Latar Belakang
Paper ini
membahas tentang Pengembangan Lembaga Mukim di Aceh dalam Mengelola Sumber Daya
Alam ditinjau dari aspek Modal Sosial dan Interaksi Institusi. Sebagai sebuah
lembaga pemerintahan yang lahir dari rahim otonomi khusus, Mukim telah
bertransformasi dari institusi informal menjadi institusi formal. Pengakuan
keberadaan dan kedaulatan Mukim dalam organisasi pemerintahan di Aceh dapat
dianggap sebagai hikmah atas perjuangan dengan nilai historis dan modal sosial
yang besar di dalam kehidupan bermasyarakat. Namun, kejelasan pelaksanaan tugas
dan fungsi organisasi Mukim sebagaimana diatur dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh juga dinilai masih menerawang alias kabur.
Sudah banyak
tulisan maupun hasil penelitian yang menguraikan berbagai masalah terkait
penyelenggaraan pemerintahan di Aceh oleh lembaga Mukim. Pada umumnya, kajian
yang berhasil dibahas secara lugas dan mendalam adalah tentang peran Mukim dalam
penyelenggaraan pemerintahan secara luas. Leriman[1]
mengemukakan bahwa sejauh ini Mukim masih terfokus dalam hal-hal yang bersifat
adat-istiadat dan syariat islam semata. Selain itu, salah satu Mukim di
kecamatan dalam kabupaten Gayo Lues sesuai tulisannya juga menunjukkan
kerancuan pelaksanaan tugas dan fungsi Mukim yang sering berbarengan dengan
pemerintah kecamatan.
Kekuatan modal
sosial yang bersemayam dalam Mukim di Aceh nyatanya punya potensi yang sangat
baik untuk dikembangkan. Namun setelah Mukim menjadi salah satu unit
pemerintahan khusus di Aceh, peran mukim dalam merencanakan atau mendiskusikan
berbagai hal yang menyangkut kepentingan masyarakat di wilayahnya justru
semakin menurun. Padahal, menurut Amiruddin[2]
sejak dahulu masyarakat Aceh punya hubungan erat dengan lembaga mukim, mengenal
dan lebih terbuka dalam menyampaikan aspirasi.
Berkaitan dengan
kedua hasil penelitian tersebut, dua buah artikel menulis dan mengakui bahwa
eksistensi Mukim yang sudah diakui secara de
jure ternyata tidak sejalan dan selaras secara de facto. Pada dasarnya, keterlibatan mukim dalam perencanaan dan
pengelolaan sumber daya alam di Aceh memiliki peran yang sangat besar daripada
hanya diakui sebagai unit pemerintahan yang berfungsi sebagai pemangku adat
semata.
Asumsi itu
tertuang dalam tulisan Syaifuddin[3]
yang mengemukakan bahwa mukim sebagai masyarakat hukum adat di Aceh memang
memiliki struktur pengaturan masyarakat berbasis sumber daya alam, akan tetapi
eksistensi mukim sebagai institusi formal saat ini belum mampu menghadapi
persoalan dan kenyataan bahwasanya negara—dalam hal ini pemerintah—belum
mengakui kekuasaan, hak dan wilayah kelola mukim. Tulisan tersebut juga
dibenarkan oleh Taqwaluddin Husein[4],
sehingga permasalahan yang paling utama adalah upaya untuk membuat eksistensi
mukim bukan lagi sebagai lembaga adat yang tak punya kuasa dalam mengatur dan
memerintah.
Melalui
sumber-sumber tulisan akademik, karya ilmiah, hasil penelitian, riset, dan
informasi yang tersedia secara luas penulis mencoba untuk mengkaji dan
menganalisa permasalahan tersebut ditinjau dari aspek modal sosial dan
interaksi institusi. Oleh karena itu, sekiranya ada tiga poin penting yang
menjadi sub pembahasan dalam tulisan ini.
Pertama, transformasi lembaga mukim dari
institusi informal menjadi institusi formal. Perjalanan perubahan bentuk atau
wujud lembaga mukim menjadi bagian utama untuk dideskripsikan secara singkat
dan lugas. Hal ini bertujuan untuk memahami konsep, tugas dan fungsi Mukim
ketika berada pada level komunitas masyarakat adat hingga beranjak pada level
unit organisasi pada struktur pemerintahan di Aceh saat ini.
Kedua, identifikasi dan pemanfaatan
modal sosial pada lembaga Mukim. Penulis memandang bahwa Mukim di Aceh terdiri
dari masyarakat adat yang memiliki modal sosial sesuai tingkat dan tataran
tertentu yang erat kaitannya pada konteks pengelolaan sumber daya alam, atau
awam dikenal dengan istilah ilmiah sebagai konsep berupa common pool resources. Pada bagian ini, perlu dikaji dan dianalisa
bagaimana individu-individu dalam Mukim mengembangkan kelembagaan untuk
menyelesaikan persoalan SDA di wilayahnya.
Ketiga, berlangsungnya interaksi Mukim
dengan gampong-gampong dan organisasi perangkat daerah pemerintahan di Aceh saat
ini. Arah percepatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan di Aceh dengan
pemanfaatan sumber daya alam yang maksimal mengharuskan lembaga Mukim agar
dapat berinteraksi dengan institusi lainnya. Hal ini juga bertujuan untuk
mengungkap bagaimana seharusnya Mukim memanfaatkan modal sosialnya agar mampu
berinteraksi dengan baik, sehingga tidak terjadi kerancuan pelaksanaan tugas
dan fungsi mukim yang dinilai berbarengan dengan tugas dan fungsi pemerintah
yang sudah ada.
Dalam memahami
sejarah dan transformasi yang terjadi pada mukim di Aceh, pendekatan yang
paling cocok untuk digunakan adalah pendekatan dengan perspektif historical institutionalism[5]. Perspektif ini
mencoba memahami mukim dari proses terbentuknya, sehingga mampu menjelaskan
proses pergantian antara norma-norma dan nilai-nilai yang lama dengan yang
baru. Beberapa ciri yang melekat pada pendekatan yang bersifat historis ini
adalah bahwa pergantian norma dan nilai yang baru itu tidak selalu berjalan
dengan ideal, namun justru acap kali bersifat radikal dan penuh dengan
pertentangan.
