Selain sapi dan penetapan zona warna-warni, tajuk berita salah satu media di Aceh beberapa hari ini mengangkat kisah tentang dinamika kegiatan bimtek bagi
pemerintah gampong. Beberapa tokoh juga telah menanggapi dan berkomentar sesuai
kapasitasnya.
Terlepas apa pun pandangan dan sikap para tokoh serta reaksi masyarakat yang mungkin saja belum terpublikasi namun saya yakin telah teramati dengan baik, kita tentu perlu berterima kasih kepada media yang sudi memperkaya khazanah informasi semacam ini kepada publik. Sebagai bagian dari warga gampong, kita perlu sepakat pula untuk mengawali pemikiran dengan tidak menghakimi serampangan dan menyerahkan sepenuhnya proses tindak lanjut persoalan tersebut kepada pihak yang berwenang. Hal ini akan lebih bijak dan bertanggung jawab ketimbang berkomentar tanpa dasar dan bukti.
Sebab itu pula, tulisan ini tidak akan menyinggung tentang hal tersebut. Pada konteks yang lebih luas dan umum, tulisan ini merupakan buah pikiran saya tentang upaya peningkatan SDM desa yang masih terus dibutuhkan walau UU Desa telah berlangkah enam tahun lamanya. Harapan saya, tulisan ini dapat menjadi bahan edukasi bagi desa.
Perspektif kebijakan publik dan keahlian sebagai pelatih di bidang pemerintahan dan pemberdayaan desa adalah pijakan awal bagi saya memulakan bahasan. Bagi pembaca, perlu diingat bahwa tulisan ini tidak akan berfokus pada daerah tertentu atau menyudutkan pribadi bahkan kelompok tertentu. Penegasan ini perlu dilakukan agar kita tidak jatuh dalam prasangka yang menyesatkan sehingga tidak mampu bersikap ilmiah dan rasional. Saya sendiri masih belajar menghindari sikap: “langsung mengambil kesimpulan setelah membaca judul atau satu dua paragraf”. Namun, jika khawatir tidak mampu berlaku adil, saya menyarankan untuk segera berhenti membaca paragraf berikutnya dan melupakan tulisan ini.
Pembangunan Berkelanjutan
Pada sebuah sesi Kuliah Tamu Jarak Jauh secara daring berjudul
“Tata Kelola Dana Desa sebagai Pembangunan Berkelanjutan” yang diselenggarakan
Prodi Ilmu Pemerintahan Unsyiah pada tanggal 9 Mei 2020 lalu, saya diminta
menjadi pemateri dan berkesempatan menyampaikan pembahasan tentang Potret
Pengelolaan Dana Desa dan Upaya Peningkatan SDM Desa. Materi dan diskusinya menurut
saya cukup menarik untuk dikaitkan dan dielaborasi dengan tema tulisan ini.
Pembangunan berkelanjutan amat erat kaitannya dengan desa
masa depan. Sebanyak 17 tujuan Sustainable
Development Goals (SDGs) itu dapat dicapai dengan mempersiapkan SDM Desa,
dalam hal ini melakukan peningkatan kapasitas SDM Pemerintahan Desa. Saya
meyakini peningkatan kapasitas ini bukan sekadar formalitas, namun sebuah keniscayaan
yang mau tidak mau dibutuhkan oleh desa dan menjadi agenda kaderisasi
pemerintahan desa masa depan. Secara regulasi, agenda ini diatur dalam
Permendagri No. 19 Tahun 2007 tentang Pelatihan Pemberdayaan Masyarakat dan
Desa/Kelurahan.
Siapa yang bertanggung jawab terhadap peningkatan kapasitas
ini? Tentu saja Pemerintah Supra Desa dan Pemerintah Desa sendiri. Setiap level
mulai dari tingkat pusat hingga desa punya pembagian peran yang jelas dan
bertanggung jawab menyediakan sejumlah anggaran untuk membiayai kegiatannya
baik dari APBN, APBD maupun APBDes. Berikut beberapa contohnya.
Pemerintah pusat, misalnya, menetapkan grand design Peningkatan Kapasitas Aparatur Desa (PKAD), atau
mendorong Pembelajaran Mandiri Aparatur Desa (PbMAD), atau menetapkan standar
jabatan bagi pemerintahan desa, atau mempersiapkan pelatih pemerintahan desa
melalui TOT dan sertifikasi metodologi pelatihan bagi ASN yang bertugas di provinsi
dan kabupaten/kota, atau menyediakan regulasi pedoman peningkatan kapasitas.
Pemerintah daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, misalnya,
diberi mandat untuk menyelenggarakan pelatihan awal masa tugas bagi Kepala Desa,
Perangkat Desa, dan Badan Permusyawaratan Desa, serta pelatihan tematik
lainnya. Pemerintah desa, selain sebagai peserta pelatihan, juga diberi
kewenangan untuk menyelenggarakan pelatihan bagi perangkat desa atau BPD sesuai
kebutuhan pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan.
