Skip to main content

Merantau Jilid 2: Halaman Persembahan

Boleh saja berpikir canggih. Namun, berfokus pada hal penting dan mengabaikan hal yang menarik perhatian adalah cara untuk menjadi sederhana. Sudah menjadi tugas pemimpin untuk menyederhanakan hal-hal rumit.

Jangan mengkerdilkan diri sendiri, keluarga atau orang-orang terdekat kita. Jika orang lain tidak melakukannya terhadap kita, mengapa kita justru berbuat. Padahal, Allah senantiasa membesarkan kita dari keadaan yang kerdil (Ayahanda)

Selalu ada pola di dunia ini, apapun itu. Bahkan saat sesuatu itu tidak berpola, polanya adalah tidak beraturan. Tetapi, sekacau apapun polanya, kita tetap bisa menemukan hal menarik dan menyimpulkan sesuatu (Darwis Tere Liye dalam Negeri di Ujung Tanduk)

Semua orang besar adalah pemimpi. Mereka melihat banyak hal dalam kabut lembut saat musim semi atau api merah pada malam musim dingin yang panjang. Beberapa dari kita membiarkan impian besar itu mati, tetapi yang lain justru memelihara dan melindunginya, menjaganya untuk melalui hari-hari buruk sampai impian membawa mereka ke sinar matahari dan cahaya yang selalu datang bagi orang-orang yang tulus berharap bahwa impian mereak akan terwujud (Woodrow Wilson)

Chapter 10

Mulai seperti Arsenal. Rutinitas posting tulisan-tulisanku mulai seperti Arsenal. Mulai tidak konsisten. Lalu, mengapa perumpamaannya Arsenal? Ya, kau tahu, dahulu tim besutan Arsene Wenger ini dicap sebagai tim yang tidak konsisten. Inkonsistensi dalam penampilan di Premier League, FA Cup, Carling Cup, atau Champions League. Terkadang bagus, terkadang jelek. Grafiknya fluktuatif.
Namun, tidak untuk musim 2013-2014 ini. Tim London Utara jagoanku itu mulai konsisten. Buktinya? Konsisten merebut dan mempertahankan posisinya pada puncak klasemen liga Inggris. Konsisten pula meningkatkan penampilan hingga performa terbaik saat bersaing dengan tim-tim jawara di berbagai kompetisi. Mesut Ozil bisa jadi menjadi silver bullet—peluru perak—terbaik yang didatangkan ke Emirates Stadium. Dan bocah-bocah berseragam merah dan putih itu pun menjadi kian terpacu untuk konsisten dalam misi mengembalikan masa kejayaan The Gunners yang telah hilang sekian lamanya.
Tidak dengan rutinitas menulisku. Lihat saja statistik jumlah tulisannya dalam enam bulan terakhir di tahun 2013. Fluktuatif, tidak produktif, tak konsisten. Dan di Januari 2014 ini, arsip “Tiga Belas Bulan di Yogyakarta” baru sampai chapter 10. Lihat, hanya satu posting dalam satu bulan. Sangat buruk.
Bagian ini pun ditulis dan diposting tanpa ide yang kreatif dan tujuan yang jelas. Sifatnya mendadak, karena pada chapter sebelumnya aku tidak menyisipkan “bagian” lain dari setiap tulisanku pada cerita Merantau Jilid 2. Padahal, saat kuluangkan waktu semester 4 untuk mengikuti seminar, workshop, atau event-event lainnya—selain tugas utama menyelesaikan penulisan tesis—sungguh banyak bahan tulisan yang telah masuk dalam list writing plan untuk kuuraikan lebih luas.
Ah, aku ingat. Tesis. Dialah penyebabnya. Aku terpaksa mengkambing-hitamkan dia. Dialah yang mengikatku, membuatku tak bisa berpaling pada tema-tema lain. Dia mengurung alam pikiranku agar tidak bebas keluar dari koridornya. Dan dia harus menyesali perbuatannya, membayar atas perlakuannya terhadapku. Bayangkan, sejak dimulainya proposal penelitian, ia sudah menjadi cikal bakal karya ilmiah yang sungguh merepotkanku. Gayanya yang deskriptif kualitatif, memaksaku menganalisa ratusan lembar dirinya. Belum lagi temanya yang menantang, out of the backround, menekanku untuk mengulas lebih detail tentang kelembagaan dan forest management. Sial.
Cukup, cukup. Rasanya cukup satu paragraf saja aku menumpahkan kekesalan padanya. Bagaimanapun, ia sudah membawaku selangkah lebih dekat dengan gerbang kesuksesan pendidikan magister. Meluangkan waktu lebih banyak padanya sudah menjadi suatu kewajaran bagiku. Apalagi, aku dituntut harus menguasai lebih banyak tentang bidang lain yang aku tidak expert padanya. Adalah sebuah pemakluman bila aku tidak konsisten untuk menggarap bahan-bahan tulisan lain yang telah kukumpulkan bersamaan dengan waktu penulisan sang tesis. Dan tampaknya ia perlu menjelaskan tentang kemunculan dirinya di kehidupanku dan kehidupan rekan-rekanku.