Menurut penulis,
perspektif ini dipandang tepat untuk menggambarkan dan menganalisa bagaimana
proses perubahan institusi mukim terjadi di Aceh sehingga saat ini mukim dikenal
sebagai unit organisasi yang diakui dalam struktur pemerintahan Aceh.
Sesuai dengan
catatan sejarah, Mukim telah eksis di dalam tata pemerintahan Kerajaan Aceh
pada zaman kekuasaan Iskandar Muda tahun 1607-1636. Lombard (2006: 115-116)
menguraikan bahwa terdapat pembagian wilayah di negeri Aceh yang dinamakan “Groot Atjeh” yang terdiri dari empat kaum, tiga sagi yang kemudian dibagi lagi atas mukim dan sebagainya. Pada prinsipnya, Sultan Iskandar Muda
menggabungkan kampung-kampung yang diatur sebagai sebuah federasi hingga
istilah penggabungan kampung tersebut dikenal sebagai mukim dan sagi. Namun,
sistem pemerintahan yang ada belum diatur secara rigid dan tertib karena Sultan Iskandar Muda lebih mengandalkan
para pengawas dan gubernurnya yang setia untuk mengawal dan mengelola
pemanfaatan sumber daya alam oleh rakyat Aceh.
Penjelasan
Lombard boleh jadi memberikan gambaran singkat bahwa Mukim pada zaman Sultan
Iskandar Muda merupakan sebuah bagian wilayah kerajaan yang terbentuk dari
gabungan kampung-kampung di lingkungan Kerajaan Aceh. Hal ini menunjukkan
indikasi telah terbentuk pembagian wilayah perdagangan dengan potensi sumber
daya alam, kemudian disebut sebagai mukim,
walau pada faktanya lembaga tersebut hanyalah kumpulan masyarakat adat dan sosial
kerajaan yang memanfaatkan sumber daya alam sesuai dengan kontrol dari pengawas
kerajaan atau para gubernur di bawah rentang kendali Sultan. Pada tataran
demikian, penulis berasumsi bahwa Mukim yang dimaksud merupakan salah satu pranata
sosial awal di antara masyarakat Aceh dalam konsep cikal bakal institusi informal.
Setiawan (2006:
18-19)[6]
merangkum definisi tentang institusi informal dari pendapat berbagai ahli dalam
ciri pokok institusi sosial, yakni adanya sistem norma sebagai pembentuk
institusi dan pencapaian tujuan sosial atau penyelesaian permasalahan sosial
sebagai tujuan pembentukan institusi sosial. Kumpulan masyarakat kampung yang
bergabung dalam sebuah wilayah Mukim di Kerajaan Aceh memiliki sederetan norma
dalam memanfaatkan sumber daya alam untuk kepentingan pribadi maupun
kepentingan kerajaan. Namun, masyarakat di dalam Mukim belum sepenuhnya menjadi
institusi informal yang mampu mengurus federasinya sendiri. Pada kenyataannya,
Sultan berperan besar dalam menentukan pendapatan kerajaan yang bersumber dari
tanah dan laut dengan pengawasan yang ketat sekali[7].
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada masa Kerajaan Aceh lembaga mukim
adalah cikal bakal institusi informal yang masih bergantung pada pemerintahan
Sultan untuk memenuhi kebutuhannya, terutama yang berkaitan dengan pemanfaatan
dan pengelolaan sumber daya.
Pada
perkembangannya, masyarakat Mukim dalam konteks cikal bakal institusi informal
mengembangkan adat-istiadat sesuai nilai-nilai kerajaan. Menurut Sutoro (2007:
42-43) Sultan Iskandar Muda melakukan penataan kehidupan adat dan nilai-nilai
masyarakat Mukim melalui norma tertulis dan tidak tertulis yang disebut dengan Adat Meukuta Alam. Pada saat inilah Mukim
menjadi bagian wilayah dan bagian pemerintahan Kerajaan Aceh yang membawahi
desa-desa atau kampung-kampung di wilayah kerajaan. Sultan kemudian memberikan
wewenang kepada Imeum Mukim atau
orang yang menjadi pimpinan pada salah satu mukim dan bertugas
mengkoordinasikan pelaksanaan pemerintahan di desa-desa atau lebih dikenal
dengan sebutan gampong. Tugas utama Imeum Mukim pada saat itu adalah sebagai
pelaksana adat-istiadat dan syariat islam di Aceh. Namun, dengan adanya
kebutuhan pihak Kerajaan Aceh untuk mengumpulkan pendapatan dari tanah dan laut
sebagaimana dijelaskan di atas, maka peran Mukim saat itu diatur sesuai jenis potensi
SDA dan keadaan geografis di wilayahnya dengan tujuan memaksimalkan pemasukan
kerajaan demi messejahteraan masyarakat. Akhirnya, pada masing-masing lembaga
Mukim mulai ditunjuk orang-orang yang bertanggung-jawab di masing-masing bidang
pengelolaan sumber daya alam. Misalnya: Kejruen
Blang pada bidang adat persawahan, Peutua
Seneubok pada bidang perkebunan, Panglima
Laoet bertanggungjawab dalam adat laut, atau Pawang Glee di bidang hutan, Syah
Banda di bagian pelabuhan, serta Haria
Peukan di bidang perdagangan.
Penulis
berpendapat bahwa Adat Meukuta Alam
yang didesain pada masa Sultan Iskandar Muda mulai menempatkan Mukim sebagai
sebuah institusi formal. Beranjak dari teori yang dikemukakan oleh Robbin dalam
Setiawan (2006: 14) tentang komponen utama dari struktur organisasi yaitu (1) kompleksitas, yaitu komponen yang
merujuk pada tingkat diferensiasi yang ada dalam tubuh organisasi; (2) formalisasi, yaitu komponen yang
berkaitan dengan sejauh mana pekerjaan dalam organisasi distandardisasi; dan (3)
sentralisasi, yaitu komponen yang
menjadi tingkat sejauh mana kekuasaan formal dapat membuat kebijakan yang
dikonsentrasikan pada satu individu, sebuah unit atau suatu tingkat. Komponen
tersebut dapat menjadi beberapa ciri yang dimiliki oleh Mukim pada tataran
institusi formal sesuai dengan pedoman Adat
Meukuta Alam. Hal itu terlihat dari adanya pembagian tugas pengelolaan
sumber daya alam oleh orang-orang tertentu di wilayah mukim tertentu. Dengan
kata lain, Kerajaan Aceh telah mengatur secara rigid, formal dan tertib tentang kewenangan Mukim dalam
memanfaatkan nilai-nilai adat dan norma di dalamnya guna membantu pemerintah
mengumpulkan pendapatan kerajaan dari sumber daya alam di wilayah mukim.
