Skip to main content

Catatan Baru: Bagian Awal


Sahabat ialah kebutuhan jiwa yang mendapat imbangan, karena engkau menghampirinya di kala hatimu gersang kekeringan. Karena dalam pelukan persahabatan, tanpa kata, segala pikiran, harapan dan keinginan dicetuskannya bersama dan didukung bersama.
Petuah Khalil Gibran yang satu ini memang sangatlah mengena di hati. Bahwa betapa perjalanan hidup semua orang tentu tak lekang dari persahabatan. Bahwa betapa berkuasanya seseorang atas segala materi di sekelilingnya mutlak membutuhkan andil orang lain dari apa yang ia dapatkan. Bahwa manusia adalah makhluk sosial yang serba kekurangan.
Hidupku sangat patut untuk disyukuri, karena pada setiap persinggahan yang kulalui kudapati diriku senantiasa dianugerahi Allah akan sahabat-sahabat terbaik itu. Potret suka dan duka, bijak dan tolol, beradab dan biadab, taat dan malas, semua bagaikan gelombang transversal tiada berujung yang berbukit lembah tak beraturan. Namun, aku yakin selalu ada rahasia di balik setiap pertemuan dan pasang-surut kehidupan yang dijalani bersama mereka.
Ah, usahlah kita bahas teori-teori puitis yang kurang cocok dengan ceritaku ini. Cerita ini adalah cerita tentang kerinduan kebersamaan akan 32 orang putra-putri terbaik di kotaku yang luar biasa. Sungguh luar biasa.
Sahabat, beberapa tahun silam aku pernah mengenyam pendidikan di sekolah menengah atas yang baru berdiri di kotaku. Sekolah ini layaknya sekolah unggulan yang mengedepankan intelektualitas cemerlang, ketahanan tubuh yang mantap, keseimbangan rohani yang mapan, dan kehidupan sosial yang menggairahkan. Konon pelopor, perintis, dan pendirinya adalah seseorang yang telah berpengalaman membina siswa-siswi hingga mencapai prestasi gemilang di tingkat nasional maupun internasional. Para tenaga pengajarnya adalah sosok manusia terpilih dan terpandang dalam blantika pendidikan di kotaku.
Sahabat, dari gambaran yang kulukiskan itu tentulah engkau tahu maksudku. Ya, disanalah cikal bakal persahabatan yang manis itu—semanis buah durian yang jatuh tiap musimnya di pekarangan rumah guru. Disanalah tawa dan canda mengudara—layaknya kepulan asap rokok di sebuah kamar asrama yang berseliweran pada malam sepi. Disanalah riuh-rendah suara kami yang gaduh jika masbuk shalat maghrib berjamaah di mushalla, setelah berlama-lama mandi di sumur depan sekolah—bersaing dengan suara induk-induk primata Dusun Cot Nibong yang ribut dan panik ketika anak-anak mereka tersesat dan tidak kembali ke rumah pada penghujung petang. Sahabat, nanti akan kuceritakan lebih lengkap lagi tentang Wira Bangsa itu.
*******
Ramadhan tahun ini menjadi ramadhan yang penuh dengan kesibukan. Selain rutinitasku ke kantor dari senin hingga jumat, sudah bisa dipastikan akan banyak kegiatan-kegiatan yang bisa memacu aktivitas asam lambung. Mulai dari peringatan 17 Agustus, safari ramadhan para pejabat kabupaten, pembinaan ke desa-desa, hingga mengurusi paket lebaran.
Tapi, bukan segudang aktivitas itu yang kukhawatirkan. Melainkan aku tidak bisa menjamin diriku dan menepati kehendak orang-tuaku untuk tidak pulang larut malam. Barangkali kerinduan berkumpul bersama teman-teman itulah yang membuatku betah duduk dan bercerita berjam-jam di warung kopi selepas tarawih tipa malam. Ya, tiap malam.
Aku makin bersemangat karena sahabat-sahabatku yang kuliah di luar kota akan segera pulang dalam rangka liburan. Dan itu artinya jumlah yang akan ikut ngopi tiap malamnya akan bertambah. Semakin ramai yang ikut ngopi, maka pembicaraan akan semakin panjang. Semakin lama waktu terpakai untuk ngalor-ngidur, maka akan semakin mahal pula harga makan dan minum dari piring dan gelas yang bertumpuk-tumpuk di meja pembicaraan itu. Namun, kami justru sangat menikmati dan merindukan suasana seperti itu. Buah kerinduan aku dan sahabat-sahabatku yang telah lama tak bertemu muka di kota kami tercinta.
Nah, pertemuan kembali—reuni—tahun ini akan menjadi reuni yang sangat bermakna bagiku khususnya. Karena aku bisa lebih bebas untuk berkumpul tiap malam bersama sahabat-sahabat lamaku, kecuali jika ada acara keluarga. Atau dipanggil Camat. Atau mengerjakan tugas kantor yang tertunda, bahkan tugas sekolah adik-adikku. Berbeda dengan beberapa orang teman-temanku yang terkadang absen atau berhalangan hadir pada acara jamuan minum kopi tiap malam itu. Alasannya adalah pacaran. Kami lebih sering menyebutnya mbojo. Istilah bahasa jawa yang kerap menjadi bahan guyonan adik-adik alumni yang kuliah di Yogyakarta dan Semarang. Akan tetapi, walaupun mbojo, tidak menyurutkan keringanan langkah teman-temanku itu untuk tetap datang walaupun hanya menyetor muka. Dan kami sangat menghargai usahanya itu. Mereka terbentuk sebagai pria yang menjunjung tinggi keseimbangan nilai-nilai persahabatan dan percintaan. Namun, yang perlu ditanyakan kenapa alasan mbojo itu tidak masuk dalam daftar alasan absen jamuan minum kopiku? Sahabat, pertanyaan itu biarlah aku sendiri yang menjawabnya.
