Skip to main content

Pelaksanaan Promosi PNS pada Jabatan Struktural Organisasi Pemerintah di Aceh

Latar Belakang

Paper ini membahas tentang promosi jabatan struktural PNS di Aceh. Awal tahun 2013, Pemerintahan di Aceh menjadi sorotan masyarakat Indonesia terutama keterlibatan organisasi publik yang bergerak di bidang kepegawaian baik secara teknis maupun administratif terkait dengan beberapa kasus yang terjadi di pemerintahan daerah di Aceh. Konteks yang mengundang komentar banyak pihak adalah fenomena promosi jabatan struktural PNS di Aceh.
Sudah menjadi rahasia umum jika promosi atau mutasi pegawai identik dengan hak prerogatif kepala daerah. Sudah barang tentu peran Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) pada saat ini semakin kecil. Tidak dapat dipungkiri bahwa kepentingan para oknum elit politik turut andil dalam menentukan pilihan akhir pertimbangan yang diberikan oleh Baperjakat. Bukan mustahil pula, apabila kepala daerah tertentu atau oknum elit politik itulah yang “menunggangi” tugas dan fungsi Baperjakat. Pada akhirnya, promosi jabatan struktural yang diharapkan mampu mengembangkan karir pegawai dan menyajikan kehandalan sumber daya manusia bagi pelayanan kepentingan publik kurang dapat terpenuhi.
Fenomena tersebut awam ditemui hampir di seluruh pemerintahan daerah di Indonesia. Demikian pula yang terjadi di Aceh. Ironisnya, Aceh justru mengawali tahun baru 2013 dengan sebuah berita buruk dan menjadi koreksi penting bagi institusi administratif manajemen sumberdaya aparatur daerah, dalam hal ini Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Provinsi Aceh. Salah satu contohnya adalah pengangkatan dalam jabatan struktural seorang PNS Pemerintah Aceh yang telah meninggal dunia[1]. Ini menjadi catatan penting bagi BKPP Aceh sebagai sebuah tragedi pengelolaan administrasi kepegawaian yang keliru.
Pada dasarnya, lembaga manajemen kepegawaian daerah memiliki peran yang sangat penting dalam proses promosi jabatan struktural pegawai daerah. Peran penting tersebut dihadapkan oleh tantangan lingkungan organisasi baik yang bersifat administratif, teknis maupun politis. Sebuah contoh di atas merupakan salah satu dari banyak contoh kegagalan atau kekhilafan lembaga manajemen kepegawaian di Aceh dalam menghadapi tantangan tersebut. Padahal, institusi manajemen kepegawaian mempunyai kewajiban untuk mencurahkan perhatian secara intens terhadap pola karir PNS pada jabatan struktural di berbagai lini, terutama memastikan proses pengangkatan pegawai telah sesuai dengan kaidah yang berlaku dan memberi sumbangsih positif bagi peningkatan pelayanan publik. Jika tidak, fungsi-fungsi seperti itu terancam diambil alih oleh calo mutasi[2] seperti yang terjadi di beberapa pemerintah kabupaten/kota di Aceh, dan justru merugikan daerah dari sisi kelayakan sumber daya aparatur.
Terkait dengan pegawai negeri yang cakap pada jabatan struktural yang layak, sejauh ini seluruh pemerintahan daerah di Aceh berupaya untuk menyesuaikan tindakan promosi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terlebih lagi, UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh telah mengamanatkan agar perencanaan pegawai terutama promosi dan mutasi harus berorientasi pada hasil analisis jabatan sesuai dengan kebutuhan di lingkungan kerja dan instansi yang ada di daerah. Harapannya, pegawai yang diangkat adalah figur yang berkualitas, produktif, kompeten dan relevan karakteristik pribadinya dengan tuntutan spesifikasi pekerjaan yang diemban. Semakin baik kualitas SDM aparatur, maka akan memunculkan rasa keadilan bagi masyarakat serta tingkat kemandirian dalam mengembangkan diri dan menyelesaikan masalah dalam pekerjaannya secara lebih baik[3].
Namun dalam perkembangannya, publik menilai bahwa beberapa pemerintah daerah di Aceh belum sepenuhnya melaksanakan aturan tersebut. Sebagaimana diungkapkan oleh Koordinator LSM Rincong Aceh, bahwa mutasi pejabat di Aceh Utara dinilai sarat nepotisme dan mengabaikan analisis jabatan[4]. Apabila hal tersebut terbukti, maka komitmen pemerintah daerah di Aceh terhadap reformasi birokrasi dari sudut pandang manajemen kepegawaian belum terpenuhi secara maksimal dan optimal.
Seiring beragamnya permasalahan terkait promosi jabatan struktural yang dihadapi oleh lembaga manajemen kepegawaian di Aceh, maka pada paper ini terdapat 3 (tiga) sub pembahasan yang menarik untuk dianalisa lebih lanjut.
Pertama, keterlibatan Baperjakat pemerintahan daerah di tingkat provinsi, kabupaten dan kota yang ada di Aceh dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Asumsinya, selama ini pertimbangan, hasil analisis dan evaluasi yang diberikan guna keperluan promosi jabatan struktural kurang mendapat dukungan yang selaras dari kepala daerah sebagai pejabat pembina kepegawaian daerah di Aceh.
Kedua, peran lembaga manajemen kepegawaian daerah seperti BKPP, BKD atau Bagian Kepegawaian Sekretariat Daerah di pemerintah provinsi, kabupaten dan kota di Aceh. Asumsinya, sistem administrasi kepegawaian terkait promosi jabatan yang dikembangkan di Aceh dalam bentuk-bentuk tertentu belum sepenuhnya dipahami oleh manajer SDM.
Ketiga, inovasi manajemen dan proses promosi jabatan struktural PNS di Aceh. Asumsinya, dalam rangka mengurangi subjektifitas namun tetap mengutamakan kualitas maka perlu kriteria-kriteria tertentu yang sekiranya menjadi pendukung bagi unsur pemerintahan di Aceh untuk mengangkat pegawai yang tepat pada jabatan struktural yang tepat pula.

Kajian Teoritis

Sebelum masuk pada analisis ketiga sub pembahasan tersebut, perlu dikemukakan kajian teoritis yang bersifat normatif sebagai landasan konsep dalam rangka memahami fenomena yang terjadi di Aceh terkait dengan promosi PNS pada jabatan struktural.