Seiring
berjalannya waktu, Sutoro[8]
menggambarkan bahwa negeri Aceh mulai memasuki masa peperangan yakni Perang
Aceh melawan Belanda pada tahun 1873 s.d 1942. Akibat dari perang tersebut,
banyak gampong (kampung atau desa)
dan mukim menjadi kosong atau ditinggal penghuninya. Pada akhirnya, Belanda semenjak
tahun 1935 melalui V.O.C melakukan pendudukan terhadap Aceh dan masyarakat
dalam komunitas mukim dan gampong. Demikian pula Jepang yang berhasil menduduki
Aceh pada tahun 1942 s.d 1945. Namun, kedua negara penjajah tersebut mengakui
keberadaan mukim beserta dengan kehidupan adat, norma dan nilai-nilai yang ada
di dalam masyarakat Mukim walaupun pedoman penataan kehidupan adat yang berasal
dari Kerajaan Aceh pada masa penjajahan mulai diubah dan disesuaikan secara
perlahan menurut sistem pemerintahan Hindia Belanda dan sistem pemerintahan
Jepang. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan lahirnya berbagai peraturan
perundang-undangan dari bangsa penjajah sesuai keadaan masyarakat saat itu,
terutama mengenai peradilan adat dan pemanfaatan SDA demi kepentingan penjajah.
Perbedaannya, Belanda dengan konsep ordonantie
memberikan kebebasan bagi desa-desa di dalam Mukim untuk berkembang sesuai
potensi dan kemampuan yang dimilikinya, sedangkan Jepang mengatur secara ketat
kemampuan tersebut demi membentuk loyalitas Mukim[9].
Dari penjelasan
tersebut, penulis berasumsi bahwa norma institusi formal Mukim di Aceh yang
berpedoman pada Adat Meukuta Alam
sempat terancam musnah akibat perang dan penjajahan bangsa asing. Namun, karena
Pemerintah Hindia Belanda dan Pemerintah Jepang mendukung kehidupan
sosio-kultural masyarakat di Aceh termasuk di wilayah mukim, keduanya
memberikan pengakuan terhadap keberadaan Mukim walaupun dengan konsep yang
berbeda bagi masyarakat yang ada di dalamnya untuk mengurus dirinya sendiri.
Ciri-ciri seperti ini juga belum menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan
kehidupan masyarakat mukim pada saat masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda.
Namun, setidaknya pengakuan secara tertulis dalam regulasi pemerintahan di Aceh
pada masa penjajahan telah menunjukkan pengakuan bangsa asing terhadap eksistensi
pranata sosial masyarakat adat di Mukim.
Pada zaman
kemerdekaan, keberadaan Mukim sebagai salah satu jenis kesatuan masyarakat adat
diakui dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Walaupun Mukim tidak diberikan
wewenang menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, keberadaannya sebagai
institusi formal pada masa tersebut mampu menjadi penguat pelaksanaan syariat
islam dan kelangsungan sistem adat serta sosial budaya masyarakat di
masing-masing Mukim.
Namun, seiring
berkembangnya regulasi sistem pemerintahan daerah di Indonesia, keberadaan
Mukim lenyap seketika terutama ketika masyarakat di dalam Mukim mulai
dikondisikan untuk tidak menyentuh unit-unit pemerintahan yang telah diatur
secara sentralistis oleh pemerintah pusat. Hal tersebut dibenarkan oleh
Sulaiman Tripa[10] yang menyebutkan bahwa
Mukim lebih cenderung difungsikan dalam kegiatan adat istiadat atau
penyelesaian sengketa dalam hukum adat semata. Ini merupakan dampak dari UU No.
5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang menyeragamkan seluruh bentuk tata
kelola wilayah pemerintahan di daerah dengan sebutan desa, sehingga eksistensi
Mukim yang awalnya diakui sebagai sebuah wilayah dan institusi formal kemudian diakui
hanya sebagai lembaga adat bersifat informal di luar unit pemerintahan lokal
yang ada. Kebijakan pada era orde baru saat itu telah mengembalikan Mukim
menjadi sebuah lembaga informal dan bukan bagian dari pemerintahan daerah di
Daerah Istimewa (D.I) Aceh.
Hikmah dari era
reformasi 1998-1999, penanganan konflik RI dan GAM secara desentralisasi
asimetrik melalui pemberikan hak otonomi khusus bagi Aceh tahun 2001,
penanganan bencana gempa dan tsunami pada tahun 2004, hingga upaya perdamaian
konflik melalui MoU Helsinki tahun 2005 telah memberikan perhatian khusus bagi
penyelenggaraan pemerintahan di Aceh terutama merevitalisasi lembaga Mukim.
Penulis melihat bahwa proses revitalisasi tersebut tidak hanya menghidupkan
kembali Mukim di Aceh yang sempat hilang akibat political will orde baru, akan tetapi merupakan sebuah proses
transformasi atau perubahan dari lembaga Mukim informal menjadi lembaga Mukim
formal dalam salah satu bagian unit pemerintahan khusus di Aceh saat ini.
Berdasarkan UU
No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Mukim diartikan sebagai kesatuan
masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas hubungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah
tertentu yang dipimpin oleh Imeum Mukim
atau nama lain dan berkedudukan langsung di bawah camat. Pada salah satu pasal
juga disebutkan bahwa Imeum Mukim bersama
dengan orang-orang yang bertanggungjawab dalam bidang pengelolaan sumber daya
alam di gampong-gampong atau wilayah
mukim ditempatkan sebagai bagian dari Lembaga Adat di Aceh. Hal ini menegaskan
revitalisasi dan transformasi yang dimaksud di atas, sehingga Mukim pada saat
ini diibaratkan seperti dua sisi mata uang yang memiliki tugas dan fungsi di
bagian pemerintahan serta tugas dan fungsi di bagian adat.
