Latar
Belakang
Paper
ini membahas tentang promosi jabatan struktural PNS di Aceh. Awal tahun 2013,
Pemerintahan di Aceh menjadi sorotan masyarakat Indonesia terutama keterlibatan
organisasi publik yang bergerak di bidang kepegawaian baik secara teknis maupun
administratif terkait dengan beberapa kasus yang terjadi di pemerintahan daerah
di Aceh. Konteks yang mengundang komentar banyak pihak adalah fenomena promosi
jabatan struktural PNS di Aceh.
Sudah
menjadi rahasia umum jika promosi atau mutasi pegawai identik dengan hak
prerogatif kepala daerah. Sudah barang tentu peran Badan Pertimbangan Jabatan
dan Kepangkatan (Baperjakat) pada saat ini semakin kecil. Tidak dapat
dipungkiri bahwa kepentingan para oknum elit politik turut andil dalam menentukan
pilihan akhir pertimbangan yang diberikan oleh Baperjakat. Bukan mustahil pula,
apabila kepala daerah tertentu atau oknum elit politik itulah yang
“menunggangi” tugas dan fungsi Baperjakat. Pada akhirnya, promosi jabatan
struktural yang diharapkan mampu mengembangkan karir pegawai dan menyajikan
kehandalan sumber daya manusia bagi pelayanan kepentingan publik kurang dapat
terpenuhi.
Fenomena
tersebut awam ditemui hampir di seluruh pemerintahan daerah di Indonesia.
Demikian pula yang terjadi di Aceh. Ironisnya, Aceh justru mengawali tahun baru
2013 dengan sebuah berita buruk dan menjadi koreksi penting bagi institusi administratif
manajemen sumberdaya aparatur daerah, dalam hal ini Badan Kepegawaian
Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Provinsi Aceh. Salah satu contohnya adalah pengangkatan
dalam jabatan struktural seorang PNS Pemerintah Aceh yang telah meninggal dunia[1].
Ini menjadi catatan penting bagi BKPP Aceh sebagai sebuah tragedi pengelolaan
administrasi kepegawaian yang keliru.
Pada
dasarnya, lembaga manajemen kepegawaian daerah memiliki peran yang sangat
penting dalam proses promosi jabatan struktural pegawai daerah. Peran penting
tersebut dihadapkan oleh tantangan lingkungan organisasi baik yang bersifat
administratif, teknis maupun politis. Sebuah contoh di atas merupakan salah
satu dari banyak contoh kegagalan atau kekhilafan lembaga manajemen kepegawaian
di Aceh dalam menghadapi tantangan tersebut. Padahal, institusi manajemen
kepegawaian mempunyai kewajiban untuk mencurahkan perhatian secara intens
terhadap pola karir PNS pada jabatan struktural di berbagai lini, terutama
memastikan proses pengangkatan pegawai telah sesuai dengan kaidah yang berlaku
dan memberi sumbangsih positif bagi peningkatan pelayanan publik. Jika tidak,
fungsi-fungsi seperti itu terancam diambil alih oleh calo mutasi[2]
seperti yang terjadi di beberapa pemerintah kabupaten/kota di Aceh, dan justru
merugikan daerah dari sisi kelayakan sumber daya aparatur.
Terkait
dengan pegawai negeri yang cakap pada jabatan struktural yang layak, sejauh ini
seluruh pemerintahan daerah di Aceh berupaya untuk menyesuaikan tindakan
promosi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terlebih lagi, UU No. 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh telah mengamanatkan agar perencanaan
pegawai terutama promosi dan mutasi harus berorientasi pada hasil analisis
jabatan sesuai dengan kebutuhan di lingkungan kerja dan instansi yang ada di
daerah. Harapannya, pegawai yang diangkat adalah figur yang berkualitas,
produktif, kompeten dan relevan karakteristik pribadinya dengan tuntutan
spesifikasi pekerjaan yang diemban. Semakin baik kualitas SDM aparatur, maka
akan memunculkan rasa keadilan bagi masyarakat serta tingkat kemandirian dalam
mengembangkan diri dan menyelesaikan masalah dalam pekerjaannya secara lebih
baik[3].
Namun
dalam perkembangannya, publik menilai bahwa beberapa pemerintah daerah di Aceh
belum sepenuhnya melaksanakan aturan tersebut. Sebagaimana diungkapkan oleh
Koordinator LSM Rincong Aceh, bahwa mutasi pejabat di Aceh Utara dinilai sarat
nepotisme dan mengabaikan analisis jabatan[4].
Apabila hal tersebut terbukti, maka komitmen pemerintah daerah di Aceh terhadap
reformasi birokrasi dari sudut pandang manajemen kepegawaian belum terpenuhi
secara maksimal dan optimal.
Seiring
beragamnya permasalahan terkait promosi jabatan struktural yang dihadapi oleh
lembaga manajemen kepegawaian di Aceh, maka pada paper ini terdapat 3 (tiga)
sub pembahasan yang menarik untuk dianalisa lebih lanjut.
Pertama,
keterlibatan Baperjakat pemerintahan daerah di tingkat provinsi, kabupaten dan
kota yang ada di Aceh dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Asumsinya,
selama ini pertimbangan, hasil analisis dan evaluasi yang diberikan guna
keperluan promosi jabatan struktural kurang mendapat dukungan yang selaras dari
kepala daerah sebagai pejabat pembina kepegawaian daerah di Aceh.
Kedua,
peran lembaga manajemen kepegawaian daerah seperti BKPP, BKD atau Bagian
Kepegawaian Sekretariat Daerah di pemerintah provinsi, kabupaten dan kota di
Aceh. Asumsinya, sistem administrasi kepegawaian terkait promosi jabatan yang
dikembangkan di Aceh dalam bentuk-bentuk tertentu belum sepenuhnya dipahami
oleh manajer SDM.
Ketiga,
inovasi manajemen dan proses promosi jabatan struktural PNS di Aceh. Asumsinya,
dalam rangka mengurangi subjektifitas namun tetap mengutamakan kualitas maka
perlu kriteria-kriteria tertentu yang sekiranya menjadi pendukung bagi unsur
pemerintahan di Aceh untuk mengangkat pegawai yang tepat pada jabatan
struktural yang tepat pula.
Sebelum
masuk pada analisis ketiga sub pembahasan tersebut, perlu dikemukakan kajian
teoritis yang bersifat normatif sebagai landasan konsep dalam rangka memahami
fenomena yang terjadi di Aceh terkait dengan promosi PNS pada jabatan
struktural.
Promosi dan Mutasi
Promosi
seperti halnya mutasi, merupakan suatu kegiatan untuk memindahkan pegawai dari
suatu tempat ke tempat yang lain. Dalam Sathya dan Ambar TS (2011: 169),
istilah mutasi dan promosi dibedakan. Perbedaan tersebut ditunjukkan pada
tempat dimana pegawai tersebut berpindah karirnya. Apabila tempat pemindahannya
sederajat dengan posisi sebelumnya, maka kegiatan tersebut dinamakan mutasi.