Kilas Balik

Semester 3 di kemarau pertengahan bulan April 2013. Hanya perlu dua mata kuliah dan satu seminar proposal lagi untuk menyelesaikan perkuliahan ini. Isu dan Kebijakan Desentralisasi serta Manajemen Strategis Sektor Publik tampaknya bukan mata kuliah yang berat bagi kami. Tugas presentasi kelompok dan review artikel masih menjadi andalan para dosen agar kami tetap rajin membaca, mengikuti perkembangan dunia, dan berdiskusi tentang topik-topik terbaru.
Kali ini, di semester ini, waktu luang tersedia cukup banyak. Walau tugas kuliah tetap menjadi prioritas, ada satu hal penting lainnya yang statusnya tidak kalah prioritas. Proposal penelitian.
Sederhana: tulis latar belakang dan rumusan masalah penelitian hanya sebanyak empat atau lima lembar; persiapkan diri untuk presentasi di depan dosen-dosen MAP yang bergantian hadir saat sesi seminar, serta di depan rekan-rekan; perbaiki hal-hal yang dikoreksi oleh para dosen; kumpulkan draf akhir proposal ke bagian akademik; dan tinggal menunggu nama dosen pembimbing yang menjadi pendamping penulisan tesis.
Mengatur dan memanfaatkan waktu luang untuk refreshing atau kegiatan lainnya di luar kegiatan prioritas—proposal penelitian dan tugas-tugas perkuliahan—kini harus direncanakan lebih baik dari sebelumnya. Namun demikian, bukan mahasiswa tugas belajar perantauan jarak jauh namanya kalau tidak pelesir ke sudut-sudut indah Yogyakarta dan sekitarnya, bahkan ke luar kota.
Seorang Purna Angkatan XVI dari Sumatera Utara beragenda dinas ke Yogya. Di akhir kegiatannya, beliau membawa serta tiga orang personil kontrakan jalan-jalan ke Candi Borobudur. Situs historis salah satu keajaiban dunia ini tengah dalam masa renovasi dan pemeliharaan saat kami datang. Masih terlihat pula peninggalan umat Buddha yang baru saja merayakan Waisak beberapa hari lalu. Suasana terik dan gersang tidak menyurutkan langkah para wisatawan menjelajahi kamadhatu, rupadhatu dan arupadhatu. Cahaya matahari memantul ke arca Buddha dan stupa Borobudur dari wajah mereka yang penuh peluh. Beberapa bagian batu mulai tampak rapuh, terkikis oleh alam. Dari puncak paling atas, terhampar alam Magelang yang memukau. Tak ketinggalan pula siluet Gunung Merapi yang kokoh dan membiru.
Beberapa hari kemudian, kontrakan Pandega Siwi 15B dikunjungi penghuni lama. Empat orang senior kami dari Aceh, Sumatera Utara, Jawa Barat, dan Jawa Tengah berkumpul untuk nostalgia sekaligus meliburkan diri dari rutinitas pekerjaan mereka di daerah masing-masing. Berbagai agenda pun direncanakan. Suatu malam, Himpunan Mahasiswa Nanggroe Aceh Darussalam (Himanad) UGM melaksanakan acara SEUDATI atau Seni Budaya Aceh untuk Indonesia di University Club (UC). Menurutku, ini adalah even kesenian dan kebudayaan Aceh paling