Dalam fenomena
transformasi institusi, penulis berpendapat bahwa model perubahan yang terjadi
pada Mukim di tiap alur sejarah yang dilewatinya merupakan model disruptive case[11]. Model ini
menekankan pada perubahan faktor eksternal di luar institusi sehingga menjadi
tuntutan dan tuntunan bagi sebuah institusi untuk berubah, baik secara empiris
dan ideologis. Fakta-fakta sejarah yang ada menunjukkan perubahan lembaga Mukim
dari cikal bakal institusi informal, kemudian menjadi institusi formal, lalu
mengalami perubahan kembali menjadi institusi informal, hingga pada akhirnya
hidup kembali menjadi institusi formal. Pandangan empiris dan ideologis
perubahan Mukim tersebut ditunjukkan dengan adanya perubahan pengelolaan
pemerintahan daerah mulai dari fenomena sentralisasi kerajaan, pengambil-alihan
kekuasaan karena penjajahan, lahirnya kemerdekaan, sentralisasi orde lama dan
orde baru, hingga desentralisasi kewenangan di era reformasi dan otsus.
Model
transformasi ini pun memberi efek pada tugas, fungsi dan peran Mukim khususnya
dalam hal sumber daya alam. Sutoro[12]
mengidentifikasikan bahwa setidaknya ada dua peran Mukim yang bersentuhan pada
bidang sumber daya alam, yakni dalam wilayah adat berupa pelaksanaan kenduri
adat dan pengelolaan sumber daya alam, serta dalam wilayah pembangunan berupa
hak memberikan izin penggunaan SDA sesuai azas konsevasi alam.
Pada saat ini,
transformasi Mukim menjadi lembaga formal dalam pengelolaan sumber daya alam
masih membutuhkan perjuangan untuk mendapatkan kedaulatan dan pengakuan dari
negara. Pasalnya hak ulayat mukim dan kewenangan yang telah diatur dalam UUPA
dan Qanun Aceh No. 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim masih membutuhkan
kajian sinkronisasi dan adaptasi dengan peraturan perundang-undangan
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang telah ada sebelumnya.
Apalagi, tata kelola pemerintahan Mukim di masing-masing kabupaten/kota yang
ada di Aceh saat ini dipastikan berbeda satu sama lain, mengingat kondisi
geografis, potensi sumber daya alam dan kemampuan masing-masing Mukim yang
beragam.
Kesimpulan dari
bagian ini adalah transformasi perubahan Mukim dari lembaga informal menjadi
lembaga formal adalah munculnya isu-isu strategis tentang pengelolaan sumber
daya alam oleh para perangkat Mukim yang bergerak di masing-masing bidang
dengan perpaduan antara pendekatan adat dan sosio-kultural masyarakat dengan
kebijakan-kebijakan pemerintah yang mengatur tentang pemanfaatan dan
pengelolaan SDA tersebut.
Ini merupakan
tantangan terbesar bagi pemerintah dan masyarakat Aceh dalam rangka
mendaulatkan Mukim sebagai unit organisasi pemerintahan yang mampu melaksanakan
tugas, fungsi dan peran sesuai dengan nilai-nilai yang dimiliki di dalamnya.
Pada kenyataannya, justru transformasi tersebut menimbulkan permasalahan yang
baru sehingga dukungan untuk mengembalikan kesejatian fungsi dan kedaulatan
Mukim selalu dipenuhi jalan berliku dan resistensi dari institusi yang ada.
Misalnya: Di Bireuen, salah satu pemerintah kecamatan menghapus nama mukim di
stempel dan kop surat pemerintah gampong dengan tujuan meniadakan fungsi mukim
yang dianggap mengganggu dan mengusik kekuasaan camat[13].
Hal ini merupakan salah satu tantangan dari perubahan yang memerlukan jawaban
lewat penelitian ilmiah secara mendalam, sehingga dapat diidentifikasi dan
diketahui faktor-faktor pendukung dan penghambat perubahan serta keberadaan
atau eksistensi Mukim di era kekinian.
Mengutip pendapat
dari Taqwaluddin Husein[14]
bahwa kekuasaan Mukim atas sumber daya alam merupakan eksistensinya bersama
satuan kerja perangkat mukim lainnya. Namun, penulis menambahkan pentingnya
modal sosial bagi satuan kerja itu agar nilai-nilai yang telah dianut sejak
dulu bermanfaat dengan baik walau Mukim berada pada tataran yang formal.
Modal Sosial Masyarakat
Mukim di Aceh
Sebagaimana
uraian pada sub pembahasan pertama, penulis memandang perlu untuk
mengindentifikasi bentuk modal sosial pada tatanan masyarakat Mukim di Aceh.
Dalam konteks persoalan pengelolaan sumber daya alam di wilayah mukim, modal
sosial masyarakat memiliki potensi besar untuk menentukan peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
Beberapa pokok
pikiran utama penting untuk digarisbawahi. Pertama, bahwa Mukim yang dimaksud pada
pembahasan ini merupakan kumpulan masyarakat dari berbagai gampong. Apabila kita menganalisa modal sosial masyarakat Mukim di
Aceh, secara harfiah kita menganalisa modal sosial masyarakat gampong di wilayah mukim tertentu. Kedua, pengelolaan sumber daya alam
merupakan salah satu bagian dari pembangunan demi kesejahteraan masyarakat.
Berbicara mengenai sumber daya alam, sudah barang tentu berbicara tentang pembangunan
masyarakat mukim dan gampong melalui
pemanfaatan sumber daya alam di Aceh.
Sesuai dengan ide
di atas dan terbatasnya hasil penelitian yang mampu menggambarkan modal sosial
di Aceh secara komprehensif, penulis memutuskan untuk memaparkan data salah satu
hasil penelitian yang dilakukan oleh Fatwa Maulana[15].