Promosi dan Mutasi

Promosi seperti halnya mutasi, merupakan suatu kegiatan untuk memindahkan pegawai dari suatu tempat ke tempat yang lain. Dalam Sathya dan Ambar TS (2011: 169), istilah mutasi dan promosi dibedakan. Perbedaan tersebut ditunjukkan pada tempat dimana pegawai tersebut berpindah karirnya. Apabila tempat pemindahannya sederajat dengan posisi sebelumnya, maka kegiatan tersebut dinamakan mutasi. Jika pemindahan dilakukan ke tempat atau jabatan lain yang dianggap lebih tinggi dari posisi sebelumnya, proses itulah yang dinamakan dengan promosi. Dalam konteks promosi PNS di Aceh, konsep ini berlaku sesuai dengan berbagai macam pertimbangan yang dilakukan oleh unsur teknis, administratif maupun politis di pemerintahan daerah terutama keterlibatan institusi manajemen kepegawaian daerah.
Promosi merupakan salah satu kegiatan manajemen sumberdaya manusia dalam mengembangkan orang-orang yang bekerja di dalamnya. Dalam manajemen perusahaan menurut Manullang (2001: 109), perusahaan perlu melakukan promosi untuk mempertinggi semangat kerja karyawan dan dapat pula menjamin stabilitas kekaryawanan. Jika dikaitkan dengan manajemen kepegawaian, maka promosi PNS pada dasarnya merupakan upaya untuk meningkatkan gairah kerja dan produktivitas pegawai, serta menjaga siklus eksistensi dan kelanggengan kinerja pegawai dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat.
Adapun tujuan dilakukannya promosi menurut Hasibuan dalam Pratitha dan Muchtar[5]:
1.        Untuk memberikan pengakuan, jabatan dan imbalan jasa yang semakin besar kepada karyawan yang berprestasi kerja tinggi;
2.        Dapat menimbulkan kepuasan dan kebanggaan pribadi, status sosial yang semakin tinggi dan penghasilan yang semakin besar;
3.        Untuk merangsang agar karyawan lebih bergairah kerja, berdisiplin tinggi dan memperbesar produktivitas kerjanya;
4.        Untuk menjamin stabilitas kekaryawanan dengan direalisasinya promosi kepada karyawan dengan dasar dan pada waktu yang tepat serta penilaian yang jujur;
5.        Untuk mengisi kekosongan jabatan karena pejabatnya berhenti;
6.        Kesempatan promosi dapat menimbulkan keuntungan berantai dalam perusahaan karena timbulnya lowongan berantai;
7.        Untuk menambah atau memperluas pengetahuan serta pengalaman kerja para karyawan dan merupakan pendorong bagi karyawan lainnya.
8.        Memberikan kesempatan kepada karyawan untuk mengembangkan kreativitas dan inovasinya yang lebih baik demi keuntungan optimal perusahaan;
9.        Karyawan yang dipromosikan kepada jabatan yang tepat, semangat, kesenangan, dan ketenangan dalam bekerja semakin meningkat sehingga produktifitas meningkat;
10.    Untuk mempermudah penarikan pelamar sebab dengan adanya kesempatan promosi merupakan daya pendorong serta perangsang bagi pelamar-pelama untuk memasukkan lamarannya; dan
11.    Promosi akan memperbaiki status karyawan dari karyawan sementara menjadi karyawan tetap setelah lulus dalam masa percobaan.
Secara normatif, sangat jelas bahwa promosi memegang peranan penting dalam manajemen kepegawaian atau manajemen sumberdaya aparatur, terutama pengembangan pegawai negeri pada sektor publik.
Dari pengertian, urgensi dan tujuan/manfaatnya maka dapat dianalogikan bahwa promosi yang baik dan benar sangat bergantung pada perencanaan strategis manajemen kepegawaian yang baik dan benar pula. Asumsinya, semakin tepat pemerintah daerah—dalam hal ini lembaga manajemen kepegawaian—melakukan perencanaan strategis terhadap pengelolaan aparatur negara, maka kegiatan apapun yang ada di dalamnya—termasuk promosi—akan semakin mengarah pada tujuan yang diharapkan oleh organisasi dan masyarakat secara luas.

Jabatan Struktural

Penulis membatasi persoalan promosi PNS di Aceh hanya pada jabatan struktural di organisasi pemerintahan daerah. Menurut Harsono (2011: 108), jabatan struktural adalah jabatan yang secara tegas disebutkan dalam struktur organisasi. Tingkatan yang ada pada jabatan struktural selanjutnya diistilahkan dengan eselon yang disusun berdasarkan berat dan ringannya tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak yang ada pada pegawai yang mengemban jabatan tersebut. Dalam kedudukannya secara organisasional, jabatan struktural tidak boleh dirangkap oleh seorang pegawai dengan jabatan struktural pada organisasi yang sama ataupun berbeda.
Promosi PNS pada jabatan struktural tertentu didasari prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu. Hardiansyah (2012: 75) juga mengemukakan bahwa ada pula syarat objektif lainnya yang ditentukan pada tahap promosi pegawai tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras dan golongan. Hal tersebut secara normatif dimaksudkan untuk menegaskan objektifitas dan selektifitas, sehingga promosi PNS pada jabatan struktural mampu menumbuhkan kegairahan berkompetisi secara sehat bagi seluruh pegawai dalam rangka meningkatkan kemampuan profesionalismenya dan kemampuan memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat.
Bentuk nyata keberhasilan promosi PNS adalah pengangkatan pegawai pada jabatan struktural. Pelaksanaan pengangkatan pegawai negeri sipil dalam jabatan struktural dalam rangka promosi PNS serta penentuan jenis jabatan struktural dalam struktur organisasi pemerintah daerah dilakukan dengan mempedomani peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
1.      UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
2.      UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian;
3.      PP No. 13 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas PP No. 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural;
4.      PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah; dan
5.      Keputusan Kepala BKN No. 13 Tahun 2002 tanggal 17 Juni 2002 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural sebagaimana telah diubah dengan PP No. 13 Tahun 2002.
Dari berbagai jenis ketentuan yang berlaku, penulis memandang penting bahwa syarat pengangkatan pegawai dalam jabatan struktural merupakan salah satu bagian utama dari proses promosi dan menjadi konsep dasar yang berguna untuk menjelaskan fenomena dari permasalahan promosi pegawai yang berlangsung di organisasi pemerintahan daerah di Aceh. Penulis merangkum syarat-syarat dari produk hukum tersebut sebagai berikut:
1.      Berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil;
2.      Serendah-rendahnya memiliki pangkat 1 (satu) tingkat di bawah jenjang pangkat yang ditentukan;
3.      Memiliki kualifikasi dan tingkat pendidikan yang diperlukan;
4.      Semua unsur penilaian prestasi kerja (daftar penilaian pelaksanaan pekerjaan) sekurang-kurangnya bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir;
5.      Memiliki kompetensi jabatan yang diperlukan;
6.      Sehat jasmani dan rohani; dan
7.      Pegawai Negeri Sipil yang akan atau telah menduduki jabatan struktural harus mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan kepemimpinan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan untuk jabatan tersebut.