Jika pemindahan dilakukan ke tempat atau jabatan lain yang dianggap lebih
tinggi dari posisi sebelumnya, proses itulah yang dinamakan dengan promosi. Dalam
konteks promosi PNS di Aceh, konsep ini berlaku sesuai dengan berbagai macam
pertimbangan yang dilakukan oleh unsur teknis, administratif maupun politis di
pemerintahan daerah terutama keterlibatan institusi manajemen kepegawaian
daerah.
Promosi
merupakan salah satu kegiatan manajemen sumberdaya manusia dalam mengembangkan orang-orang
yang bekerja di dalamnya. Dalam manajemen perusahaan menurut Manullang (2001:
109), perusahaan perlu melakukan promosi untuk mempertinggi semangat kerja
karyawan dan dapat pula menjamin stabilitas kekaryawanan. Jika dikaitkan dengan
manajemen kepegawaian, maka promosi PNS pada dasarnya merupakan upaya untuk
meningkatkan gairah kerja dan produktivitas pegawai, serta menjaga siklus
eksistensi dan kelanggengan kinerja pegawai dalam memberikan pelayanan publik
kepada masyarakat.
Adapun
tujuan dilakukannya promosi menurut Hasibuan dalam Pratitha dan Muchtar[5]:
1.
Untuk memberikan pengakuan, jabatan dan
imbalan jasa yang semakin besar kepada karyawan yang berprestasi kerja tinggi;
2.
Dapat menimbulkan kepuasan dan
kebanggaan pribadi, status sosial yang semakin tinggi dan penghasilan yang
semakin besar;
3.
Untuk merangsang agar karyawan lebih
bergairah kerja, berdisiplin tinggi dan memperbesar produktivitas kerjanya;
4.
Untuk menjamin stabilitas kekaryawanan
dengan direalisasinya promosi kepada karyawan dengan dasar dan pada waktu yang
tepat serta penilaian yang jujur;
5.
Untuk mengisi kekosongan jabatan karena
pejabatnya berhenti;
6.
Kesempatan promosi dapat menimbulkan
keuntungan berantai dalam perusahaan karena timbulnya lowongan berantai;
7.
Untuk menambah atau memperluas
pengetahuan serta pengalaman kerja para karyawan dan merupakan pendorong bagi
karyawan lainnya.
8.
Memberikan kesempatan kepada karyawan
untuk mengembangkan kreativitas dan inovasinya yang lebih baik demi keuntungan
optimal perusahaan;
9.
Karyawan yang dipromosikan kepada
jabatan yang tepat, semangat, kesenangan, dan ketenangan dalam bekerja semakin
meningkat sehingga produktifitas meningkat;
10. Untuk
mempermudah penarikan pelamar sebab dengan adanya kesempatan promosi merupakan
daya pendorong serta perangsang bagi pelamar-pelama untuk memasukkan
lamarannya; dan
11. Promosi
akan memperbaiki status karyawan dari karyawan sementara menjadi karyawan tetap
setelah lulus dalam masa percobaan.
Secara normatif, sangat jelas bahwa
promosi memegang peranan penting dalam manajemen kepegawaian atau manajemen
sumberdaya aparatur, terutama pengembangan pegawai negeri pada sektor publik.
Dari pengertian, urgensi dan
tujuan/manfaatnya maka dapat dianalogikan bahwa promosi yang baik dan benar
sangat bergantung pada perencanaan strategis manajemen kepegawaian yang baik
dan benar pula. Asumsinya, semakin tepat pemerintah daerah—dalam hal ini
lembaga manajemen kepegawaian—melakukan perencanaan strategis terhadap pengelolaan
aparatur negara, maka kegiatan apapun yang ada di dalamnya—termasuk
promosi—akan semakin mengarah pada tujuan yang diharapkan oleh organisasi dan
masyarakat secara luas.
Jabatan
Struktural
Penulis membatasi persoalan promosi
PNS di Aceh hanya pada jabatan struktural di organisasi pemerintahan daerah.
Menurut Harsono (2011: 108), jabatan struktural adalah jabatan yang secara
tegas disebutkan dalam struktur organisasi. Tingkatan yang ada pada jabatan
struktural selanjutnya diistilahkan dengan eselon yang disusun berdasarkan
berat dan ringannya tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak yang ada pada
pegawai yang mengemban jabatan tersebut. Dalam kedudukannya secara
organisasional, jabatan struktural tidak boleh dirangkap oleh seorang pegawai
dengan jabatan struktural pada organisasi yang sama ataupun berbeda.
Promosi PNS pada jabatan struktural
tertentu didasari prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi
kerja dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu. Hardiansyah (2012:
75) juga mengemukakan bahwa ada pula syarat objektif lainnya yang ditentukan
pada tahap promosi pegawai tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras dan
golongan. Hal tersebut secara normatif dimaksudkan untuk menegaskan
objektifitas dan selektifitas, sehingga promosi PNS pada jabatan struktural
mampu menumbuhkan kegairahan berkompetisi secara sehat bagi seluruh pegawai
dalam rangka meningkatkan kemampuan profesionalismenya dan kemampuan memberikan
pelayanan yang terbaik bagi masyarakat.
Bentuk nyata keberhasilan promosi
PNS adalah pengangkatan pegawai pada jabatan struktural. Pelaksanaan
pengangkatan pegawai negeri sipil dalam jabatan struktural dalam rangka promosi
PNS serta penentuan jenis jabatan struktural dalam struktur organisasi
pemerintah daerah dilakukan dengan mempedomani peraturan perundang-undangan
sebagai berikut:
1. UU
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
2. UU
No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian;
3. PP
No. 13 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas PP No. 100 Tahun 2000 tentang
Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural;
4. PP
No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah; dan
5. Keputusan
Kepala BKN No. 13 Tahun 2002 tanggal 17 Juni 2002 tentang Ketentuan Pelaksanaan
PP No. 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan
Struktural sebagaimana telah diubah dengan PP No. 13 Tahun 2002.
Dari
berbagai jenis ketentuan yang berlaku, penulis memandang penting bahwa syarat
pengangkatan pegawai dalam jabatan struktural merupakan salah satu bagian utama
dari proses promosi dan menjadi konsep dasar yang berguna untuk menjelaskan
fenomena dari permasalahan promosi pegawai yang berlangsung di organisasi
pemerintahan daerah di Aceh. Penulis merangkum syarat-syarat dari produk hukum
tersebut sebagai berikut:
1. Berstatus
sebagai Pegawai Negeri Sipil;
2. Serendah-rendahnya
memiliki pangkat 1 (satu) tingkat di bawah jenjang pangkat yang ditentukan;
3. Memiliki
kualifikasi dan tingkat pendidikan yang diperlukan;
4. Semua
unsur penilaian prestasi kerja (daftar penilaian pelaksanaan pekerjaan)
sekurang-kurangnya bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir;
5. Memiliki
kompetensi jabatan yang diperlukan;
6. Sehat
jasmani dan rohani; dan
7. Pegawai
Negeri Sipil yang akan atau telah menduduki jabatan struktural harus mengikuti
dan lulus pendidikan dan pelatihan kepemimpinan sesuai dengan kompetensi yang
ditetapkan untuk jabatan tersebut.