Sahabat, dari sekian alasan berhalangan minum kopi itu ternyata ada pula teman-temanku yang sama sekali tidak pernah hadir tanpa memberikan alasan yang jelas, tandas dan lugas. Ya, terkadang mereka lebih betah menyibukkan dirinya memencet ­ tombol-tombol huruf dan angka di keyboard, melarikan mouse-nya kesana-kemari, dan konsentrasi penuh pada tampilan di LCD. Ada yang senang karena ia berhasil mengalahkan kartu lawannya dengan royal flush. Ada pula yang girang karena character­-nya baru saja naik pangkat menjadi ­Major. Aku bisa pastikan bahwa mereka tidak mau dan tidak akan terusik oleh dering handphone karena ada SMS atau panggilan masuk dari kami yang mengajak minum kopi. Hingga mereka akan menyelesaikan waktu liburannya hanya dengan game online­­. Mereka adalah orang-orang yang enggan dan jarang merasakan jamuan minum kopi bersama teman-teman terdekatnya dahulu. Mereka terlahir sebagai pria yang menjunjung tinggi keseimbangan nilai-nilai kesepian dan kesendirian dengan asas egoisme dan apatis. Sahabat, jika kau penasaran maka usahlah jua kau tanyakan kepadaku dan simpan saja pertanyaan itu dalam hatimu. Sahabat, jika kau tersinggung dengan ceritaku usahlah kau marah dan simpan amarahmu hingga kita berjumpa kembali pada jamuan minum kopi di tahun yang akan datang. Semoga engkau berkenan datang.
*******
Sebenarnya agak malas bagiku untuk mengungkapkan cerita itu, lantaran aku sendiri pernah bersikap apatis dan egois seperti mereka. Hingga sekarang, aku bisa merasakan apa yang dirasakan oleh teman-temanku jika melihat orang yang apatis dan egois. Bolehlah dikatakan jika perubahan-perubahan yang kualami dalam diriku sedikit banyaknya terbentuk melalui gemblengan pendidikan tiga tahun di Lembah Manglayang, Jatinangor.
Kawasan Ksatrian nan keras dan disiplin tersebut ternyata tidak hanya bertujuan untuk melahirkan birokrat-birokrat ulung di pemerintahan, pun tidak hanya menciptakan pemimpin-pemimpin cakap bagi masyarakat. Akan tetapi, kehidupan bersama putra-putri dari segenap penjuru negeri—seluruh kabupaten dan kota—di Indonesia telah membentuk aku dan rekan-rekanku itu menjadi pribadi yang lebih peduli dengan sesama serta lingkungan di sekitar kita, berusaha untuk berempati dan bersimpati, rela berkorban demi kepentingan umum, mampu berkomunikasi dengan baik, serta mampu menyesuaikan diri dengan segala kondisi yang ada. Harus kuakui beberapa tujuan yang diinginkan itu belum terpenuhi sesuai dengan harapan, karena besarnya tantangan dan hambatan ditambah minimnya waktu untuk membuatnya menjadi matang. Namun, aku justru yakin bahwa tantangan dan hambatan itulah yang akan membuatnya menjadi matang dan siap disajikan. Sehingga, orang-orang yang mencicipinya tentu akan merasa senang dan nikmat.
Nyatanya, situasi di medan pengabdian sangat berbeda jauh dengan gambaran selama masa pendidikan. Zaman semakin berubah, peradaban manusia semakin tinggi, pola pikir yang unpredictable, keadaan ekonomi yang naik-turun, hingga persaingan dan perebutan kekuasaan. Pemanasan global, kebakaran hutan, gempa bumi, hingga musim kemarau yang datang tiba-tiba Jika musim hujan lebih panjang waktunya dari waktu normalnya, maka musim kawin pun akan semakin gencar. Pertumbuhan penduduk semakin tak karuan karena saking semangatnya manusia bereproduksi, sehingga tidak tahu lagi mana anak yang halal dan mana anak yang haram. Kota semakin penuh-sesak oleh manusia, sehingga muncullah wacana pemindahan ibukota negara untuk menata kawasan pusat pemerintahan dan kawasan perekonomian.
Kasus Century yang berkepanjang, video panas Ariel dan Luna yang menghebohkan, pesona Keong Racun Sinta dan Jojo di ­Youtube, persiapan Valentino Rossi yang akan segera bergabung dengan Ducati dan meninggalkan rumah kesayangannya—Yamaha, prediksi juara-juara Premier League, La Liga, Bundes Liga, ada pula persaingan lobi-lobi pembelian pemain di bursa transfer seperti Ibrahimovic dan Robinho yang merumput di Milan, hingga topik tentang larangan bercelana ketat dan anjuran berbusana muslimah bagi kaum wanita. Adapula kasus penganiayan seorang mahasiswa oleh senior-seniornya di sebuah perguruan tinggi kota kami. Tak ketinggalan pula fenomena sistem pendidikan sekolah yang cenderung menurun hingga berakibat fatal bagi prestasi siswa, pun demikian berakibat buruk bagi reputasi sekolah.