Pertimbangan, Pertukaran Komunikasi dan Komitmen Organisasi

Pada tingkat pemerintahan daerah, hasil pertimbangan dan analisis dari unsur yang diberi wewenang untuk menjalankan tugas-tugas tersebut sangat menentukan baik atau buruknya promosi PNS pada suatu jabatan struktural.
Penulis mengutip salah satu contoh kasus di Aceh yang melibatkan Baperjakat sebagai unsur yang bertugas dalam mempertimbangkan pegawai yang dipromosikan untuk duduk pada sebuah jabatan struktural. Kasus tersebut mencuat saat Gubernur Aceh melantik 422 pejabat eselon II, III dan IV tanggal 5 Februari 2013 yang lalu, dimana dua nama pegawai diantaranya yang ada dalam surat keputusan pelantikan diketahui oleh publik dan media sebagai pegawai yang tidak seharusnya dilantik menjadi pejabat.
Dalam kasus tersebut, Baperjakat Aceh mengaku bersalah dan bertanggung-jawab atas hasil pertimbangan pejabat struktural yang berdampak buruk saat pelantikan[6]. Pasalnya, dua nama pegawai yang ada dalam surat keputusan pelantikan menimbulkan kisruh yang cukup pelik. Hal tersebut disebabkan karena seorang pegawai Provinsi Aceh berinisial RH yang telah meninggal dunia dipromosikan menjadi Kasubbag Evaluasi Produk Hukum Kabupaten/Kota pada Bagian Pembinaan Hukum Kabupaten/Kota Biro Hukum Pemerintah Aceh[7]. Sebab yang kedua adalah, dipromosikannya seorang PNS berinisial MU yang terlibat kasus mesum (asusila) sebagai Kepala Bidang Pemberdayaan Sumberdaya Manusia di Badan Pemberdayaan Pendidikan dan Dayah (BPPD) Provinsi Aceh[8]. Akibat dari kisruh tersebut, Gubernur Aceh mencabut jabatan yang diemban oleh dua orang anggota Baperjakat yang dinilai bersalah, yakni Kepala Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) dan Kepala Biro Organisasi Provinsi Aceh[9].
Setelah menelaah informasi yang penulis dapatkan dari media sesuai data yang dipaparkan di atas, maka setidaknya ada tiga hal penting yang mampu diasumsi dan dianalisa terkait dengan keterlibatan Baperjakat Provinsi Aceh sebagai tim pertimbangan jabatan dalam kasus tersebut.
Pertama, Baperjakat Provinsi Aceh tidak optimal menjalankan tugas-tugas pokoknya dalam mencermati data-data calon pejabat yang akan dipromosikan. Dalam ketentuan pelaksanaan pengangkatan jabatan struktural, Baperjakat diberikan waktu banyak untuk mempelajari curicculum vitae (CV) setiap pegawai yang diusulkan menjadi pejabat struktural kemudian melakukan sidang secara komprehensif. Terlepas dari tugas-tugas jabatan struktural yang diemban oleh masing-masing anggota dari tim Baperjakat dan banyaknya pegawai yang dipromosikan, seharusnya kejadian-kejadian kecil seperti kasus di atas dapat dihindari.
Kedua, kurangnya koordinasi antara Baperjakat Provinsi Aceh dan unit organisasi pemerintah provinsi dalam cross check data calon pejabat secara mendalam. Seharusnya, masing-masing pimpinan organisasi mampu meyakini Baperjakat bahwa PNS yang diusulkan mendapat promosi jabatan adalah pegawai yang keberadaanya diakui dan punya track record yang baik. Nyatanya, Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) membenarkan bahwa Inspektorat Aceh memiliki kelemahan dalam melakukan rekam jejak terhadap para PNS[10]. Padahal, pimpinan Inspektorat Aceh juga menjadi anggota dalam tim Baperjakat. Dari beberapa informasi yang diakui kebenarannya oleh Pemerintah Provinsi Aceh, masing-masing anggota tim Baperjakat yang terdiri dari pejabat eselon II Provinsi Aceh juga kurang menguatkan sense of human resources mereka baik di dalam maupun di luar lingkungan kerja. Sebaliknya, Baperjakat juga kurang membuka ruang bagi pimpinan tiap unit organisasi untuk mengetahui hasil pertimbangan yang mereka lakukan.
Ketiga, pertimbangan Baperjakat kerap dianggap sebagai formalitas belaka. Asumsi dan analisa terakhir ini berkaitan dengan dua poin yang dikemukakan sebelumnya. Berdasarkan informasi dari media yang penulis padukan dengan hasil wawancara bersama mantan Kepala Biro Pemerintahan dan mantan Kepala BKPP Provinsi Aceh (anggota tim Baperjakat)[11], penulis menyimpulkan bahwa untuk jabatan-jabatan tertentu rekomendasi dan hasil pertimbangan yang diberikan oleh Baperjakat seringkali tidak digunakan oleh kepala daerah, dalam hal ini Gubernur Aceh. Hal tersebut disebabkan karena Gubernur bertindak sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah (PPKD) yang memiliki hak prerogatif dalam menentukan dan memutuskan nama-nama pejabat. Pada satu sisi, tren formalitas yang muncul di setiap kegiatan promosi atau mutasi PNS Provinsi Aceh membuat Baperjakat tidak memperhatikan lagi aspek pertimbangan kelayakan para pejabat dan keakuratan data. Di sisi lain, pimpinan unit organisasi yang meragukan kinerja Baperjakat akan langsung menyampaikan usulan promosi pegawai mereka kepada Gubernur Aceh, sehingga nama-nama calon pejabat yang dimiliki oleh Baperjakat akan selalu berbeda dengan nama-nama yang dimiliki oleh Gubernur Aceh.
Asumsi-asumsi tersebut tentu memerlukan penelitian lebih mendalam agar kepastian dan kebenaran dari fenomena kasus promosi PNS di Aceh menjadi model untuk kasus-kasus serupa lainnya yang muncul di Indonesia. Namun, dari analisa penulis berdasarkan data-data sekunder tersebut, penulis meyakini bahwa fungsi pertimbangan yang dimiliki oleh Baperjakat Aceh tidak berjalan dengan baik sehingga berdampak buruk bagi karir anggota Baperjakat dan citra Pemerintah Provinsi Aceh pada periode kepemimpinan Gubernur Aceh yang baru. Setidaknya, kejadian tersebut menjadi peringatan sebagai upaya perbaikan manajemen kepegawaian Aceh.
Keyakinan penulis akan buruknya fungsi pertimbangan pada Baperjakat Aceh dapat dianalisa dengan menelaah variabel pertimbangan, pertukaran komunikasi dan komitmen organisasi untuk pengangkatan PNS Aceh dalam jabatan struktural melalui teori di bawah ini.

