Skip to main content

Akuntabilitas dan Transparansi Birokrasi Pemerintahan Aceh dalam Penyelenggaraan Otonomi Khusus


Pendahuluan

Aceh telah memasuki tahun kelima penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan berdasarkan hak-hak otonomi khusus yang diberikan oleh pemerintah. Sebagai salah satu provinsi yang diberikan kewenangan khusus, Pemerintah Aceh beserta seluruh komponen yang ada di dalamnya memiliki tanggung jawab bersama untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mengejar ketertinggalan pembangunan di seluruh sektor. Konsekuensinya, Pemerintah Pusat juga berkewajiban atas percepatan peningkatan kesejahteraan dan pembangunan itu dengan memberikan dukungan melalui aliran dana otonomi khusus dan dana bagi hasil migas.

Berdasarkan Pasal 183 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dijelaskan bahwa dana otonomi khusus merupakan penerimaan Pemeritah Aceh yang ditujukan untuk membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial dan kesehatan. Selain itu, pada Pasal 182 undang-undang tersebut juga menjelaskan bahwa Aceh berhak mengelola tambahan Dana Bagi Hasil minyak dan gas bumi paling banyak 70 % dan dialokasikan untuk membiayai program pembangunan yang disepakati bersama antara Pemerintah Aceh dengan pemerintah kabupaten/kota.
Namun ironisnya, realisasi dana tersebut masih belum memperlihatkan manfaat atas upaya peningkatan kesejahteraan yang signifikan semenjak kewenangan khusus dari UU Pemerintahan Aceh dijalankan. Berbagai pertanyaan pun dilontarkan kepada Pemerintah Aceh yang paling bertanggung jawab atas penyelenggaraan otonomi khusus tersebut. Bukankah pemerintah pusat telah memprioritaskan Aceh dengan limpahan dana otonomi khusus dan kelebihan dana bagi hasil migas bila dibandingkan dengan provinsi lainnya agar ketertinggalan pembangunan dapat terkejar hingga lahirnya kemandirian?
Setiap saat, publik menuntut akuntabilitas dan transparansi birokrasi Pemerintah Aceh atas segala program dan kegiatan dari urusan-urusan otonomi khusus yang telah direalisasikan di seluruh wilayah Aceh. Sementara, kabar buruk justru datang dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) yang mengungkap data provinsi terkorup di Indonesia berdasarkan publikasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) semester II tahun 2011 dan memampangkan nama Aceh pada urutan kedua provinsi terkorup yang merugikan negara sebesar Rp 669 miliar[1]. Apakah minimnya akuntabilitas dan transparansi Pemerintah Aceh dalam penggunaan dana otonomi khusus menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kerugian keuangan negara?
