Kesejukan kota memang menjadi idaman bagi
muda-mudi hingga orang tua untuk melajukan sepeda motornya sekedar berkeliling
kota menjelang senja turun. Beberapa pengguna mobil juga tak kalah saing.
Mereka menghabiskan akhir pekannya bersama keluarga untuk duduk di tepi pantai
Batu Putih menyaksikan sunset yang indah. Orang-orang yang berada
tak jauh dari pesisir juga cukup berjalan kaki untuk berkumpul bersama
menenangkan pikiran menyambut azan maghrib di pinggir warung sambil menyeduh
secangkir kopi.
Pantai Batu Putih memang fenomenal.
Bagiku, pantai ini menyimpan sejuta kenangan masa kecil yang tak akan
tergantikan oleh apapun. Sebenarnya tidak ada keistimewaan yang begitu memukau
dari wilayah di sekitar pesisir pantai. Tidak ada taman bermain yang menyediakan
permainan-permainan menarik bagi anak kecil. Tidak juga diperindah dengan
berbagai macam karya, seperti indahnya pantai Ancol, Loh Sari, Pangandaran,
Kuta, Anyer atau beberapa pantai lainnya di Indonesia. Tidak ada olahraga
selancar, skiboat, diving, banana boat dan apapun nama yang sejenis itu. Yang
ada hanya beberapa nelayan yang bersiap melaut, atau anak-anak lelaki pesisir
yang bertelanjang dada menarik pukat untuk mendulang ikan sebagai santapan
makan keluarganya nanti malam dan sisanya dijual ke pasar ikan, atau juga
beberapa orang yang belum puas mandi sore di rumahnya sendiri kemudian mereka
melanjutkan membasahi tubuhnya dengan air laut samudera Hindia sambil sesekali
bermain pasir dan mengambil beberapa buah kelapa muda dari pohonnya.
Tugu Kupiah Meuketop Teuku Umar, Batu Putih |
Secara historis, pantai ini merupakan
saksi perjuangan rakyat Aceh mengusir dan mempertahankan daerahnya dari jajahan
Belanda. Pantai Batu Putih adalah bagian dari suak Ujung Kalak, yaitu tempat terakhirnya
Teuku Umar bertempur melawan kompeni hingga ia tewas. Sebenarnya, pantai ini
dahulunya bernama Ujung Kalak karena pesisirnya menghubungkan antara daerah
Batu Putih sekarang dengan Ujung Kalak. Tugu pertama yang dibangun Belanda
sebagai penghormatan bagi perjuangan gigih Teuku Umar adalah berada di pantai Ujung
Kalak. Namun, karena terjadi abrasi perlahan tugu itupun lenyap bersama pasir
pantai Ujung Kalak sehingga mengubah struktur pantai ini agak menjorok ke
daratan. Kemudian, pemerintah daerah kami kembali membangun tugu berbentuk Kupiah Meukeutop sebagai simbolisasi kegigihan Teuku
Umar mempertahankan keutuhan Aceh dari tangan-tangan keji Belanda. Akhirnya,
tugu yang tegap gagah berdiri di pantai barat Meulaboh itu pun kembali hancur
tak bersisa dilahap bencana ketika gempa berguncang dan tsunami bergemuruh seantero pesisir Aceh
tanggal 26 Desember 2004.
Semenjak kecil, Batu Putih adalah objek
wisata mingguan keluarga kami setiap sore. Sinar matahari yang merah temaram
sangat indah dipandang mata, menggairahkan setiap insan akan kebesaran Sang
Maha Pencipta, keagungan yang tak ternilai harganya. Ketika itu surya mulai
menyentuh garis horizon langit dan laut di batas ujung pandanganku pada
samudera Hindia. Sinarnya ibarat adegan dalam film-film fiksi yang memberi
ketenangan batin bagi orang yang menyaksikan untuk merebahkan tubuh yang lelah,
kemudian memberi semangat kehidupan untuk menjalani hari esok dengan hal-hal
baru.
