Skip to main content

Dana Desa dalam Perspektif Administrasi Publik

April menjadi bulan yang paling ditunggu-tunggu oleh kesatuan masyarakat hukum terdepan di negeri ini yang disebut dengan desa, atau gampong di Aceh. Tidak lain karena janji Pemerintah yang akan menyalurkan Dana Desa, salah satu jenis dana transfer yang baru dan telah dianggarkan dalam APBN 2015 sebesar Rp. 9,06 triliun (APBN-P 2015 menjadi Rp. 20 triliun). Namun, siapkah desa atau gampong menyambut dan mengelolanya?
Melalui prinsip-prinsip administrasi publik, saya mencoba menguraikan beberapa hal yang saya pahami secara pribadi dalam sudut pandang kebijakan publik. Pedoman utama pembahasan tulisan ini berpijak pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan tujuan untuk memberikan gambaran menarik lainnya tentang Dana Desa. Hal ini dilakukan untuk menyikapi pemahaman beberapa elit pemerintahan, birokrat atau masyarakat umum lainnya terutama dalam rangka persiapan pelaksanaan UU Desa.
Ilustrasi Dana Desa (Sumber:indonesiabangundesa.org)
Pertama, Dana Desa Tahun 2015 bukanlah sebesar Rp. 1,4 miliar. Pada penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU Desa, besaran Dana Desa yang dianggarkan dalam APBN ditentukan 10% dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top) secara bertahap. Dana Transfer Daerah terdiri dari Dana Perimbangan, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Otonomi Khusus, Dana Keistimewaan D.I. Yogyakarta, dan Dana Transfer Lainnya. Perlu diingat bahwa tidak ada satu kalimat pun dalam UU Desa yang menyebutkan bahwa setiap desa di Indonesia akan menerima Dana Desa sebesar Rp. 1,4 miliar pada tahun pertama pengalokasian Dana Desa. Silahkan digarisbawahi, bahwa Dana Desa sebesar 10% tersebut dialokasikan kepada desa “secara bertahap”. Kalimat tentang besaran dana dimaksud justru termaktub pada Nawakerja (Sembilan Agenda Prioritas) milik Menteri Desa PDT dan Transmigrasi Marwan Jafar, salah satunya yaitu prioritas Penyiapan Implementasi Penyaluran Dana Desa Rp. 1,4 Miliar per desa secara bertahap. Desa tidak perlu berkecil hati untuk tahun ini, pun juga tak perlu galau bila tahun demi tahun nanti alokasi Dana Desa semakin besar. Nyatanya, Pemerintah Pusat telah menetapkan APBN-P 2015 dengan menambah besaran Dana Desa dari Rp. 9,06 triliun menjadi Rp. 20,7 triliun.