Sejumlah berita dari media akhir-akhir ini banyak yang mengetengahkan permasalahan akuntabilitas dan transparansi birokrasi di Aceh yang ditunjukkan lewat realisasi fisik dan keuangan dari dana otonomi khusus. Salah satunya terkait dengan kegiatan Kunjungan Kerja Wakil Gubernur Aceh Muzakir Manaf tahun 2012 ke 19 kabupaten/kota di provinsi Aceh yang menyimpulkan bahwa sebagian besar proyek pembangunan di Aceh yang dibiayai oleh dana otonomi khusus dinilai kurang tepat sasaran dan berpotensi tidak siap tepat pada waktunya[2]. Contohnya antara lain adalah sekolah unggul yang didirikan di tengah hutan, proyek pembangunan kolam renang yang secara fungsional belum dibutuhkan, dan pabrik minyak goreng yang dibangun di tepi jurang.
Bahkan, menurut Ketua Panitia Akuntabilitas Publik (PAP) Dewan Perwakilan Daerah RI Farouk Muhammad menyatakan bahwa berdasarkan hasil temuan BPK RI terhadap audit penggunaan dana otonomi khusus Pemerintah Aceh menunjukkan adanya ketidakjelasan penggunaan dana otonomi khusus pada tahun 2011 yang dilaksanakan oleh birokrasi Pemerintah Aceh, sehingga pengelolaannya cenderung tidak transparan dan tepat sasaran[3].
Sumber berita lainnya menginformasikan pula tentang dana hasil produksi minyak dan gas bumi di Aceh yang belum transparan. Menurut kajian dari diskusi Forum Discussion Group (FGD) bersama dengan kalangan akademi, LSM, PT. Arun NGL dan unsur dari Pemerintah Kabupaten Aceh Utara menyimpulkan adanya indikasi bahwa pemerintah pusat dan perusahaan migas yang beroperasi di Aceh belum transparan kepada publik, yang ditunjukkan dengan diskriminasi proses realisasi dana bagi hasil migas antara wilayah penghasil migas dengan wilayah lainnya[4]. Keberlanjutan diskriminasi itu dianggap semakin menurunkan transparansi Pemerintah Aceh dalam pengelolaan dana bagi hasil migas, padahal dana tersebut merupakan salah satu sumber pembiayaan kegiatan penunjang urusan otonomi khusus di Aceh.
Berdasarkan dugaan bahwa birokrasi Pemerintah Aceh tidak akuntabel dan transparan dalam penyelenggaraan otonomi khusus sesuai dengan kaidah prinsip-prinsip administrasi publik, maka ada dua isu utama yang perlu dibahas dalam tulisan ini. Pertama, hubungan antara perencanaan strategis, implementasi, pengawasan dan akuntabilitas. Sejauh ini, lemahnya hubungan antar kriteria tersebut dinilai menyebabkan rendahnya akuntabilitas birokrasi. Kedua, gambaran peran birokrasi pemerintahan di Aceh dalam penyediaan informasi pengelolaan dana otsus maupun dana migas di Aceh secara transparan. Selama ini, kurangnya pera birokrasi dalam menyediakan dan membuka akses terhadap infomarsi, mengupayakan keterlibatan masyarakat lewat wahana partisipasi pada setiap tahapan pengelolaan anggaran, dan penempatan aparatur untuk ditugaskan dalam sebuah lembaga pelayanan informasi diasumsikan menjadi penyebab rendahnya transparansi.


