Skip to main content

Pengembangan Lembaga Mukim di Aceh dalam Mengelola Sumber Daya Alam

Latar Belakang

Paper ini membahas tentang Pengembangan Lembaga Mukim di Aceh dalam Mengelola Sumber Daya Alam ditinjau dari aspek Modal Sosial dan Interaksi Institusi. Sebagai sebuah lembaga pemerintahan yang lahir dari rahim otonomi khusus, Mukim telah bertransformasi dari institusi informal menjadi institusi formal. Pengakuan keberadaan dan kedaulatan Mukim dalam organisasi pemerintahan di Aceh dapat dianggap sebagai hikmah atas perjuangan dengan nilai historis dan modal sosial yang besar di dalam kehidupan bermasyarakat. Namun, kejelasan pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi Mukim sebagaimana diatur dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh juga dinilai masih menerawang alias kabur.
Sudah banyak tulisan maupun hasil penelitian yang menguraikan berbagai masalah terkait penyelenggaraan pemerintahan di Aceh oleh lembaga Mukim. Pada umumnya, kajian yang berhasil dibahas secara lugas dan mendalam adalah tentang peran Mukim dalam penyelenggaraan pemerintahan secara luas. Leriman[1] mengemukakan bahwa sejauh ini Mukim masih terfokus dalam hal-hal yang bersifat adat-istiadat dan syariat islam semata. Selain itu, salah satu Mukim di kecamatan dalam kabupaten Gayo Lues sesuai tulisannya juga menunjukkan kerancuan pelaksanaan tugas dan fungsi Mukim yang sering berbarengan dengan pemerintah kecamatan.
Kekuatan modal sosial yang bersemayam dalam Mukim di Aceh nyatanya punya potensi yang sangat baik untuk dikembangkan. Namun setelah Mukim menjadi salah satu unit pemerintahan khusus di Aceh, peran mukim dalam merencanakan atau mendiskusikan berbagai hal yang menyangkut kepentingan masyarakat di wilayahnya justru semakin menurun. Padahal, menurut Amiruddin[2] sejak dahulu masyarakat Aceh punya hubungan erat dengan lembaga mukim, mengenal dan lebih terbuka dalam menyampaikan aspirasi.
Berkaitan dengan kedua hasil penelitian tersebut, dua buah artikel menulis dan mengakui bahwa eksistensi Mukim yang sudah diakui secara de jure ternyata tidak sejalan dan selaras secara de facto. Pada dasarnya, keterlibatan mukim dalam perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam di Aceh memiliki peran yang sangat besar daripada hanya diakui sebagai unit pemerintahan yang berfungsi sebagai pemangku adat semata.
Asumsi itu tertuang dalam tulisan Syaifuddin[3] yang mengemukakan bahwa mukim sebagai masyarakat hukum adat di Aceh memang memiliki struktur pengaturan masyarakat berbasis sumber daya alam, akan tetapi eksistensi mukim sebagai institusi formal saat ini belum mampu menghadapi persoalan dan kenyataan bahwasanya negara—dalam hal ini pemerintah—belum mengakui kekuasaan, hak dan wilayah kelola mukim. Tulisan tersebut juga dibenarkan oleh Taqwaluddin Husein[4], sehingga permasalahan yang paling utama adalah upaya untuk membuat eksistensi mukim bukan lagi sebagai lembaga adat yang tak punya kuasa dalam mengatur dan memerintah.
Melalui sumber-sumber tulisan akademik, karya ilmiah, hasil penelitian, riset, dan informasi yang tersedia secara luas penulis mencoba untuk mengkaji dan menganalisa permasalahan tersebut ditinjau dari aspek modal sosial dan interaksi institusi. Oleh karena itu, sekiranya ada tiga poin penting yang menjadi sub pembahasan dalam tulisan ini.
Pertama, transformasi lembaga mukim dari institusi informal menjadi institusi formal. Perjalanan perubahan bentuk atau wujud lembaga mukim menjadi bagian utama untuk dideskripsikan secara singkat dan lugas. Hal ini bertujuan untuk memahami konsep, tugas dan fungsi Mukim ketika berada pada level komunitas masyarakat adat hingga beranjak pada level unit organisasi pada struktur pemerintahan di Aceh saat ini.
Kedua, identifikasi dan pemanfaatan modal sosial pada lembaga Mukim. Penulis memandang bahwa Mukim di Aceh terdiri dari masyarakat adat yang memiliki modal sosial sesuai tingkat dan tataran tertentu yang erat kaitannya pada konteks pengelolaan sumber daya alam, atau awam dikenal dengan istilah ilmiah sebagai konsep berupa common pool resources. Pada bagian ini, perlu dikaji dan dianalisa bagaimana individu-individu dalam Mukim mengembangkan kelembagaan untuk menyelesaikan persoalan SDA di wilayahnya.
Ketiga, berlangsungnya interaksi Mukim dengan gampong-gampong dan organisasi perangkat daerah pemerintahan di Aceh saat ini. Arah percepatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan di Aceh dengan pemanfaatan sumber daya alam yang maksimal mengharuskan lembaga Mukim agar dapat berinteraksi dengan institusi lainnya. Hal ini juga bertujuan untuk mengungkap bagaimana seharusnya Mukim memanfaatkan modal sosialnya agar mampu berinteraksi dengan baik, sehingga tidak terjadi kerancuan pelaksanaan tugas dan fungsi mukim yang dinilai berbarengan dengan tugas dan fungsi pemerintah yang sudah ada.