Pembicaraan berbagai masalah tadi adalah segelintir cuplikan pembicaraan kami yang sifaatnya serius saat jamuan minum kopi telah digelar. Biasanya, pembicaraan yang serius akan dimulai di tengah-tengah waktu. Sehingga, konsep awal dan akhir pembicaraan selalu berkaitan dengan hal-hal yang yang sifatnya lucu, menyenangkan, kenangan-kenangan indah, cerita menyeramkan, atau curahan hati tentang kehidupan pribadi.
Pernah pada suatu malam yang dingin karena hujan tak kunjung berhenti, kami bercerita tentang keberadaan makhluk tak kasat mata. Aku mengawali pembicaraan dengan menceritakan pengalaman hororku ketika berkunjung Lawang Sewu, Semarang bersama teman-temanku yang kuliah di Yogyakarta dan Semarang. Lawang Sewu—yang berarti pintu seribu—adalah tempat kediaman bangsawan Belanda ketika menjajah dan menduduki kota Semarang. Konon, menurut cerita penduduk setempat, Lawang Sewu sempat berfungsi sebagai penjara bawah tanah bagi kaum pribumi yang melawan dan membangkang kebijakan Pemerintah Hindia Belanda. Konsekuensinya adalah kaum pribumi itu harus menempati penjara bawah tanah yang berada di bawah bangunan Lawang Sewu.
Bulu romaku berdiri manakala pria yang bertugas sebagai guide “Petualangan Penjara Bawah Tanah Lawang Sewu” membawa kami masuk ke dalam lokasi itu. Suasana yang menyeramkan pun dimulai, ketika guide yang sangat lancar berbicara tanpa ada kesan rasa takut itu memperlihatkan kami bagian-bagian penjara itu. Masih terbias dalam bayanganku ketika lima orang kaum pribumi dipaksa masuk dan berdesak-desakan dalam penjara yang ukurannya hanya 1 x 1 meter tanpa diberi makan dan minum. Jika salah seorang dalam penjara itu telah sampai ajalnya, maka ia akan tetap setia menjadi bangkai hingga keempat orang teman-temannya bernasib sama sepertinya. Sipir Belanda yang berkumis tebal pada malam penyiksaan itu tentu menyeringai kegirangan karena bersikukuh tidak akan mengeluarkan satu mayatpun sebelum yang lainnya tewas. Adapula penjara air, dimana para tahanan hanya dapat menempatinya dengan posisi berjongkok. Apabila air sungai dan air tanah meluap pada musim hujan, maka habislah sudah nasib pria malang itu. Istri dan anak-anaknya di rumah pasti sangat terkejut jika mendengar suami dan ayah mereka tewas mengenaskan gara-gara melamun sambil berjongkok lalu ditelan air pasang.
Teman-teman jamuan minum kopi yang mendengar ceritaku malam itu tidak puas jika hanya menjadi pendengar yang baik. Satu per satu mereka pun mulai bercerita tentang pengalaman menyeramkan mereka ketika kuliah dahulu. Dian membuka tabir rahasia hantu-hantu di asrama sekolah kami yang disaksikannya sendiri oleh kedua mata telanjangnya. Budi juga bercerita tentang suara-suara aneh yang terdengar olehnya ketika ia dan temannya melewati lorong kelas pada malam hari. Desra menimpali dengan bercerita tentang hantu di kosannya. Aku pun tak mau kalah, sembari mengisahkan tentang seorang temanku di Ksatrian yang mampu mendeteksi keberadaan makhluk halus di sekitarnya ketika ia dipanggil menghadap ke barak seniornya. Namun, dari sekian banyak cerita itu ternyata tetap ada yang menyandang gelar pendengar budiman. Kami tahu ia sedang tidak sariawan atau mengalami gangguan pada tenggorokannya. Ia juga tipe orang yang mudah bergaul dan senang bercanda. Tapi, pada episode jamuan minum kopi malam itu ia lebih banyak diam. Aku titip pesan padanya untuk singgah ke Lawang Sewu di Semarang jika ia ada waktu nanti. Sampai sekarang, cerita baru tentang Lawang Sewu dari calon sarjana planologi—eks calon sarjana teknik sipil—itu belum ada kabarnya. Mudah-mudahan ia tidak lagi diam ketika telah berkunjung ke Lawang Sewu. Akhirnya, kami memutuskan segera pulang dan mengakhiri cerita horor itu lantaran beberapa orang dari kami mengaku takut tidur sendirian di kamar rumahnya.
Sudah kukatakan kepadamu, sahabat, bahwa dalam jamuan minum kopi kami hanya ada teori: semakin banyak kopi, capucinno, sanger panas-dingin, atau apapun itu yang diseruput oleh kami, maka semakin ngawur dan panjanglah pembicaraan itu. Nah, setelah ini akan kuceritakan kepada kalian tentang pembicaraan kami yang berkualitas hingga dapat mengukir sejarah di seantero alumni Wira Bangsa.
*******