Perencanaan Strategis, Implementasi, Fungsi Kontrol dan Akuntabilitas

Akuntabilitas telah diletakkan sebagai salah satu dasar dari prinsip-prinsip good governance. Sebagaimana dijelaskan oleh Islamy dalam Widodo (2001: 4), akuntabilitas publik merupakan landasan bagi proses penyelenggaraan pemerintahan dan diperlukan karena aparatur pemerintah harus mempertanggungjawabkan tindakan dan pekerjaannya kepada publik dan organisasi tempat kerjanya. Sejalan dengan pemahaman tersebut, Kumorotomo (2005: 3) juga mengemukakan bahwa akuntabilitas (accountability) adalah ukuran yang menunjukkan aktifitas birokrasi publik atau pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah sudah sesuai dengan norma dan nilai yang dianut oleh rakyat yang sesungguhnya.
Banyak sumber yang mendefinisikan dan mengklasifikasikan jenis-jenis akuntabilitas. Klasifikasi bentuk akuntabilitas yang paling relevan dengan penyelenggaraan otonomi khusus oleh birokrasi pemerintah di Aceh pada pembahasan ini adalah akuntabilitas eksternal. Sebagaimana dirangkum dari BPKP[5], akuntabilitas eksternal diartikan sebagai akuntabilitas orang tersebut kepada lingkungannya baik lingkungan formal (atasan dan bawahan) maupun lingkungan masyarakat. Kegagalan seseorang untuk memenuhi akuntabilitas eksternal mengakibatkan pemborosan waktu, pemborosan sumber dana dan sumber-sumber daya yang lain, penyimpangan kewenangan, dan menurunnya kepercayaan masyarakat kepadanya.
Secara lebih rinci, akuntabilitas eksternal  menurut Chandler dan Plani dalam Widodo (2001: 153) dapat merujuk pada lima macam akuntabilitas, yakni (1) fiscal accountability, merupakan tanggung jawab atas dana publik yang digunakan; (2) legal accountability, merupakan tanggung jawab atas ketaatan peraturan perundang-undangan; (3) program accountability, merupakan tanggung jawab atas pelaksanaan program; (4) process accountability, merupakan tanggung jawab atas pelaksanaan prosedur; dan (5) outcome accountability, merupakan tanggung jawab atas hasil pelaksanaan tugas.
Untuk mengetahui sejauh mana suatu birokrasi pemerintah mengimplementasikan prinsip akuntabilitas dengan baik, maka dapat dilihat dari indikator dan alat ukur akuntabilitas. Berdasarkan sumber yang diolah dari handbook Dra. Loina Lalolo Krina P.[6] Menjelaskan bahwa indikator prinsip akuntabilitas antara lain adalah (1) proses pembuatan sebuah keputusan yang dibuat secara tertulis, tersedia bagi warga yang membutuhkan, dengan setiap keputusan yang diambil sudah memenuhi standar etika dan nilai-nilai yang berlaku, dan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar; (2) akurasi dan kelengkapan informasi yang berhubungan dengan cara-cara mencapai sasaran suatu program; (3) kejelasan dari sasaran kebijakan yang telah diambil dan dikomunikasikan; (4) kelayakan dan konsistensi dari target operasional maupun prioritas;
(5) penyebarluasan informasi mengenai suatu keputusan melalui media massa; (6) akses publik pada informasi atas suatu keputusan setelah keputusan dibuat dan mekanisme pengaduan masyarakat; dan (7) sistem informasi manajemen dan hasil. Sedangkan alat ukur yang digunakan sesuai dengan indikator tersebut antara lain adalah (1) visi dan misi; (2) job description (acuan pelayanan); (3) produk-produk kebijakan daerah (proses pembuatan keputusan); (4) annual report (Laporan Pertanggungjawaban); (5) Laporan Keuangan (Sistem Pengelolaan Keuangan); (6) Kebijakan Daerah; dan (7) Penanganan pengaduan masyarakat.
Berdasarkan jenis-jenis akuntabilitas eksternal, indikator dan alat ukur akuntabilitas, maka ketiga hal tersebut menjadi subbagian penting dan mengerucut menjadi satu bagian penting lainnya yang digunakan dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana tingkat akuntabilitas birokrasi pemerintahan di Aceh. Bagian penting tersebut adalah hubungan yang terbentuk antara perencanaan strategis, implementasi, fungsi kontrol dan akuntabilitas. Hubungan empat kriteria ini dideskripsikan oleh Widodo (2001: 14) sebagaimana tampak pada gambar berikut:

Gambar 1.
Hubungan antara Perencanaan Strategis, Kontrol,
Implementasi dan Akuntabilitas
Sumber: Analisis Widodo (2001: 14)

 
Penyelenggaraan otonomi khusus di Aceh tidak terlepas dari dukungan dana yang diberikan oleh pemerintah pusat dalam bentuk dana otonomi khusus, sebagaimana diamanatkan melalui Pasal 183 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Oleh karena itu, hubungan antar kriteria tersebut sangat relevan apabila dianalisis dan dianalogikan pada penyelenggaraan otonomi khusus agar tercapainya akuntabilitas birokrasi dan terciptanya good governance performance yang baik.
Pada tahun 2012, Aceh menerima dana otonomi khusus sebesar Rp 5.476,3 miliar[7]. Sedangkan pada tahun 2013, Aceh dipastikan menerima dana otonomi khusus sebesar Rp 6.123,2 miliar[8] dengan makna mengalami peningkatan dari tahun 2012 sebesar Rp 0,7 triliun. Sejak ditransfer mulai tahun 2008 hingga tahun 2013 nanti, total dana otonomi khusus yang diterima oleh Aceh mencapai Rp 26,9 triliun[9].
Berikut ini adalah grafik peningkatan jumlah dana otonomi khusus yang dialokasikan kepada Pemerintah Aceh mulai tahun 2008 sampai dengan 2013.