Pertimbangan,
Pertukaran Komunikasi dan Komitmen Organisasi
Pada tingkat pemerintahan daerah,
hasil pertimbangan dan analisis dari unsur yang diberi wewenang untuk
menjalankan tugas-tugas tersebut sangat menentukan baik atau buruknya promosi
PNS pada suatu jabatan struktural.
Penulis mengutip salah satu contoh
kasus di Aceh yang melibatkan Baperjakat sebagai unsur yang bertugas dalam
mempertimbangkan pegawai yang dipromosikan untuk duduk pada sebuah jabatan
struktural. Kasus tersebut mencuat saat Gubernur Aceh melantik 422 pejabat
eselon II, III dan IV tanggal 5 Februari 2013 yang lalu, dimana dua nama
pegawai diantaranya yang ada dalam surat keputusan pelantikan diketahui oleh
publik dan media sebagai pegawai yang tidak seharusnya dilantik menjadi
pejabat.
Dalam kasus tersebut, Baperjakat
Aceh mengaku bersalah dan bertanggung-jawab atas hasil pertimbangan pejabat
struktural yang berdampak buruk saat pelantikan[6].
Pasalnya, dua nama pegawai yang ada dalam surat keputusan pelantikan
menimbulkan kisruh yang cukup pelik. Hal tersebut disebabkan karena seorang
pegawai Provinsi Aceh berinisial RH yang telah meninggal dunia dipromosikan
menjadi Kasubbag Evaluasi Produk Hukum Kabupaten/Kota pada Bagian Pembinaan
Hukum Kabupaten/Kota Biro Hukum Pemerintah Aceh[7].
Sebab yang kedua adalah, dipromosikannya seorang PNS berinisial MU yang
terlibat kasus mesum (asusila) sebagai Kepala Bidang Pemberdayaan Sumberdaya
Manusia di Badan Pemberdayaan Pendidikan dan Dayah (BPPD) Provinsi Aceh[8].
Akibat dari kisruh tersebut, Gubernur Aceh mencabut jabatan yang diemban oleh
dua orang anggota Baperjakat yang dinilai bersalah, yakni Kepala Badan
Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) dan Kepala Biro Organisasi Provinsi
Aceh[9].
Setelah menelaah informasi yang
penulis dapatkan dari media sesuai data yang dipaparkan di atas, maka
setidaknya ada tiga hal penting yang mampu diasumsi dan dianalisa terkait
dengan keterlibatan Baperjakat Provinsi Aceh sebagai tim pertimbangan jabatan
dalam kasus tersebut.
Pertama,
Baperjakat Provinsi Aceh tidak optimal menjalankan tugas-tugas pokoknya dalam
mencermati data-data calon pejabat yang akan dipromosikan. Dalam ketentuan
pelaksanaan pengangkatan jabatan struktural, Baperjakat diberikan waktu banyak
untuk mempelajari curicculum vitae (CV)
setiap pegawai yang diusulkan menjadi pejabat struktural kemudian melakukan
sidang secara komprehensif. Terlepas dari tugas-tugas jabatan struktural yang
diemban oleh masing-masing anggota dari tim Baperjakat dan banyaknya pegawai
yang dipromosikan, seharusnya kejadian-kejadian kecil seperti kasus di atas
dapat dihindari.
Kedua,
kurangnya
koordinasi antara Baperjakat Provinsi Aceh dan unit organisasi pemerintah
provinsi dalam cross check data calon
pejabat secara mendalam. Seharusnya, masing-masing pimpinan organisasi mampu
meyakini Baperjakat bahwa PNS yang diusulkan mendapat promosi jabatan adalah
pegawai yang keberadaanya diakui dan punya track
record yang baik. Nyatanya, Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA)
membenarkan bahwa Inspektorat Aceh memiliki kelemahan dalam melakukan rekam
jejak terhadap para PNS[10].
Padahal, pimpinan Inspektorat Aceh juga menjadi anggota dalam tim Baperjakat.
Dari beberapa informasi yang diakui kebenarannya oleh Pemerintah Provinsi Aceh,
masing-masing anggota tim Baperjakat yang terdiri dari pejabat eselon II
Provinsi Aceh juga kurang menguatkan sense
of human resources mereka baik di dalam maupun di luar lingkungan kerja.
Sebaliknya, Baperjakat juga kurang membuka ruang bagi pimpinan tiap unit
organisasi untuk mengetahui hasil pertimbangan yang mereka lakukan.
Ketiga,
pertimbangan Baperjakat kerap dianggap sebagai formalitas belaka. Asumsi dan
analisa terakhir ini berkaitan dengan dua poin yang dikemukakan sebelumnya.
Berdasarkan informasi dari media yang penulis padukan dengan hasil wawancara
bersama mantan Kepala Biro Pemerintahan dan mantan Kepala BKPP Provinsi Aceh
(anggota tim Baperjakat)[11],
penulis menyimpulkan bahwa untuk jabatan-jabatan tertentu rekomendasi dan hasil
pertimbangan yang diberikan oleh Baperjakat seringkali tidak digunakan oleh
kepala daerah, dalam hal ini Gubernur Aceh. Hal tersebut disebabkan karena
Gubernur bertindak sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah (PPKD) yang
memiliki hak prerogatif dalam menentukan dan memutuskan nama-nama pejabat. Pada
satu sisi, tren formalitas yang muncul di setiap kegiatan promosi atau mutasi
PNS Provinsi Aceh membuat Baperjakat tidak memperhatikan lagi aspek pertimbangan
kelayakan para pejabat dan keakuratan data. Di sisi lain, pimpinan unit
organisasi yang meragukan kinerja Baperjakat akan langsung menyampaikan usulan
promosi pegawai mereka kepada Gubernur Aceh, sehingga nama-nama calon pejabat
yang dimiliki oleh Baperjakat akan selalu berbeda dengan nama-nama yang
dimiliki oleh Gubernur Aceh.
Asumsi-asumsi tersebut tentu
memerlukan penelitian lebih mendalam agar kepastian dan kebenaran dari fenomena
kasus promosi PNS di Aceh menjadi model untuk kasus-kasus serupa lainnya yang
muncul di Indonesia. Namun, dari analisa penulis berdasarkan data-data sekunder
tersebut, penulis meyakini bahwa fungsi pertimbangan yang dimiliki oleh
Baperjakat Aceh tidak berjalan dengan baik sehingga berdampak buruk bagi karir
anggota Baperjakat dan citra Pemerintah Provinsi Aceh pada periode kepemimpinan
Gubernur Aceh yang baru. Setidaknya, kejadian tersebut menjadi peringatan
sebagai upaya perbaikan manajemen kepegawaian Aceh.
Keyakinan penulis akan buruknya
fungsi pertimbangan pada Baperjakat Aceh dapat dianalisa dengan menelaah
variabel pertimbangan, pertukaran komunikasi dan komitmen organisasi untuk
pengangkatan PNS Aceh dalam jabatan struktural melalui teori di bawah ini.