Selain pemerintah supra desa dan pemerintah desa, kelompok
layanan pelatihan non pemerintah yang terakreditasi juga dapat menjadi
penyelenggara pelatihan dengan memenuhi syarat-syarat tertentu sesuai aturan
yang ditetapkan pemerintah. Pada umumnya, bentuk kelompok layanan pelatihan non
pemerintah ini dapat berupa lembaga pendidikan dan pelatihan atau sejenisnya.
Jika mereka memiliki sejumlah anggaran mandiri, maka seluruh kegiatan pelatihan
dibiayai olehnya. Bila tidak, mekanisme kerja sama pihak ketiga dengan
pemerintah supra desa atau pemerintah desa merupakan alternatif lain yang dapat
ditempuh, agar pembiayaan dapat ditanggung oleh pihak pemerintah yang bekerja
sama dengannya.
Orientasi Hasil
Selain pembagian peran, aktor-aktor penyelenggara pelatihan
sesuai bahasan di atas juga perlu menetapkan tujuan atau hasil akhir dari
kegiatannya. Transfer pengetahuan, mengasah keterampilan, dan pembentukan sikap
merupakan orientasi utama yang paling sering dijumpai pada berbagai kegiatan
peningkatan kapasitas SDM.
Berorientasi pada hasil tersebut akan membantu penyelenggara
menentukan bentuk pelatihan, sasaran pelatihan, standar kompetensi bagi peserta
pelatihan, materi pelatihan, lokasi pelatihan, rincian kebutuhan dan biaya
pelatihan, pola pelaksanaan kegiatan, akses keterlibatan masyarakat sebagai
panitia, dukungan penyelenggara bagi peningkatan ekonomi masyarakat pasca
pelatihan, dan hal-hal lainnya.
Terkesan rumit dan teknis memang. Namun, demi efektifitas dan
efisiensi proses pelatihan serta hasil yang baik untuk masa depan desa,
poin-poin ini layak untuk dipertimbangkan. Saya tidak mungkin menguraikannya
satu per satu, akan tetapi akan saya analogikan dengan beberapa ilustrasi
sederhana. Anggaplah keuchik gampong yang baru terpilih, kepala seksi
kesejahteraan, kepala urusan keuangan, serta ketua dan anggota tuha peut
gampong mengikuti peningkatan kapasitas secara terpisah pada waktu tertentu. Empat
unsur tersebut diharapkan akan memiliki kompetensi sesuai jabatan yang
diembannya.
Demi mendukung tercapainya pengetahuan, keterampilan dan
sikap peserta sesuai tujuan pelatihan, dari segi materi antar peserta jelas
berbeda-beda. Misalnya, keuchik gampong pada awal masa tugas membutuhkan
pengetahuan dasar tentang UU Desa dan UU Pemerintahan Aceh beserta turunannya,
keterampilan mengorganisasi masyarakat, dan sikap seorang pemimpin yang adil
dan bertanggung jawab. Kasi kesejahteraan perlu menguasai urgensi membangun pendidikan,
kesehatan dan ekonomi masyarakat gampong, keterampilan pengadaan barang dan
jasa di gampong, serta sikap loyal kepada pemimpin. Kaur keuangan wajib
mengerti tentang teknik pengelolaan keuangan gampong, keterampilan
menatausahakan keuangan gampong melalui aplikasi Siskeudes, juga menanamkan
sikap disiplin dan transparan. Ketua dan anggota tuha peut mesti memahami
kaidah penyusunan qanun gampong, keterampilan menampung dan mengelola aspirasi
masyarakat gampong, serta diharapkan memiliki sikap arif dan bijaksana dalam
menyikapi persoalan pemerintahan atau saat berkoordinasi dengan keuchik gampong
dalam rangka pengawasan kinerja.
Bentuk pelatihan bagi keuchik gampong definitif, misalnya,
dapat dilaksanakan di dalam kelas/tatap muka dan dapat dilaksanakan di tingkat
provinsi. Kasi kesejahteraan dapat belajar strategi membangun ekonomi gampong
berbasis pertanian melalui pelatihan keliling ke sektor pertanian unggulan
daerah dan dapat difasilitasi oleh Dinas Pertanian di kabupaten/kota. Studi banding ke desa percontohan tentang
pengelolaan keuangan desa dapat menjadi alternatif bentuk pelatihan bagi kaur
keuangan dan dapat dilaksanakan melalui kerja sama antara pemerintah gampong
dengan pihak ketiga, yakni lembaga pelatihan non pemerintah. Sementara, pelatihan
bagi ketua dan anggota tuha peut mungkin saja dapat dilakukan mandiri oleh
pemerintah gampong dengan melibatkan masyarakat sebagai panitia.