Teori Leader Member Exchange (LMX)[12]

Secara singkat, teori ini menjelaskan tentang adanya perbedaan sikap atasan terhadap bawahan dan membagi bawahan menjadi dua kekompok. Kelompok pertama (in-group) merupakan bawahan yang lebih dapat dipercaya, mendapatkan perhatian besar dan menerima hak istimewa dari atasan. Implikasinya, tidak ada batasan formalitas dan otoritas dalam berkomunikasi antara atasan dan bawahan. Sedangkan kelompok kedua (out-group) memiliki interaksi yang minim, mendapatkan sedikit perhargaan yang diatur oleh atasan, perhatian dan alokasi waktu yang terbatas. Implikasinya, sedikit sekali pertimbangan bawahan yang berpotensi digunakan oleh atasan dalam rangka pengambilan keputusan. Dalam beberapa penelitian yang dilakukan di Amerika, ditemukan suatu hipotesa bahwa semakin baik kualitas hubungan atasan dan bawahan maka semakin baik pula komunikasi dan komitmen keduanya terhadap organisasi.
Apabila Gubernur, Baperjakat dan Pimpinan Unit Organisasi di Pemerintah Provinsi Aceh masing-masing merupakan atasan dan memiliki bawahan, serta fenomena kasus promosi di Pemerintah Provinsi Aceh kita analogikan dengan teori LMX di atas, maka secara sederhana dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut.
1.      Pertimbangan Baperjakat dalam memilih alternatif calon-calon pejabat untuk kemudian ditetapkan oleh Gubernur Aceh mendapat perhatian besar, tetapi tidak diperiksa kembali secara detil. Walaupun demikian, pada kenyataannya Baperjakat melakukan dan mengakui kesalahannya telah dengan sengaja memasukkan dua nama pegawai yang menimbulkan kisruh pada saat pelantikan. Dalam hal ini, Gubernur berasumsi bahwa Baperjakat termasuk dalam kelompok in-group.
2.      Pertukaran komunikasi antara Baperjakat dengan Gubernur Aceh berlangsung dengan baik dan lancar. Namun, pertukaran komunikasi antara Pimpinan Unit Organisasi dengan Baperjakat dinilai cukup terbatas. Lemahnya rekam jejak pegawai dan kurangnya koordinasi keduanya terhadap data-data calon pejabat menjadi penyebab lolosnya pejabat yang cacat moral pada pelantikan tersebut.
3.      Komitmen Organisasi lemah. Sebagaimana tergambar sesuai data, informasi dan hasil wawancara, tugas dan status Baperjakat kini dianggap sekedar formalitas. Demikian pula Pimpinan Unit Organisasi yang mengabaikan loyalitas dan hirarki saat promosi.

Perencanaan Strategis, Rekrutmen dan Seleksi, serta Analisa Jabatan

Berkaitan dengan pertimbangan, pertukaran komunikasi dan komitmen organisasi yang dibahas di bagian sebelumnya, ternyata promosi dipandang sebagai salah satu dimensi pengelolaan sumberdaya manusia di organisasi pemerintahan. Sebagaimana dikemukakan oleh Wright dan Kehoe[13] bahwa terdapat tiga dimensi pengelolaan SDM yang berpengaruh terhadap komitmen, yaitu: insentif/rewards, pemberdayaan (empowerment), promosi internal, dan peningkatan keterampilan karyawan.
Dalam konteks manajemen kepegawaian daerah terutama di Aceh, promosi bukan hanya sekedar tindakan memindahkan pegawai dan memberikannya jabatan yang lebih tinggi atau besar dari jabatan semula. Ternyata, promosi saling berkaitan satu sama lain. Pada sub pembahasan ini, aspek manajemen kepegawaian yang terkait dengan promosi penulis batasi hanya pada perencanaan strategis, rekrutmen dan seleksi, serta analisa jabatan.
Lebih dari pada itu, pengelolaan keterkaitan proses tersebut tidak hanya sebatas metode merit system semata. Beberapa pemerintahan kabupaten/kota yang telah maju bahkan pemerintahan baru hasil pemekaran daerah di Aceh justru mengembangkan pegawainya berdasarkan spoil system. Selain keterbatasan sumberdaya aparatur baik dari segi kualitas maupun kuantitas, pemerintah daerah di Aceh menaruh harapan besar bagi orang-orang yang berjasa dalam membangun kembali Aceh pasca konflik GAM-RI dan pasca bencana tsunami. Alhasil, tidak sedikit para relawan konflik dan tsunami Aceh baik berasal dari dalam atau luar Aceh, para mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM), para korban konflik dan korban bencana tsunami di Aceh, dan orang-orang tertentu yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pejabat daerah diangkat menjadi PNS atau pejabat struktural melalui rekomendasi pihak terkait.
Hal tersebut dapat dibuktikan dengan data yang penulis rangkum dari beberapa Bagian Kepegawaian di kabupaten/kota tertentu di Aceh, sebagaimana tertera pada tabel berikut:
Tabel 1.
Daftar Perkiraan Jumlah Pengangkatan PNS berdasarkan Rekomendasi
dalam kurun waktu 2004-2008
No.
Kabupaten/Kota
Jumlah PNS dengan Rekomendasi/Pertimbangan Khusus (orang)
Relawan
Korban Konflik
Korban Bencana
Mantan GAM
Hubungan Kerabat
1.
Banda Aceh
17
24
41
9
15
2.
Aceh Barat
20
9
36
20
19
3.
Aceh Jaya
5
11
21
30
35
4.
Nagan Raya
10
25
10
38
50
5.
Simeulue
35
-
5
-
13
6.
Pidie
-
27
-
12
42
7.
Bireuen
-
20
-
25
37
Sumber: Hasil Analisa dan Rangkuman Penulis, 2013

Dari data tersebut, menunjukkan betapa spoil system sangat dominan diaplikasikan dalam pengelolaan manajemen kepegawaian, terutama pengaruh hubungan kekerabatan yang cukup kuat. Untuk membahas fenomena promosi PNS pada jabatan struktural yang terjadi di Aceh terutama menyangkut manajemen kepegawaian daerah, maka penulis memilahkan analisa deskriptif sesuai data dari Bagian Kepegawaian, Badan Kepegawaian Daerah (BKD) dan Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan  (BKPP) beberapa kabupaten/kota di Aceh.

Perencanaan Strategis dan Operasional Manajemen Kepegawaian Daerah

Permasalahan promosi yang berkaitan dengan perencanaan strategis manajemen kepegawaian daerah yang ada di Aceh adalah:
1.      Bagaimana pemerintah daerah mampu menjabarkan purpose, values, behaviour standards dan strategy[14] kepada calon pegawai atau PNS di unit kerja masing-masing agar keinginan untuk dipromosikan pada jabatan struktural dapat dipenuhi apabila pegawai mampu memahami visi, misi dan nilai-nilai dalam organisasi pemerintahan.
Dalam wawancara penulis dengan mantan Kepala BKPP Provinsi Aceh[15], diterangkan bahwa fenomena yang terjadi di Aceh adalah banyaknya PNS di pemerintah provinsi yang meminta dirinya atau mengajukan orang lain untuk dipromosikan. Padahal, saat BKPP melakukan evaluasi ternyata cukup banyak PNS yang tidak memahami tugas yang sedang ia emban, bahkan tugas pada jabatan baru yang ia inginkan. Artinya, sangat sedikit jumlah PNS yang mampu memahami visi, misi dan nilai-nilai organisasinya.
2.      Bagaimana pemerintah daerah mampu melakukan penentuan program-program yang spesifik terutama kebutuhan pegawai baik kualitatif maupun kuantitatif sebagai derivasi dari pemahaman visi, misi dan nilai-nilai organisasi tersebut (Alwi, 2001: 165)
Namun, data yang penulis peroleh dan rangkumkan dari beberapa pemerintah kabupaten/kota di Aceh menunjukkan perencanaan operasional yang belum optimal, sehingga berdampak pada promosi dan pengembangan karir pegawai yang tidak efektif. Contohnya: Kabupaten Aceh Jaya membuka formasi PNS pada tahun 2006 sejumlah 300 orang dengan 70% diantaranya disediakan untuk calon PNS dengan ijazah Diploma dan SLTA/sederajat. Sedangkan pegawai yang pensiun pada tahun tersebut jumlahnya mencapai 150 orang. Akibatnya, promosi jabatan eselon IV dan III terhambat, kekosongan jabatan dan kurangnya perkembangan karena PNS dengan golongan II sangat besar jumlahnya. Pada tahun itu pula, berbondong-bondong pejabat dari kabupaten lain mengajukan pindah tugas kerja ke Kabupaten Aceh Jaya dengan maksud dapat mengisi jabatan yang kosong tersebut. (Sumber: Bag. Kepegawaian Aceh Jaya).