Sejarah dan Transformasi Lembaga Mukim di Aceh

Dalam memahami sejarah dan transformasi yang terjadi pada mukim di Aceh, pendekatan yang paling cocok untuk digunakan adalah pendekatan dengan perspektif historical institutionalism[5]. Perspektif ini mencoba memahami mukim dari proses terbentuknya, sehingga mampu menjelaskan proses pergantian antara norma-norma dan nilai-nilai yang lama dengan yang baru. Beberapa ciri yang melekat pada pendekatan yang bersifat historis ini adalah bahwa pergantian norma dan nilai yang baru itu tidak selalu berjalan dengan ideal, namun justru acap kali bersifat radikal dan penuh dengan pertentangan.
Menurut penulis, perspektif ini dipandang tepat untuk menggambarkan dan menganalisa bagaimana proses perubahan institusi mukim terjadi di Aceh sehingga saat ini mukim dikenal sebagai unit organisasi yang diakui dalam struktur pemerintahan Aceh.
Sesuai dengan catatan sejarah, Mukim telah eksis di dalam tata pemerintahan Kerajaan Aceh pada zaman kekuasaan Iskandar Muda tahun 1607-1636. Lombard (2006: 115-116) menguraikan bahwa terdapat pembagian wilayah di negeri Aceh yang dinamakan “Groot Atjeh” yang terdiri dari empat kaum, tiga sagi yang kemudian dibagi lagi atas mukim dan sebagainya. Pada prinsipnya, Sultan Iskandar Muda menggabungkan kampung-kampung yang diatur sebagai sebuah federasi hingga istilah penggabungan kampung tersebut dikenal sebagai mukim dan sagi. Namun, sistem pemerintahan yang ada belum diatur secara rigid dan tertib karena Sultan Iskandar Muda lebih mengandalkan para pengawas dan gubernurnya yang setia untuk mengawal dan mengelola pemanfaatan sumber daya alam oleh rakyat Aceh.
Penjelasan Lombard boleh jadi memberikan gambaran singkat bahwa Mukim pada zaman Sultan Iskandar Muda merupakan sebuah bagian wilayah kerajaan yang terbentuk dari gabungan kampung-kampung di lingkungan Kerajaan Aceh. Hal ini menunjukkan indikasi telah terbentuk pembagian wilayah perdagangan dengan potensi sumber daya alam, kemudian disebut sebagai mukim, walau pada faktanya lembaga tersebut hanyalah kumpulan masyarakat adat dan sosial kerajaan yang memanfaatkan sumber daya alam sesuai dengan kontrol dari pengawas kerajaan atau para gubernur di bawah rentang kendali Sultan. Pada tataran demikian, penulis berasumsi bahwa Mukim yang dimaksud merupakan salah satu pranata sosial awal di antara masyarakat Aceh dalam konsep cikal bakal institusi informal.
Setiawan (2006: 18-19)[6] merangkum definisi tentang institusi informal dari pendapat berbagai ahli dalam ciri pokok institusi sosial, yakni adanya sistem norma sebagai pembentuk institusi dan pencapaian tujuan sosial atau penyelesaian permasalahan sosial sebagai tujuan pembentukan institusi sosial. Kumpulan masyarakat kampung yang bergabung dalam sebuah wilayah Mukim di Kerajaan Aceh memiliki sederetan norma dalam memanfaatkan sumber daya alam untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan kerajaan. Namun, masyarakat di dalam Mukim belum sepenuhnya menjadi institusi informal yang mampu mengurus federasinya sendiri. Pada kenyataannya, Sultan berperan besar dalam menentukan pendapatan kerajaan yang bersumber dari tanah dan laut dengan pengawasan yang ketat sekali[7]. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada masa Kerajaan Aceh lembaga mukim adalah cikal bakal institusi informal yang masih bergantung pada pemerintahan Sultan untuk memenuhi kebutuhannya, terutama yang berkaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya.
Pada perkembangannya, masyarakat Mukim dalam konteks cikal bakal institusi informal mengembangkan adat-istiadat sesuai nilai-nilai kerajaan. Menurut Sutoro (2007: 42-43) Sultan Iskandar Muda melakukan penataan kehidupan adat dan nilai-nilai masyarakat Mukim melalui norma tertulis dan tidak tertulis yang disebut dengan Adat Meukuta Alam. Pada saat inilah Mukim menjadi bagian wilayah dan bagian pemerintahan Kerajaan Aceh yang membawahi desa-desa atau kampung-kampung di wilayah kerajaan. Sultan kemudian memberikan wewenang kepada Imeum Mukim atau orang yang menjadi pimpinan pada salah satu mukim dan bertugas mengkoordinasikan pelaksanaan pemerintahan di desa-desa atau lebih dikenal dengan sebutan gampong. Tugas utama Imeum Mukim pada saat itu adalah sebagai pelaksana adat-istiadat dan syariat islam di Aceh. Namun, dengan adanya kebutuhan pihak Kerajaan Aceh untuk mengumpulkan pendapatan dari tanah dan laut sebagaimana dijelaskan di atas, maka peran Mukim saat itu diatur sesuai jenis potensi SDA dan keadaan geografis di wilayahnya dengan tujuan memaksimalkan pemasukan kerajaan demi messejahteraan masyarakat. Akhirnya, pada masing-masing lembaga Mukim mulai ditunjuk orang-orang yang bertanggung-jawab di masing-masing bidang pengelolaan sumber daya alam. Misalnya: Kejruen Blang pada bidang adat persawahan, Peutua Seneubok pada bidang perkebunan, Panglima Laoet bertanggungjawab dalam adat laut, atau Pawang Glee di bidang hutan, Syah Banda di bagian pelabuhan, serta Haria Peukan di bidang perdagangan.
Penulis berpendapat bahwa Adat Meukuta Alam yang didesain pada masa Sultan Iskandar Muda mulai menempatkan Mukim sebagai sebuah institusi formal. Beranjak dari teori yang dikemukakan oleh Robbin dalam Setiawan (2006: 14) tentang komponen utama dari struktur organisasi yaitu (1) kompleksitas, yaitu komponen yang merujuk pada tingkat diferensiasi yang ada dalam tubuh organisasi; (2) formalisasi, yaitu komponen yang berkaitan dengan sejauh mana pekerjaan dalam organisasi distandardisasi; dan (3) sentralisasi, yaitu komponen yang menjadi tingkat sejauh mana kekuasaan formal dapat membuat kebijakan yang dikonsentrasikan pada satu individu, sebuah unit atau suatu tingkat. Komponen tersebut dapat menjadi beberapa ciri yang dimiliki oleh Mukim pada tataran institusi formal sesuai dengan pedoman Adat Meukuta Alam. Hal itu terlihat dari adanya pembagian tugas pengelolaan sumber daya alam oleh orang-orang tertentu di wilayah mukim tertentu. Dengan kata lain, Kerajaan Aceh telah mengatur secara rigid, formal dan tertib tentang kewenangan Mukim dalam memanfaatkan nilai-nilai adat dan norma di dalamnya guna membantu pemerintah mengumpulkan pendapatan kerajaan dari sumber daya alam di wilayah mukim.
Seiring berjalannya waktu, Sutoro[8] menggambarkan bahwa negeri Aceh mulai memasuki masa peperangan yakni Perang Aceh melawan Belanda pada tahun 1873 s.d 1942. Akibat dari perang tersebut, banyak gampong (kampung atau desa) dan mukim menjadi kosong atau ditinggal penghuninya. Pada akhirnya, Belanda semenjak tahun 1935 melalui V.O.C melakukan pendudukan terhadap Aceh dan masyarakat dalam komunitas mukim dan gampong. Demikian pula Jepang yang berhasil menduduki Aceh pada tahun 1942 s.d 1945. Namun, kedua negara penjajah tersebut mengakui keberadaan mukim beserta dengan kehidupan adat, norma dan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat Mukim walaupun pedoman penataan kehidupan adat yang berasal dari Kerajaan Aceh pada masa penjajahan mulai diubah dan disesuaikan secara perlahan menurut sistem pemerintahan Hindia Belanda dan sistem pemerintahan Jepang. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan dari bangsa penjajah sesuai keadaan masyarakat saat itu, terutama mengenai peradilan adat dan pemanfaatan SDA demi kepentingan penjajah. Perbedaannya, Belanda dengan konsep ordonantie memberikan kebebasan bagi desa-desa di dalam Mukim untuk berkembang sesuai potensi dan kemampuan yang dimilikinya, sedangkan Jepang mengatur secara ketat kemampuan tersebut demi membentuk loyalitas Mukim[9].