Teori
Leader Member Exchange (LMX)[12]
Secara
singkat, teori ini menjelaskan tentang adanya perbedaan sikap atasan terhadap
bawahan dan membagi bawahan menjadi dua kekompok. Kelompok pertama (in-group) merupakan bawahan yang lebih
dapat dipercaya, mendapatkan perhatian besar dan menerima hak istimewa dari
atasan. Implikasinya, tidak ada batasan formalitas dan otoritas dalam
berkomunikasi antara atasan dan bawahan. Sedangkan kelompok kedua (out-group) memiliki interaksi yang
minim, mendapatkan sedikit perhargaan yang diatur oleh atasan, perhatian dan
alokasi waktu yang terbatas. Implikasinya, sedikit sekali pertimbangan bawahan
yang berpotensi digunakan oleh atasan dalam rangka pengambilan keputusan. Dalam
beberapa penelitian yang dilakukan di Amerika, ditemukan suatu hipotesa bahwa
semakin baik kualitas hubungan atasan dan bawahan maka semakin baik pula
komunikasi dan komitmen keduanya terhadap organisasi.
Apabila
Gubernur, Baperjakat dan Pimpinan Unit Organisasi di Pemerintah Provinsi Aceh
masing-masing merupakan atasan dan memiliki bawahan, serta fenomena kasus
promosi di Pemerintah Provinsi Aceh kita analogikan dengan teori LMX di atas,
maka secara sederhana dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut.
1. Pertimbangan
Baperjakat dalam memilih alternatif calon-calon pejabat untuk kemudian
ditetapkan oleh Gubernur Aceh mendapat perhatian besar, tetapi tidak diperiksa
kembali secara detil. Walaupun demikian, pada kenyataannya Baperjakat melakukan
dan mengakui kesalahannya telah dengan sengaja memasukkan dua nama pegawai yang
menimbulkan kisruh pada saat pelantikan. Dalam hal ini, Gubernur berasumsi
bahwa Baperjakat termasuk dalam kelompok in-group.
2. Pertukaran
komunikasi antara Baperjakat dengan Gubernur Aceh berlangsung dengan baik dan
lancar. Namun, pertukaran komunikasi antara Pimpinan Unit Organisasi dengan
Baperjakat dinilai cukup terbatas. Lemahnya rekam jejak pegawai dan kurangnya
koordinasi keduanya terhadap data-data calon pejabat menjadi penyebab lolosnya
pejabat yang cacat moral pada pelantikan tersebut.
3. Komitmen
Organisasi lemah. Sebagaimana tergambar sesuai data, informasi dan hasil
wawancara, tugas dan status Baperjakat kini dianggap sekedar formalitas.
Demikian pula Pimpinan Unit Organisasi yang mengabaikan loyalitas dan hirarki
saat promosi.
Perencanaan
Strategis, Rekrutmen dan Seleksi, serta Analisa Jabatan
Berkaitan dengan pertimbangan,
pertukaran komunikasi dan komitmen organisasi yang dibahas di bagian sebelumnya,
ternyata promosi dipandang sebagai salah satu dimensi pengelolaan sumberdaya
manusia di organisasi pemerintahan. Sebagaimana dikemukakan oleh Wright dan
Kehoe[13]
bahwa terdapat tiga dimensi pengelolaan SDM yang berpengaruh terhadap komitmen,
yaitu: insentif/rewards, pemberdayaan
(empowerment), promosi internal, dan
peningkatan keterampilan karyawan.
Dalam konteks manajemen kepegawaian
daerah terutama di Aceh, promosi bukan hanya sekedar tindakan memindahkan
pegawai dan memberikannya jabatan yang lebih tinggi atau besar dari jabatan
semula. Ternyata, promosi saling berkaitan satu sama lain. Pada sub pembahasan
ini, aspek manajemen kepegawaian yang terkait dengan promosi penulis batasi
hanya pada perencanaan strategis, rekrutmen dan seleksi, serta analisa jabatan.
Lebih dari pada itu, pengelolaan
keterkaitan proses tersebut tidak hanya sebatas metode merit system semata. Beberapa pemerintahan kabupaten/kota yang
telah maju bahkan pemerintahan baru hasil pemekaran daerah di Aceh justru
mengembangkan pegawainya berdasarkan spoil
system. Selain keterbatasan sumberdaya aparatur baik dari segi kualitas
maupun kuantitas, pemerintah daerah di Aceh menaruh harapan besar bagi
orang-orang yang berjasa dalam membangun kembali Aceh pasca konflik GAM-RI dan
pasca bencana tsunami. Alhasil, tidak sedikit para relawan konflik dan tsunami
Aceh baik berasal dari dalam atau luar Aceh, para mantan anggota Gerakan Aceh
Merdeka (GAM), para korban konflik dan korban bencana tsunami di Aceh, dan
orang-orang tertentu yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pejabat daerah
diangkat menjadi PNS atau pejabat struktural melalui rekomendasi pihak terkait.
Hal
tersebut dapat dibuktikan dengan data yang penulis rangkum dari beberapa Bagian
Kepegawaian di kabupaten/kota tertentu di Aceh, sebagaimana tertera pada tabel
berikut:
Tabel
1.
Daftar Perkiraan
Jumlah Pengangkatan PNS berdasarkan Rekomendasi
dalam kurun
waktu 2004-2008
No.
|
Kabupaten/Kota
|
Jumlah PNS
dengan Rekomendasi/Pertimbangan Khusus (orang)
|
||||
Relawan
|
Korban Konflik
|
Korban Bencana
|
Mantan GAM
|
Hubungan
Kerabat
|
||
1.
|
Banda Aceh
|
17
|
24
|
41
|
9
|
15
|
2.
|
Aceh Barat
|
20
|
9
|
36
|
20
|
19
|
3.
|
Aceh Jaya
|
5
|
11
|
21
|
30
|
35
|
4.
|
Nagan Raya
|
10
|
25
|
10
|
38
|
50
|
5.
|
Simeulue
|
35
|
-
|
5
|
-
|
13
|
6.
|
Pidie
|
-
|
27
|
-
|
12
|
42
|
7.
|
Bireuen
|
-
|
20
|
-
|
25
|
37
|
Sumber:
Hasil Analisa dan Rangkuman Penulis, 2013
Dari data tersebut, menunjukkan
betapa spoil system sangat dominan
diaplikasikan dalam pengelolaan manajemen kepegawaian, terutama pengaruh
hubungan kekerabatan yang cukup kuat. Untuk membahas fenomena promosi PNS pada
jabatan struktural yang terjadi di Aceh terutama menyangkut manajemen
kepegawaian daerah, maka penulis memilahkan analisa deskriptif sesuai data dari
Bagian Kepegawaian, Badan Kepegawaian Daerah (BKD) dan Badan Kepegawaian
Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) beberapa
kabupaten/kota di Aceh.