Kedua, besaran Dana Desa setiap kabupaten/kota di Indonesia seharusnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Ketentuan tersebut dengan sangat jelas tertulis pada Pasal 11 ayat (8) PP No. 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang bersumber dari APBN. Namun, hingga saat ini Peraturan Menteri yang dimaksud belum kunjung terbit. Bahkan, Menteri mana yang berwenang untuk menetapkan besaran Dana Desa tersebut juga belum jelas. Ternyata, besaran Dana Desa yang diperoleh setiap kabupaten/kota justru telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden No. 162 Tahun 2014 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2015 pada Lampiran XXIII. Anehnya lagi, PP No. 60 Tahun 2014 justru mengamanahkan kepada kabupaten/kota untuk menetapkan Peraturan Bupati atau Peraturan Walikota tentang besaran Dana Desa bagi masing-masing desa dengan mengacu pada “Peraturan Menteri”. Peraturan Menteri yang mana? Pertanyaan besar yang masih menjadi misteri. Saya tidak paham, apabila Perbup/Perwalkot tentang hal tersebut telah ditetapkan berdasarkan Perpres No. 162 Tahun 2014 dapat dikategorikan cacat hukum atau tidak. Bagaimanapun, peraturan yang lebih rendah harus merujuk pada peraturan yang lebih tinggi sesuai rujukan yang telah ditentukan. Sebaiknya, rujukan tersebut haruslah konsisten dan singkron.
Ketiga, formulasi penentuan besaran Dana Desa yang diperoleh oleh masing-masing desa masih menerawang. Rumus-rumus yang digambarkan secara naratif dalam PP No. 60 Tahun 2014 tersebut belum mampu diterjemahkan dengan sempurna oleh daerah. Sebagaimana informasi yang saya peroleh, setiap daerah justru berinovasi dengan rumus yang berbeda. Tentu saja inovasi itu merupakan langkah-langkah konkret Pemerintah Daerah untuk segera mendapatkan besaran Dana Desa yang benar, sesuai dengan kondisi desa dan berupaya menghindari selisih besaran dana yang terlalu timpang dan lebar antara desa yang satu dengan desa lainnya agar tidak terjadi gejolak pada masa transisi saat ini. Namun, yang harus menjadi perhatian adalah apakah data-data yang digunakan pada formulasi besaran Dana Desa tersebut punya tingkat validitas yang tinggi? Apakah data yang bersumber dari BPS dan PPLS 2011 benar-benar telah sesuai dengan keadaan riil di desa? Saya merekomendasikan agar desa tetap mengawal kebenaran data yang digunakan, dengan cara menunjukkan bukti-bukti keadaan sebenarnya yang tergambar di desa. Saat ini, desa telah dibekali dengan Profil Desa yang diintegrasikan secara online melalui Sistem Informasi Desa dan Kelurahan. Apabila desa benar-benar melakukan pendataan, pembaharuan dan pendayagunaan profil desa dengan cermat, maka data-data tersebut dapat menjadi data pendukung utama yang lebih valid dalam menentukan besaran Dana Desa.
Keempat, kekeliruan memahami Dana Desa dan Alokasi Dana Desa. Hal ini sering terlihat di berbagai redaksi surat kabar, opini beberapa orang maupun informasi lainnya. Sekali lagi, Dana Desa adalah dana yang bersumber dari APBN. Sedangkan, Alokasi Dana Desa adalah dana yang bersumber dari APBD. Pada konteks pemerintahan daerah di Aceh, Alokasi Dana Desa lebih dikenal dengan Alokasi Dana Gampong atau ADG. Nomenklatur “Dana Desa” tidak pernah ada dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Aceh. Oleh karena itu, seharusnya tidak boleh ada tambahan kata “Alokasi” untuk istilah “Dana Desa” karena pemaknaan keduanya akan menimbulkan tafsir yang berbeda. Contoh yang saya anggap keliru adalah mendampingi singkatan “ADD” untuk Dana Desa dan singkatan “ADG” untuk Alokasi Dana Gampong. Pada konteks Aceh, hal ini akan memancing kebingungan karena sebenarnya singkatan ADD di Aceh lebih dikenal dengan ADG, sehingga penabalan istilah “ADD” untuk Dana Desa dirasa kurang tepat. Lebih baik, Dana Desa disingkat dengan “DD” sehingga tidak terjadi kesalahpahaman bila istilah tersebut berdampingan dengan ADG.