Dari penjelasan tersebut, penulis berasumsi bahwa norma institusi formal Mukim di Aceh yang berpedoman pada Adat Meukuta Alam sempat terancam musnah akibat perang dan penjajahan bangsa asing. Namun, karena Pemerintah Hindia Belanda dan Pemerintah Jepang mendukung kehidupan sosio-kultural masyarakat di Aceh termasuk di wilayah mukim, keduanya memberikan pengakuan terhadap keberadaan Mukim walaupun dengan konsep yang berbeda bagi masyarakat yang ada di dalamnya untuk mengurus dirinya sendiri. Ciri-ciri seperti ini juga belum menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan kehidupan masyarakat mukim pada saat masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Namun, setidaknya pengakuan secara tertulis dalam regulasi pemerintahan di Aceh pada masa penjajahan telah menunjukkan pengakuan bangsa asing terhadap eksistensi pranata sosial masyarakat adat di Mukim.
Pada zaman kemerdekaan, keberadaan Mukim sebagai salah satu jenis kesatuan masyarakat adat diakui dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Walaupun Mukim tidak diberikan wewenang menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, keberadaannya sebagai institusi formal pada masa tersebut mampu menjadi penguat pelaksanaan syariat islam dan kelangsungan sistem adat serta sosial budaya masyarakat di masing-masing Mukim.
Namun, seiring berkembangnya regulasi sistem pemerintahan daerah di Indonesia, keberadaan Mukim lenyap seketika terutama ketika masyarakat di dalam Mukim mulai dikondisikan untuk tidak menyentuh unit-unit pemerintahan yang telah diatur secara sentralistis oleh pemerintah pusat. Hal tersebut dibenarkan oleh Sulaiman Tripa[10] yang menyebutkan bahwa Mukim lebih cenderung difungsikan dalam kegiatan adat istiadat atau penyelesaian sengketa dalam hukum adat semata. Ini merupakan dampak dari UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang menyeragamkan seluruh bentuk tata kelola wilayah pemerintahan di daerah dengan sebutan desa, sehingga eksistensi Mukim yang awalnya diakui sebagai sebuah wilayah dan institusi formal kemudian diakui hanya sebagai lembaga adat bersifat informal di luar unit pemerintahan lokal yang ada. Kebijakan pada era orde baru saat itu telah mengembalikan Mukim menjadi sebuah lembaga informal dan bukan bagian dari pemerintahan daerah di Daerah Istimewa (D.I) Aceh.
Hikmah dari era reformasi 1998-1999, penanganan konflik RI dan GAM secara desentralisasi asimetrik melalui pemberikan hak otonomi khusus bagi Aceh tahun 2001, penanganan bencana gempa dan tsunami pada tahun 2004, hingga upaya perdamaian konflik melalui MoU Helsinki tahun 2005 telah memberikan perhatian khusus bagi penyelenggaraan pemerintahan di Aceh terutama merevitalisasi lembaga Mukim. Penulis melihat bahwa proses revitalisasi tersebut tidak hanya menghidupkan kembali Mukim di Aceh yang sempat hilang akibat political will orde baru, akan tetapi merupakan sebuah proses transformasi atau perubahan dari lembaga Mukim informal menjadi lembaga Mukim formal dalam salah satu bagian unit pemerintahan khusus di Aceh saat ini.
Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Mukim diartikan sebagai kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas hubungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin oleh Imeum Mukim atau nama lain dan berkedudukan langsung di bawah camat. Pada salah satu pasal juga disebutkan bahwa Imeum Mukim bersama dengan orang-orang yang bertanggungjawab dalam bidang pengelolaan sumber daya alam di gampong-gampong atau wilayah mukim ditempatkan sebagai bagian dari Lembaga Adat di Aceh. Hal ini menegaskan revitalisasi dan transformasi yang dimaksud di atas, sehingga Mukim pada saat ini diibaratkan seperti dua sisi mata uang yang memiliki tugas dan fungsi di bagian pemerintahan serta tugas dan fungsi di bagian adat.
Dalam fenomena transformasi institusi, penulis berpendapat bahwa model perubahan yang terjadi pada Mukim di tiap alur sejarah yang dilewatinya merupakan model disruptive case[11]. Model ini menekankan pada perubahan faktor eksternal di luar institusi sehingga menjadi tuntutan dan tuntunan bagi sebuah institusi untuk berubah, baik secara empiris dan ideologis. Fakta-fakta sejarah yang ada menunjukkan perubahan lembaga Mukim dari cikal bakal institusi informal, kemudian menjadi institusi formal, lalu mengalami perubahan kembali menjadi institusi informal, hingga pada akhirnya hidup kembali menjadi institusi formal. Pandangan empiris dan ideologis perubahan Mukim tersebut ditunjukkan dengan adanya perubahan pengelolaan pemerintahan daerah mulai dari fenomena sentralisasi kerajaan, pengambil-alihan kekuasaan karena penjajahan, lahirnya kemerdekaan, sentralisasi orde lama dan orde baru, hingga desentralisasi kewenangan di era reformasi dan otsus.
Model transformasi ini pun memberi efek pada tugas, fungsi dan peran Mukim khususnya dalam hal sumber daya alam. Sutoro[12] mengidentifikasikan bahwa setidaknya ada dua peran Mukim yang bersentuhan pada bidang sumber daya alam, yakni dalam wilayah adat berupa pelaksanaan kenduri adat dan pengelolaan sumber daya alam, serta dalam wilayah pembangunan berupa hak memberikan izin penggunaan SDA sesuai azas konsevasi alam.
Pada saat ini, transformasi Mukim menjadi lembaga formal dalam pengelolaan sumber daya alam masih membutuhkan perjuangan untuk mendapatkan kedaulatan dan pengakuan dari negara. Pasalnya hak ulayat mukim dan kewenangan yang telah diatur dalam UUPA dan Qanun Aceh No. 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim masih membutuhkan kajian sinkronisasi dan adaptasi dengan peraturan perundang-undangan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang telah ada sebelumnya. Apalagi, tata kelola pemerintahan Mukim di masing-masing kabupaten/kota yang ada di Aceh saat ini dipastikan berbeda satu sama lain, mengingat kondisi geografis, potensi sumber daya alam dan kemampuan masing-masing Mukim yang beragam.
Kesimpulan dari bagian ini adalah transformasi perubahan Mukim dari lembaga informal menjadi lembaga formal adalah munculnya isu-isu strategis tentang pengelolaan sumber daya alam oleh para perangkat Mukim yang bergerak di masing-masing bidang dengan perpaduan antara pendekatan adat dan sosio-kultural masyarakat dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang mengatur tentang pemanfaatan dan pengelolaan SDA tersebut.
Ini merupakan tantangan terbesar bagi pemerintah dan masyarakat Aceh dalam rangka mendaulatkan Mukim sebagai unit organisasi pemerintahan yang mampu melaksanakan tugas, fungsi dan peran sesuai dengan nilai-nilai yang dimiliki di dalamnya. Pada kenyataannya, justru transformasi tersebut menimbulkan permasalahan yang baru sehingga dukungan untuk mengembalikan kesejatian fungsi dan kedaulatan Mukim selalu dipenuhi jalan berliku dan resistensi dari institusi yang ada. Misalnya: Di Bireuen, salah satu pemerintah kecamatan menghapus nama mukim di stempel dan kop surat pemerintah gampong dengan tujuan meniadakan fungsi mukim yang dianggap mengganggu dan mengusik kekuasaan camat[13]. Hal ini merupakan salah satu tantangan dari perubahan yang memerlukan jawaban lewat penelitian ilmiah secara mendalam, sehingga dapat diidentifikasi dan diketahui faktor-faktor pendukung dan penghambat perubahan serta keberadaan atau eksistensi Mukim di era kekinian.
Mengutip pendapat dari Taqwaluddin Husein[14] bahwa kekuasaan Mukim atas sumber daya alam merupakan eksistensinya bersama satuan kerja perangkat mukim lainnya. Namun, penulis menambahkan pentingnya modal sosial bagi satuan kerja itu agar nilai-nilai yang telah dianut sejak dulu bermanfaat dengan baik walau Mukim berada pada tataran yang formal.