Gambar 2.
Grafik Jumlah Dana Otonomi Khusus Aceh
Tahun Anggaran 2008 s.d 2013
Sumber: Diolah dari Nota Keuangan dan RAPBN 2008-2013
Seiring dengan meningkatnya alokasi dana otonomi khusus bagi Aceh tiap tahunnya, maka dapat disimpulkan bahwa kebutuhan untuk merealisasikan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan urusan-urusan otonomi khusus pun kian bertambah. Namun, berdasarkan fakta yang ada di lapangan ditemukan berbagai permasalahan pada kegiatan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, pendanaan pendidikan, sosial dan kesehatan yang belum, sedang dan telah terealisasi baik secara fisik maupun keuangan.
Beberapa contoh kongkret menunjukkan adanya hubungan yang tidak berjalan dengan baik antara beberapa kriteria sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1, sehingga sebagian besar kegiatan yang didanai oleh dana otonomi khusus mengalami masalah. Pada tahun 2008, proyek pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah di Kabupaten Gayo Lues tidak terealisasi dengan baik, sehingga berakibat pada kejadian robohnya beberapa bagian bangunan[10]. Hal ini menunjukkan bukti lemahnya kontrol birokrasi terhadap implementasi dan perencanaan strategis pembangunan rumah sakit tersebut. Seharusnya, Pemerintah Aceh bersama dengan Pemda Gayo Lues secara bersama-sama melakukan fungsi kontrol yang baik mulai saat perumusan master plan pembangunan fisik rumah sakit sampai pada tahap pelaksanaan pembangunan. Apabila hal ini terus berulang, akan mengakibatkan inefisiensi penggunaan dana otsus dan rendahnya akuntabilitas pemerintah di Aceh.
Pada tahun yang sama, pembangunan gedung perpustakaan di kompleks Unit Penyelenggara Teknis Sanggar Kegiatan Belaja (UPT SKB) Cot Gapu Kabupaten Bireun yang dibangun dengan dana otsus hingga tahun 2011 masih terbengkalai[11]. Menurut Kepala UPT SKB tersebut, pembangunan gedung tidak pernah dilaporkan maupun dikoordinasikan dengan pihaknya. Kurangnya koordinasi antara Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) Dinas Pendidikan dengan Kepala UPT SKB berdampak realisasi kegiatan yang mengambang. Akibatnya, Kepala UPT SKB menghadapi kesulitan untuk mempertanggung jawabkan proyek pembangunan perpustakaan secara akuntabel. Hal ini menunjukkan lemahnya hubungan koordinasi yang dilakukan antar birokrasi pada saat perencanaan strategis dan implementasi, sehingga acuan-acuan yang dijadikan dasar dalam menentukan perencanaan kegiatan tidak tersampaikan dan terealisasikan dengan baik.
Kasus lainnya, pada tahun 2011 Gubernur Aceh periode 2007-2012 Irwandi Yusuf melakukan sidak (inspeksi mendadak) pada beberapa proyek pembangunan yang menggunakan dana otonomi khusus[12]. Hasilnya, sebanyak 67 proyek dinilai tidak akan dapat mengejar target dengan total nilai Rp 201 miliar. Contohnya, tahap pengerjaan proyek pembangunan jembatan yang dimulai pada Oktober 2011 oleh Dinas Bina Marga dan Cipta Karya Aceh dengan dana otsus sebesar Rp 6,33 miliar baru sampai pada pengecoran besi untuk tiang penyangga. Padahal, proyek tersebut harus rampung pada Desember 2011. Ini membuktikan bahwa akuntabilitas penyelenggaraan urusan-urusan otonomi khusus menjadi rendah karena disebabkan ketidakseriusan birokrasi pemerintah dalam mengimplementasikan ketentuan direncanakan.
Dari tiga contoh kasus tersebut, ada pula satu hal penting lainnya yang menjadi penilaian penulis terhadap penyelenggaraan otonomi khusus. Berdasarkan fakta dari berbagai sumber, penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan yang menggunakan dana otonomi khusus lebih menitikberatkan pada pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur. Sementara, peran birokrasi pemerintah dalam memanfaatkan dana otsus bagi kegiatan ekonomi kerakyatan, pengentasaan kemiskinan, pendidikan sosial dan kesehatan masih kurang optimal[13].
Analisa-analisa di atas setidaknya mampu menjawab bahwa penyebab rendahnya akuntabilitas birokrasi pemerintahan di Aceh dalam penyelenggaraan otonomi khusus adalah: (1) kurang baiknya birokrasi dalam menentukan perencanaan strategis lewat kegiatan-kegiatan yang memanfaatkan dana otsus, sebagai penjabaran dari visi dan misi Aceh; (2) masih rendahnya koordinasi, komunikasi dan keseriusan birokrasi saat implementasi kebijakan strategis itu dilakukan; dan (3) lemahnya kontrol atau fungsi pengawasan dari birokrasi pada saat mendampingi perumusan kebijakan strategis maupun saat mengendalikan pelaksanaan kegiatan di lapangan.


