Tahun 2015 adalah
percobaan. Tahun 2016 adalah pembuktian. Lalu, tahun 2017? Setidaknya
demikianlah ungkapan-ungkapan optimis yang dituturkan oleh beberapa orang
kepala desa dan perangkat desa saat melaksanakan program dan kegiatan di desa
melalui salah satu sumber dana yang berasal dari APBN selama dua tahun terakhir
ini, yaitu Dana Desa. Tidak sedikit pula yang pesimis karena merasa belum
memiliki kemampuan yang cukup, sehingga terbayang di depan mata mereka
ketakutan akan penyalahgunaan dana, kesewewenang-wenangan dan rentan terhadap
kesalahan administrasi yang berujung pada konsekuensi hukum dari para stake holder anti korupsi. Dana desa
adalah rahmat sekaligus tantangan.
Memasuki tahun 2017 ini,
kami mencoba mengangkat sebuah resolusi yang dapat menjadi bahan diskusi
bersama di kalangan pemerintah desa, pemerintah kabupaten dan masyarakat desa
pada umumnya serta gampong-gampong di Aceh pada khususnya. Resolusi ini
dimaksudkan agar kita mampu mengarahkan penggunaan Dana Desa dengan tepat
sasaran terutama dalam rangka mewujudkan keberdayaan masyarakat desa dan
memecahkan persoalan-persoalan dalam konteks wilayah Aceh.
Salah satu latar belakang
pengalokasian Dana Desa oleh Pemerintah Pusat dalam APBN sebagaimana
diamanahkan dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa yaitu sebagai upaya
pemerintah pusat untuk memaksimalkan proses pemberdayaan masyarakat. Hal
tersebut ditindaklanjuti dengan penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa setiap
tahunnya oleh Menteri Desa PDT dan Transmigrasi. Salah satu prioritas penggunaan
Dana Desa terletak pada bidang Pemberdayaan Masyarakat.
Pengalokasian Dana Desa
dari APBN semakin meningkat setiap tahun. Pada tahun 2017 ini, Dana Desa dalam
APBN dialokasikan sebesar Rp 60 triliun. Jumlah tersebut hampir 3 kali lipat
lebih besar dari pada Dana Desa yang dialokasikan dalam APBN-P tahun 2015.
Bahkan, untuk kabupaten/kota di Aceh total Dana Desa pada tahun 2017 ini
mencapai Rp 4,8 triliun. Itu artinya masing-masing gampong di Aceh akan
menerima pembagian besaran Dana Desa 2017 rata-rata sebesar lebih kurang Rp 700
juta sampai Rp 900 juta. Seharusnya, semakin besar dana yang diterima gampong
maka akan semakin banyak pula kegiatan-kegiatan yang dapat direncanakan dan
dilaksanakan.
Perlu disadari bahwa jumlah
dana yang besar belum menjadi jaminan bagi desa di Indonesia pada umumnya dan
gampong-gampong di Aceh pada khususnya untuk mewujudkan keberdayaan masyarakat
tersebut. Mari kita lihat kondisi di kabupaten/kota masing-masing. Fakta di
lapangan membuktikan bahwa sebagian besar Dana Desa dimanfaatkan untuk Bidang
Pembangunan Gampong yang bersifat fisik. Tak dapat kita pungkiri, bahwa dari
segi infrastruktur atau sarana/prasarana, kondisi gampong-gampong di Aceh pada
umumnya lebih minim dibandingkan desa-desa di pulau Jawa yang semakin berkembang
dan maju. Sebagai masyarakat desa, kita harus bersyukur bahwa pembangunan
gampong semakin bergairah. Jalan lingkungan rabat beton mulai banyak, drainase
lingkungan semakin baik, sumber-sumber air bersih masyarakat melalui sumur bor
semakin lengkap, gedung PAUD gampong, gedung Poskesdes/Posyandu gampong, pasar
gampong, serta beragam jenis kegiatan fisik lainnya telah terbangun sedemikian
rupa dan membawa manfaat besar untuk penyediaan kebutuhan dasar masyarakat desa
selama dua tahun terakhir. Namun, terfokus pada pembangunan fisik saja tanpa
memperhatikan pembangunan manusianya juga dinilai kurang tepat.
Berdasarkan kondisi
tersebut, pernahkah terbayang pada kita lalu bertanya: bagaimana jika suatu saat kebijakan di tingkat pusat tentang desa
berubah kembali, sehingga Dana Desa tidak lagi dialokasikan di dalam APBN?