Beliau mengkaji hakikat modal sosial masyarakat pada 10 (sepuluh) gampong atau desa dari aspek kepercayaan
(trust), jaringan sosial (networks) dan pranata sosial (social institution). Kajian tersebut
dilakukan dengan metode Forum Group
Discussion (FGD) dengan melibatkan peserta meliputi perwakilan dari keuchik atau kepala desa, tokoh agama,
tokoh adat, tokoh wanita dan tokoh pemuda. Penulis mengolah data hasil
penelitian melalui tiga tabel prosentase di bawah ini.
Tabel 1.
Prosentase Hakikat Kepercayaan/Trust
No.
|
Variabel
|
Prosentase (%)
|
|
Positif
|
Negatif
|
||
1.
|
Kejujuran
|
60
|
40
|
2.
|
Kewajaran
|
90
|
10
|
3.
|
Egaliter
|
70
|
30
|
4.
|
Toleransi
|
60
|
40
|
5.
|
Kemurahan Hati
|
100
|
-
|
Sumber: Hasil Penelitian Maulana (data diolah penulis)
Dari Tabel 1. dan uraian
yang dibahas dalam tesis Maulana, penulis dapat menganalisa beberapa poin-poin
penting yang dikaitkan dengan modal sosial masyakat mukim yaitu:
1. Kejujuran merupakan bagian
utama dari hakikat kepercayaan (trust)
dalam modal sosial masyarakat gampong.
Robbins dalam Maulana (2009: 14) berpendapat bahwa kejujuran adalah sebuah
unsur dari kepercayaan yang berhubungan
dengan ketulusan dan keadaan yang sebenarnya. Apabila pembangunan—dalam konteks
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam—tidak memberi output dan outcome yang
diharapkan oleh masyarakat, maka masyarakat akan semakin kecewa sehingga timbul
ketidakpercayaan bagi pengelola pemerintahan Mukim.
2. Kewajaran adalah hal yang
paling menonjol ketika masyarakat mukim dan gampong
mengontrol pemanfaatan sumber daya alam menjadi program-program pembangunan
yang bertujuan demi kesejahteraan rakyat. Salah satu hakikat kepercayaan (trust) ini sebenarnya mampu menjadi
model kontrol sosial bagi Mukim, baik pemerintah maupun masyarakatnya, untuk
tetap menjaga nilai-nilai pengelolaan sumber daya alam yang berbasis pada
kelestarian lingkungan. Contoh kongkret ketidakwajaran tersebut ditunjukkan
pada biaya yang lebih besar daripada kegiatan yang seharusnya atau lebih
dikenal dengan istilah mark up.
3. Egaliter menurut pandangan Mario Gagho dalam Maulana (2009: 14)
merupakan salah satu ciri yang lebih awam dikenal dengan pemimpin yang
merakyat. Dalam konteks pembahasan ini, kedudukan dan peran Imeum Mukim menentukan tercapainya
kesatuan atau integrasi masyarakat Mukim yang dipimpinnya. Apabila pengelolaan
dan pemanfaatan SDA tidak dikomunikasikan dengan baik serta akses masyarakat
kepada pimpinan adat di wilayah mukim tidak maksimal, maka dapat dipastikan
kepercayaan terhadap perangkat kerja mukim semakin menurun.
4. Toleransi adalah hakikat
kepercayaan yang berbasis pada sikap terbuka, lapang dada, sukarela dan
kelembutan. UNESCO dalam Maulana (2009: 15) mengartikan toleransi sebagai sikap
saling menghormati, menerima, menghargai dan kebebasan berekspresi. Masyarakat
mukim dan gampong semakin tidak
percaya apabila sifat individu pada pemimpin atau antar masyarakat lebih
menonjol.
5. Kemurahan Hati adalah sikap
yang hampir sama dengan toleransi. Perbedaanya terletak pada kebijaksanaan
pimpinan Mukim atau masyarakat dalam menghadapi persoalan yang berkaitan
tentang pemanfaatan sumber daya alam.
Tabel 2.
Prosentase Hakikat Jaringan Sosial/Networks
No.
|
Variabel
|
Prosentase (%)
|
|
Positif
|
Negatif
|
||
1.
|
Partisipasi
|
60
|
40
|
2.
|
Pertukaran Timbal Balik
|
90
|
10
|
3.
|
Solidaritas
|
90
|
10
|
4.
|
Kerja Sama
|
90
|
10
|
5.
|
Keadilan
|
50
|
50
|
Sumber: Hasil Penelitian Maulana (data diolah penulis)
Adapun beberapa poin penting yang dapat dianalogikan antara
hasil penelitian dengan pemanfaatan modal sosial masyarakat Mukim di Aceh dalam
pengelolaan SDA adalah:
1. Partisipasi dipandang
sebagai keterlibatan masyarakat mulai dari tahap pembuatan keputusan, penerapan
keputusan hingga penikmatan hasil evaluasi sebagaimana yang diterangkan oleh
Cohen dan Uphoff dalam Maulana (2009: 21). Tanpa adanya sikap rela berkorban
karena dipengaruhi tekanan eksternal, masyarakat Mukim enggan berpartisipasi
sehingga jaringan tidak terbentuk dengan baik.
2. Pertukaran timbal balik
adalah salah satu pembentukan jaringan sosial yang mengawali komunikasi antara
perangkat kerja dan masyarakat di Mukim. Sebuah ucapan terima kasih diyakini
mampu membangun semangat yang baik di dalam kehidupan sosiokultural masyarakat
adat dan pemerintahan Mukim.
3. Solidaritas menurut Lawang
dalam Maulana (2009: 24) merupakan suatu keadaan hubungan antara individu atau
kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan diperkuat oleh pengalaman
emosional bersama. Perubahan institusi mukim dari informal menjadi formal sedikit
banyak berdampak pada solidaritas masyarakat, terutama saat fungsi-fungsi
pemerintahan dan adat menyentuh urusan pengelolaan sumber daya alam bagi
pihak-pihak terkait dalam Mukim.
4. Kerja sama sangat dibutuhkan
ketika jaringan sudah terbentuk. Perangkat kerja Mukim yang membidangi
persawahan, perkebunan, laut, perdagangan, atau kehutanan terbentuk dari
hubungan persaudaraan yang kuat. Namun, terkadang perkembangan kerja sama dapat
berubah menjadi hubungan bisnis.