Kelima, Dana Desa sering diistilahkan dan dianggap sebagai Bantuan Desa (Bandes). Hal ini juga dinilai kurang tepat. Istilah “bantuan” dalam Keuangan Desa disebut dengan Bantuan Keuangan. Pada Pasal 98 PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Desa, Bantuan Keuangan bagi desa merupakan bantuan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota yang diberikan kepada desa penerima bantuan dalam rangka membantu pelaksanaan tugas pemerintahan daerah di desa yang bersangkutan. Contoh bantuan keuangan yang ada di Aceh hingga saat ini adalah BKPG atau Bantuan Keuangan Peumakmue Gampong. Bantuan keuangan ini pun terdiri dari Bantuan Keuangan yang Bersifat Umum dan Bantuan Keuangan yang Bersifat Khusus. Bantuan Keuangan yang Bersifat Khusus peruntukan dan pengelolaannya diatur oleh pemerintah daerah pemberi bantuan dalam rangka percepatan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa. Dengan demikian, Dana Desa tidak bisa dikategorikan sebuah bantuan bagi desa atau Bantuan Desa (Bandes) karena Dana Desa merupakan alokasi anggaran yang penggunaannya tidak diatur secara spesifik oleh penyedia anggaran, dalam hal ini Pemerintah Pusat, akan tetapi Dana Desa semata-mata digunakan oleh Desa untuk memenuhi kebutuhan desa itu sendiri. Sangat berbeda dengan Bantuan Keuangan Desa yang penggunaannya diatur oleh pemberi bantuan untuk menyelesaikan agenda si pemberi bantuan itu sendiri yang berlokasi di desa penerima bantuan. Apabila kekeliruan ini tidak diperbaiki, maka dapat berdampak pada pengisian besaran Dana Desa ke dalam dokumen RPJM Desa, RKP Desa dan APB Desa. Contoh kekeliruan yang mungkin terjadi adalah pada komponen Pendapatan Desa, Dana Desa sebesar Rp. 70.000.000 dimasukkan atau ditempatkan di kolom Bantuan Keuangan dari Pemerintah Pusat. Langkah yang benar dicontohkan sebagai berikut, dana BKPG Tahun 2015 sebesar Rp. 30.000.000 dimasukkan pada kolom Bantuan Keuangan dari Pemerintah Provinsi. Antisipasi hal-hal yang dianggap sepele sebelum jadi kesalahan-kesalahan besar.
Keenam, RPJM Desa cukup direview saja. RPJM Desa, atau di Aceh disebut dengan RPJM Gampong, adalah dokumen perencanaan di desa yang disusun saat Kepala Desa/Keuchik dilantik dan berlaku selama 6 (enam) tahun mulai tahun pelantikannya. Dokumen RPJM Desa tersebut menjadi kewajiban Pemerintahan Desa untuk disusun saat memasuki periode pemerintahan berikutnya. Terkait dengan kontribusi fasilitator PNPM di tingkat kecamatan yang mendampingi perangkat desa dalam menyusun dokumen tersebut, maka RPJM Desa yang sudah ada sebelumnya tetap digunakan hingga akhir masa berlakunya. Memang, format RPJM Desa yang dipandu oleh PNPM formatnya lebih rinci, detil dan komprehensif. Namun, dengan terbitnya Permendagri No. 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa maka format RPJM Desa yang telah ada sebelumnya tetap berlaku hingga tahun 2015, kemudian format selanjutnya disesuaikan berdasarkan pedoman dalam peraturan tersebut dengan sistematika yang lebih sederhana. Bila mengacu pada ketentuan yang ada, langkah-langkah yang sebaiknya perlu dilakukan oleh desa dalam rangka persiapan penyaluran Dana Desa tahap pertama di bulan April nanti adalah melakukan pencermatan ulang (review) terhadap dokumen RPJM Desa yang telah ada sebelumnya, tanpa mengubah periode tahun berlakunya. Contoh kekeliruan yang tidak sesuai dengan ketentuan di atas adalah, desa menyusun RPJM Desa yang baru dengan periode tahun 2015-2020. Hal ini justru melanggar aturan dan mencederai RPJM Desa yang telah disusun sebelumnya. Bagaimana mungkin RPJM Desa di pertengahan tahun diubah periode berlakunya, sedangkan masa jabatan Kepala Desa atau Keuchik yang bersangkutan belum berakhir. Oleh karena itu, dengan hadirnya komponen pendapatan desa yang baru yakni Dana Desa, maka pencermatan ulang RPJM Desa perlu disesuaikan dengan besaran Dana Desa yang diterima dan perencanaan pembelanjaannya dalam bentuk program/kegiatan.