Mampukah gampong-gampong di Aceh menjadi mandiri tanpa bergantung dengan Dana
Desa? Bagaimana langkah-langkah kongkret untuk menciptakan keberdayaan
masyarakat di tengah persoalan-persoalan kesejahteraan sosial yang meliputi
Aceh belakangan ini?
Menurut penulis, Resolusi
2017 Dana Desa untuk mewujudkan keberdayaan masyarakat gampong dalam konteks
Aceh salah satunya adalah mendorong peningkatan Pendapatan Asli Gampong secara
signifikan dan berkelanjutan. Resolusi peningkatan Pendapatan Asli Gampong ini
mestinya mampu mendorong gampong agar lebih mandiri dari sisi finansial,
sehingga apabila suatu saat Dana Desa tersebut tidak lagi ada maka gampong
telah siap menghadapi tantangan masa depan yang makin kompleks. Peningkatan
Pendapatan Asli Gampong tersebut setidaknya dapat dipersiapkan dengan melakukan
3 (tiga) upaya kongkret.
Pertama, memaksimalkan peran Lembaga Kemasyarakatan
Gampong. Pemerintah gampong sebaiknya dapat bersinergi melalui wadah yang
diprakarsai oleh masyarakat yang memiliki interest
tertentu dalam pembangunan gampong. Lembaga kemasyarakatan gampong seperti PKK,
Posyandu, Karang Taruna, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Gampong (LPMG),
Organisasi Pemuda Gampong, dan lain sebagainya merupakan mitra kerja pemerintah
gampong. Tanpa mitra kerja, pemerintah gampong tidak akan mampu membina
kesejahteraan keluarga gampong melalui home
industry kue tradisional khas Aceh misalnya. Tanpa mitra kerja, pemerintah
gampong akan kesulitan memberikan penyediaan makanan tambahan bagi balita atau
melakukan pelayanan kesehatan bagi ibu hamil dan saudara-saudara kita yang
lanjut usia. Tanpa mitra kerja, pungutan retribusi kendaraan pengangkut batu
kerikil (Galian C) akan terkendala karena pemuda-pemuda gampong tidak diberi
peran. Oleh sebab itu, memberikan porsi kepada lembaga kemasyarakatan gampong
adalah salah satu upaya penting yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah
gampong, terutama untuk mendorong peningkatan pendapatan asli gampong secara
partisipatif. Contoh, pemerintah gampong dapat mengalokasikan Dana Desa kepada
PKK gampong untuk melaksanakan kegiatan pembinaan kesejahteraan keluarga
melalui keterampilan menjahit dan membuat kue. Melalui pelatihan keterampilan
tersebut, maka kelompok perempuan gampong menjadi berdaya bahkan mampu membantu
meningkatkan perekonomian keluarganya. Melalui pelatihan tersebut pula,
pemerintah gampong mampu melahirkan produk-produk unggulan gampong yang dapat dimanfaatkan
untuk meningkatkan pendapatan asli gampong.
Kedua, memanfaatkan potensi gampong sebagai produk
unggulan. Barangkali kita pernah mendengar slogan “satu desa satu produk
unggul” yang digaungkan oleh pemerintah pusat hingga kabupaten/kota. Namun, hal
tersebut akan sulit terwujud jika gampong tidak berfokus untuk memaksimalkan
salah satu potensi andalan. Bidang pertanian, peternakan, perikanan,
perkebunan, pertambangan, energi dan lain sebagainya dapat menjadi pilihan
gampong untuk menciptakan produk unggulan. Jika sumber daya manusia dan sumber
daya alam telah tersedia, maka teknologi dapat membantu keduanya untuk
melahirkan produk unggulan yang punya nilai jual tinggi, mendatangkan
keuntungan yang besar bagi kemakmuran masyarakat dan meningkatkan pendapatan
asli gampong. Beberapa contoh gampong di Aceh yang dapat kita jadikan rujukan
produk unggulan misalnya, Gampong Lhok Rukam di Aceh Selatan dengan produksi
palanya. Gampong Langung di Aceh Barat dengan produksi kue tradisional khas
Acehnya. Gampong Blang Krueng di Aceh Besar dengan penggemukan sapinya. Sejumlah
gampong di Pidie dan Pide Jaya dengan kue adee-nya.