Akses, Proses dan Pelayanan Informasi Pengelolaan Dana Otsus dan Dana Migas

Dalam perwujudan good governance, transparansi menjadi prinsip yang kerap disandingkan dengan akuntabilitas. Beberapa pendapat juga mengemukakan bahwa transparansi merupakan salah satu ciri dari akuntabilitas suatu birokrasi dalam mengelola pemerintahan dan kegiatan informasi yang ada di dalamnya. Dengan demikian, idealnya sebuah birokrasi yang transparan adalah birokrasi yang mampu menyediakan informasi tentang penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan kepada masyarakat, baik ketika diperlukan maupun tidak.
Dalam pandangannya, Widodo (2001: 28) mengemukakan bahwa:
“Transparansi (transparancy) lebih mengarah pada kejelasan mekanisme formulasi dan implementasi kebijakan, program dan proyek yag dibuat dan dilaksanakan pemerintah. Pemerintahan yang baik adalah pemerintah yang bersfiat trasnparan terhadap rakyatnya, baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah. Rakyat secara pribadi dapat mengetahui secara jelas dan tanpa ada yang ditutup-tutupi tentang proses perumusan kebijakan publik dan implementasinya. Dengan kata lain, segala kebijakan dan implementasi kebijakan baik di pusat maupun daerah harus selalu dilaksanakan secara terbuka dan diketahui umum”

Namun, beberapa informasi dari media menyebutkan bahwa birokrasi pemerintahan di Aceh kurang transparan dalam pengelolaan dana otonomi khusus dan dana bagi hasil migas. Ini dipicu oleh melimpahnya kedua sumber besar alokasi anggaran di Aceh tersebut dan pengelolaannya dikuasai secara sentralistik oleh birokrasi di pemerintah provinsi[14]. Pengelolaan secara sentralistik ini menyebabkan minimnya informasi yang sampai kepada masyarakat baik di kabupaten atau kota., sehingga penggunaan dana otonomi khusus seringkali tidak didasari pada kebutuhan masyarakat Padahal, masyarakat secara sadar mengetahui bahwa dana otonomi khusus dan dana bagi hasil migas Aceh merupakan sumber dana terbesar yang dialokasikan untuk kepentingan masyarakat itu sendiri. Hal ini dapat terihat dari sumber pendapatan Aceh tahun 2003 s.d 2010 pada grafik berikut:

Gambar 3.
Grafik Sumber Pendapatan Aceh Tahun 2003 s.d 2010
Sumber: Bappeda Aceh, 2010 (dalam Briefing Paper Aceh Institute)[15]
Berkaitan dengan transparansi informasi, negara telah memiliki produk hukum yang mengatur dan menjelaskan tentang informasi publik. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) mengemukakan bahwa terdapat tiga indikator yang digunakan untuk melihat transparansi pengelolaan anggaran, yaitu (1) ketersediaan dan akses dokumen anggaran; (2) keterbukaan proses pengelolaan anggaran; dan (3) pelembagaan pelayanan informasi, sebagaimana diamanatkan pada UU No, 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik[16].
Berdasarkan data yang diperoleh dari Laporan Kinerja Pengelolaan Anggaran Daerah[17] Seknas Fitra, maka secara umum melalui indikator di atas dapat dianalis dan dijelaskan penyebab birokrasi pemerintahan di Aceh kurang transparan dalam pengelolaan dana otonomi khusus dan dana bagi hasil migas Aceh.