Ketujuh, Pemkab/Pemkot sebaiknya perlu menyusun Peraturan Bupati/Walikota tentang Pedoman Teknis Penyusunan RPJM Desa dan RKP Desa. Hal ini jelas ditentukan dalam Pedoman Pembangunan Desa, dengan tujuan agar arah kebijakan dan program pembangunan yang disusun oleh Desa selaras dengan perencanaan Pemkab/Pemkot. Bagian-bagian dalam RPJM Desa pada panduan format yang baru justru sangat sederhana. RPJM Desa minimal memuat Visi dan Misi Kepala Desa, Arah Kebijakan Pembangunan Desa, dan Rencana Kegiatan yang meliputi Bidang Penyelenggaraan Pemerintahan, Bidang Pembangunan, Bidang Pembinaan Kemasyarakatan, dan Bidang Pemberdayaan Masyarakat. Kehadiran Perbup/Perwalkot yang dimaksud dapat membantu desa untuk menyusun kedua dokumen tersebut sebagaimana sistematika yang ditentukan oleh Pemkab/Pemkot. Perlu diingat kembali, bahwa dengan non-aktifnya pendampingan dari fasilitator PNPM saat ini maka kemampuan dan kemandirian Desa dalam hal penyusunan dokumen RPJM Desa, RKP Desa dan APB Desa menjadi tantangan besar yang mutlak harus dihadapi dan diselesaikan. Tantangan lainnya juga ada pada pihak Kecamatan dan Kabupaten yang dituntut pula untuk mampu membina, membantu dan mendampingi perencanaan pembangunan desa. Sungguh ironis bila Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM MPd) justru tidak mampu mewujudkan kemandirian desa. Kemungkinannya hanya tiga: desa yang tidak mau mandiri, atau fasilitator yang senang memberikan “pembinaan” lebih, atau birokrat yang tidak punya kemampuan untuk membina desa. Semoga saja tidak.
Kedelapan, keberadaan LPM/LKMD atau Tuha Lapan. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat atau Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa ialah salah satu unsur lembaga kemasyarakatan di desa yang paling urgen keberadaannya dan vital fungsinya dalam rangka pemberdayaan dan perencanaan pembangunan di desa. LPM/LKMD merupakan mitra Pemerintah Desa yang bertugas menyusun rencana pembangunan partisipatif, menggerakkan swadaya gotong-royong masyarakat, serta melaksanakan dan mengendalikan pembangunan desa. Pada UU Pemerintahan Aceh dan Qanun Aceh No. 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat, LPM/LKMD diidentikkan dengan Tuha Lapan. Namun, sayangnya definisi dan tugas-tugas Tuha Lapan tidak tergambar secara gamblang dalam peraturan perundang-undangan di Aceh. Pada UU Pemerintahan Aceh, Tuha Lapan dikelompokkan dalam salah satu Lembaga Adat di Aceh. Kategori tersebut dipertegas kembali dalam Qanun Aceh No. 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat, yang menyebutkan Tuha Lapan adalah nama lembaga adat pada tingkat mukim dan gampong yang bertugas membantu imeum mukim dan keuchik gampong. Selanjutnya, pada Pasal 21 qanun tersebut diuraikan kembali bahwa Tuha Lapan dipilih melalui musyawarah gampong yang beranggotakan Tuha Peut Gampong (Badan Permusyawaratan Desa) sesuai bidang keahliannya masing-masing. Lantas, berdasarkan definisi, jenis institusi serta tugas pokok dan fungsinya, benarkah Tuha Lapan merupakan lembaga yang dapat disamakan dengan LPM/LKMD? Saya rasa tidak. Hal ini perlu diangkat menjadi pembahasan selanjutnya, mengingat keberadaan LPM/LKMD diperlukan pada proses perencanaan pembangunan desa. Contohnya, pada Permendagri No. 114 Tahun 2014 diamanahkan untuk membentuk Tim Penyusun RPJM Desa dan RKP Desa yang salah satunya terdiri dari Ketua LPM/LKMD sebagai Sekretaris Tim Penyusun dan anggota LPM/LKMD sebagai anggota Tim Penyusun. Oleh karena itu, saya menyarankan agar Pemkab/Pemkot yang ada di Aceh juga menyusun Peraturan Bupati/Peraturan Walikota tentang Lembaga Kemasyarakatan Gampong dengan mempedomani UU Desa, PP No. 43 Tahun 2014 dan Permendagri No. 5 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan. Perbup/Perwalkot tersebut sebaiknya menggunakan istilah LPM/LKMD berikut mengatur tentang tugas pokok dan fungsinya. Bukan menggunakan istilah Tuha Lapan, karena Tuha Lapan secara aturan jelas-jelas berbeda dengan LPM/LKMD.