Perencanaan
Strategis dan Operasional Manajemen Kepegawaian Daerah
Permasalahan promosi yang berkaitan
dengan perencanaan strategis manajemen kepegawaian daerah yang ada di Aceh
adalah:
1. Bagaimana
pemerintah daerah mampu menjabarkan purpose,
values, behaviour standards dan strategy[14]
kepada calon pegawai atau PNS di unit kerja masing-masing agar keinginan untuk
dipromosikan pada jabatan struktural dapat dipenuhi apabila pegawai mampu
memahami visi, misi dan nilai-nilai dalam organisasi pemerintahan.
Dalam wawancara penulis
dengan mantan Kepala BKPP Provinsi Aceh[15],
diterangkan bahwa fenomena yang terjadi di Aceh adalah banyaknya PNS di
pemerintah provinsi yang meminta dirinya atau mengajukan orang lain untuk
dipromosikan. Padahal, saat BKPP melakukan evaluasi ternyata cukup banyak PNS
yang tidak memahami tugas yang sedang ia emban, bahkan tugas pada jabatan baru
yang ia inginkan. Artinya, sangat sedikit jumlah PNS yang mampu memahami visi,
misi dan nilai-nilai organisasinya.
2. Bagaimana
pemerintah daerah mampu melakukan penentuan program-program yang spesifik terutama
kebutuhan pegawai baik kualitatif maupun kuantitatif sebagai derivasi dari
pemahaman visi, misi dan nilai-nilai organisasi tersebut (Alwi, 2001: 165)
Namun,
data yang penulis peroleh dan rangkumkan dari beberapa pemerintah
kabupaten/kota di Aceh menunjukkan perencanaan operasional yang belum optimal,
sehingga berdampak pada promosi dan pengembangan karir pegawai yang tidak
efektif. Contohnya: Kabupaten Aceh Jaya membuka formasi PNS pada tahun 2006
sejumlah 300 orang dengan 70% diantaranya disediakan untuk calon PNS dengan
ijazah Diploma dan SLTA/sederajat. Sedangkan pegawai yang pensiun pada tahun
tersebut jumlahnya mencapai 150 orang. Akibatnya, promosi jabatan eselon IV dan
III terhambat, kekosongan jabatan dan kurangnya perkembangan karena PNS dengan
golongan II sangat besar jumlahnya. Pada tahun itu pula, berbondong-bondong
pejabat dari kabupaten lain mengajukan pindah tugas kerja ke Kabupaten Aceh
Jaya dengan maksud dapat mengisi jabatan yang kosong tersebut. (Sumber: Bag. Kepegawaian Aceh Jaya).
Rekrutmen dan Seleksi
Rekrutmen
dan seleksi menjadi sebuah tahapan awal yang sangat penting untuk mencapai
tujuan promosi yang diharapkan oleh organisasi. Terlebih lagi, apabila promosi
internal jabatan struktural satuan kerja perangkat daerah dilakukan dengan
memberdayakan dan mengembangkan karir para pegawai yang ada di lingkungan
internal organisasi itu sendiri. Hal ini diyakini mampu mempermudah pejabat
baru dalam menyesuaikan diri dengan tugas-tugas dalam jabatan barunya.
Salah
satu pengaruh faktor eksternal terhadap praktek rekrutmen adalah peraturan affirmative action. Menurut Ambar dan
Rosidah (2003: 139), affirmative action
merupakan fungsi kepegawaian yang paling kritis karena berfungsi sebagai
perantara terhadap proses merekrut, menyeleksi, mengangkat, mempromosikan atau
menempatkan seorang pegawai. Lebih lanjut, affirmative
action juga merupakan nilai suatu masyarakat yang menekankan pentingnya
keputusan organisasi pada prinsip perwakilan proporsional berdasarkan prosentase
penduduk dari masing-masing kelompok yang terdapat dalam masyarakat yang
berdasarkan keadilan sosial.
Rekrutmen
yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Barat untuk Calon PNS tahun 2008
dan 2010 dibatasi pendaftarannya hanya pada peserta yang berasal dan/atau
berdomisili di wilayah Aceh Barat dalam kurun waktu dua tahun terakhir.
Kebijakan tersebut menimbulkan konflik, sehingga berbondong-bondong masyarakat
yang mengikuti rekrutmen memanipulasi identitas penduduknya agar terdaftar
sebagai peserta tes CPNS Aceh Barat (Sumber:
Buletin Triwulan Pemkab Aceh Barat, 2010).
Secara
normatif, faktor affirmative action
sangat potensial menimbulkan permasalahan karena pada dasarnya prinsip keadilan
memiliki perbedaan yang ekstrim dengan nilai efisiensi. Dalam perkembangannya, hal tersebut berdampak
pada promosi PNS pada jabatan struktural di lingkungan Pemkab Aceh Barat di
masa-masa pelaksanaan tugas.
Demikian
pula yang terjadi pada proses seleksi. Salah satu syarat seleksi dan penempatan
pegawai yang harus dipenuhi oleh organisasi, terutama dalam rangka promosi PNS
pada jabatan struktural menurut Ambar dan Rosidah (2003: 152) adalah analisis
jabatan. Informasi analisis jabatan harus mampu memberikan deskripsi jabatan,
spesialisasi jabatan dan standar prestasi yang seharusnya ada dalam setiap
jabatan tersebut.
Namun
pada kenyataannya, kasus yang terjadi di Aceh Barat dalam kurun waktu 2009
hingga 2012 deskripsi jabatan yang digambarkan kepada peserta tes CPNS, para
pegawai yang baru diangkat, bahkan pegawai yang duduk dalam jabatan tidak
mencerminkan kesesuaian. Akibatnya, proses promosi internal yang diharapkan
oleh masing-masing organisasi kurang berjalan dengan baik. Justru yang terjadi
adalah pimpinan unit organisasi berupaya mencari calon pejabat dari luar
organisasi (Sumber: Buletin Triwulan
Pemkab Aceh Barat, 2012).
Hal
tersebut dapat dianalisa dengan mempedomani data 5 (lima) sampel kantor camat
dari 12 kecamatan di lingkungan Pemkab Aceh Barat yang dirangkum pada tabel-tabel
di bawah ini.
Tabel 2.
Jumlah
PNS Kantor Camat di Pemkab Aceh Barat
Berdasarkan
Golongan per 31 Desember 2012
(orang)
No.
|
Nama
Kecamatan
|
Golongan
IV
|
Golongan
III
|
Golongan
II
|
Golongan
I
|
Total
|
|||||||||||||
a
|
b
|
c
|
d
|
e
|
a
|
b
|
c
|
d
|
a
|
b
|
c
|
d
|
a
|
b
|
c
|
d
|
|||
1.
|
Johan
Pahlawan
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
10
|
9
|
6
|
4
|
7
|
38
|
2
|
2
|
-
|
-
|
-
|
1
|
79
|
2.
|
Meureubo
|
1
|
-
|
-
|
-
|
-
|
3
|
4
|
3
|
4
|
6
|
7
|
1
|
3
|
-
|
-
|
2
|
1
|
35
|
3.
|
Samatiga
|
1
|
-
|
-
|
-
|
-
|
5
|
7
|
2
|
3
|
2
|
4
|
1
|
3
|
-
|
-
|
-
|
-
|
28
|
4.
|
Kaway
XVI
|
1
|
-
|
-
|
-
|
-
|
8
|
8
|
3
|
4
|
3
|
6
|
2
|
4
|
1
|
4
|
-
|
4
|
48
|
5.
|
Pante
Ceureumen
|
1
|
-
|
-
|
-
|
-
|
4
|
3
|
2
|
2
|
7
|
8
|
2
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
29
|
6.
|
Sungai
Mas
|
1
|
-
|
-
|
-
|
-
|
2
|
1
|
3
|
1
|
5
|
2
|
2
|
-
|
-
|
2
|
1
|
2
|
22
|
7.
|
Arongan
Lambalek
|
1
|
-
|
-
|
-
|
-
|
1
|
2
|
4
|
1
|
7
|
1
|
3
|
-
|
-
|
2
|
3
|
-
|
25
|
Sumber: BKPP Aceh Barat, 2013
Tabel 3.
