Skip to main content

Merantau Jilid 2: Sepanjang Jalan Pandega Siwi dan Sekip

Chapter 1
Selepas maghrib, kuucapkan kembali selamat bermalam minggu—happy Saturday night—terutama untuk diriku lewat tulisan singkat ini. Sebenarnya tulisan ini dalam rangka menunaikan janji yang tertunda bagi seseorang yang berada nun jauh di kota Sultan Iskandar Muda dan Ratu Safiatuddin. Sembari mengiringi doa agar ia selalu dalam lindungan Allah di setiap langkah dan perbuatannya. Aamiin.

Kawan, hari ini—Sabtu, 22 September 2012—aku menyimak, menikmati dan menjalani momen-momen yang terjadi di sekitarku maupun di luar sana. Malam ini adalah malam minggu ketiga aku berada di kota Yogyakarta ini. Berada jauh dari kampung halaman sudah pasti mengguratkan rasa rindu akan kebersamaan dengan orang tua dan sahabat-sahabat tercinta. Sejak tiba di Pandega Siwi hari Kamis tanggal 6 September 2012 yang lalu, tidak butuh penyesuaian yang terlalu kentara untuk berbaur dengan situasi dan kondisi perantauan yang kembali berbeda ini. Pengalaman pernah bersekolah di SMAN 5 Wira Bangsa Meulaboh dengan sistem boarding school, dan ditempa IPDN Jatinangor membuat proses adaptasi di kota Sultan Hamengkubuwono ini terasa lebih ringan.
Halaman depan rumah kontrakan

Ya, Pandega Siwi. Itulah nama dusun tempat kami tinggal saat ini. Sebuah dusun yang terletak di Kecamatan Depok Kabupaten Sleman Yogyakarta yang asri dan nyaman. Tidak sulit bagimu untuk bertemu denganku di rumah kontrakan sederhana ini. Jika engkau melihat Pizza Hut di Jalan Kaliwurang Km. 5,5 dan sebuah gang di sebelahnya, masuklah dan engkau akan melihat sebuah warung tegal “Rizqi Ilahi” dan rumah kontrakan dengan pekarangan yang luas berhiaskan pohong mangga di depannya. Itulah rumah kontrakan yang kami tempati selama satu tahun ke depan sebagai tempat peristirahatan dari “kekejaman” kehidupan pendidikan magister ini. Indahnya kebersamaan di Pandega Siwi.

Saat ini, rumah kontrakan kami dihuni oleh para mahasiswa S2 Magister Ekonomika Pembangunan UGM, yaitu abang-abang Purna Praja 16 dari Aceh Barat, Aceh Selatan, Nias, dan Rembang. Seminggu yang lalu, seorang Purna Praja 17 asal Sukabumi baru saja pulang kampung membawa barang-barang pribadinya dan selembar ijazah kebanggaannya bertitel Magister of Economic Development. Kemarin, seorang Purna Praja 16 asal Aceh Selatan baru saja menyelesaikan sidang tesisnya dengan baik dan lancar. Beliau tinggal menunggu pelaksanaan wisuda dan penyematan gelar yang sama pada Oktober mendatang. Besok, seorang calon Ketua Jurusan di salah satu perguruan tinggi negeri di Aceh juga akan berangkat pulang kampung karena telah menyelesaikan pendidikan magisternya sebagai seorang akademisi di bidang ekonomi pembangunan. Tinggalah kami—aku dan seorang Purna Praja 18 asal Binjai sebagai warga baru Pandega Siwi—sebagai mahasiswa Magister Administrasi Publik (MPA) dan empat orang mahasiswa Magister Ekonomika Pembangunan (MEP) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Menemani abang-abang berfoto keluarga
 Seminggu yang lalu, keluarga besar rumah kontrakan Pandega Siwi ini membuat acara syukuran menandai perpisahan dengan salah seorang sahabat mereka yang akan kembali ke Sukabumi untuk kembali bertugas di instansinya. Kami—sebagai penghuni baru—juga ikut serta dalam acara tersebut, walaupun tidak sempat berfoto keluarga di Mirota Studio Malioboro dengan busana adat pejabat keraton dan rakyat jelata Ngayogyakarta. Suasana konyol, lucu, dan kegembiraan diluapkan oleh enam orang penghuni awal keluarga Pandega Siwi ini. Kami juga larut dalam gelak tawa dan kesenangan yang mengesankan. Acara pun ditutup dengan makan malam bersama di Food Fezt, rumah makan yang sarat dengan menu Japanese dan makanan kreasi Indonesia.

Begitulah, kawan. Hingga malam minggu ini, sungguh bersyukur telah menetap di rumah kontrakan ini sebagai calon penghuni berikutnya menggantikan abang-abang yang telah kembali ke kampung halaman. Di luar sana, masih banyak kawan-kawan kami yang belum memiliki kost atau rumah kontrakan tetap alias masih menumpang dengan di rumah sanak saudara atau kerabat dekatnya.