Kesembilan, prioritas penggunaan Dana Desa sebaiknya mengarah pada belanja pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa. Menurut saya, apabila Pemkab/Pemkot mengatur tentang pembagian persentase penggunaan Dana Desa untuk masa-masa transisi Tahun 2015 ini, sebaiknya desa diarahkan untuk mengalokasikan belanja Dana Desa pada kebutuhan-kebutuhan di bidang pembangunan dan bidang pemberdayaan masyarakat. Peraturan Menteri Desa PDT dan Transmigrasi No. 5 Tahun 2015 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa dapat menjadi rujukan pedoman utama dalam menentukan jenis-jenis kegiatan yang dapat direncanakan dan dilaksanakan pada kedua bidang tersebut. Contoh kegiatannya antara lain adalah pengembangan pos kesehatan desa dan pembinaan posyandu, pembangunan jalan desa dan jalan usaha tani, pembangunan pasar desa, lumbung pangan desa dan kantor desa, peningkatan kualitas proses perencanaan desa, kegitan pendukung perekonomian desa melalui BUM Desa atau kelompok usaha masyarakat desa, serta kegiatan peningkatan kapasitas kelompok masyarakat desa seperti kelompok pemuda, kelompok perempuan, kelompok tani, kelompok nelayan, atau kelompok usaha ekonomi produktif.
Kesepuluh, keseragaman perencanaan dan mekanisme pengelolaan Dana Desa. Pada konteks pemerintahan daerah, menurut saya Pemerintah Aceh perlu segera melakukan pengkajian-pengkajian yang bersifat teknis, akademis maupun politis terkait keseragamaan perencanaan pembangunan gampong dan mekanisme pengelolaan Dana Desa yang diintegrasikan dengan pengelolaan keuangan gampong secara menyeluruh. Daerah punya peluang dari UU Desa, 2 Peraturan Pemerintah, 4 Permendagri, dan 5 Peraturan Menteri Desa PDT dan Transmigrasi yang menjadi dasar hukum terbaru bagi Desa. Peluang tersebut disediakan dalam bentuk kesempatan bagi Pemda untuk segera menyusun petunjuk-petunjuk teknis dan pelaksanaan yang dimuat dalam qanun atau peraturan kepala daerah. Pemerintah kabupaten/kota juga perlu mengevaluasi kembali qanun kabupaten/kota yang mengatur tentang gampong atau nama lain di masing-masing daerah, yang bertujuan untuk menyesuaikan aturan di tingkat lokal dengan ketentuan yang bersifat nasional. Pada dasarnya, hal-hal baru yang lahir di UU Desa beserta turunannya juga harus mampu diturunkan ke dalam peraturan-peraturan di tingkat daerah, tanpa mengabaikan ketentuan khusus yang telah tersedia bagi Aceh. Pemerintah Aceh juga harus segera mengambil sikap terhadap keberadaan lembaga kemasyarakatan dan lembaga adat baru di Aceh yang belum terdefinisi dengan jelas dan belum memiliki tugas yang jelas pula. Dengan demikian, apabila di tingkat Pemerintah Aceh telah memiliki konsep yang mantap, kuat dan mampu dipertanggungjawabkan, maka produk hukum di tingkat kabupaten/kota pun akan semakin terpancang kokoh tanpa menyalahi aturan-aturan yang lebih tinggi. Bila keseragaman ini terwujud, keseluruhan institusi pemerintah dapat berbicara “satu suara” sehingga terhindar dari pengambilan keputusan secara sepihak, tidak berlandaskan aturan hukum yang ada.
Sebagai penutup dari kesimpulan pada poin kesepuluh tersebut, saya teringat anekdot atau perumpamaan kocak tentang “keseragaman” dan “satu suara”. Apabila keselarasan antara kata dan perbuatan diklasifikasikan menurut orang-orang dari negara yang berbeda, maka hasilnya kira-kira seperti ini: Orang Amerika banyak berbicara, banyak bekerja. Orang Jepang sedikit bicara, banyak bekerja. Orang India banyak bicara, sedikit bekerja. Nah, orang Indonesia lain yang dibicarakan, lain yang dikerjakan.