Rekrutmen dan Seleksi

Rekrutmen dan seleksi menjadi sebuah tahapan awal yang sangat penting untuk mencapai tujuan promosi yang diharapkan oleh organisasi. Terlebih lagi, apabila promosi internal jabatan struktural satuan kerja perangkat daerah dilakukan dengan memberdayakan dan mengembangkan karir para pegawai yang ada di lingkungan internal organisasi itu sendiri. Hal ini diyakini mampu mempermudah pejabat baru dalam menyesuaikan diri dengan tugas-tugas dalam jabatan barunya.
Salah satu pengaruh faktor eksternal terhadap praktek rekrutmen adalah peraturan affirmative action. Menurut Ambar dan Rosidah (2003: 139), affirmative action merupakan fungsi kepegawaian yang paling kritis karena berfungsi sebagai perantara terhadap proses merekrut, menyeleksi, mengangkat, mempromosikan atau menempatkan seorang pegawai. Lebih lanjut, affirmative action juga merupakan nilai suatu masyarakat yang menekankan pentingnya keputusan organisasi pada prinsip perwakilan proporsional berdasarkan prosentase penduduk dari masing-masing kelompok yang terdapat dalam masyarakat yang berdasarkan keadilan sosial.
Rekrutmen yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Barat untuk Calon PNS tahun 2008 dan 2010 dibatasi pendaftarannya hanya pada peserta yang berasal dan/atau berdomisili di wilayah Aceh Barat dalam kurun waktu dua tahun terakhir. Kebijakan tersebut menimbulkan konflik, sehingga berbondong-bondong masyarakat yang mengikuti rekrutmen memanipulasi identitas penduduknya agar terdaftar sebagai peserta tes CPNS Aceh Barat (Sumber: Buletin Triwulan Pemkab Aceh Barat, 2010).
Secara normatif, faktor affirmative action sangat potensial menimbulkan permasalahan karena pada dasarnya prinsip keadilan memiliki perbedaan yang ekstrim dengan nilai efisiensi.  Dalam perkembangannya, hal tersebut berdampak pada promosi PNS pada jabatan struktural di lingkungan Pemkab Aceh Barat di masa-masa pelaksanaan tugas.
Demikian pula yang terjadi pada proses seleksi. Salah satu syarat seleksi dan penempatan pegawai yang harus dipenuhi oleh organisasi, terutama dalam rangka promosi PNS pada jabatan struktural menurut Ambar dan Rosidah (2003: 152) adalah analisis jabatan. Informasi analisis jabatan harus mampu memberikan deskripsi jabatan, spesialisasi jabatan dan standar prestasi yang seharusnya ada dalam setiap jabatan tersebut.
Namun pada kenyataannya, kasus yang terjadi di Aceh Barat dalam kurun waktu 2009 hingga 2012 deskripsi jabatan yang digambarkan kepada peserta tes CPNS, para pegawai yang baru diangkat, bahkan pegawai yang duduk dalam jabatan tidak mencerminkan kesesuaian. Akibatnya, proses promosi internal yang diharapkan oleh masing-masing organisasi kurang berjalan dengan baik. Justru yang terjadi adalah pimpinan unit organisasi berupaya mencari calon pejabat dari luar organisasi (Sumber: Buletin Triwulan Pemkab Aceh Barat, 2012).
Hal tersebut dapat dianalisa dengan mempedomani data 5 (lima) sampel kantor camat dari 12 kecamatan di lingkungan Pemkab Aceh Barat yang dirangkum pada tabel-tabel di bawah ini.
Tabel 2.
Jumlah PNS Kantor Camat di Pemkab Aceh Barat
Berdasarkan Golongan per 31 Desember 2012
(orang)
No.
Nama Kecamatan
Golongan IV
Golongan III
Golongan II
Golongan I
Total
a
b
c
d
e
a
b
c
d
a
b
c
d
a
b
c
d
1.
Johan Pahlawan
-
-
-
-
-
10
9
6
4
7
38
2
2
-
-
-
1
79
2.
Meureubo
1
-
-
-
-
3
4
3
4
6
7
1
3
-
-
2
1
35
3.
Samatiga
1
-
-
-
-
5
7
2
3
2
4
1
3
-
-
-
-
28
4.
Kaway XVI
1
-
-
-
-
8
8
3
4
3
6
2
4
1
4
-
4
48
5.
Pante Ceureumen
1
-
-
-
-
4
3
2
2
7
8
2
-
-
-
-
-
29
6.
Sungai Mas
1
-
-
-
-
2
1
3
1
5
2
2
-
-
2
1
2
22
7.
Arongan Lambalek
1
-
-
-
-
1
2
4
1
7
1
3
-
-
2
3
-
25
Sumber: BKPP Aceh Barat, 2013

Tabel 3.
Jumlah PNS Kantor Camat di Pemkab Aceh Barat
Berdasarkan Tingkat Pendidikan per 31 Desember 2012
(orang)
No.
Nama Kecamatan
Jenjang Pendidikan
S-3
S-2
S-1
Diploma
SLTA
SLTP
SD
Total
1.
Johan Pahlawan
-
1
7
9
60
2
-
79
2.
Meureubo
-
-
8
4
19
1
3
35
3.
Samatiga
-
-
13
3
11
1
-
28
4.
Kaway XVI
-
1
18
8
19
1
1
48
5.
Pante Ceureumen
-
-
11
3
13
1
1
29
6.
Sungai Mas
-
-
5
3
8
3
3
22
7.
Arongan Lambalek
-
1
4
1
14
3
2
25
Sumber: BKPP Aceh Barat, 2013