Suasana di lobi gedung MAP UGM
Rasa syukur itu juga semakin bertambah, karena minggu ini adalah minggu kedua aku dan sahabat-sahabatku menjalankan pendidikan magister di MAP UGM. Kawan, sejujurnya menjadi mahasiswa pascasarjana yang notabene menerima beasiswa dari Pusbindiklatren Bappenas Indonesia adalah beban yang teramat berat Betapa tidak, kami yang berjumlah tiga puluh orang sebagai mahasiswa kelas khusus Bappenas Angkatan ke 7 di jurusan Map UGM dituntut untuk mengikuti kegiatan perkuliahan yang telah disesuaikan SKS dan waktunya agar selesai dalam jangka waktu 13 bulan. Secara sederhana dapat dimaknai bahwa kontrak kerjasama yang dibangun antara sang donatur dan penyedia ilmu mengharuskan kami untuk belajar, bergerak dan bekerja lebih ekstra agar mampu menyelesaikan perkuliahan, penelitian, ujian tesis, yudisium dan wisuda dalam waktu 1 tahun 1 bulan. Proses akselerasi pendidikan ini benar-benar kami rasakan pada saat-saat sekarang ini, yaitu ketika setiap harinya kecuali hari minggu kami senantiasa siap menyetor muka, memarkirkan konsentrasi dan menghadirkan kebersamaan antara dosen dan mahasiswa mulai pukul delapan pagi hingga selesai pukul empat sore. Suatu kegiatan yang tidak mudah, melelahkan dan membosankan. Ternyata, akibat dari pengkarbitan itu belum berhenti. Kami juga diwajibkan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang datang silih berganti setiap harinya. Kawan, sekali lagi ini tidak mudah. Tidak mudah.

Namun, bukankah Allah tidak akan membebani tiap-tiap sesuatu yang tidak sanggup dipikul oleh hamba-Nya? Bukankah menuntut ilmu yang bermanfaat adalah perintah Allah dan Rasul-Nya agar kita derajat kita ditinggikan dan menjadi amal jariyah sewaktu kita berada di alam barzah kelak?

Sekali lagi—di dalam ujian dan tantangan ini—aku, kamu dan kita semua adalah insan yang wajib bersyukur atas apa yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada kita. Aku wajib bersyukur, Allah menjaga dan melindungi kesehatan orang tua serta adik-adikku. Aku wajib bersyukur, Allah mengijabah doa dan ikhtiarku sehingga dapat merasakan ujian-Nya di perguruan terbaik di Indonesia ini. Aku wajib bersyukur Allah, mencukupi kebutuhan finansialku lewat rejeki-Nya yang mengalir dari orang tua, penghasilan kerjaku, dan Bappenas. Aku wajib bersyukur, Allah membukakan kesempatan bagiku untuk memperbaiki diri untuk lebih dekat dengan-Nya lewat kehidupan sosial yang baru disini. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Semoga Allah senantiasa mengalirkan hidayah-Nya agar kita semua konsisten dan istiqamah dalam menjalaninya. Aamiin Allahumma Aamiin.

Usai Kuliah Perdana di Grha Sabha Pramana
Memasuki awal minggu kedua perkuliahan—seiring bertambahnya tugas-tugas pribadi dan kelompok—aku dan sahabat-sahabat MAP Bappenas Angkatan ke 7 bergabung bersama seluruh mahasiswa baru pascasarjana di gedung Grha Sabha Pramana UGM untuk mengikuti kuliah perdana dengan pembicara Prof. Dr. Muhammad Mahfud MD, S.H, SU yang merupakan Ketua Mahkamah Konstitusi Indonesia. Suasana kuliah perdana di gedung ini menyiratkan kenangan ketika mengikuti stadium general  para pejabat negara dan kepala daerah di Balairung Rudini IPDN. Apalagi ketika Pak Mahfud menegaskan bahwa aturan-aturan yang dibuat oleh Pemerintah semestinya tidak memerlukan perubahan yang signifikan, namun yang diperlukan adalah kesadaran para pejabat publik untuk merubah etikanya dalam menyikapi persoalan publik. Sebagai seorang birokrat dan purna praja, penyampaian beliau kembali melecut hatiku untuk mengevaluasi etika dan prilaku pribadiku selama bekerja di daerah. Ah, muhasabah memang tiada hentinya. Sungguh aku adalah manusia yang khilaf dan keliru.