5. Keadilan dijelaskan oleh
Faturrochman dalam Maulana (2009: 20) sebagai situasi sosial ketika norma
tentang hak dan kelayakan dipenuhi. Pemanfaatan SDA sangat membutuhkan hakikat
keadilan agar pemerataan dan kesempatan semua pihak dalam wilayah Mukim untuk mengelola
dan menggunakannya tercapai.
Tabel 3.
Prosentase Hakikat Pranata Sosial/Social Institutions
No.
|
Variabel
|
Prosentase (%)
|
|
Positif
|
Negatif
|
||
1.
|
Nilai yang Dimiliki Bersama
|
100
|
-
|
2.
|
Norma dan Sanksi
|
80
|
20
|
3.
|
Moralitas
|
80
|
20
|
Sumber: Hasil Penelitian Maulana (data diolah penulis)
Uraian data dari Tabel 3.
dapat ditarik benang-merahnya yang berkaitan dengan pengelolaan SDA oleh
masyarakat Mukim melalui modal sosial dalam poin-poin berikut.
1. Nilai yang dimiliki bersama
merupakan shared value yang ada dan
telah melembaga di lingkungan masyarakat Mukim dan gampong. Penulis berpendapat bahwa nilai-nilai yang diturunkan dari
penegakan syariat islam, budaya dan adat istiadat Aceh masih bertahan di dalam
mukim. Hal-hal mengenai syariat islam dan adat-istiadat menjadi tugas harian Imeum Mukim dalam menjamin sikap saling
hormat dan sopan, serta pelaksanaannya secara menyeluruh di wilayah kerjanya.
2. Norma dan sanksi menjadi
pedoman dalam mewujudkan pranata sosial di lingkungan mukim dan gampong. Hal tersebut diperlukan untuk
mengontrol dan menilai kontribusi setiap masyarakat maupun satuan kerja Mukim
saat mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. Pelanggaran yang dilakukan
biasanya diberikan hukuman berupa sanksi sosial. Pada tataran tertentu,
penyimpangan yang terjadi dapat ditanggapi secara hukum islam, hukum adat
maupun hukum pidana.
3. Moralitas menjadi ukuran
individu dalam Mukim mengambil sikap terhadap individu yang lain sebagai sebuah
respon atas kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat atau oleh pemerintah Mukim.
Moral yang buruk umumnya disebabkan karena tidak terlibatnya masyarakat dalam
urusan-urusan Mukim, terutama dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan SDA.
Hal tersebut akan berpotensi menimbulkan sikap saling hasut, aksi provokasi
atau sikap apatis akan pembangunan wilayah di Mukim tersebut.
Hakikat kepercayaan (trust),
jaringan sosial (networks) dan
pranata sosial (social institution)
merupakan bagian dari modal sosial masyarakat di Aceh. Dari hasil penelitian
pada satu wilayah di Aceh tersebut, penulis menyadari bahwa data yang
ditampilkan belum menggambarkan secara utuh pemanfaatan modal sosial dalam
pengelolaan SDA. Akan tetapi, dari berbagai poin penting yang diutarakan di
atas dapat dibangun asumsi bahwa perubahan atau transformasi lembaga Mukim dari
tatanan institusi informal menjadi institusi formal telah merubah pula
kehidupan sosiokultural masyarakat Mukim, khususnya modal sosial.
Penulis meyakini pergeseran ini karena telah menempatkan
lembaga Mukim sebagai institusi formal dengan segenap aturan dan ketentuan yang
mengikat dan menjadi koridor bagi masyarakat dan pemerintahan Mukim. Jika
menilik dari konsep modal sosial dari Fukuyama dalam Maulana (2009: 16), bahwa modal
sosial adalah serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki
bersama diantara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan
terjalinnya kerja sama di antara mereka. Maka, asumsinya modal sosial menjadi
kurang berfungsi apabila institusi berada pada tataran formal dan tergerus oleh
fungsi pranata formal lainnya yang telah modern dan mutakhir.
Sebagai contoh, proyek Reduction
Emissions from Degradation and Deforestation (REDD) yang diinisiasi oleh
Pemerintah Aceh dalam upaya mengatasi pemanasan global menimbulkan konflik dan
penolakan oleh Mukim dari lima kabupaten di Aceh[16]. Kasus tersebut hampir
sama dengan kasus penolakan PT. Inti Indorayon Utama oleh Masyarakat Toba
Samosir Sumatera Utara[17].
Sebagai sebuah kesimpulan dari indentifikasi modal sosial masyarakat
Mukim di Aceh dan dihubungkan dengan dua contoh kasus di atas, penulis
sependapat dengan sebuah artikel yang memuat kritik terhadap konsep modal
sosial Robert Putnam[18]. Menurut
saya, kritik yang dapat dibangun dari konsep modal sosial ini adalah bahwa
Putnam kurang mampu menjelaskan pengaruh modal sosial apabila terjadi konflik
antara masyarakat dengan pemerintah. Selain itu, modal sosial dari uraian
Putnam secara menyeluruh belum membahas tentang kekuatan beberapa individu yang
memiliki upaya mengubah perilaku individu lainnya dan perilaku institusi
pemerintah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat. Sebaiknya, modal sosial
juga perlu difokuskan dalam memberi wewenang atau sumberdaya agar dapat
menentukan upaya yang mengarah pada pencapaian kepentingan, tidak hanya
individu atau sebagian kelompok masyarakat saja, akan tetapi menjadi bagian
dari kepentingan negara demi kesejahteraan masyarakat sebagaimana modal sosial
yang ada di Lembaga Mukim Aceh.
Interaksi
Lembaga Mukim dengan Institusi Lainnya
Setelah mengetahui transformasi dan modal sosial Mukim di
Aceh, penulis memandang penting untuk mengkaji secara singkat dinamika
interaksi lembaga Mukim dengan institusi lain yang dianggap relevan dalam
konteks mengelola sumber daya alam di Aceh.
Pejovich dalam Setiawan (2006: 23) menguraikan tentang empat
pola hubungan yang menggambarkan interaksi antara institusi informal dan
formal. Namun, dari sudut pandang keberadaan lembaga Mukim di Aceh penulis
berpendapat bahwa hanya dua pola yang dapat menjelaskan interaksi yang berjalan
tersebut.