Jumlah
PNS Kantor Camat di Pemkab Aceh Barat
Berdasarkan
Tingkat Pendidikan per 31 Desember 2012
(orang)
No.
|
Nama
Kecamatan
|
Jenjang
Pendidikan
|
|||||||
S-3
|
S-2
|
S-1
|
Diploma
|
SLTA
|
SLTP
|
SD
|
Total
|
||
1.
|
Johan
Pahlawan
|
-
|
1
|
7
|
9
|
60
|
2
|
-
|
79
|
2.
|
Meureubo
|
-
|
-
|
8
|
4
|
19
|
1
|
3
|
35
|
3.
|
Samatiga
|
-
|
-
|
13
|
3
|
11
|
1
|
-
|
28
|
4.
|
Kaway
XVI
|
-
|
1
|
18
|
8
|
19
|
1
|
1
|
48
|
5.
|
Pante
Ceureumen
|
-
|
-
|
11
|
3
|
13
|
1
|
1
|
29
|
6.
|
Sungai
Mas
|
-
|
-
|
5
|
3
|
8
|
3
|
3
|
22
|
7.
|
Arongan
Lambalek
|
-
|
1
|
4
|
1
|
14
|
3
|
2
|
25
|
Sumber: BKPP Aceh Barat, 2013
Tabel 4.
Jumlah
Hasil Rekrutmen dan Seleksi PNS Baru
Berdasarkan
Tingkat Pendidikan mulai tahun 2009-2010
(orang)
No.
|
Nama
Kecamatan
|
Jenjang
Pendidikan
|
|||||||
S-3
|
S-2
|
S-1
|
Diploma
|
SLTA
|
SLTP
|
SD
|
Total
|
||
1.
|
Johan
Pahlawan
|
-
|
-
|
3
|
2
|
15
|
-
|
-
|
20
|
2.
|
Meureubo
|
-
|
-
|
3
|
2
|
5
|
-
|
-
|
35
|
3.
|
Samatiga
|
-
|
-
|
3
|
2
|
5
|
-
|
-
|
28
|
4.
|
Kaway
XVI
|
-
|
-
|
2
|
2
|
5
|
-
|
-
|
48
|
5.
|
Pante
Ceureumen
|
-
|
-
|
2
|
1
|
3
|
-
|
-
|
29
|
6.
|
Sungai
Mas
|
-
|
-
|
1
|
1
|
3
|
-
|
-
|
22
|
7.
|
Arongan
Lambalek
|
-
|
-
|
1
|
1
|
3
|
-
|
-
|
25
|
Sumber: BKPP
Aceh Barat,
2013
Menurut
penulis, analisa mengenai fenomena promosi di beberapa kantor camat Pemkab Aceh
Barat sesuai data pada tabel di atas harus dianalisa berdampingan dan tidak
terpisah satu sama lain. Oleh karena itu, dengan mempedomani struktur
organisasi dan tata kerja sesuai PP No, 41 Tahun 2007 tentang Organisasi
Perangkat Daerah, kesimpulan dari tabel di atas adalah:
1. Evaluasi
terhadap rekrutmen dan seleksi untuk 7 (tujuh) sampel kantor camat di Pemkab
Aceh Barat menurut Bagian Kepegawaian Aceh Barat telah sesuai dengan
perencanaan dan formasi yang telah ditentukan (pada tahun 2009-2010)
2. Kantor
Camat Johan Pahlawan, Samatiga dan Kaway XVI memiliki jumlah pegawai golongan
III yang lebih banyak daripada empat kecamatan lainnya. Namun, posisi jabatan
kosong pada organisasi tersebut tidak tersedia dalam kurun waktu 2009-2012.
Terlebih lagi, ketiga kantor camat menerima hasil rekrutmen PNS baru golongan
III dengan titel sarjana (S-1) masing-masing sebanyak 3 (tiga) orang.
3. Sebaliknya,
empat kantor camat selain yang disebutkan pada poin 2 (dua) menyediakan jabatan
kosong pada eselon III.b, IV.a dan IV.b dengan jenis/kriteria jabatan yang
bervariasi pada masing-masing organisasi. Namun, jumlah pegawai yang memenuhi
syarat untuk dipromosikan sangat terbatas. Hasil rekrutmen untuk empat kantor
camat itu pun dinilai minim dan tidak mampu menutupi secara keseluruhan jabatan
kosong secara seketika. Sehingga, pimpinan kantor camat mengambil alternatif
untuk mempromosikan pegawai di luar organisasi.
Fenomena
tersebut memerlukan penyelesaian masalah yang paling mendasar, sehingga mampu
menarik perhatian calon PNS yang handal, kompeten dan sesuai kebutuhan. Apabila
masyarakat menyadari dan mengetahui ketimpangan hasil rekrutmen dengan
ketersediaan jabatan, maka minat untuk masuk ke organisasi pemerintah akan
semakin menurun. Publik seharusnya memahami bahwa promosi menjadi alat untuk
memberikan kontribusi maksimal bagi negara, sehingga pemerintah dan masyarakat
benar-benar siap untuk merekrut aparatur yang profesional.
Analisa Jabatan
Sebagaimana
uraian yang dijelaskan pada bagian rekrutmen dan seleksi, analisa jabatan juga
memegang peranan penting dalam promosi PNS pada jabatan struktural. Pemerintah
daerah di Aceh mempedomani Permendagri No. 35 Tahun 2012 tentang Analisis
Jabatan di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah. Secara
normatif, Sathya dan Ambar TS (2011: 169) menambahkan pula bahwa promosi tidak
hanya dilakukan pada syarat-syarat analisa jabatan saja, akan tetapi
pertimbangan bahwa pegawai tersebut mampu dan pantas dibanding pegawai yang
lain. Persoalannya, hingga saat ini belum semua pemerintah daerah di Aceh yang
melaksanakan analisis jabatan tersebut. Beruntung, Pemkot Banda Aceh pada
tanggal 1 Maret 2012 memberlakukan aplikasi e-kinerja yang memuat sistem analisis jabatan secara online di daerahnya[16].