Modal Sosial Masyarakat Mukim di Aceh

Sebagaimana uraian pada sub pembahasan pertama, penulis memandang perlu untuk mengindentifikasi bentuk modal sosial pada tatanan masyarakat Mukim di Aceh. Dalam konteks persoalan pengelolaan sumber daya alam di wilayah mukim, modal sosial masyarakat memiliki potensi besar untuk menentukan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Beberapa pokok pikiran utama penting untuk digarisbawahi. Pertama, bahwa Mukim yang dimaksud pada pembahasan ini merupakan kumpulan masyarakat dari berbagai gampong. Apabila kita menganalisa modal sosial masyarakat Mukim di Aceh, secara harfiah kita menganalisa modal sosial masyarakat gampong di wilayah mukim tertentu. Kedua, pengelolaan sumber daya alam merupakan salah satu bagian dari pembangunan demi kesejahteraan masyarakat. Berbicara mengenai sumber daya alam, sudah barang tentu berbicara tentang pembangunan masyarakat mukim dan gampong melalui pemanfaatan sumber daya alam di Aceh.
Sesuai dengan ide di atas dan terbatasnya hasil penelitian yang mampu menggambarkan modal sosial di Aceh secara komprehensif, penulis memutuskan untuk memaparkan data salah satu hasil penelitian yang dilakukan oleh Fatwa Maulana[15]. Beliau mengkaji hakikat modal sosial masyarakat pada 10 (sepuluh) gampong atau desa dari aspek kepercayaan (trust), jaringan sosial (networks) dan pranata sosial (social institution). Kajian tersebut dilakukan dengan metode Forum Group Discussion (FGD) dengan melibatkan peserta meliputi perwakilan dari keuchik atau kepala desa, tokoh agama, tokoh adat, tokoh wanita dan tokoh pemuda. Penulis mengolah data hasil penelitian melalui tiga tabel prosentase di bawah ini.
Tabel 1.
Prosentase Hakikat Kepercayaan/Trust
No.
Variabel
Prosentase (%)
Positif
Negatif
1.
Kejujuran
60
40
2.
Kewajaran
90
10
3.
Egaliter
70
30
4.
Toleransi
60
40
5.
Kemurahan Hati
100
-
Sumber: Hasil Penelitian Maulana (data diolah penulis)