Semoga kita siap menyambut dan mengelola Dana Desa Tahun 2015.

Comments

Popular posts from this blog

Kebijakan Relokasi Kerusuhan terhadap Korban Pengungsi di Kabupaten Sambas Tahun 1999: Konflik Etnis antara Madura dan Melayu

Internally displaced Persons adalah sebuah istilah bagi para kelompok masyarakat yang pindah dari tempat tinggalnya dan menetap di daerah lain untuk menetap sementara waktu atau hal ini dikenal dengan istilah pengungsi. Sambas adalah sebuah Kabupaten yang terletak di bagian pesisir yang di tempati oleh berbagai suku etnis misalnya suku bugis, madura, jawa batak dll, namun Kabupaten Sambas mayoritas ditempati oleh Melayu, Dayak dan Cina (Tiong Hoa). Khusus tentang konflik Sambas pada tahun 1999 yang terjadi adalah etnis Melayu Sambas dengan suku Madura (yang bertempat tinggal di Sambas) yang menewaskan ratusan jiwa dan hancurnya ratusan rumah dan harta warga Madura. Rekonsiliasi Konflik

Rekrutmen dan Seleksi Pegawai Pemerintah: Sebuah Kajian dari Praktek dan Tren Modern Internasional

Pemerintah di seluruh dunia menghadapi tantangan kepegawaian yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pada saat pemerintah butuh bakat daya pikat paling trampil untuk pelayanan publik, kemampuan mereka untuk melakukannya telah begitu jarang sehingga rumit dan dibatasi oleh ekonomi, sosial dan tekanan organisasi. Artikel ini memberikan gambaran jenis inisiatif rekrutmen dan seleksi di tempat di banyak negara yang dapat membantu pemerintah dunia ini menarik dan mempertahankan bakat. Bergantung pada contoh dari Amerika Serikat dan Eropa Barat, namun juga mengintegrasikan pengalaman dari berbagai negara maju dan kurang berkembang (LDCs), kami menjelaskan serangkaian perekrutan dan seleksi "praktik terbaik." Suasana Penerimaan Peserta Tes CPNS

Bintang dari Manglayang dan Nakhoda Pemerintahan: Sebuah Refleksi Ikrar Pamong yang didedikasikan untuk seluruh Purna Praja STPDN/IPDN di Indonesia

Ksatrian IPDN Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat (Rabu, 28 Agustus 2013) “ Kami Putra-putri Indonesia yang memiliki profesi sebagai Pamong, berjanji: Setia kepada Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 ; Sedia berkorban untuk kepentingan, negara/bangsa dan masyarakat ; Siap melayani dan mengabdi untuk kepentingan masyarakat dimana pun kami bertugas. Kami sadar, ikrar ini didengar oleh Tuhan dan manusia, semoga Tuhan memberikan kekuatan lahir dan batin agar kami dapat melaksanakan ikrar kami ini.” ( Ikrar Pamong ) Bintang Purna Praja kembali bertambah jumlahnya dan bersinar di langit Indonesia. Sesaat setelah pin Purna Praja berwarna kuning keemasan itu disematkan di sebelah kanan dada pakaian kebesaran, suara lantang dari Pamong Praja Muda IPDN Angkatan XX berkumandang di Ksatrian dan seantero Jatinangor. Suara keyakinan dan kesiapan putra-putri Kawah Candradimuka yang menegaskan Ikrar Pamong bagi bangsa dan negara. Saat ikrar itu d