Suasana sore di Malioboro
Kawan, inilah pengalamanku selama dua minggu mengikuti kuliah di MAP UGM. Barangkali, untuk saat ini teritorial wajib yang senantiasa kami lalui hanyalah sepanjang jalan Pandega Siwi dan Sekip, tempat dimana MAP berada. Untuk saat ini, aku dan temanku dari Binjai itu harus bersabar untuk kembali dapat menikmati indahnya Malioboro, Keraton Sultan, Pantai Parangtritis, Candi Prambanan dan Borobudur, Kota Gede, atau Ambarukmo Plaza suatu hari nanti.
Sahabat-sahabat Purna Praja 18 Aceh Barat, Simeulue dan Nagan Raya
Nah, malam ini pula sahabat kami—Purna Praja 18 Simeulue—telah melepas masa lajangnya dengan mengikrarkan ijab kabul tadi pagi, menggelar pesta tadi siang dan berbahagia bersama pasangan hidupnya malam ini. Kebahagiaan sahabat merupakan kebahagiaan kami bersama. Sungguh bangga menyaksikan kawan-kawan di sekitar yang telah melengkapi hidupnya tidak hanya dari finansial, ilmu, atau kehidupan sosial, akan tetapi juga telah melengkapi hidupnya dengan sang pujaan hati. Kawan, usahlah engkau bertanya kapan aku melengkapi bagian terpenting itu. Doa saja darimu, kawan. Urusan-urusan sepanjang jalan Pandega Siwi dan Sekip masih harus dituntaskan dengan baik. Barangkali, di tengah penuntasan urusan ini aku menemukan sekeping puzzle bergambar seorang putri salju yang tengah duduk di bawah pohon sakura, memegang setangkai mawar di tangan kirinya dan sepotong chunky bar di tangan kanannya, dan ditemani cahaya temaram bulan purnama. Wallahu ‘alam. Happy Saturday Night.

Comments

Popular posts from this blog

Kebijakan Relokasi Kerusuhan terhadap Korban Pengungsi di Kabupaten Sambas Tahun 1999: Konflik Etnis antara Madura dan Melayu

Internally displaced Persons adalah sebuah istilah bagi para kelompok masyarakat yang pindah dari tempat tinggalnya dan menetap di daerah lain untuk menetap sementara waktu atau hal ini dikenal dengan istilah pengungsi. Sambas adalah sebuah Kabupaten yang terletak di bagian pesisir yang di tempati oleh berbagai suku etnis misalnya suku bugis, madura, jawa batak dll, namun Kabupaten Sambas mayoritas ditempati oleh Melayu, Dayak dan Cina (Tiong Hoa). Khusus tentang konflik Sambas pada tahun 1999 yang terjadi adalah etnis Melayu Sambas dengan suku Madura (yang bertempat tinggal di Sambas) yang menewaskan ratusan jiwa dan hancurnya ratusan rumah dan harta warga Madura. Rekonsiliasi Konflik

KEPALA DESA 9 TAHUN DAN AGENDA REVISI UU DESA

Pada tanggal 15 Januari 2023 yang lalu, UU Desa telah beranjak usia 9 tahun. Dua hari kemudian, 17 Januari 2023, Kepala Desa berdemo di DPR menuntut perubahan masa jabatan Kepala Desa menjadi 9 tahun melalui revisi UU Desa. Ada apa dengan sembilan? Aspirasi bersifat politis ini sah-sah saja dilakukan. Entah dengan motif atau tujuan apa pun, entah didukung oleh elit siapa pun. Boleh saja. Konon lagi, mayoritas meyakini masa jabatan 9 tahun bagi Kepala Desa itu akan semakin membawa maslahat besar, khususnya bagi masyarakat Desa. Sebab itu, jika mengikuti pola pikir mayoritas ini, maka menurut saya ada beberapa tuntutan lain yang perlu untuk disuarakan. Pertama, sebaiknya masa jabatan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) juga dirubah dari 6 tahun menjadi 9 tahun, mengikuti rencana masa jabatan Kepala Desa. Bahkan, lebih cocok lagi bila mekanisme pemilihan Kepala Desa dan BPD diselenggarakan secara serentak dalam waktu yang sama. Harapannya, Kepala Desa dan BPD terpilih mendapat posisi sta...

Cerita seorang Pelaut

Ketika seorang pelaut yang baru pulang dari perjalanannya mengarungi keganasan Samudera Hindia ditanya, ”Manakah yang lebih mengasyikkan, berlayar dengan kapal pesiar di laut yang tenang atau dengan kapal butut di laut yang berombak?”. Maka ia pasti akan menjawab berlayar dengan kapal bututnya di laut yang berombak. Ketika ditanya lagi, ”Manakah yang lebih tangguh antara nelayan yang ahli memancing ikan-ikan besar untuk dimakan atau pelaut yang terombang-ambing di laut dengan cuaca buruk tanpa persediaan makanan dari rumah?”. Maka ia pasti menjawab pelaut yang terombang-ambing tersebut. Memang benar, tidak akan lahir pelaut yang tangguh lewat gelombang-gelombang kecil. Pelaut-pelaut yang tangguh akan lahir lewat gelombang-gelombang yang besar. Sebenarnya, hal ini bukan mengingatkan kita tentang sikap mental baja yang perlu dimiliki. Akan tetapi, bagaimana kebesaran hati seorang pelaut yang mengarungi ganasnya ombak samudera dan bertahan di laut dalam cuaca buruk. Kebesaran hati i...