Biasanya kami melajukan kendaraan dari
rumah sekitar pukul 5 sore. Setibanya di pinggir jalan lokasi pantai, aku dan
adikku langsung merangsek dengan girang ke tugu Kupiah Meukeutop itu. Kami berlarian kesana-kemari
sambil memberi pose yang bagus bagi ayah untuk memotret tawa kami yang lepas
kemudian diabadikan dalam album kenangan masa kecil kami. Setelah puas bermain,
seperti biasa kami selalu memesan es kelapa muda dan segera duduk di pinggir
pantai, berteriak sekerasnya mengalahkan deru ombak, dan mengabadikan foto
berlatar mentari petang. Akhirnya, suara azan maghrib yang lantang menjadi ending wisata rutin kami sore itu. Sungguh
suatu konsep alur wisata yang kompleks antara jiwa dan raga, antara lahiriyah
dan batiniyah, antara jasmani dan rohani. Kepuasan yang kami rasakan sejak
kecil akan selalu teringat hingga tubuh kami sepuh dan ringkih. Aku yakin ibu
dan ayah juga merasakan hal yang sama. Mereka pasti senang melihat anak-anaknya
tumbuh dewasa, senang memberikan yang terbaik kepada anak-anaknya tentang
hal-hal yang sebelumnya tidak pernah mereka rasakan ketika usia belia. Rasa
syukur dan terima kasih kepada Allah yang telah melahirkanku dari kedua
orang-tua yang luar biasa memperhatikan kami sejak kecil.
Berpose di Pantai Suak Ujung Kalak, Batu Putih |
Aku dilahirkan di sebuah keluarga yang
sederhana. Ayahku adalah seorang perantau dari pulau Simeulue. Pulau tersebut
adalah pulau besar di Aceh yang dikelilingi oleh laut Samudera Hindia dan
terletak di selatan kota Meulaboh, sehingga untuk pergi ke sana butuh waktu
lebih kurang 12 jam dengan menggunakan kapal fery.
Kampung ayah berada di ibukota Simeulue,
yaitu Sinabang. Ayah terlahir pada tahun 1952 dari keluarga yang kurang mapan
dalam hal ekonomi. Semenjak kecil, ayah terbiasa membantu orangtuanya menjual
sayur ke pasar, berkebun, mencari kayu bakar untuk persiapan menanak nasi, dan
mengawasi kail-kail pancing yang ia pasang setiap sore di pinggir pantai
Sinabang. Ketika ibunya ayah—nenekku—melahirkan anak yang keempat, keluarga
mereka hijrah ke Meulaboh, menetap di sebuah desa dan membeli sebidang tanah
berukuran 5x7 meter kemudian membangun rumah disana. Desa itu bernama Suak
Indrapuri yang terletak di pesisir pantai Ujung Karang.
Aku ingat pengalaman waktu kecil ketika
ayah membawa kami mengunjungi rumah orang-tuanya. Waktu itu pertama kalinya aku
mengenali nenek dan adik perempuan kandung ayahku yang kemudian kami sebut mandeh. Mandeh adalah sebutan
bagi bibi yang sering digunakan oleh orang-orang Simeulue atau orang-orang Aceh
yang berdarah minang.
Hampir setiap minggu kami selalu
mengunjungi nenek. Maklum, nenek sudah ditinggal pergi oleh suaminya beberapa
tahun sebelum aku lahir. Walaupun mandeh masih tinggal di rumah nenek dan sudah
berkeluarga, akan tetapi ia tetap setia melayani perempuan tua yang makin
bungkuk tubuhnya itu. Kasih sayang dan curahan jiwanya senantiasa
dipersembahkan untuk nenek sebagai budi bakti akan jasa yang tak akan pernah
terbalaskan walaupun oleh harta raja diraja di seluruh dunia.
Di rumah nenek, kami senang bermain di
kebun belakang rumahnya. Seringkali nenek memberiku belimbing atau mangga yang
langsung dipetiknya dari pohon. Jika belimbing dan mangga sedang tidak berbuah,
aku senang membaca buku-buku lama yang tersimpan di lemari baju almarhum
kakekku. Konon, buku tersebut adalah kitab-kitab kuno dari leluhur kakek yang
tetap dijaga dan disimpan hingga saat itu. Kebanyakan buku itu bertuliskan
huruf arab gundul yang sama sekali tak mengerti apabila kubaca. Ada juga
buku-buku bertuliskan bahasa Indonesia zaman perjuangan yang mengkisahkan
sejarah masuknya Islam ke Aceh, perjuangan bangsa Aceh melawan Belanda,
kisah-kisah nabi dan rasul, dan rahasia pengobatan melalui al-Quran.