Beberapa gampong di Bireuen yang terkenal dengan produk keripik dan cemilan
nagasarinya. Beberapa gampong di dataran gayo dan wilayah tengah Aceh yang
populer dengan produk kopinya. Bahkan ada potensi gampong di Aceh yang tidak
saja menjadi objek wisata untuk olahraga arung jeram dengan air terjun dan
sungainya yang deras, tapi juga mampu dimanfaatkan untuk membantu pasokan
listrik bagi rumah-rumah warganya, yaitu Gampong Uning Pune di Gayo Lues dengan
Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro. Bukankah dengan potensi-potensi gampong
seperti itu kita mampu maju, mandiri dan sejahtera bahkan tanpa meninggalkan
jati diri gampong sendiri? Mari memulai dengan “satu gampong satu produk
unggulan” demi meningkatkan pendapatan asli gampong dan pendapatan masyarakat.
Ketiga, merevitalisasi Badan Usaha Milik Gampong
(BUMG). Pada tahun 2016 yang lalu, Pemerintah melalui Kementerian Desa PDT
dan Transmigrasi memberikan penghargaan kepada 40 Badan Usaha Milik Desa
(BUMDes) se-Indonesia. Aceh termasuk salah satu provinsi yang harum namanya
saat penghargaan diberikan kepada BUMG Blang Krueng di Aceh Besar atas
kesuksesannya memajukan perekonomian gampong dengan berbagai macam jenis dan
unit usaha. Prestasi BUMG Blang Krueng harus dijadikan motivasi dan semangat
bagi BUMG di gampong-gampong lainnya khususnya untuk menghidupkan kembali
semangat kewirausahaan BUMG. Pemerintah gampong dapat mengawalinya dengan
menetapkan dasar hukum yang jelas tentang Pembentukan BUMG melalui Qanun
Gampong atau menyusun turunannya dengan Peraturan Keuchik. Hal ini tentu harus
diimbangi apabila BUMG telah selesai menentukan jenis usaha apa yang akan
mereka jalankan. Misalnya menjalankan bisnis sosial seperti penyediaan air
minum gampong, atau bisnis penyewaan seperti sewa rumah toko, atau bisnis
perantara seperti jasa pembayaran tagihan listrik, atau bisnis produksi dan
berdagang seperti menjual hasil pertanian, atau bisnis keuangan seperti simpan
pinjam untuk kelompok perempuan, atau bisnis bersama seperti food court di sebuah wilayah desa
wisata. Kemudian, pemerintah gampong dapat mempercayakan sejumlah Dana Desa
yang digunakan sebagai Penyertaan Modal kepada BUMG untuk dikelola dalam rangka
pelaksanaan bisnis-bisnisnya. Apabila usaha BUMG mendapatkan keuntungan, maka
keuntungan inilah yang selanjutkan dibagi menjadi Hasil Usaha Gampong yang
termasuk dalam kategori Pendapatan Asli Gampong. Manfaat revitalisasi BUMG ini
amat besar. Jika dikelola dengan baik, tidak hanya mampu meningkatkan
Pendapatan Asli Gampong saja, tapi tentunya pengangguran dapat teratasi dengan
menyerap tenaga kerja untuk bisnis-bisnis mereka. Atau bahkan dengan perhatian
yang tinggi mampu mengangkat derajat saudara-saudara kita yang kurang mampu
agar keluar dari garis kemiskinan dengan terlibat pula menjalankan bisnis
tersebut.
Sebagai penutup, Resolusi
2017 Dana Desa dan Keberdayaan Masyarakat Desa melalui 3 (tiga) upaya kongkret
tersebut tentunya tidak dapat berjalan mulus apabila tidak ada komitmen bersama
antara pemerintah gampong dan masyarakat melalui musyawarah desa. Konsep
visioner atau pemikiran masa depan mesti tertanam dalam diri kita sebagai
masyarakat desa untuk menjamin kesejahteraan anak cucu pada generasi mendatang
yang dimulai dari gampong. Apabila keberhasilan peningkatan Pendapatan Asli
Gampong tersebut dapat diraih, tidak saja kemandirian dan keberdayaan
masyarakat yang kita dapatkan, akan tetapi kesejahteraan sosial juga tercapai.
Bukankah kita ingin anak-anak kita terbantu sekolahnya dengan adanya beasiswa?
Tidakkah kita ingin membantu kaum dhuafa, fakir miskin dan anak yatim yang
menjadi tetangga kita? Empatikah kita terhadap pemuda gampong yang terjerat
narkoba karena tidak punya pekerjaan? Mari kita mulai 2017 dengan memanfaatkan
Dana Desa untuk meningkatkan Pendapatan Asli Gampong.
Comments
Post a Comment