“Masalah nyata kita bukanlah kekuatan hari
ini, tapi tindakan nyata hari ini yang menjamin kekuatan masa depan.” (Calvin
Coolidge)
Kutipan sederhana itu jadi awal pembuka kuliah Manajemen
Strategis Sektor Publik edisi ketiga. Aku menyebutnya edisi ketiga karena Pak
Subando menjadi dosen ketiga dari tim pengampu mata kuliah ini selain Pak
Warsito dan Bu Ambar Teguh. Dan pendahuluan darinya membuka mindset baru bagi kami dalam memahami
mata kuliah teknis sekaligus dipandang terlalu repot ini oleh sebagian orang,
termasuk aku. Menarik untuk mengulas, merefleksikan pada kehidupan dan membaginya
untuk kalian.
Ilustrasi Manajemen Strategis |
Beliau menyebutnya mimpi dan penyakit. Mimpi, karena setiap
individu, organisasi atau pemerintahan punya angan-angan yang wajib diletakkan
pada tempat paling tinggi. Seperti cita-cita. Lebih mudahnya seperti keinginan
seorang muslim untuk mendapat ridha Allah, masuk surga, dapat syafaat Rasul di
hari akhir, serta kebaikan di dunia dan akhirat. Normatifnya mimpi adalah visi.
Visi yang tinggi dan besar akan membuat sang pemimpi terus melakukan inovasi
dan mengikuti perkembangan zaman. Selama tetap istiqamah, meningkatkan modal
sosial dan finansial, serta mengembangkan kapasitas individu atau kelompok maka
sedikit demi sedikit akan membuat mimpi menjadi kenyataan. Sebaliknya, jika
visinya cetek dan kecil akan membawa output yang kecil pula. Apalagi jika
tidak mampu bersaing dengan visi orang, organisasi atau pemerintah lain.
Ancamannya sangat buruk untuk eksistensi di bidang yang ditekuni. Visi yang
rendah memang gampang tercapai, namun itu hanya memberikan kenikmatan sesaat.
Bagai mimpi basah. Visi yang ditentukan juga harus dipahami oleh setiap orang,
senantiasa dijabarkan pada aktivitas sehari-hari, dan dicintai sampai “mati”. Sifatnya
“realistis”. Kalau tidak, visi hanya jadi mimpi siang bolong.
Lalu, adakah hubungan mimpi dan penyakit?
Dalam mewujudkan mimpi ini, seseorang akan dihadapkan pada peluang
dan ancaman. Berbagai kesempatan yang terbuka dan memungkinkan untuk dilakukan
demi tercapainya tujuan itulah yang kira-kira diistilahkan dengan peluang.
Terkadang pintu peluang yang terbuka lebar menyodorkan beragam ancaman baik
dari lingkungan paling dekat maupun paling jauh. Ancaman akan menyerang titik
lemah individu, organisasi atau pemerintah hingga program berjalan pelan, kacau
balau, bahkan berhenti di tengah jalan. Kekuatan yang datang dari luar dan
dalam jadi sumber utama untuk menghadapi ancaman. Namun, terkadang juga
dituntut waspada dengan kelemahan diri sendiri. Apabila ancaman tak dapat
diatasi, dan kelemahan tak mampu ditutupi maka itulah yang disebut dengan penyakit.
Bagai terserang bakteri atau virus, tidak menjaga pola makan yang teratur, olahraga
yang kurang, dan minimnya upaya preventif. Sakit, kemudian, akan menjalar ke
seluruh jaringan, struktur, organ, dan fungsi. Fatalnya akan mengakibatkan
kelumpuhan, kehilangan daya, bahkan mati. Ujung-ujungnya keinginan yang menjadi
impian niscaya mustahil jadi kenyataan.
Real Madrid dan La Decima |
Aku menganalogikan sebuah contoh dengan Real Madrid CF.
Barangkali analogi ini tidak sesuai dengan fakta yang terjadi disana. Pun tidak
relevan jika memandang mimpi, penyakit dan manajemen strategis secara formal
dan konseptual. Namun, klub sepakbola negeri Andalusia yang menjadi favoritku
ini telah menjalani musim terburuknya pada tahun 2012 hingga 2013.
Los Blancos
terbilang cukup sukses pada musim pertama dan kedua saat Jose Mourinho mulai
mengarsiteki Iker Casillas dan kawan-kawan. Trofi Copa del Rey tahun 2011 dan menjadi juara La Liga Primera tahun 2012 menjadi buktinya. Namun, visi Florentino
Perez dan sekian puluh juta fans Si Putih ini masih belum dituntaskan oleh
Mourinho.
Mereka menyebutnya La
Decima. Sebuah mimpi. Visi. Ya, sebuah tekad berbalut semangat dan kerja
keras demi meraih gelar ke 10 juara Liga Champions. Sejak tahun 2011 dan 2012, Los Galacticos hanya mampu berjibaku
hingga babak semifinal. Sudah lebih dari sedekade, Si Kuping Besar—sebutan
untuk trofi Liga Champions—belum juga mampi ke lemari kesuksesan mereka. Hingga
akhirnya semua perhatian tercurah untuk mimpi besar ini.
Namun, apa yang terjadi kemudian? Sepanjang tahun 2012
hingga 2013, Madrid diterpa berbagai isu dan masalah. Silih berganti datang
dari media, manajemen klub, fans, bahkan pelatih dan pemain mereka sendiri.
Walaupun Madrid mampu meredam dominasi rival beratnya, Barcelona, pada setiap
pertemuan Liga Spanyol dan Piala Raja, kekuatan Cristiano Ronaldo dan
rekan-rekan setimnya hanya mampu mengokohkan Madrid pada posisi kedua liga
domestik. Sementara, kekecewaan para pendukung semakin menjadi tatkala klub
kesayangan kami takluk oleh lawan satu kota, Atletico Madrid, di final Copa del Rey.