Pertama, aturan formal secara
langsung berkonflik dengan institusi informal. Pada pola ini, penulis
menganalogikan bahwa Mukim yang telah menjadi institusi formal dalam bagian
pemerintahan Aceh masih tetap dapat dikategorikan atau setidaknya
mempertahankan nilai dan norma yang telah berkembang di dalam masyarakat Mukim
secara informal, sebagaimana penjelasan tentang modal sosial pada sub
pembahasan selanjutnya.Konflik yang terjadi antara aturan formal dengan nilai
dan norma informal yang masih diwariskan bagi generasi masyarakat Mukim di
lingkungan pemerintahan otonom tersebut merupakan buah dari kebijakan nasional
terhadap modal sosial Mukim di Aceh.
Asumsi tersebut berkembang sesuai bukti-bukti dari kajian
yang dilakukan oleh Syaifuddin[19]. Contohnya, skema
pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang dikeluarkan oleh Departemen
Kehutanan masih dalam tahap uji coba seperti hutan kemasyarakatan, hutan desa, social forestry, dan lain-lain. Selain
itu, kebijakan implementasi pengelolaan hutan adat belum memiliki kejelasan
adalam aturan pelaksanaanya. Pola interaksi yang pertama sesuai dengan asumsi
dan contoh tersebut dapat menggambarkan konflik yang terjadi antara kebijakan
pengelolaan hutan adat dengan nilai-nilai informal Mukim di Aceh yang diemban
oleh panglima uteun atau orang yang
bertanggung-jawab mengurusi hutan Mukim. Implikasi dari pola yang berujung pada
konflik tersebut seringkali ditandai dengan adanya hambatan dan/atau penolakan
program-program pemerintah daerah di wilayah Mukim.
Kedua, institusi formal
mengabaikan atau bersikap netral terhadap institusi informal. Pada pola ini,
Mukim dapat dipandang dari dua sisi baik secara informal yang berjalan dengan
modal sosial masyarakat adat Mukim, maupun secara formal yang berjalan sesuai
dengan peraturan penyelenggaraan pemerintahan Mukim di Aceh.
Asumsi yang dapat dibangun dari pola interaksi kedua tersebut
adalah, bahwa pengakuan keberadaan Mukim di Aceh dan menempatkannya sebagai
unit organisasi formal dalam struktur pemerintahan di Aceh belum berjalan
sesuai dengan tugas dan fungsi yang ada. Pemerintahan kabupaten/kota atau
kecamatan di Aceh secara tidak langsung memarginalkan peran mukim dalam
urusan-urusan yang bersentuhan dengan kepentingan publik. Ironisnya, pemerintah
di Aceh belum sepenuhnya menempatkan masyarakat lokal sebagai stakeholder utama dalam pengelolaan
sumber daya alam. Implikasi dari pola pengabaian atau sikap netral pemerintah
terhadap lembaga Mukim tersebut ditandai dengan kurang terlibatnya individu
atau sekelompok masyarakat secara ide dan gagasan. Contohnya, musyawarah duek pakat Mukim Aceh Besar untuk
menuntut pengakuan kedaulatan Mukim atas pengelolaan sumber daya alam belum
ditanggapi oleh pemerintah, atau pemerintah bersikap netral untuk tetap
melangsungkan proyek internasional REDD Ulu Masen[20].
Berkaitan dengan kedua pola tersebut, penulis juga
berpendapat bahwa penting untuk menentukan tipologi institusi informal dan
formal bagi Mukim di Aceh untuk menangkap perbedaan-perbedaan dalam interaksi
antarinstitusi. Helmske dan Levitsky dalam Setyawan (2006: 23-24) membagi tipologi
tersebut sesuai tabel berikut.
Tabel 4.
Tipologi Interaksi Institusi Formal dan Informal
|
Institusi Formal Efektif
|
Institusi Formal Tidak Efektif
|
Kompatibilitas
Tujuan
|
Komplementer
|
Subtitutif
|
Tujuan yang
berkonflik
|
Akomodatif
|
Kompetitif
|
Sumber: Helmske dan Levitsky dalam Setyawan (2006)
Dengan pendekatan state
social approach, penulis mengklasifikasikan Mukim dengan tipe subtitutif.
Maknanya, pada tataran institusi informal lembaga Mukim berperan sebagai
lembaga masyarakat adat yang mendukung institusi formal apabila aturan formal
pemerintah tidak mampu menyelesaikan masalah dan mencapai tujuan yang
diinginkan, khususnya dalam pengelolaan sumber daya alam. Namun, dengan
pendekatan location of rule enforcement
penulis menilai bahwa pada tataran institusi formal lembaga Mukim
diklasifikasikan dalam tipe akomodatif. Implikasinya, kebijakan formal yang
disusun oleh pemerintah dan dampaknya tidak disukai oleh Mukim menempatkan
institusi tersebut sebagai lembaga yang diakui keberadaannya sesuai undang-undang
namun tidak memiliki ruang mengubah kebijakan nasional. Tipe inilah yang
kemudian memunculkan konflik antar institusi.
Kesimpulan
dan Saran
Berdasarkan ketiga uraian yang dibahas, penulis berpendapat
bahwa perjuangan lembaga Mukim di Aceh untuk tetap eksis dan diakui
kedaulatannya sebagai unit organisasi pemerintahan formal yang diberi hak dan
wewenang mengelola sumber daya alam layaknya institusi lainnya merupakan usaha
yang berat, panjang dan butuh perjuangan keras.
Melihat keadaan modal sosial masyarakat Mukim di Aceh yang
perlahan mulai bergeser akibat transformasi institusi serta interaksi Mukim
yang subtitutif dan akomodatif dalam konteks pengelolaan sumber daya alam,
penulis mencoba merumuskan saran atau alternatif yang dapat dipertimbangkan dalam
menyikapi persoalan tersebut, yaitu:
1. Harus disadari bahwa tugas
dan fungsi Mukim dalam urusan pemerintahan tidak akan menambah rentang
birokrasi, baik antara pemerintah Gampong dengan Mukim atau antara pemerintah
Mukim dengan Kecamatan. Terlebih lagi, saat ini institusi formal pemerintah
telah memiliki aturan dan pembagian tugas yang jelas sebagaimana tugas-tugas Imeum Mukim seperti bidang syariat
islam, pembangunan dan sengketa adat. Oleh karena itu, alternatif yang penulis
tawarkan adalah mengembalikan Mukim menjadi institusi informal dan bukan bagian
dari unit organisasi pemerintahan di Aceh. Hal ini bertujuan untuk
merevitalisasi modal sosial masyarakat Mukim di Aceh sehingga berkembang secara
alamiah dalam mengatasi permasalahan publik tanpa harus berkonflik dengan
pemerintah.