Dampak peningkatan ekonomi masyarakat dari kegiatan pelatihan
adalah salah satu pertimbangan yang penting untuk diperhatikan. Kesempatan itu
barangkali lebih dirasakan oleh warga desa apabila pelatihan tersebut dilaksanakan
langsung oleh pemerintah desa, berlokasi di desa, serta dibiayai dengan
anggaran dari desa baik seluruhnya atau sebagian besar/kecil. Desa dapat
memilih melaksanakannya secara swakelola, atau kerja sama antar desa melalui
Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD), atau kerja sama dengan pihak ketiga.
Peningkatan kapasitas SDM desa ibarat investasi jangka
panjang yang hasilnya mungkin tidak langsung dirasakan segera. Terlebih bila
ketertarikan masyarakat desa lebih cenderung pada kegiatan yang bersifat fisik
ketimbang kegiatan non fisik. Namun, kesempatan perbaikan ekonomi berpotensi
terbuka luas bila pemerintah desa melibatkan sebanyak-banyaknya masyarakat desa
dalam kegiatan tersebut.
Misalnya: penyediaan makan minum bagi peserta pelatihan
diakomodir oleh kaum perempuan atau pemilik usaha warung makan dan warung kopi
yang berlokasi di desa, penyediaan alat tulis dan perlengkapan pelatihan difasilitasi
oleh Badan Usaha Milik Desa atau warga desa yang memiliki usaha ATK, fotocopy
dan percetakan, atau pelibatan masyarakat dari unsur pemuda dan lembaga
kemasyarakatan desa lainnya sebagai panitia yang membantu kelancaran kegiatan
pelatihan.
Jika desa yang satu menerima kunjungan studi banding,
pelatihan keliling, atau pemagangan dari desa lainnya, kesempatan ini juga
dapat dimanfaatkan untuk strategi promosi produk unggulan desa, penyediaan
tempat penginapan, fasilitasi lokasi wisata dan sarana transportasi, atau
penyediaan/pemasaran cindera mata karya masyarakat desa.
Titik Kritis
Proses merencanakan dan melaksanakan sebuah kegiatan
pelatihan sebagaimana uraian di atas pasti tidak semudah yang dibayangkan.
Butuh pikiran yang jernih, hati yang lapang, diskusi mendalam, konsultasi dan
koordinasi, serta memperhatikan pula sisi sensitif masyarakat desa. Sebab,
merekalah yang akan merasakan langsung dampaknya.
Ketika keuchik gampong yang telah mengikuti pelatihan di
tingkat provinsi kembali ke tengah-tengah masyarakat, mereka sebaiknya telah
memiliki deskripsi membangun gampong bersama masyarakat dengan nilai-nilai UU
Desa dan tidak melupakan jati diri lokal Aceh. Bukan hanya menyibukkan diri
menggonta-ganti perangkat gampong tanpa alasan yang menyebabkan pelayanan
kepada masyarakat menjadi terhambat.
Kasi kesejahteraan yang selesai dari pelatihan keliling ke
sektor pertanian unggulan, punya konsep membantu keuchik untuk merumuskan
rencana kegiatan penguatan pertanian dan memiliki jaringan kemitraan yang mendukung
penyediaan sarana produksi pertanian. Bukan justru masih bermanja dengan oknum
“jasa penitipan” penyusunan RAB dan SPJ yang berpotensi menimbulkan kecurigaan
masyarakat.
Kaur keuangan yang pulang dari studi banding di luar Aceh, mestinya punya kesadaran tinggi karena
terbangun perilaku kedisiplinan dan tertib administrasi pengelolaan anggaran.
Bukan malah baper atau ngambek dengan menguasai laptop milik
pemerintah gampong berisi Siskeudes dan catatan keuangan lainnya karena
mendengar dirinya akan diganti oleh keuchik, sehingga pelaksanaan kegiatan bagi
masyarakat menjadi terbengkalai.
Ketua dan anggota tuha peut yang merampungkan pembelajarannya, akan semakin bergairah mencetuskan berbagai tema rancangan qanun gampong sesuai kebutuhan dan kewenangan gampong. Bukan lalu mengkonsolidasikan permufakatan jahat bersama sekelompok masyarakat dan berupaya menjatuhkan keuchik gampong dari jabatannya tanpa alasan yang dibenarkan oleh aturan, sehingga warga gampong menjadi kisruh.
Membangun moral yang baik sebelum, saat dan setelah pelatihan adalah tantangan berat yang tidak kalah penting dari teknis pelatihan itu sendiri. Moral yang baik menjadi penentu apakah gampong latah ikut pelatihan karena motif tertentu ataukah penyelenggara gagap melaksanakan pelatihan karena kurang memahami mekanismenya. Karena tidak ada yang sempurna, maka belajar dari kesalahan lebih baik daripada membenarkan kekeliruan.
Comments
Post a Comment