Setelah kiper utama mereka pulih dari cedera, posisi di
bawah mistar gawang Madrid yang dikawal Diego Lopez—kiper yang baru dibeli
Madrid dari Sevilla--tak tergantikan. Posisi pemain-pemain senior yang mulai
tergeser dari skuad inti oleh pemain muda dan pemain baru memicu perselisihan
sebagian dari mereka dengan The Special
One, Mourinho. Kendati pemain muda dan pemain baru mampu membuktikan
kepercayaan pelatih dengan penampilan ciamik dan fantastis pada setiap
pertandingan, hal tersebut tak kunjung memupus kekecewaan fans dan
pemain-pemain itu sendiri. Belum lagi curhatan
Cristiano Ronaldo yang mengaku sedang tidak bahagia dan membuat publik Santiago
Bernabeu penasaran. Disini, saat akumulasi tragedi tercampur-baur, secara tak
sadar Madrid sudah punya penyakit.
Barangkali itu terjadi karena semua pihak memfokuskan tenaga
dan pikiran pada mimpi besar mereka itu tadi, La Decima. Memimpin daftar top skor di Liga Champions, Cristiano
berhasil membantu klub mencapai babak semifinal melawan Borussia Dortmund. Ia
juga menjadi bintang utama saat mengalahkan mantan klub yang telah melambungkan
namanya di jagat sepakbola Britania, Manchester United. Menjelang babak final,
hasil drawing mentakdirkan Madrid
harus berhadapan kembali dengan Die
Borussen setelah jumpa pertama di babak penyisihan grup.
Akhirnya, berbagai peluang dan kekuatan yang dimiliki Real
Madrid tetap tak kuasa meloloskan klub terbesar di Spanyol ini ke babak final
Liga Champions. Setelah dibantai dengan skor 1-4 oleh Robert Lewandowski dan
kawan-kawan di Signal Iduna Park, Madrid hanya mampu membalas 2-0 di Bernabeu. Kalah
agregat, Mourinho dan anak asuhannya harus membungkus rapat kembali mimpi La Decima yang diagung-agungkan itu.
Lengkap sudah. Tahun ini, jangankan mewujudkan mimpi atau
visi, penyakit Madrid malah kian meradang. Jose Mourinho telah mendapat restu
dari Presiden Klub untuk bisa meninggalkan Bernabeu musim depan. Kemenangan
laga terakhir Madrid malam tadi dengan menaklukkan Osasuna boleh jadi menjadi
kado perpisahan manis bagi sang pelatih. Namun cemoohan fans kontra Mou, rasa
tidak suka beberapa media Spanyol kepadanya, hingga sebagian pemain yang
berselisih paham dengannya adalah kado buruk dan pahit selama masa kepelatihan
Mourinho.
Aku tidak berargumen bahwa manajemen strategis milik Real
Madrid dan Mourinho pada musim 2012-2013 ini didesain dengan tidak rapi. Silahkan
menyimpulkan sendiri. Menurutku, ilustrasi tersebut cukup mampu menggambarkan
bahwa visi dan penyakit sangat menentukan keberhasilan seseorang, organisasi
atau pemerintah. Mengidentifikasi dan mengobatinya dengan instrumen peluang,
ancaman, kekuatan dan kelemahan jadi pokok pikiran penting agar mimpi jadi
kenyataan dan penyakit hilang dari jiwa raga.
Namun, mengidentifikasi visi juga menjadi sebuah permasalahan.
Terkadang memimpikan sesuatu yang sesuai dengan situasi dan kondisi justru
lebih sulit daripada merumuskan tujuan. Visi atau mimpi harus bersifat
strategis, disetujui dan dipahami oleh semua anggota, serta memiliki orientasi
masa depan yang tak akan pernah usai. Demikian pula dengan penyakit. Ternyata,
hanya dengan mengetahui analisis lingkungan internal dan eksternal saja pun
tidak menjamin kita mampu menentukan jenis penyakit apa yang sedang diidap.
Sulitnya mendiagnosa penyakit yang tampak maupun tak kasat mata itu akhirnya
menuntut individu untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuannya. Membuka
cakrawala berfikir, keahlian manajerial dan teknis sesuai situasi tertentu, dan
memiliki ketentraman hati. Seperti filosofi Yin dan Yang. Yin bersifat pasif
atau outside-in dan Yang bersifat
aktif atau inside-out. Menerima dan
memberi.
Baca Al Quran, salah satu obat hati |
Sebagai penutup, tentunya kita akrab mendengar sebuah lagu
religi dari Opick yang berjudul Obat Hati. Ya, lirik dan makna lagu itu
sebenarnya bukan berasal dari Opick. Dengan kata lain, bukan Opick yang membuat
resep untuk mengobati penyakit hati. Lirik dan makna lagu Obat Hati merupakan
manifestasi ajaran Islam dari Allah dan Rasulullah SAW. Apabila salah satunya
saja dipahami secara filosofis, diamalkan secara klinis dan didistribusikan
secara manis maka niscaya akan menjadi sebuah resep kecil berharga, menjamin
kesembuhan dan sangat strategis.
“Obat hati ada lima perkara. Yang pertama
baca Quran dan maknanya. Yang kedua shalat malam dirikanlah. Yang ketiga
berkumpullah dengan orang shalih. Yang keempat perbanyaklah berpuasa. Yang
kelima zikir malam perpanjanglah. Salah satunya siapa bisa menjalani. Moga-moga
Gusti Allah mencukupi” (Obat Hati: Opick)
Comments
Post a Comment