Chapter 2
“Rinai hujan basahi aku,
temani sepi yang mengendap. Kala aku mengingatmu dan semua saat manis itu.
Segala seperti mimpi, kujalani hidup sendiri. Andai waktu berganti, aku tetap
tak ‘kan berubah. Aku selalu bahagia saat hujan turun, karena aku dapat
mengenangmu untukku sendiri. Selalu ada cerita tersimpan di hatiku. Tentang kau
dan hujan, tentang cinta kita yang mengalir seperti air. Aku bisa tersenyum
sepanjang hari, karena hujan pernah menahanmu disini untukku.” (Utopia: Hujan)
Sungguh
bahagia menyambut hujan yang turun menjelang siang hingga berakhir petang.
Wanginya yang khas manakala membasahi panasnya bumi, kesejukan yang menyegarkan
tatkala dinginnya menelusup hingga ke sanubari, kedisiplinan yang teratur saat
Mikail selalu setia terhadap titah Rabb-nya untuk menyampaikan aliran kehidupan
bagi penghuni dunia ilahi, dan rangkaian warna-warni indah bianglala yang
melingkupi langit timur saat semburat senja sang surya masih sempat menyisakan
sinarnya yang jingga di hamparan angkasa Yogyakarta sebelum ia perlahan
merangkak ke pelataran laut selatan.
Hujan |
Merasa tak
adil—atau lebih tepatnya: kasihan—apabila miliaran ton kubik hujan rutin
mengepung Aceh dan beberapa daerah sumatera lainnya dalam tiga bulan terakhir
ini, dan relatif tak berhenti. Aku takut wanginya hujan berubah menjadi bau
busuk yang menyengat dari parit-parit di pinggir Jalan Nasional karena
alirannya macet dan meluap ke jalan raya. Terkadang sejuknya yang segar
berganti menjadi dingin yang menggigil, mewabah dalam wujud demam berdarah di
pelosok Panton Reu dan Sungai Mas. Ironis, tatkala kedisiplinan malaikat Allah
tidak dibarengi dengan keteraturan manusia menjaga lingkungannya, sehingga
limpahan hujan dari hulu Krueng Woyla yang bermuara hingga ke Samudera Hindia menebar
ancaman banjir yang mematikan bagi warga bantaran sungai di Arongan Lambalek. Alhasil,
rutinitas uap air yang semakin pekat, serta mendung yang setia menaungi angkasa
Aceh Barat sejak pagi hingga malam niscaya mengenyahkan kesempatan para muda-mudi
MTsN Model atau Wira Bangsa, para pengantin muda kota yang belum pudar lagi inai-nya, para orangtua bersama anak-anak
mereka, hingga para pelancong dari Tapaktuan, Blangpidie atau Nagan Raya untuk sekedar
menikmati lukisan gejala optik cakrawala yang awamnya terpotret indah tergantung
tepat di langit atas Tugu Simpang Pelor.
Namun, aku
yakin mereka tetap melangitkan doa kepada Sang Maha Pemberi Rezeki, agar
kerinduan mereka untuk membingkai kembali sunset
yang cemerlang dari pesisir pantai Ujung Karang—Suak Indrapuri—dapat segera
terwujud. Aku memaknai doa-doa itu sebagai harapan mereka terhadap suasana yang
cerah dan bersahabat bagi kelancaran aktifitas disana, sebagaimana doa-doa kami
yang merindukan hujan turun mengguyur kota Yogya—yang musim kemaraunya sudah kelewatan—disini. Sembari berbahagia
dengan kesejukan yang saat ini—Minggu—menemaniku dari siang tadi, aku kembali
berharap agar kehangatan segera hadir kembali disana.
Hujan,
diantara gelegar suara petirmu di atas kota Yogya dan lantunan merdu juz ‘amma yang silih berganti dari laptop sebuah kamar sederhana kontrakan
Pandega Siwi, engkau mengguyurku dengan rindu. Rindu akan para sahabat-sahabat
MTsN Model dan Wira Bangsaku, rindu akan para sahabatku yang tengah bersiap
menikah dan rekanku yang asyik menjalani bulan madunya sebagai penganti muda, rindu
akan saudara-saudaraku kontingen Aceh, dan rindu yang tak pernah pudar padamu
ibu, ayah dan adik-adikku. Hujan, semoga engkau menjadi perantara aliran
rinduku dari Allah kepada mereka yang terpaut dalam jarak Meulaboh dan
Yogyakarta.
Hujan, dalam
hening maghrib di minggu pertama bulan Muharram 1434 Hijriah ini engkau menjadi
judul pembuka kisah perantauanku untuk bagian kedua. Mari kita mulai merintis
perjalanan sejarah singkat ini.
Comments
Post a Comment