Tabel 4.
Jumlah Hasil Rekrutmen dan Seleksi PNS Baru
Berdasarkan Tingkat Pendidikan mulai tahun 2009-2010
(orang)
No.
Nama Kecamatan
Jenjang Pendidikan
S-3
S-2
S-1
Diploma
SLTA
SLTP
SD
Total
1.
Johan Pahlawan
-
-
3
2
15
-
-
20
2.
Meureubo
-
-
3
2
5
-
-
35
3.
Samatiga
-
-
3
2
5
-
-
28
4.
Kaway XVI
-
-
2
2
5
-
-
48
5.
Pante Ceureumen
-
-
2
1
3
-
-
29
6.
Sungai Mas
-
-
1
1
3
-
-
22
7.
Arongan Lambalek
-
-
1
1
3
-
-
25
Sumber: BKPP Aceh Barat, 2013

Menurut penulis, analisa mengenai fenomena promosi di beberapa kantor camat Pemkab Aceh Barat sesuai data pada tabel di atas harus dianalisa berdampingan dan tidak terpisah satu sama lain. Oleh karena itu, dengan mempedomani struktur organisasi dan tata kerja sesuai PP No, 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, kesimpulan dari tabel di atas adalah:
1.      Evaluasi terhadap rekrutmen dan seleksi untuk 7 (tujuh) sampel kantor camat di Pemkab Aceh Barat menurut Bagian Kepegawaian Aceh Barat telah sesuai dengan perencanaan dan formasi yang telah ditentukan (pada tahun 2009-2010)
2.      Kantor Camat Johan Pahlawan, Samatiga dan Kaway XVI memiliki jumlah pegawai golongan III yang lebih banyak daripada empat kecamatan lainnya. Namun, posisi jabatan kosong pada organisasi tersebut tidak tersedia dalam kurun waktu 2009-2012. Terlebih lagi, ketiga kantor camat menerima hasil rekrutmen PNS baru golongan III dengan titel sarjana (S-1) masing-masing sebanyak 3 (tiga) orang.
3.      Sebaliknya, empat kantor camat selain yang disebutkan pada poin 2 (dua) menyediakan jabatan kosong pada eselon III.b, IV.a dan IV.b dengan jenis/kriteria jabatan yang bervariasi pada masing-masing organisasi. Namun, jumlah pegawai yang memenuhi syarat untuk dipromosikan sangat terbatas. Hasil rekrutmen untuk empat kantor camat itu pun dinilai minim dan tidak mampu menutupi secara keseluruhan jabatan kosong secara seketika. Sehingga, pimpinan kantor camat mengambil alternatif untuk mempromosikan pegawai di luar organisasi.
Fenomena tersebut memerlukan penyelesaian masalah yang paling mendasar, sehingga mampu menarik perhatian calon PNS yang handal, kompeten dan sesuai kebutuhan. Apabila masyarakat menyadari dan mengetahui ketimpangan hasil rekrutmen dengan ketersediaan jabatan, maka minat untuk masuk ke organisasi pemerintah akan semakin menurun. Publik seharusnya memahami bahwa promosi menjadi alat untuk memberikan kontribusi maksimal bagi negara, sehingga pemerintah dan masyarakat benar-benar siap untuk merekrut aparatur yang profesional.

Analisa Jabatan

Sebagaimana uraian yang dijelaskan pada bagian rekrutmen dan seleksi, analisa jabatan juga memegang peranan penting dalam promosi PNS pada jabatan struktural. Pemerintah daerah di Aceh mempedomani Permendagri No. 35 Tahun 2012 tentang Analisis Jabatan di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah. Secara normatif, Sathya dan Ambar TS (2011: 169) menambahkan pula bahwa promosi tidak hanya dilakukan pada syarat-syarat analisa jabatan saja, akan tetapi pertimbangan bahwa pegawai tersebut mampu dan pantas dibanding pegawai yang lain. Persoalannya, hingga saat ini belum semua pemerintah daerah di Aceh yang melaksanakan analisis jabatan tersebut. Beruntung, Pemkot Banda Aceh pada tanggal 1 Maret 2012 memberlakukan aplikasi ­e-kinerja yang memuat sistem analisis jabatan secara online di daerahnya[16]. Hal tersebut memudahkan Pemkot Banda Aceh dalam menentukan kebutuhan pegawai, kriteria promosi dan jabatan, serta memudahkan respon kekosongan jabatan. Aplikasi tersebut saat ini tengah disosialisasikan agar berkembang di seluruh kabupaten/kota di Aceh.

Inovasi Masa Depan untuk Promosi

Menurut penulis, kedua sub pembahasan sebelumnya setidaknya memiliki sebuah kesimpulan yang sama: peran pemimpin dalam menciptakan inovasi masa depan untuk promosi. Bagaimanapun, pejabat struktural yang saat ini mengemban amanah merupakan pemimpin yang lahir dari proses promosi berkat pengalaman kerja, pendidikan dan pelatihan yang memadai, karakter pribadi yang bersahaja dan bertanggungjawab, serta dipercaya mampu melaksanakan tugas-tugas yang tidak mampu dilaksanakan oleh pegawai lainnya.
Mengutip dari Sathya dan Ambar TS (2011: 170) bahwa promosi yang sehat akan dapat menghasilkan figur pemimpin yang baik, maka asumsi di atas sekiranya potensial untuk dikembangkan menjadi gagasan dan ide dalam penataan pengelolaan promosi PNS di Aceh.
Sebelum membahas lebih jauh tentang gagasan yang penulis paparkan sebagai rekomendasi perbaikan pengelolaan promosi PNS pada jabatan struktural pemerintahan daerah di Aceh, perlu diketahui bahwa pemerintah telah merumuskan dan membahas Rancangan Undang-undang Aparatur Sipil Negara (RUU ASN). Dalam poin-poin rancangan undang-undang tersebut, Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah (PPKD) yang sebelumnya diemban oleh kepala daerah akan didelegasikan kepada sekretaris daerah dengan istilah Pejabat Struktural Tertinggi. Selain itu, peran Baperjakat Daerah yang selama ini diisi oleh pejabat struktural eselon I, eselon II dan pejabat tertinggi yang membidangi kepegawaian daerah akan digantikan perannya oleh lembaga Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) yang lebih objektif dan independen, terutama dalam memberikan pertimbangan bagi promosi PNS daerah pada jabatan struktural.
Agar ide dan gagasan lebih inovatif, maka unsur-unsur yang telah dirumuskan dalam RUU ASN hendaknya diabaikan sementara. Hal ini bertujuan untuk membentuk ide dan gagasan baru serta mampu menjadi model khusus bagi pelaksanaan promosi di birokrasi pemerintahan di Aceh. Untuk memudahkan mengidentifikasi inovasi yang sesuai dengan permasalahan dalam tulisan ini, penulis mengelompokkannya menjadi dua bagian pokok, yaitu: Inovasi Landasan Operasional Promosi dan Inovasi Landasan Sosio-Kultural Promosi.