2. Apabila pemerintah tetap
mempertahankan Mukim sebagai bagian dari struktur pemerintahan di Aceh, maka
alternatif kedua yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah Aceh adalah (1) melakukan
peninjauan atau evaluasi mengenai efektifitas dan efisiensi penyelenggaran
pemerintahan Mukim di Aceh, kemudian menempatkan temuan-temuan sebagai pedoman
untuk membagi tugas dan kewenangan secara jelas kepada Mukim; (2) membantu
penguatan modal sosial masyarakat Mukim yang sempat tidak solid akibat
transformasi atau interaksi antar institusi; (3) memberikan dan memberdayakan
perangkat kerja mukim dengan pengetahuan dan keahlian untuk melakukan lobi-lobi
politik, pengelolaan pemerintahan yang baik dan pemahaman nilai-nilai dan norma
organisasi sesuai warisan leluhur; dan (4) menjembatani institusi pemerintah
lainnya dengan sosialisasi secara luas dan komprehensif tentang keberadaan dan
kedaulatan mukim.
Daftar
Bacaan
Amiruddin. 2010. Peranan
Imeum Mukim terhadap Perencanaan Partisipatif Masyarakat Kemukiman Blang Siguci
Kecamatan Idi Tunong Kabupaten Aceh Timur Provinsi Aceh. Universitas
Sumatera Utara: Medan.
Eaton, Joseph W. 1986. Pembangunan
Lembaga dan Pembangunan Nasional: Dari Konsep ke Aplikasi. Universitas
Indonesia Press: Jakarta.
Fukuyama, Francis. 2007. Trust:
Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran. Triarga Utama: Jakarta.
Leriman. 2012. Peran
Mukimdalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Kecamatan Rikit Gaib Kabupaten Gayo
Lues Provinsi NAD. Unimed: Medan.
Lombard, Denys. 2006. Kerajaan
Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Kepustakaan Populer Gramedia:
Jakarta.
Maulana, Fatwa. 2009. Pemanfaatan
Modal Sosial Masyarakat pada Program Pembangunan Gampong (PPG) Kecamatan
Baktiya Barat Kabupaten Aceh Utara. Universitas Sumatera Utara: Medan.
Setiawan, Hany. 2006. Institusi
Informal dalam Birokrasi Pemerintah: Studi Dinamikan Interaksi Institusi
Informal dan Dormal di Balai Taman Nasional Karang Lestari. Universitas
Gadjah Mada: Yogyakarta.
Sutoro,
Eko, W. Riawan Tjandra, Muhammad Umar (EMTAS). 2007. Bergerak Menuju Mukim
dan Gampong. Institute for Research and Empowerment: Yogyakarta.
Foot Note
[1]
Peran Mukim dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan di Kecamatan Rikit Gaib Kabupaten Gayo Lues Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, 2012, h. 5 (digilib.unimed.ac.id tanggal 20 Maret 2013)
[2]
Peranan Imeum Mukim terhadap Perencanaan
Partisipatif Masyarakat Kemukiman Blang Siguci Kecamatan Idi Tunong Kabupaten
Aceh Timur Provinsi Aceh, 2010, h. 4 (repository.usu.ac.id tanggal 20 Maret
2013)
[3]
Memperkuat Mukim dalam PSDA di Aceh
(greenaceh.wordpress.com tanggal 20 Maret 2013).
[4]
Kewenangan Mukim dalam PSDA tanggal 9
Juni 2012 (greenaceh.or.id tanggal 20 Maret 2013).
[5]
Pemahaman tentang Institusi: Berbagai
permasalahan konsep dan definisinya (Disadur dari salah satu slide materi mata kuliah Pengembangan
Kelembagaan MAP Bappenas VII Semester II oleh Dosen Pengampu: Dr. Erwan Agus
Purwanto dan Dr. Dewi Haryani Susilawati.
[6]
Institusi Informal dalam Birokrasi
Pemerintah: Studi Dinamika Interaksi Institusi Informal dan Formal di Balai
Taman Nasional Karang Lestari (Tesis Hany Setiawan, mahasiswa MAP UGM tahun
2006).
[7]
Lombard, h. 109 dan 111.
[8]
ibid.
[9]
Sejarah Mukim di Aceh: Sebuah Artikel
seri 1, 2 dan 3 (Blog Agus Budi W. tahun 2009)
[10]
Sekilas tentang Mukim dan Gampong di Aceh
(International Developtment Law Organization).
[11]
ibid (Slide Materi Kuliah Pengembangan
Kelembagaan)
[12]
ibid h. 42-43
[13]
Di Bireun, Camat Hapus Hak Mukim (www.atjehpost.com
tanggal 6 Juni 2012). Diakses tanggal 20 Maret 2013.
[14]
ibid (Kewenangan Mukim dalam PSDA)
[15]
Pemanfaatan Modal Sosial Masyarakat pada
Program Pembangunan Gampong (PPG) Kecamatan Baktiya Barat Kabupaten Aceh Utara
(Tesis tahun 2009 yang disusun oleh Fatwa Maulana, Mahasisiswa Program Studi
Perencanaan Pembangunan Wilayah di Universitas Sumatera Utara).
[16]
REDD di Aceh tidak ditolak, tapi belum
tentu diterima (Transparency Internasional Indonesia tanggal 1 November
2012)
[17]
Konversi Modal Sosial menuju Modal Politik (Tugas Kuliah MAKP UI tahun 2007)
[18]
ibid (footnote n. 17) dan Making Democracy Work karya Robert D.
Putnam.
[19]
ibid (footnote n. 3)
[20]
ibid (footnote n. 16)
Comments
Post a Comment