Dari Tabel 1. dan uraian yang dibahas dalam tesis Maulana, penulis dapat menganalisa beberapa poin-poin penting yang dikaitkan dengan modal sosial masyakat mukim yaitu:
1.      Kejujuran merupakan bagian utama dari hakikat kepercayaan (trust) dalam modal sosial masyarakat gampong. Robbins dalam Maulana (2009: 14) berpendapat bahwa kejujuran adalah sebuah unsur dari kepercayaan yang  berhubungan dengan ketulusan dan keadaan yang sebenarnya. Apabila pembangunan—dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam—tidak memberi output dan outcome yang diharapkan oleh masyarakat, maka masyarakat akan semakin kecewa sehingga timbul ketidakpercayaan bagi pengelola pemerintahan Mukim.
2.      Kewajaran adalah hal yang paling menonjol ketika masyarakat mukim dan gampong mengontrol pemanfaatan sumber daya alam menjadi program-program pembangunan yang bertujuan demi kesejahteraan rakyat. Salah satu hakikat kepercayaan (trust) ini sebenarnya mampu menjadi model kontrol sosial bagi Mukim, baik pemerintah maupun masyarakatnya, untuk tetap menjaga nilai-nilai pengelolaan sumber daya alam yang berbasis pada kelestarian lingkungan. Contoh kongkret ketidakwajaran tersebut ditunjukkan pada biaya yang lebih besar daripada kegiatan yang seharusnya atau lebih dikenal dengan istilah mark up.
3.      Egaliter menurut pandangan Mario Gagho dalam Maulana (2009: 14) merupakan salah satu ciri yang lebih awam dikenal dengan pemimpin yang merakyat. Dalam konteks pembahasan ini, kedudukan dan peran Imeum Mukim menentukan tercapainya kesatuan atau integrasi masyarakat Mukim yang dipimpinnya. Apabila pengelolaan dan pemanfaatan SDA tidak dikomunikasikan dengan baik serta akses masyarakat kepada pimpinan adat di wilayah mukim tidak maksimal, maka dapat dipastikan kepercayaan terhadap perangkat kerja mukim semakin menurun.
4.      Toleransi adalah hakikat kepercayaan yang berbasis pada sikap terbuka, lapang dada, sukarela dan kelembutan. UNESCO dalam Maulana (2009: 15) mengartikan toleransi sebagai sikap saling menghormati, menerima, menghargai dan kebebasan berekspresi. Masyarakat mukim dan gampong semakin tidak percaya apabila sifat individu pada pemimpin atau antar masyarakat lebih menonjol.
5.      Kemurahan Hati adalah sikap yang hampir sama dengan toleransi. Perbedaanya terletak pada kebijaksanaan pimpinan Mukim atau masyarakat dalam menghadapi persoalan yang berkaitan tentang pemanfaatan sumber daya alam.
Tabel 2.
Prosentase Hakikat Jaringan Sosial/Networks
No.
Variabel
Prosentase (%)
Positif
Negatif
1.
Partisipasi
60
40
2.
Pertukaran Timbal Balik
90
10
3.
Solidaritas
90
10
4.
Kerja Sama
90
10
5.
Keadilan
50
50
Sumber: Hasil Penelitian Maulana (data diolah penulis)

Adapun beberapa poin penting yang dapat dianalogikan antara hasil penelitian dengan pemanfaatan modal sosial masyarakat Mukim di Aceh dalam pengelolaan SDA adalah:
1.      Partisipasi dipandang sebagai keterlibatan masyarakat mulai dari tahap pembuatan keputusan, penerapan keputusan hingga penikmatan hasil evaluasi sebagaimana yang diterangkan oleh Cohen dan Uphoff dalam Maulana (2009: 21). Tanpa adanya sikap rela berkorban karena dipengaruhi tekanan eksternal, masyarakat Mukim enggan berpartisipasi sehingga jaringan tidak terbentuk dengan baik.
2.      Pertukaran timbal balik adalah salah satu pembentukan jaringan sosial yang mengawali komunikasi antara perangkat kerja dan masyarakat di Mukim. Sebuah ucapan terima kasih diyakini mampu membangun semangat yang baik di dalam kehidupan sosiokultural masyarakat adat dan pemerintahan Mukim.
3.      Solidaritas menurut Lawang dalam Maulana (2009: 24) merupakan suatu keadaan hubungan antara individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Perubahan institusi mukim dari informal menjadi formal sedikit banyak berdampak pada solidaritas masyarakat, terutama saat fungsi-fungsi pemerintahan dan adat menyentuh urusan pengelolaan sumber daya alam bagi pihak-pihak terkait dalam Mukim.
4.      Kerja sama sangat dibutuhkan ketika jaringan sudah terbentuk. Perangkat kerja Mukim yang membidangi persawahan, perkebunan, laut, perdagangan, atau kehutanan terbentuk dari hubungan persaudaraan yang kuat. Namun, terkadang perkembangan kerja sama dapat berubah menjadi hubungan bisnis.
5.      Keadilan dijelaskan oleh Faturrochman dalam Maulana (2009: 20) sebagai situasi sosial ketika norma tentang hak dan kelayakan dipenuhi. Pemanfaatan SDA sangat membutuhkan hakikat keadilan agar pemerataan dan kesempatan semua pihak dalam wilayah Mukim untuk mengelola dan menggunakannya tercapai.
Tabel 3.
Prosentase Hakikat Pranata Sosial/Social Institutions
No.
Variabel
Prosentase (%)
Positif
Negatif
1.
Nilai yang Dimiliki Bersama
100
-
2.
Norma dan Sanksi
80
20
3.
Moralitas
80
20
Sumber: Hasil Penelitian Maulana (data diolah penulis)

Uraian data dari Tabel 3. dapat ditarik benang-merahnya yang berkaitan dengan pengelolaan SDA oleh masyarakat Mukim melalui modal sosial dalam poin-poin berikut.
1.      Nilai yang dimiliki bersama merupakan shared value yang ada dan telah melembaga di lingkungan masyarakat Mukim dan gampong. Penulis berpendapat bahwa nilai-nilai yang diturunkan dari penegakan syariat islam, budaya dan adat istiadat Aceh masih bertahan di dalam mukim. Hal-hal mengenai syariat islam dan adat-istiadat menjadi tugas harian Imeum Mukim dalam menjamin sikap saling hormat dan sopan, serta pelaksanaannya secara menyeluruh di wilayah kerjanya.
2.      Norma dan sanksi menjadi pedoman dalam mewujudkan pranata sosial di lingkungan mukim dan gampong. Hal tersebut diperlukan untuk mengontrol dan menilai kontribusi setiap masyarakat maupun satuan kerja Mukim saat mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. Pelanggaran yang dilakukan biasanya diberikan hukuman berupa sanksi sosial. Pada tataran tertentu, penyimpangan yang terjadi dapat ditanggapi secara hukum islam, hukum adat maupun hukum pidana.
3.      Moralitas menjadi ukuran individu dalam Mukim mengambil sikap terhadap individu yang lain sebagai sebuah respon atas kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat atau oleh pemerintah Mukim. Moral yang buruk umumnya disebabkan karena tidak terlibatnya masyarakat dalam urusan-urusan Mukim, terutama dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan SDA. Hal tersebut akan berpotensi menimbulkan sikap saling hasut, aksi provokasi atau sikap apatis akan pembangunan wilayah di Mukim tersebut.