Ketersediaan dan Akses Dokumen Anggaran

Gambar berikut memperlihatkan hasil Uji Akses Dokumen Pengelolaan Anggaran yang dilakukan oleh FITRA terhadap 20 kabupaten/kota partisipan kinerja di Indonesia.

Dari 5 (lima) kabupaten/kota di Aceh yang menjadi daerah partisipan, yaitu Kota Banda Aceh, Kabupaten Bener Meriah, Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Simeulue dan Kabupaten Singkil, berdasarkan penelitian FITRA hanya Kota Banda Aceh yang mempublikasikan RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah). Sementara, hampir seluruh partisipan kabupaten/kota di Aceh disimpulkan tidak mempublikasikan dokumen anggaran dan menyediakannya sebagai informasi publik, sehingga dianggap kurang transparan dalam penyediaan dokumen anggaran.


Keterbukaan Proses Pengelolaan Anggaran

Dalam keterbukaan proses pengelolaan anggaran, data yang diperoleh dari hasil penelitian FITRA adalah wahana partisipasi yang disediakan oleh daerah. Alasan digunakan data ini karena partisipasi masyarakat dipandang penting dalam menentukan sejauh mana birokrasi pemerintahan di Aceh telah transparan dalam mengelola dana otsus dan dana bagi hasil migas. Data tersebut ditunjukkan pada tabel Wahana Partisipasi Proses Pengelolaan Anggaran berikut ini: 

Tabel tersebut menunjukkan bahwa peran birokrasi pemerintahan di Aceh dari 5 (lima) kabupaten/kota partisipan terhadap penyediaan wahana partisipasi masyarakat dinilai masih rendah. Hanya Pemerintah Kota Banda Aceh dan Pemkab Bener Meriah yang melibatkan masyarakat pada seluruh tahap perencanaan dan pembahasan. Selain itu, sebagian besar kabupaten/kota tidak mengikutsertakan masyarakat pada tiap-tiap tahapan pengelolaan anggaran, mulai dari perencanaan hingga pertanggungjawaban. Dapat dipastikan bahwa alokasi dana otsus dan dana bagi hasil migas tidak mampu terserap sesuai dengan kebutuhan karena partisipasi masyarakat kurang terwadahi.
Hal tersebut juga senada dengan penyampaian dari Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah yang menyatakan bahwa penggunaan dana migas dan otsus Aceh masih bermasalah[18]. Kurangnya transparansi birokrasi dalam mewadahi partisipasi masyarakat menyebabkan besarnya beban provinsi untuk melaksanakan program prioritas otonomi khusus, belum sinerginya usulan program kegiatan dari dana otsus dan dana bagi hasil migas karena dilaksanakan terpisah dengan musrenbang Aceh, dana yang kurang terserap karena pedoman anggran tersebut dalam RPJM Aceh harus disetujui oleh DPR Kabupaten/kota, dan sulit diitegrasikan dalam Rencana Kerja Anggaran.


Pelembagaan Pelayanan Informasi

Dari pendataan FITRA terhadap 5 (lima) kabupaten dan kota di Aceh, ditemukan bahwa tidak ada satu pun pemerintah daerah yang telah membentuk pelembagaan pelayanan informasi sebagaimana tertera pada tabel Ketersediaan PPID dan SOP Pelayanan Informasi berikut ini: 

Ini membuktikan bahwa dari pemerintah kabupaten/kota tidak memberi perhatian kepada SDM aparatur yang ditugaskan pada lembaga pelayanan informasi khususnya sebagai Pejabat Pelayanan Informasi dan Dokumentasi. Hanya Pemerintah Kota Banda Aceh saja yang menyediakan Standar Operasional dan Prosedur (SOP) pelayanan informasi pengelolaan anggaran. Dengan demikian, muncul kesan bahwa dana otsus dan dana migas dikuasai oleh para pejabat birokrasi atau pihak yang berkepentingan, karena dari internal pemerintah daerah tidak berkomitmen untuk membentuk lembaga penyedia pelayanan informasi.