Hal tersebut memudahkan Pemkot Banda Aceh dalam menentukan kebutuhan pegawai,
kriteria promosi dan jabatan, serta memudahkan respon kekosongan jabatan.
Aplikasi tersebut saat ini tengah disosialisasikan agar berkembang di seluruh
kabupaten/kota di Aceh.
Inovasi Masa Depan untuk Promosi
Menurut
penulis, kedua sub pembahasan sebelumnya setidaknya memiliki sebuah kesimpulan
yang sama: peran pemimpin dalam menciptakan inovasi masa depan untuk promosi.
Bagaimanapun, pejabat struktural yang saat ini mengemban amanah merupakan
pemimpin yang lahir dari proses promosi berkat pengalaman kerja, pendidikan dan
pelatihan yang memadai, karakter pribadi yang bersahaja dan bertanggungjawab,
serta dipercaya mampu melaksanakan tugas-tugas yang tidak mampu dilaksanakan
oleh pegawai lainnya.
Mengutip
dari Sathya dan Ambar TS (2011: 170) bahwa promosi yang sehat akan dapat
menghasilkan figur pemimpin yang baik, maka asumsi di atas sekiranya potensial
untuk dikembangkan menjadi gagasan dan ide dalam penataan pengelolaan promosi
PNS di Aceh.
Sebelum
membahas lebih jauh tentang gagasan yang penulis paparkan sebagai rekomendasi
perbaikan pengelolaan promosi PNS pada jabatan struktural pemerintahan daerah
di Aceh, perlu diketahui bahwa pemerintah telah merumuskan dan membahas
Rancangan Undang-undang Aparatur Sipil Negara (RUU ASN). Dalam poin-poin
rancangan undang-undang tersebut, Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah (PPKD)
yang sebelumnya diemban oleh kepala daerah akan didelegasikan kepada sekretaris
daerah dengan istilah Pejabat Struktural Tertinggi. Selain itu, peran
Baperjakat Daerah yang selama ini diisi oleh pejabat struktural eselon I,
eselon II dan pejabat tertinggi yang membidangi kepegawaian daerah akan
digantikan perannya oleh lembaga Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) yang lebih
objektif dan independen, terutama dalam memberikan pertimbangan bagi promosi
PNS daerah pada jabatan struktural.
Agar
ide dan gagasan lebih inovatif, maka unsur-unsur yang telah dirumuskan dalam RUU
ASN hendaknya diabaikan sementara. Hal ini bertujuan untuk membentuk ide dan
gagasan baru serta mampu menjadi model khusus bagi pelaksanaan promosi di
birokrasi pemerintahan di Aceh. Untuk memudahkan mengidentifikasi inovasi yang
sesuai dengan permasalahan dalam tulisan ini, penulis mengelompokkannya menjadi
dua bagian pokok, yaitu: Inovasi Landasan
Operasional Promosi dan Inovasi
Landasan Sosio-Kultural Promosi.
Inovasi Landasan
Operasional Promosi
Inovasi
landasan operasional dalam promosi ini didasari oleh semangat melakukan
perbaikan pada pertimbangan pimpinan, pertukaran komunikasi dan komitmen
organisasi. Pengambilan keputusan akhir oleh pimpinan dalam menentukan pegawai
yang layak untuk menduduki suatu jabatan struktural merupakan buah dari pertimbangan
yang matang, jalinan komunikasi yang lancar dan komitmen yang baik bagi
organisasi.
Sejalan
dengan teori Leader Member Exchange (LMX), maka ada beberapa inovasi kongkret
yang dapat dijadikan rekomendasi bagi pemerintah di Aceh, yakni:
1. Mengembangkan
dan mengaplikasikan Analytical
Hierarchy Process[17] (AHP)
atau Analytical Network Process (ANP)
sebagai metode pengambilan keputusan. Metode ini cocok digunakan oleh
Baperjakat di Aceh untuk memecahkan masalah yang kompleks dan tidak
terstruktur, terutama usulan promosi yang berasal dari kelompok out-group sebagaimana dimaksud dalam
teori LMX. Secara bertahap dan
spesifik, Baperjakat dituntut untuk merumuskan hirarki atau prioritas PNS yang
akan dipromosikan, kemudian melakukan pairwise
comparisons terhadap alternatif pejabat lain dan kriteria penilaian yang
ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, mengkuantifikasikannya menjadi
nilai untuk menentukan pengaruh relatif setiap kriteria dengan nama-nama calon
pejabat, dan terakhir mengagregasikan nilai setiap alternatif dengan bobot
relatif dalam kriteria pengangkatan PNS dalam jabatan struktural.
2. Memberikan
informasi secara terbuka bagi seluruh PNS untuk mengetahui setiap usulan
promosi PNS dalam jabatan struktural ke bidang kepegawaian dan untuk mengetahui
setiap hasil pertimbangan yang dilakukan oleh Baperjakat Aceh. Hal tersebut
ditujukan untuk memperlancar arus komunikasi antara atasan dan bawahan dalam
membahas dan mengetahui perihal promosi di lingkungan kerja, sehingga urusan
promosi bukan hanya menjadi urusan antarpimpinan unit organisasi semata.
Keterbukaan informasi tentang promosi harus didasari prinsip kontrol birokrasi
yang ideal dan dirasakan adil oleh seluruh pegawai yang ada di pemerintahan
Aceh.
3. Menata
dan menerapkan sistem kaderisasi internal pada setiap jenjang jabatan
struktural di masing-masing organisasi perangkat daerah di Aceh sesuai
kompetensi yang dibutuhkan dalam jabatan tersebut. Hal tersebut dapat dilakukan
dengan melakukan pendataan minat dan keahlian bagi setiap PNS yang berpotensi
untuk dipromosikan, baik yang sudah memenuhi syarat secara kompetensi
pendidikan dan pangkat/golongan maupun PNS yang belum memenuhi keduanya.
Kemudian, melakukan penataan dalam menempatkan PNS kader sesuai minat dan
keahlian pada bidang tertentu untuk selanjutnya diberikan pendidikan,
pelatihan, dan pembinaan baik secara formal maupun informal yang mendukung
peningkatan kapasitas individu PNS tersebut. Jika sistem kaderisasi internal
diterapkan oleh masing-masing organisasi perangkat daerah di Aceh secara
menyeluruh, pimpinan tidak perlu lagi untuk melakukan rekrutmen CPNS atau
mendapatkan calon pejabat dari luar organisasi, karena kebutuhan telah memadai.
Inovasi Landasan Sosio-Kultural
Promosi
Hal
ini bertujuan untuk melakukan perubahan cara pandang dalam promosi yang
mengandalkan merit system semata.