Inovasi Landasan Operasional Promosi

Inovasi landasan operasional dalam promosi ini didasari oleh semangat melakukan perbaikan pada pertimbangan pimpinan, pertukaran komunikasi dan komitmen organisasi. Pengambilan keputusan akhir oleh pimpinan dalam menentukan pegawai yang layak untuk menduduki suatu jabatan struktural merupakan buah dari pertimbangan yang matang, jalinan komunikasi yang lancar dan komitmen yang baik bagi organisasi.
Sejalan dengan teori Leader Member Exchange (LMX), maka ada beberapa inovasi kongkret yang dapat dijadikan rekomendasi bagi pemerintah di Aceh, yakni:
1.      Mengembangkan dan mengaplikasikan Analytical Hierarchy Process[17] (AHP) atau Analytical Network Process (ANP) sebagai metode pengambilan keputusan. Metode ini cocok digunakan oleh Baperjakat di Aceh untuk memecahkan masalah yang kompleks dan tidak terstruktur, terutama usulan promosi yang berasal dari kelompok out-group sebagaimana dimaksud dalam teori LMX. Secara bertahap dan spesifik, Baperjakat dituntut untuk merumuskan hirarki atau prioritas PNS yang akan dipromosikan, kemudian melakukan pairwise comparisons terhadap alternatif pejabat lain dan kriteria penilaian yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, mengkuantifikasikannya menjadi nilai untuk menentukan pengaruh relatif setiap kriteria dengan nama-nama calon pejabat, dan terakhir mengagregasikan nilai setiap alternatif dengan bobot relatif dalam kriteria pengangkatan PNS dalam jabatan struktural.
2.      Memberikan informasi secara terbuka bagi seluruh PNS untuk mengetahui setiap usulan promosi PNS dalam jabatan struktural ke bidang kepegawaian dan untuk mengetahui setiap hasil pertimbangan yang dilakukan oleh Baperjakat Aceh. Hal tersebut ditujukan untuk memperlancar arus komunikasi antara atasan dan bawahan dalam membahas dan mengetahui perihal promosi di lingkungan kerja, sehingga urusan promosi bukan hanya menjadi urusan antarpimpinan unit organisasi semata. Keterbukaan informasi tentang promosi harus didasari prinsip kontrol birokrasi yang ideal dan dirasakan adil oleh seluruh pegawai yang ada di pemerintahan Aceh.
3.      Menata dan menerapkan sistem kaderisasi internal pada setiap jenjang jabatan struktural di masing-masing organisasi perangkat daerah di Aceh sesuai kompetensi yang dibutuhkan dalam jabatan tersebut. Hal tersebut dapat dilakukan dengan melakukan pendataan minat dan keahlian bagi setiap PNS yang berpotensi untuk dipromosikan, baik yang sudah memenuhi syarat secara kompetensi pendidikan dan pangkat/golongan maupun PNS yang belum memenuhi keduanya. Kemudian, melakukan penataan dalam menempatkan PNS kader sesuai minat dan keahlian pada bidang tertentu untuk selanjutnya diberikan pendidikan, pelatihan, dan pembinaan baik secara formal maupun informal yang mendukung peningkatan kapasitas individu PNS tersebut. Jika sistem kaderisasi internal diterapkan oleh masing-masing organisasi perangkat daerah di Aceh secara menyeluruh, pimpinan tidak perlu lagi untuk melakukan rekrutmen CPNS atau mendapatkan calon pejabat dari luar organisasi, karena kebutuhan telah memadai.
Inovasi Landasan Sosio-Kultural Promosi

Hal ini bertujuan untuk melakukan perubahan cara pandang dalam promosi yang mengandalkan merit system semata. Sebagaimana uraian-uraian yang telah dijelaskan, promosi PNS pada jabatan struktural di Aceh sangat mengandalkan spoil system. Dengan kata lain, affirmative action dalam promosi di Aceh memiliki peran penting. Walaupun menimbulkan konflik dan kontroversi pada sebagian pihak karena landasan keadilan dan efisiensi, namun hal tersebut dapat diperbaharui dengan cara berikut:
Sebaiknya, pemerintahan daerah di Aceh dalam hal ini bidang kepegawaian, perlu menurunkan nilai-nilai sosio-kultural promosi jabatan sesuai setelah melakukan analisis jabatan. Nilai sosio-kultural yang dimaksud adalah menurunkan karakteristik pribadi, pengalaman dan kemampuan calon pejabat di luar konteks kedinasan ke dalam kaidah-kaidah promosi yag dilakukan oleh pimpinan unit organisasi. Dengan kata lain, pendekataan yang dilakukan adalah pendekatan promosi berbasis sosio-kultural.
Kongkretnya adalah para pimpinan unit organisasi, manajer sumberdaya aparatur, Baperjakat, bahkan kepala daerah di Aceh memiliki petunjuk teknis dalam menentukan siapa PNS yang layak untuk dipromosikan dan menilai siapa PNS yang mampu dan cocok mengemban kepercayaan pada jabatan tertentu berdasarkan sudut pandang kesamaan budaya, adat-istiadat, asal daerah, kemampuan bersosialisasi, kemampuan kepemimpinan yang baik, berpenampilan yang pantas, pemahaman nilai agama maupun nilai organisasi, dan hal-hal non teknis lainnya.
Memang, pada dasarnya pertimbangan promosi dengan pendekatan sosio-kultural harus dilihat dari level jabatan struktural yang diemban, baik level jabatan struktural pada unsur staf yang bersifat teknis secara kedinasan maupun level jabatan struktural pada unsur lini yang bersifat operasional, manajerial dan politis. Pendekatan sosio-kultural mutlak dilakukan jika pendekatan merit system secara operasional telah sesuai dengan kriteria. Namun, khusus di Aceh pendekatan sosio-kultural berpotensi mendapat calon PNS terbaik yang dipromosikan menjadi pejabat tanpa harus mengeluarkan biaya yang besar dan pengorbanan pribadi yang tidak penting lainnya.
Contohnya, untuk mempromosikan seorang PNS menjadi Camat, setidaknya ia punya latar belakang pendidikan di bidang pemerintahan. Selain itu, affirmative action yang diperlukan diantaranya adalah: mampu bersosialisasi dengan masyarakat secara luwes dan terbuka, mempunyai pengetahuan secara general di bidang agama, memiliki hubungan baik langsung maupun tidak langsung dengan masyarakat pada kecamatan setempat, pernah menjabat sebagai sekretaris kecamatan atau kepala seksi pemerintahan pada beberapa kecamatan, memahami wilayah teritorial kecamatan dan keadaan sosio-kultural masyarakat setempat.

Kesimpulan

Semakin dinamisnya perubahan lingkungan yang didukung oleh unsur-unsur non teknis di luar kedinasan, fungsi manajemen kepegawaian di Aceh harus mampu menyesuaikan diri agar segera mendapatkan, mengembangkan dan mempertahankan sumberdaya aparatur yang profesional bagi tercapainya tujuan organisasi dengan maksimal dan optimal, serta terlaksananya pelayanan prima bagi masyarakat di Aceh.
Pada intinya, peran pemimpin dan pimpinan organisasi sangat menentukan inovasi dan keberhasilan dalam mempromosikan dan mengangkat PNS pada jabatan struktural yang dimaksud sesuai dengan kriteria yang ditentukan dan kebutuhan dalam organisasi. Pertimbangan pimpinan melalui metode AHP dengan memadukan merit system dan affirmative action, kemudian didukung oleh kelancaran pertukaran komunikasi antara atasan dan bawahan diyakini mampu meningkatkan komitmen seluruh anggota organisasi dalam bertugas demi kepentingan bersama, terutama para pegawai yang menerima promosi pada suatu jabatan struktural di organisasinya.