Al-Quran Al-Karim |
Aku tertarik melihat buku Rahasia
Pengobatan melalui al-Quran tersebut. Bukunya sudah agak modern karena
sampulnya bewarna dan kualitas kertasnya bagus. Namun, karena disimpan bersama
dengan buku-buku tua lainnya, warna buku itu menjadi kuning dan berdebu. Kutiup
debu-debu yang menyelimuti buku itu. Kemudian, kutatap penuh takzim huruf-huruf
arab yang membentuk rangkaian lingkaran bertuliskan “al-Quranul Karim”.
Huruf-hurufnya dihiasi warna emas kekuning-kuningan sehingga terlihat bersinar
seumpama lampu sorot dari mobil. Sampulnya merah dan dominasi hijau, seakan
menggambarkan betapa sakti dan mujarabnya ayat-ayat ilahi dalam menyembuhkan
segala macam penyakit yang diderita oleh umat manusia di muka bumi ini.
Nama penulisnya tidak kelihatan lagi,
entah kenapa. Sepertinya ada yang mencoret nama tersebut karena terlihat
goresan pena hitam dan tebal yang aneh menutupi sederet huruf. Tapi, aku yakin
penulisnya pasti telah mafhum betul tentang al-Quran dan Hadits. Atau, mungkin
juga dia seseorang yang seumur hidupnya senantiasa sehat wal afiat hingga ajal
menjemput karena telah lekat-lekat mengilmukan dan mengamalkan doa-doa
penyembuh penyakit sekaligus penolak bala tersebut. Bisa jadi beliau tidak
pernah sekalipun menginjakkan kakinya di Puskesmas, rumah sakit umum di
daerahnya, praktek-praktek dokter yang sedang magang, dan pelayanan kesehatan
lainnya. Mungkin saja dia tidak pernah merasakan stetoskop yang yang
ditempelkan dokter di dadanya untuk mendengar denyut jantungnya, atau tidak
pernah mengenal jarum suntik, antibiotik, obat sembelit, infus dan donor darah,
obat sirup dan bubuk, sampai dikompres dengan kain hangat ketika demam. Sungguh
hebat ayat al-Quran.
Aku minta izin kepada nenek untuk membawa
pulang buku itu. Seketika itu juga wajah nenek berubah heran seakan tidak
percaya aku yang masih duduk di kelas 3 SD waktu itu berminat membaca buku-buku
seperti itu. Ayah juga heran dan hanya tersenyum sinis kepadaku.
Akhirnya kami pulang. Sore itu kami tidak
berbelok menuju Batu Putih seperti yang kami lakukan tiap sore. Motor dinas
ayah, Suzuki, berderu-deru suaranya mengejar waktu maghrib agar cepat tiba di
rumah. Awan-awan hitam yang telah bergumul sejak siang perlahan menumpahkan
isinya. Hujan gerimis, angin kencang dan suara guntur yang bersahut-sahutan di
tengah perjalanan kami seakan mengisyaratkan bagi seluruh warga Meulaboh seraya
berseru: tetaplah di rumah
malam ini karena hujanku akan deras dan lama.
Sesampainya di rumah, ibu segera menyambut
kami dengan handuk dan menyuruhku untuk mandi. Hal ini sudah menjadi kebiasaan
dalam keluarga kami, terutama ibu yang ngotot memaksa kami untuk mandi jika
kehujanan walaupun sebelumnya kami sudah mandi. Aku menunda perintah ibu,
karena aku khawatir buku Rahasia Pengobatan melalui al-Quran yang dari tadi
kusimpan di balik bajuku basah kena hujan. Ternyata benar. Cepat-cepat
kunyalakan kipas angin dengan level nomor satu untuk mengeringkannya.
Namun, ibu malah jengkel melihat sikapku yang tak menghiraukan perintahnya.
Dengan menerima pasrah pukulan kecil di punggungku, aku buru-buru menyambar
handuk dan mandi.
Comments
Post a Comment