Hakikat kepercayaan (trust), jaringan sosial (networks) dan pranata sosial (social institution) merupakan bagian dari modal sosial masyarakat di Aceh. Dari hasil penelitian pada satu wilayah di Aceh tersebut, penulis menyadari bahwa data yang ditampilkan belum menggambarkan secara utuh pemanfaatan modal sosial dalam pengelolaan SDA. Akan tetapi, dari berbagai poin penting yang diutarakan di atas dapat dibangun asumsi bahwa perubahan atau transformasi lembaga Mukim dari tatanan institusi informal menjadi institusi formal telah merubah pula kehidupan sosiokultural masyarakat Mukim, khususnya modal sosial.
Penulis meyakini pergeseran ini karena telah menempatkan lembaga Mukim sebagai institusi formal dengan segenap aturan dan ketentuan yang mengikat dan menjadi koridor bagi masyarakat dan pemerintahan Mukim. Jika menilik dari konsep modal sosial dari Fukuyama dalam Maulana (2009: 16), bahwa modal sosial adalah serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerja sama di antara mereka. Maka, asumsinya modal sosial menjadi kurang berfungsi apabila institusi berada pada tataran formal dan tergerus oleh fungsi pranata formal lainnya yang telah modern dan mutakhir.
Sebagai contoh, proyek Reduction Emissions from Degradation and Deforestation (REDD) yang diinisiasi oleh Pemerintah Aceh dalam upaya mengatasi pemanasan global menimbulkan konflik dan penolakan oleh Mukim dari lima kabupaten di Aceh[16]. Kasus tersebut hampir sama dengan kasus penolakan PT. Inti Indorayon Utama oleh Masyarakat Toba Samosir Sumatera Utara[17].
Sebagai sebuah kesimpulan dari indentifikasi modal sosial masyarakat Mukim di Aceh dan dihubungkan dengan dua contoh kasus di atas, penulis sependapat dengan sebuah artikel yang memuat kritik terhadap konsep modal sosial Robert Putnam[18]. Menurut saya, kritik yang dapat dibangun dari konsep modal sosial ini adalah bahwa Putnam kurang mampu menjelaskan pengaruh modal sosial apabila terjadi konflik antara masyarakat dengan pemerintah. Selain itu, modal sosial dari uraian Putnam secara menyeluruh belum membahas tentang kekuatan beberapa individu yang memiliki upaya mengubah perilaku individu lainnya dan perilaku institusi pemerintah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat. Sebaiknya, modal sosial juga perlu difokuskan dalam memberi wewenang atau sumberdaya agar dapat menentukan upaya yang mengarah pada pencapaian kepentingan, tidak hanya individu atau sebagian kelompok masyarakat saja, akan tetapi menjadi bagian dari kepentingan negara demi kesejahteraan masyarakat sebagaimana modal sosial yang ada di Lembaga Mukim Aceh.

Interaksi Lembaga Mukim dengan Institusi Lainnya

Setelah mengetahui transformasi dan modal sosial Mukim di Aceh, penulis memandang penting untuk mengkaji secara singkat dinamika interaksi lembaga Mukim dengan institusi lain yang dianggap relevan dalam konteks mengelola sumber daya alam di Aceh.
Pejovich dalam Setiawan (2006: 23) menguraikan tentang empat pola hubungan yang menggambarkan interaksi antara institusi informal dan formal. Namun, dari sudut pandang keberadaan lembaga Mukim di Aceh penulis berpendapat bahwa hanya dua pola yang dapat menjelaskan interaksi yang berjalan tersebut.
Pertama, aturan formal secara langsung berkonflik dengan institusi informal. Pada pola ini, penulis menganalogikan bahwa Mukim yang telah menjadi institusi formal dalam bagian pemerintahan Aceh masih tetap dapat dikategorikan atau setidaknya mempertahankan nilai dan norma yang telah berkembang di dalam masyarakat Mukim secara informal, sebagaimana penjelasan tentang modal sosial pada sub pembahasan selanjutnya.Konflik yang terjadi antara aturan formal dengan nilai dan norma informal yang masih diwariskan bagi generasi masyarakat Mukim di lingkungan pemerintahan otonom tersebut merupakan buah dari kebijakan nasional terhadap modal sosial Mukim di Aceh.
Asumsi tersebut berkembang sesuai bukti-bukti dari kajian yang dilakukan oleh Syaifuddin[19]. Contohnya, skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan masih dalam tahap uji coba seperti hutan kemasyarakatan, hutan desa, social forestry, dan lain-lain. Selain itu, kebijakan implementasi pengelolaan hutan adat belum memiliki kejelasan adalam aturan pelaksanaanya. Pola interaksi yang pertama sesuai dengan asumsi dan contoh tersebut dapat menggambarkan konflik yang terjadi antara kebijakan pengelolaan hutan adat dengan nilai-nilai informal Mukim di Aceh yang diemban oleh panglima uteun atau orang yang bertanggung-jawab mengurusi hutan Mukim. Implikasi dari pola yang berujung pada konflik tersebut seringkali ditandai dengan adanya hambatan dan/atau penolakan program-program pemerintah daerah di wilayah Mukim.
Kedua, institusi formal mengabaikan atau bersikap netral terhadap institusi informal. Pada pola ini, Mukim dapat dipandang dari dua sisi baik secara informal yang berjalan dengan modal sosial masyarakat adat Mukim, maupun secara formal yang berjalan sesuai dengan peraturan penyelenggaraan pemerintahan Mukim di Aceh.
Asumsi yang dapat dibangun dari pola interaksi kedua tersebut adalah, bahwa pengakuan keberadaan Mukim di Aceh dan menempatkannya sebagai unit organisasi formal dalam struktur pemerintahan di Aceh belum berjalan sesuai dengan tugas dan fungsi yang ada. Pemerintahan kabupaten/kota atau kecamatan di Aceh secara tidak langsung memarginalkan peran mukim dalam urusan-urusan yang bersentuhan dengan kepentingan publik. Ironisnya, pemerintah di Aceh belum sepenuhnya menempatkan masyarakat lokal sebagai stakeholder utama dalam pengelolaan sumber daya alam. Implikasi dari pola pengabaian atau sikap netral pemerintah terhadap lembaga Mukim tersebut ditandai dengan kurang terlibatnya individu atau sekelompok masyarakat secara ide dan gagasan. Contohnya, musyawarah duek pakat Mukim Aceh Besar untuk menuntut pengakuan kedaulatan Mukim atas pengelolaan sumber daya alam belum ditanggapi oleh pemerintah, atau pemerintah bersikap netral untuk tetap melangsungkan proyek internasional REDD Ulu Masen[20].
Berkaitan dengan kedua pola tersebut, penulis juga berpendapat bahwa penting untuk menentukan tipologi institusi informal dan formal bagi Mukim di Aceh untuk menangkap perbedaan-perbedaan dalam interaksi antarinstitusi. Helmske dan Levitsky dalam Setyawan (2006: 23-24) membagi tipologi tersebut sesuai tabel berikut.
Tabel 4.
Tipologi Interaksi Institusi Formal dan Informal