Daftar Pustaka

Alwi, Syafaruddin. 2001. Manajemen Sumberdaya Manusia: Strategi Keunggulan Kompetisi. BPFE: Yogyakarta.
Harsono. 2011. Sistem Administrasi Kepegawaian. Fokus Media: Bandung
Hardianysah. 2012. Sistem Adminstrasi dan Manajemen Sumberdaya Manusia Sektor Publik dalam Perspektif Otonomi Daerah. Gava Media: Yogyakarta.
Manullang, M. 2001. Dasar-dasar Manajemen. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.
Sulistiyani, Ambar Teguh. 2011. Memahami Good Governance dalam Perspektif Sumberdaya Manusia. Gava Media: Yogyakarta.
Sulistiyani, Ambar Teguh dan Rosidah. 2003. Manajemen Sumberdaya Manusia: Konsep, Teori dan Pengembangan dalam Konteks Organisasi Publik. Graha Ilmu: Yogyakarta.


[3] Pengembangan Pegawai Negeri Sipil di Jajaran Kantor BKPP Aceh oleh Drs. Helmy Ali, MM (Widyaiswara Madya BKPP Aceh), http://bkpp.acehprov.go.id/simpegbrr/artikel.html. Diunduh tanggal 28 Februari 2013.
[4]http://www.rakyataceh.com/index.php. Diakses pada tanggal 28 Februari 2013.
[5] Pengaruh Penerapan Promosi dan Demosi terhadap Prestasi Kerja Karyawan pada Master Kredit Cabang Medan, http://www.jurnal.usu.ac.id/index.php/jmim/article/download/653/pdf. Diunduh tanggal 28 Februari 2013.
[6] http://atjehpost.com/read/2013/02/14/39909/375/31/. Diakses pada tanggal 28 Februari 2013.
[7]http://m.news.viva.co.id/news/read/388561-. Diakses pada tanggal 28 Februari 2013.
[8] http://news.okezone.com/read/2013/02/08/340/759039/. Diakses pada tanggal 28 Februari 2013.
[10] http://aceh.tribunnews.com/2013/02/20/. Diakses pada tanggal 28 Februari 2013.
[11] Wawancara dilakukan dengan menggunakan telepon pada tanggal 2 dan 3 Maret 2013.
[12] Tesis Hubungan antara Sikap Atasan terhadap Bawahan dengan Komitmen Bawahan terhadap Organisasi oleh Laura Deasty (Mahasiswa S2 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia). Diunduh tanggal 9 Maret 2013.
[13] Tesis Analisis Pengaruh Pengelolaan SDM terhadap Komitemen Keorganisasian dengan Dukungan Organisasi sebagai Variael Antara di Badan PPSDM Kesehatan, Kemeterian Kesehatan RI oleh Yana Yojana (Mahasiswa S2 Ilmu Administrasi dan Pengembangan SDM Universitas Indonesia). Diunduh tanggal 9 Maret 2013.
[14] Creating Sense of Mission oleh Andrew Campbell dan Sally Yeung. Disadur dari bahan kuliah Manajemen SDM.
[15] Wawancara dilakukan dengan menggunakan telepon pada 3 Maret 2013.
[16] http://www.waspada.co.id/. Diakses pada tanggal 28 Februari 2013.
[17] Dian Novian, Sistem Pendukung Mutasi, Enumerasi dan Promosi dengan Metode AHP. Diunduh tanggal 5 Maret 2013.

Comments

Popular posts from this blog

Rekrutmen dan Seleksi Pegawai Pemerintah: Sebuah Kajian dari Praktek dan Tren Modern Internasional

Pemerintah di seluruh dunia menghadapi tantangan kepegawaian yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pada saat pemerintah butuh bakat daya pikat paling trampil untuk pelayanan publik, kemampuan mereka untuk melakukannya telah begitu jarang sehingga rumit dan dibatasi oleh ekonomi, sosial dan tekanan organisasi. Artikel ini memberikan gambaran jenis inisiatif rekrutmen dan seleksi di tempat di banyak negara yang dapat membantu pemerintah dunia ini menarik dan mempertahankan bakat. Bergantung pada contoh dari Amerika Serikat dan Eropa Barat, namun juga mengintegrasikan pengalaman dari berbagai negara maju dan kurang berkembang (LDCs), kami menjelaskan serangkaian perekrutan dan seleksi "praktik terbaik." Suasana Penerimaan Peserta Tes CPNS

Dinamika, Kontinum dan Globalisasi Administrasi Publik

Woodrow Wilson 1.         Dinamika perubahan fokus administrasi publik, mulai dari administrasi sebagai administrasi negara sampai dengan administrasi publik dalam paradigma governance serta implikasi pada praktik administrasi publik. Dinamika Pertama , administrasi sebagai administrasi negara. Administrasi negara telah mengalami tahapan perkembangan yang diklasifikasikan berdasarkan berbagai cara pandang (paradigma) dalam rentang waktu tertentu yang memiliki ciri-ciri tertentu sesuai dengan locus dan focus paradigma tersebut. Akan tetapi, tidak semua paradigma memiliki penekanan pada locus dan focus secara sekaligus atau bersamaan. Menurut Thoha (2008: 18), locus menunjukkan dimana bidang ini secara institusional berada, sedangkan focus menunjukkan sasaran spesialisasi dari bidang studi tersebut. Untuk mengidentifikasi perubahan fokus pada dinamika pertama administrasi sebagai administrasi negara, lebih lanjut Henry dalam Yudiatmaja (2012: 9) membagi paradigma administras

Kebijakan Relokasi Kerusuhan terhadap Korban Pengungsi di Kabupaten Sambas Tahun 1999: Konflik Etnis antara Madura dan Melayu

Internally displaced Persons adalah sebuah istilah bagi para kelompok masyarakat yang pindah dari tempat tinggalnya dan menetap di daerah lain untuk menetap sementara waktu atau hal ini dikenal dengan istilah pengungsi. Sambas adalah sebuah Kabupaten yang terletak di bagian pesisir yang di tempati oleh berbagai suku etnis misalnya suku bugis, madura, jawa batak dll, namun Kabupaten Sambas mayoritas ditempati oleh Melayu, Dayak dan Cina (Tiong Hoa). Khusus tentang konflik Sambas pada tahun 1999 yang terjadi adalah etnis Melayu Sambas dengan suku Madura (yang bertempat tinggal di Sambas) yang menewaskan ratusan jiwa dan hancurnya ratusan rumah dan harta warga Madura. Rekonsiliasi Konflik