Catatan Penutup

Penyelenggaraan otonomi khusus Aceh bukan perkara soal menghabiskan dana otsus dan dana bagi hasil migas semata, tanpa memperhitungkan realisasi yang akuntabel dan informasi yang transparan. Birokrasi pemerintahan di Aceh seharusnya memiliki rasa tanggung jawab yang besar mulai saat perencanaan strategis, pengawasan yang ketat dari pemerintah provinsi ke tiap-tiap kabupaten/kota dan implementasi urusan prioritas otonomi khusus agar benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat serta sinergis dengan pemerintah kabupaten/kota.
Akuntabilitas birokrasi seharusnya dijiwai dengan semangat meningkatkan percepatan pembangunan di Aceh secara menyeluruh dengan dana yang terbatas dan sesuai dengan tahapan. Transparansi birokrasi semestinya dilandasi dengan rasa keterbukaan yang jujur dan responsif terhadap seluruh informasi pengelolaan anggaran yang ditunjukkan dengan keseriusan pemerintah membuka akses, menyediakan wadah partisipasi dan mengedepankan lembaga informasi. Publik setiap saat akan menagih janji pemerintah melalui pertanggungjawaban yang akuntabel dari kegiatan birokrasi. Publik juga tidak mau merasa dikhianati karena urusan-urusan “kue pembangunan” dinikmati para birokrat yang tak jujur dan terbuka, sehingga timbulnya rasa ketidakadilan. Akuntabilitas dan transparansi birokrasi bukan sebuah pilihan, tapi suatu keharusan.


Daftar Pustaka

Kumorotomo, Wahyudi. 2005. Akuntabilitas Birokrasi Publik: Sketsa pada Masa Transisi. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Widodo, Joko. 2001. Good Governance: Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Insan Cendikia: Surabaya.


Produk Hukum

UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik


Foot Notes

[1] Aceh Rangking 2 Terkorup Versi Fitra, http://www.waspadaonline.com tanggal 1 Oktober 2012. Diakses ada tanggal 11 November 2012.
[2] Wagub Evaluasi Penggunaan Dana Otsus, http://serambinews.com tanggal 20 Oktober 2012. Diakses pada tanggal 11 November 2012.
[3] DPD Kecewa dengan Realisasi Dana Otsus 2011, http://www.acehkita.com tanggal 15 September 2012. Diakses pada tanggal 11 November 2012.
[4] Dana Hasil Produksi Migas Aceh Belum Transparan, http://inilah.com tanggal 12 Januari 2012. Diakses pada tanggal 11 November 2012.
[5] Modul Akuntabilitas Instansi Pemerintah (Edisi Kelima) Tahun 2007 oleh Pusat Pendidikan dan Pelathan Pengawasan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (Hal: 6), diunduh pada tanggal 11 November 2012.
[6] Indikator dan Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi dan Partisipasi oleh Dra. Loina Lalolo Krina P. (Sekretariat Good Public Governance Bappenas) tahun 2003 (Hal: 12), diunduh pada tanggal 11 November 2012.
[7] Lihat Nota Keuangan dan RAPBN-P Tahun Anggaran 2012 (Tabel IV.5, Hal: 110)
[8] Lihat Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 2013 (Tabel 5.14, Hal: 284)
[9] Otonomi Khusus dan Kesejahteraan, http://acehinstitute.org 8 September 2012. Diakses tanggal 11 November 2012.
[10] LSM GAMUSE: Proyek Otsus Gayo Lues Harus Tepat Sasaran, http://www.insetgalus.com tanggal 19 Oktober 2012. Diakses pada tanggal 11 November 2012.
[11] Pembangunan Perpustakaan SKB Bireuen Terbengkalai, http://www.duniaperpustakaan.com tanggal 25-03-2011. Diakses pada tanggal 11 November 2012.
[12] 67 Proyek APBD Aceh Bermasalah oleh Zulkarnaini Muchtar, http://indonesiacompaniesnews.wordpress.com tanggal 8 Desember 2011. Diakses pada tanggal 11 November 2012.
[13] Dijelaskan pula pada Briefing Paper The Aceh Institute Quarterly Report-III (Mai 2010, hal: 6). Diunduh pada tanggal 11 November 2012.
[14] Geliat Daerah Menggugat Otsus, http://www.acehindependet.com tanggal 14 September 2012. Diakses pada tanggal 11 November 2012.
[15] Briefing Paper Aceh Institute Quaterly Report-III (Mai 2010, hal: 6) http://www.acehinstitute.org. Diakses dan diunduh pada tanggal 11 November 2012.
[16] Indeks Transparansi Kalbar Rendah Terkait Pengelolaan Anggaran, http://www/seknasfitra.org tanggal 25 Juni 2012. Diakses pada tanggal 11 November 2012.
[17] Laporan Kinerja Pengelolaan Anggaran Daerah (Temuan-temuan Hasil Pengelolaan Anggaran di 20 Kabupaten/Kota Partisipan Program Kinerja), http://www.seknasfitra.org Mei 2012. Diunduh pada tanggal 11 November 2012.
[18] Penggunaan Dana Migas dan Otsus Aceh Masih Bermasalah, http://www.analisadaily.com tanggal 6 Agustus 2012, diakses pada tanggal 11 November 2012.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Rekrutmen dan Seleksi Pegawai Pemerintah: Sebuah Kajian dari Praktek dan Tren Modern Internasional