Institusi Formal Efektif
Institusi Formal Tidak Efektif
Kompatibilitas Tujuan
Komplementer
Subtitutif
Tujuan yang berkonflik
Akomodatif
Kompetitif
Sumber: Helmske dan Levitsky dalam Setyawan (2006)

Dengan pendekatan state social approach, penulis mengklasifikasikan Mukim dengan tipe subtitutif. Maknanya, pada tataran institusi informal lembaga Mukim berperan sebagai lembaga masyarakat adat yang mendukung institusi formal apabila aturan formal pemerintah tidak mampu menyelesaikan masalah dan mencapai tujuan yang diinginkan, khususnya dalam pengelolaan sumber daya alam. Namun, dengan pendekatan location of rule enforcement penulis menilai bahwa pada tataran institusi formal lembaga Mukim diklasifikasikan dalam tipe akomodatif. Implikasinya, kebijakan formal yang disusun oleh pemerintah dan dampaknya tidak disukai oleh Mukim menempatkan institusi tersebut sebagai lembaga yang diakui keberadaannya sesuai undang-undang namun tidak memiliki ruang mengubah kebijakan nasional. Tipe inilah yang kemudian memunculkan konflik antar institusi.

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan ketiga uraian yang dibahas, penulis berpendapat bahwa perjuangan lembaga Mukim di Aceh untuk tetap eksis dan diakui kedaulatannya sebagai unit organisasi pemerintahan formal yang diberi hak dan wewenang mengelola sumber daya alam layaknya institusi lainnya merupakan usaha yang berat, panjang dan butuh perjuangan keras.
Melihat keadaan modal sosial masyarakat Mukim di Aceh yang perlahan mulai bergeser akibat transformasi institusi serta interaksi Mukim yang subtitutif dan akomodatif dalam konteks pengelolaan sumber daya alam, penulis mencoba merumuskan saran atau alternatif yang dapat dipertimbangkan dalam menyikapi persoalan tersebut, yaitu:
1.      Harus disadari bahwa tugas dan fungsi Mukim dalam urusan pemerintahan tidak akan menambah rentang birokrasi, baik antara pemerintah Gampong dengan Mukim atau antara pemerintah Mukim dengan Kecamatan. Terlebih lagi, saat ini institusi formal pemerintah telah memiliki aturan dan pembagian tugas yang jelas sebagaimana tugas-tugas Imeum Mukim seperti bidang syariat islam, pembangunan dan sengketa adat. Oleh karena itu, alternatif yang penulis tawarkan adalah mengembalikan Mukim menjadi institusi informal dan bukan bagian dari unit organisasi pemerintahan di Aceh. Hal ini bertujuan untuk merevitalisasi modal sosial masyarakat Mukim di Aceh sehingga berkembang secara alamiah dalam mengatasi permasalahan publik tanpa harus berkonflik dengan pemerintah.
2.      Apabila pemerintah tetap mempertahankan Mukim sebagai bagian dari struktur pemerintahan di Aceh, maka alternatif kedua yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah Aceh adalah (1) melakukan peninjauan atau evaluasi mengenai efektifitas dan efisiensi penyelenggaran pemerintahan Mukim di Aceh, kemudian menempatkan temuan-temuan sebagai pedoman untuk membagi tugas dan kewenangan secara jelas kepada Mukim; (2) membantu penguatan modal sosial masyarakat Mukim yang sempat tidak solid akibat transformasi atau interaksi antar institusi; (3) memberikan dan memberdayakan perangkat kerja mukim dengan pengetahuan dan keahlian untuk melakukan lobi-lobi politik, pengelolaan pemerintahan yang baik dan pemahaman nilai-nilai dan norma organisasi sesuai warisan leluhur; dan (4) menjembatani institusi pemerintah lainnya dengan sosialisasi secara luas dan komprehensif tentang keberadaan dan kedaulatan mukim.

Daftar Bacaan

Amiruddin. 2010. Peranan Imeum Mukim terhadap Perencanaan Partisipatif Masyarakat Kemukiman Blang Siguci Kecamatan Idi Tunong Kabupaten Aceh Timur Provinsi Aceh. Universitas Sumatera Utara: Medan.
Eaton, Joseph W. 1986. Pembangunan Lembaga dan Pembangunan Nasional: Dari Konsep ke Aplikasi. Universitas Indonesia Press: Jakarta.
Fukuyama, Francis. 2007. Trust: Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran. Triarga Utama: Jakarta.
Leriman. 2012. Peran Mukimdalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Kecamatan Rikit Gaib Kabupaten Gayo Lues Provinsi NAD. Unimed: Medan.
Lombard, Denys. 2006. Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Kepustakaan Populer Gramedia: Jakarta.
Maulana, Fatwa. 2009. Pemanfaatan Modal Sosial Masyarakat pada Program Pembangunan Gampong (PPG) Kecamatan Baktiya Barat Kabupaten Aceh Utara. Universitas Sumatera Utara: Medan.
Setiawan, Hany. 2006. Institusi Informal dalam Birokrasi Pemerintah: Studi Dinamikan Interaksi Institusi Informal dan Dormal di Balai Taman Nasional Karang Lestari. Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.
Sutoro, Eko, W. Riawan Tjandra, Muhammad Umar (EMTAS). 2007. Bergerak Menuju Mukim dan Gampong. Institute for Research and Empowerment: Yogyakarta.