Comments

Popular posts from this blog

Kebijakan Relokasi Kerusuhan terhadap Korban Pengungsi di Kabupaten Sambas Tahun 1999: Konflik Etnis antara Madura dan Melayu

Internally displaced Persons adalah sebuah istilah bagi para kelompok masyarakat yang pindah dari tempat tinggalnya dan menetap di daerah lain untuk menetap sementara waktu atau hal ini dikenal dengan istilah pengungsi. Sambas adalah sebuah Kabupaten yang terletak di bagian pesisir yang di tempati oleh berbagai suku etnis misalnya suku bugis, madura, jawa batak dll, namun Kabupaten Sambas mayoritas ditempati oleh Melayu, Dayak dan Cina (Tiong Hoa). Khusus tentang konflik Sambas pada tahun 1999 yang terjadi adalah etnis Melayu Sambas dengan suku Madura (yang bertempat tinggal di Sambas) yang menewaskan ratusan jiwa dan hancurnya ratusan rumah dan harta warga Madura. Rekonsiliasi Konflik

Rekrutmen dan Seleksi Pegawai Pemerintah: Sebuah Kajian dari Praktek dan Tren Modern Internasional

Pemerintah di seluruh dunia menghadapi tantangan kepegawaian yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pada saat pemerintah butuh bakat daya pikat paling trampil untuk pelayanan publik, kemampuan mereka untuk melakukannya telah begitu jarang sehingga rumit dan dibatasi oleh ekonomi, sosial dan tekanan organisasi. Artikel ini memberikan gambaran jenis inisiatif rekrutmen dan seleksi di tempat di banyak negara yang dapat membantu pemerintah dunia ini menarik dan mempertahankan bakat. Bergantung pada contoh dari Amerika Serikat dan Eropa Barat, namun juga mengintegrasikan pengalaman dari berbagai negara maju dan kurang berkembang (LDCs), kami menjelaskan serangkaian perekrutan dan seleksi "praktik terbaik." Suasana Penerimaan Peserta Tes CPNS

Bintang dari Manglayang dan Nakhoda Pemerintahan: Sebuah Refleksi Ikrar Pamong yang didedikasikan untuk seluruh Purna Praja STPDN/IPDN di Indonesia

Ksatrian IPDN Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat (Rabu, 28 Agustus 2013) “ Kami Putra-putri Indonesia yang memiliki profesi sebagai Pamong, berjanji: Setia kepada Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 ; Sedia berkorban untuk kepentingan, negara/bangsa dan masyarakat ; Siap melayani dan mengabdi untuk kepentingan masyarakat dimana pun kami bertugas. Kami sadar, ikrar ini didengar oleh Tuhan dan manusia, semoga Tuhan memberikan kekuatan lahir dan batin agar kami dapat melaksanakan ikrar kami ini.” ( Ikrar Pamong ) Bintang Purna Praja kembali bertambah jumlahnya dan bersinar di langit Indonesia. Sesaat setelah pin Purna Praja berwarna kuning keemasan itu disematkan di sebelah kanan dada pakaian kebesaran, suara lantang dari Pamong Praja Muda IPDN Angkatan XX berkumandang di Ksatrian dan seantero Jatinangor. Suara keyakinan dan kesiapan putra-putri Kawah Candradimuka yang menegaskan Ikrar Pamong bagi bangsa dan negara. Saat ikrar itu d