Pemerintah di seluruh dunia menghadapi tantangan kepegawaian yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pada saat pemerintah butuh bakat daya pikat paling trampil untuk pelayanan publik, kemampuan mereka untuk melakukannya telah begitu jarang sehingga rumit dan dibatasi oleh ekonomi, sosial dan tekanan organisasi. Artikel ini memberikan gambaran jenis inisiatif rekrutmen dan seleksi di tempat di banyak negara yang dapat membantu pemerintah dunia ini menarik dan mempertahankan bakat. Bergantung pada contoh dari Amerika Serikat dan Eropa Barat, namun juga mengintegrasikan pengalaman dari berbagai negara maju dan kurang berkembang (LDCs), kami menjelaskan serangkaian perekrutan dan seleksi "praktik terbaik." Suasana Penerimaan Peserta Tes CPNS

Kebijakan Relokasi Kerusuhan terhadap Korban Pengungsi di Kabupaten Sambas Tahun 1999: Konflik Etnis antara Madura dan Melayu

Internally displaced Persons adalah sebuah istilah bagi para kelompok masyarakat yang pindah dari tempat tinggalnya dan menetap di daerah lain untuk menetap sementara waktu atau hal ini dikenal dengan istilah pengungsi. Sambas adalah sebuah Kabupaten yang terletak di bagian pesisir yang di tempati oleh berbagai suku etnis misalnya suku bugis, madura, jawa batak dll, namun Kabupaten Sambas mayoritas ditempati oleh Melayu, Dayak dan Cina (Tiong Hoa). Khusus tentang konflik Sambas pada tahun 1999 yang terjadi adalah etnis Melayu Sambas dengan suku Madura (yang bertempat tinggal di Sambas) yang menewaskan ratusan jiwa dan hancurnya ratusan rumah dan harta warga Madura. Rekonsiliasi Konflik

Dinamika, Kontinum dan Globalisasi Administrasi Publik

Woodrow Wilson 1.         Dinamika perubahan fokus administrasi publik, mulai dari administrasi sebagai administrasi negara sampai dengan administrasi publik dalam paradigma governance serta implikasi pada praktik administrasi publik. Dinamika Pertama , administrasi sebagai administrasi negara. Administrasi negara telah mengalami tahapan perkembangan yang diklasifikasikan berdasarkan berbagai cara pandang (paradigma) dalam rentang waktu tertentu yang memiliki ciri-ciri tertentu sesuai dengan locus dan focus paradigma tersebut. Akan tetapi, tidak semua paradigma memiliki penekanan pada locus dan focus secara sekaligus atau bersamaan. Menurut Thoha (2008: 18), locus menunjukkan dimana bidang ini secara institusional berada, sedangkan focus menunjukkan sasaran spesialisasi dari bidang studi tersebut. Untuk mengidentifikasi perubahan fokus pada dinamika pertama administrasi sebagai administrasi negara, lebih lanjut Henry dalam Yudiatmaja (2012: 9) membagi paradigma administras