Foot Note

[1] Peran Mukim dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Kecamatan Rikit Gaib Kabupaten Gayo Lues Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2012, h. 5 (digilib.unimed.ac.id tanggal 20 Maret 2013)
[2] Peranan Imeum Mukim terhadap Perencanaan Partisipatif Masyarakat Kemukiman Blang Siguci Kecamatan Idi Tunong Kabupaten Aceh Timur Provinsi Aceh, 2010, h. 4 (repository.usu.ac.id tanggal 20 Maret 2013)
[3] Memperkuat Mukim dalam PSDA di Aceh (greenaceh.wordpress.com tanggal 20 Maret 2013).
[4] Kewenangan Mukim dalam PSDA tanggal 9 Juni 2012 (greenaceh.or.id tanggal 20 Maret 2013).
[5] Pemahaman tentang Institusi: Berbagai permasalahan konsep dan definisinya (Disadur dari salah satu slide materi mata kuliah Pengembangan Kelembagaan MAP Bappenas VII Semester II oleh Dosen Pengampu: Dr. Erwan Agus Purwanto dan Dr. Dewi Haryani Susilawati.
[6] Institusi Informal dalam Birokrasi Pemerintah: Studi Dinamika Interaksi Institusi Informal dan Formal di Balai Taman Nasional Karang Lestari (Tesis Hany Setiawan, mahasiswa MAP UGM tahun 2006).
[7] Lombard, h. 109 dan 111.
[8] ibid.
[9] Sejarah Mukim di Aceh: Sebuah Artikel seri 1, 2 dan 3 (Blog Agus Budi W. tahun 2009)
[10] Sekilas tentang Mukim dan Gampong di Aceh (International Developtment Law Organization).
[11] ibid (Slide Materi Kuliah Pengembangan Kelembagaan)
[12] ibid h. 42-43
[13] Di Bireun, Camat Hapus Hak Mukim (www.atjehpost.com tanggal 6 Juni 2012). Diakses tanggal 20 Maret 2013.
[14] ibid (Kewenangan Mukim dalam PSDA)
[15] Pemanfaatan Modal Sosial Masyarakat pada Program Pembangunan Gampong (PPG) Kecamatan Baktiya Barat Kabupaten Aceh Utara (Tesis tahun 2009 yang disusun oleh Fatwa Maulana, Mahasisiswa Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah di Universitas Sumatera Utara).
[16] REDD di Aceh tidak ditolak, tapi belum tentu diterima (Transparency Internasional Indonesia tanggal 1 November 2012)
[17] Konversi Modal Sosial menuju Modal Politik (Tugas Kuliah MAKP UI tahun 2007)
[18] ibid (footnote n. 17) dan Making Democracy Work karya Robert D. Putnam.
[19] ibid (footnote n. 3)
[20] ibid (footnote n. 16)

Comments

Popular posts from this blog

Kebijakan Relokasi Kerusuhan terhadap Korban Pengungsi di Kabupaten Sambas Tahun 1999: Konflik Etnis antara Madura dan Melayu

Internally displaced Persons adalah sebuah istilah bagi para kelompok masyarakat yang pindah dari tempat tinggalnya dan menetap di daerah lain untuk menetap sementara waktu atau hal ini dikenal dengan istilah pengungsi. Sambas adalah sebuah Kabupaten yang terletak di bagian pesisir yang di tempati oleh berbagai suku etnis misalnya suku bugis, madura, jawa batak dll, namun Kabupaten Sambas mayoritas ditempati oleh Melayu, Dayak dan Cina (Tiong Hoa). Khusus tentang konflik Sambas pada tahun 1999 yang terjadi adalah etnis Melayu Sambas dengan suku Madura (yang bertempat tinggal di Sambas) yang menewaskan ratusan jiwa dan hancurnya ratusan rumah dan harta warga Madura. Rekonsiliasi Konflik

Rekrutmen dan Seleksi Pegawai Pemerintah: Sebuah Kajian dari Praktek dan Tren Modern Internasional

Pemerintah di seluruh dunia menghadapi tantangan kepegawaian yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pada saat pemerintah butuh bakat daya pikat paling trampil untuk pelayanan publik, kemampuan mereka untuk melakukannya telah begitu jarang sehingga rumit dan dibatasi oleh ekonomi, sosial dan tekanan organisasi. Artikel ini memberikan gambaran jenis inisiatif rekrutmen dan seleksi di tempat di banyak negara yang dapat membantu pemerintah dunia ini menarik dan mempertahankan bakat. Bergantung pada contoh dari Amerika Serikat dan Eropa Barat, namun juga mengintegrasikan pengalaman dari berbagai negara maju dan kurang berkembang (LDCs), kami menjelaskan serangkaian perekrutan dan seleksi "praktik terbaik." Suasana Penerimaan Peserta Tes CPNS

Bintang dari Manglayang dan Nakhoda Pemerintahan: Sebuah Refleksi Ikrar Pamong yang didedikasikan untuk seluruh Purna Praja STPDN/IPDN di Indonesia

Ksatrian IPDN Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat (Rabu, 28 Agustus 2013) “ Kami Putra-putri Indonesia yang memiliki profesi sebagai Pamong, berjanji: Setia kepada Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 ; Sedia berkorban untuk kepentingan, negara/bangsa dan masyarakat ; Siap melayani dan mengabdi untuk kepentingan masyarakat dimana pun kami bertugas. Kami sadar, ikrar ini didengar oleh Tuhan dan manusia, semoga Tuhan memberikan kekuatan lahir dan batin agar kami dapat melaksanakan ikrar kami ini.” ( Ikrar Pamong ) Bintang Purna Praja kembali bertambah jumlahnya dan bersinar di langit Indonesia. Sesaat setelah pin Purna Praja berwarna kuning keemasan itu disematkan di sebelah kanan dada pakaian kebesaran, suara lantang dari Pamong Praja Muda IPDN Angkatan XX berkumandang di Ksatrian dan seantero Jatinangor. Suara keyakinan dan kesiapan putra-putri Kawah Candradimuka yang menegaskan Ikrar Pamong bagi bangsa dan negara. Saat ikrar itu d