pasti tak akan pernah berakhir. Tidak sabar menunggu kejutan-Nya lagi.
Sang Masinis seakan tak sabar melajukan tunggangan besinya menuju ibukota negara. Derit gesekan roda dan rel pun berpacu dalam melodi indah yang bersenandung ceria. Selama tinggal, Yogyakarta. Aku pergi tak akan lama. Nantikan aku kembali di Pandega Siwi tercinta.

Pemberhentian di Stasiun Linggapura
Ditulis pada tanggal 13 Desember 2012 dalam perjalanan menuju Jakarta di atas Kereta Api Yogya Utama, bersama sahabat dari Binjai. Saat pemberhentian di Stasiun LInggapura, ada kutipan kalimat yang menarik:
"Kusunting Bunga Melati buat Ibu Pertiwi"

Comments

Popular posts from this blog

Kebijakan Relokasi Kerusuhan terhadap Korban Pengungsi di Kabupaten Sambas Tahun 1999: Konflik Etnis antara Madura dan Melayu

Internally displaced Persons adalah sebuah istilah bagi para kelompok masyarakat yang pindah dari tempat tinggalnya dan menetap di daerah lain untuk menetap sementara waktu atau hal ini dikenal dengan istilah pengungsi. Sambas adalah sebuah Kabupaten yang terletak di bagian pesisir yang di tempati oleh berbagai suku etnis misalnya suku bugis, madura, jawa batak dll, namun Kabupaten Sambas mayoritas ditempati oleh Melayu, Dayak dan Cina (Tiong Hoa). Khusus tentang konflik Sambas pada tahun 1999 yang terjadi adalah etnis Melayu Sambas dengan suku Madura (yang bertempat tinggal di Sambas) yang menewaskan ratusan jiwa dan hancurnya ratusan rumah dan harta warga Madura. Rekonsiliasi Konflik

KEPALA DESA 9 TAHUN DAN AGENDA REVISI UU DESA

Pada tanggal 15 Januari 2023 yang lalu, UU Desa telah beranjak usia 9 tahun. Dua hari kemudian, 17 Januari 2023, Kepala Desa berdemo di DPR menuntut perubahan masa jabatan Kepala Desa menjadi 9 tahun melalui revisi UU Desa. Ada apa dengan sembilan? Aspirasi bersifat politis ini sah-sah saja dilakukan. Entah dengan motif atau tujuan apa pun, entah didukung oleh elit siapa pun. Boleh saja. Konon lagi, mayoritas meyakini masa jabatan 9 tahun bagi Kepala Desa itu akan semakin membawa maslahat besar, khususnya bagi masyarakat Desa. Sebab itu, jika mengikuti pola pikir mayoritas ini, maka menurut saya ada beberapa tuntutan lain yang perlu untuk disuarakan. Pertama, sebaiknya masa jabatan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) juga dirubah dari 6 tahun menjadi 9 tahun, mengikuti rencana masa jabatan Kepala Desa. Bahkan, lebih cocok lagi bila mekanisme pemilihan Kepala Desa dan BPD diselenggarakan secara serentak dalam waktu yang sama. Harapannya, Kepala Desa dan BPD terpilih mendapat posisi sta...

Cerita seorang Pelaut

Ketika seorang pelaut yang baru pulang dari perjalanannya mengarungi keganasan Samudera Hindia ditanya, ”Manakah yang lebih mengasyikkan, berlayar dengan kapal pesiar di laut yang tenang atau dengan kapal butut di laut yang berombak?”. Maka ia pasti akan menjawab berlayar dengan kapal bututnya di laut yang berombak. Ketika ditanya lagi, ”Manakah yang lebih tangguh antara nelayan yang ahli memancing ikan-ikan besar untuk dimakan atau pelaut yang terombang-ambing di laut dengan cuaca buruk tanpa persediaan makanan dari rumah?”. Maka ia pasti menjawab pelaut yang terombang-ambing tersebut. Memang benar, tidak akan lahir pelaut yang tangguh lewat gelombang-gelombang kecil. Pelaut-pelaut yang tangguh akan lahir lewat gelombang-gelombang yang besar. Sebenarnya, hal ini bukan mengingatkan kita tentang sikap mental baja yang perlu dimiliki. Akan tetapi, bagaimana kebesaran hati seorang pelaut yang mengarungi ganasnya ombak samudera dan bertahan di laut dalam cuaca buruk. Kebesaran hati i...