Sebagaimana uraian-uraian yang telah dijelaskan, promosi PNS pada jabatan
struktural di Aceh sangat mengandalkan spoil
system. Dengan kata lain, affirmative
action dalam promosi di Aceh memiliki peran penting. Walaupun menimbulkan
konflik dan kontroversi pada sebagian pihak karena landasan keadilan dan
efisiensi, namun hal tersebut dapat diperbaharui dengan cara berikut:
Sebaiknya,
pemerintahan daerah di Aceh dalam hal ini bidang kepegawaian, perlu menurunkan
nilai-nilai sosio-kultural promosi jabatan sesuai setelah melakukan analisis
jabatan. Nilai sosio-kultural yang dimaksud adalah menurunkan karakteristik
pribadi, pengalaman dan kemampuan calon pejabat di luar konteks kedinasan ke
dalam kaidah-kaidah promosi yag dilakukan oleh pimpinan unit organisasi. Dengan
kata lain, pendekataan yang dilakukan adalah pendekatan promosi berbasis
sosio-kultural.
Kongkretnya
adalah para pimpinan unit organisasi, manajer sumberdaya aparatur, Baperjakat,
bahkan kepala daerah di Aceh memiliki petunjuk teknis dalam menentukan siapa
PNS yang layak untuk dipromosikan dan menilai siapa PNS yang mampu dan cocok
mengemban kepercayaan pada jabatan tertentu berdasarkan sudut pandang kesamaan
budaya, adat-istiadat, asal daerah, kemampuan bersosialisasi, kemampuan
kepemimpinan yang baik, berpenampilan yang pantas, pemahaman nilai agama maupun
nilai organisasi, dan hal-hal non teknis lainnya.
Memang,
pada dasarnya pertimbangan promosi dengan pendekatan sosio-kultural harus
dilihat dari level jabatan struktural yang diemban, baik level jabatan
struktural pada unsur staf yang bersifat teknis secara kedinasan maupun level
jabatan struktural pada unsur lini yang bersifat operasional, manajerial dan
politis. Pendekatan sosio-kultural mutlak dilakukan jika pendekatan merit system secara operasional telah
sesuai dengan kriteria. Namun, khusus di Aceh pendekatan sosio-kultural
berpotensi mendapat calon PNS terbaik yang dipromosikan menjadi pejabat tanpa
harus mengeluarkan biaya yang besar dan pengorbanan pribadi yang tidak penting
lainnya.
Contohnya,
untuk mempromosikan seorang PNS menjadi Camat, setidaknya ia punya latar
belakang pendidikan di bidang pemerintahan. Selain itu, affirmative action yang diperlukan diantaranya adalah: mampu
bersosialisasi dengan masyarakat secara luwes dan terbuka, mempunyai
pengetahuan secara general di bidang agama, memiliki hubungan baik langsung
maupun tidak langsung dengan masyarakat pada kecamatan setempat, pernah
menjabat sebagai sekretaris kecamatan atau kepala seksi pemerintahan pada
beberapa kecamatan, memahami wilayah teritorial kecamatan dan keadaan
sosio-kultural masyarakat setempat.
Kesimpulan
Semakin
dinamisnya perubahan lingkungan yang didukung oleh unsur-unsur non teknis di
luar kedinasan, fungsi manajemen kepegawaian di Aceh harus mampu menyesuaikan
diri agar segera mendapatkan, mengembangkan dan mempertahankan sumberdaya
aparatur yang profesional bagi tercapainya tujuan organisasi dengan maksimal
dan optimal, serta terlaksananya pelayanan prima bagi masyarakat di Aceh.
Pada
intinya, peran pemimpin dan pimpinan organisasi sangat menentukan inovasi dan keberhasilan
dalam mempromosikan dan mengangkat PNS pada jabatan struktural yang dimaksud
sesuai dengan kriteria yang ditentukan dan kebutuhan dalam organisasi.
Pertimbangan pimpinan melalui metode AHP dengan memadukan merit system dan affirmative action,
kemudian didukung oleh kelancaran pertukaran komunikasi antara atasan dan
bawahan diyakini mampu meningkatkan komitmen seluruh anggota organisasi dalam
bertugas demi kepentingan bersama, terutama para pegawai yang menerima promosi
pada suatu jabatan struktural di organisasinya.
Daftar Pustaka
Alwi, Syafaruddin. 2001. Manajemen Sumberdaya Manusia: Strategi Keunggulan Kompetisi. BPFE:
Yogyakarta.
Harsono.
2011. Sistem Administrasi Kepegawaian.
Fokus Media: Bandung
Hardianysah. 2012. Sistem Adminstrasi dan Manajemen Sumberdaya Manusia Sektor Publik dalam
Perspektif Otonomi Daerah. Gava Media: Yogyakarta.
Manullang, M. 2001. Dasar-dasar Manajemen. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.
Sulistiyani, Ambar Teguh. 2011. Memahami Good Governance dalam Perspektif Sumberdaya Manusia. Gava
Media: Yogyakarta.
Sulistiyani, Ambar Teguh dan Rosidah. 2003. Manajemen Sumberdaya Manusia: Konsep, Teori
dan Pengembangan dalam Konteks Organisasi Publik. Graha Ilmu: Yogyakarta.
[1]
http://aceh.tribunnews.com/2013/02/07/gubernur-sk-kan-pns-almarhum.
Diakses tanggal 28 Februari 2013.
[2]
http://aceh.tribunnews.com/2013/01/16/sekda-hindari-calo-mutasi.
Diakses tanggal 28 Februari 2013.
[3]
Pengembangan Pegawai Negeri Sipil di Jajaran Kantor BKPP Aceh oleh Drs. Helmy
Ali, MM (Widyaiswara Madya BKPP Aceh), http://bkpp.acehprov.go.id/simpegbrr/artikel.html.
Diunduh tanggal 28 Februari 2013.
[5]
Pengaruh Penerapan Promosi dan Demosi terhadap Prestasi Kerja Karyawan pada
Master Kredit Cabang Medan, http://www.jurnal.usu.ac.id/index.php/jmim/article/download/653/pdf. Diunduh tanggal 28 Februari 2013.
[9] http://humas.acehprov.go.id/index.php/berita/34-berita-terbaru/. Diakses pada tanggal 28 Februari 2013.
[11] Wawancara dilakukan dengan
menggunakan telepon pada tanggal 2 dan 3 Maret 2013.
[12] Tesis Hubungan antara Sikap Atasan terhadap Bawahan dengan Komitmen
Bawahan terhadap Organisasi oleh Laura Deasty (Mahasiswa S2 Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia). Diunduh tanggal 9 Maret 2013.
[13] Tesis Analisis Pengaruh Pengelolaan SDM terhadap Komitemen
Keorganisasian dengan Dukungan Organisasi sebagai Variael Antara di Badan PPSDM
Kesehatan, Kemeterian Kesehatan RI oleh Yana Yojana (Mahasiswa S2 Ilmu
Administrasi dan Pengembangan SDM Universitas Indonesia). Diunduh tanggal 9
Maret 2013.
[14] Creating Sense of Mission oleh Andrew Campbell dan Sally Yeung.
Disadur dari bahan kuliah Manajemen SDM.
[15] Wawancara dilakukan dengan
menggunakan telepon pada 3 Maret 2013.
[17] Dian Novian, Sistem Pendukung Mutasi, Enumerasi dan
Promosi dengan Metode AHP. Diunduh tanggal 5 Maret 2013.
Comments
Post a Comment