inovatif yang pernah kutonton selama di Yogyakarta. Para penonton—tidak hanya para perantau dari Aceh seperti aku, juga berbagai kalangan lainnya—berdecak kagum dan tak henti bertepuk tangan saat terkesima melihat tari Ranub Lampuan, tari Saman, tari Tarek Pukat, dan kesenian Aceh lainnya yang dibawakan dengan apik oleh para artis. Penampilan pamungkas tentu saja dari bintang tamu spesial yang didatangkan langsung dari Aceh dan sudah populer namanya diantara para budayawan, sastrawan dan penggiat seni di Aceh. Ya, Sang Penutur Hikayat Agus PM Toh dan Si Penyair Fikar W. Eda.
Agus PM Toh menyedot perhatian penonton dengan mengkisahkan perantauan pemudi asal Aceh yang berpisah dengan kekasihnya untuk melanjutkan pendidikan tinggi di Yogyakarta. Namun, perempuan yang bernama Inong itu mengkhianati janji setia pada kekasihnya, lalu berpaling pada seorang mahasiswa yang berasal dari Papua. Sang kekasih yang ditinggal di Aceh pun merana dalam duka, hendak mengakhiri hidup agar terbebas dari luka nestapa. Singkat cerita, Inong dan kekasihnya disadarkan kembali akan janji setia. Mereka akhirnya bertemu kembali lalu hidup bahagia penuh cinta. Kisah yang dibawakan dengan teknik bernyanyi ala PM Toh, logat Aceh yang kental dan pembawaan yang kocak serta humoris sukses membuat penonton terpingkal-pingkal. Kami takjub akan kemampuan Sang Penutur Hikayat mengemas kisah perantauan dan asmara dengan bungkus yang amat menarik.
Pada akhir acara, Fikar W. Eda mulai membangkitkan suasana nostalgia, suasana rindu akan kampung halaman dan suasana keakraban antara penonton yang berasal dari Aceh maupun dari daerah lainnya. Musikalisasi puisi yang begitu indah. Iringan lagu Bungong Jeumpa bersama musik etnik menjadi teman bagi Sang Penyair membacakan puisi-puisinya. Aku sangat merasakan emosi yang mengalir dan aura puitis yang luar biasa dari sosok Fikar W. Eda. Bait demi bait puisi dengan warna yang khas, tata bahasa yang sangat mumpuni, intonasi yang cemerlang, dan penghayataan yang luar biasa seolah mampu menghadirkan indahnya alam Aceh, menghadirkan kecantikan gadis-gadis bermata biru dari Lamno dan berbetis putih indah berseri dari dataran Gayo dan Takengon, menghadirkan semangat juang pemuda-pemuda Aceh yang bernyali besar, serta secara imajiner membentuk persaudaraan diantara penonton. Sungguh malam itu menjadi satu pertunjukan kesenian dan kebudayaan yang amat fantastis.
Esoknya, para personil Pandega Siwi 15B dari dua periode pelesir ke Balong Water Park di Bantul. Keakraban dan suasana ceria mengalir bersama air di wahana permainan itu. Cukup bagus untuk menyegarkan pikiran dari hal-hal yang membosankan.

Surabaya

Sebulan setelahnya, kami pelesir lagi. Kali ini ke Kota Juang, Kota Pahlawan. Surabaya. Bersama Sri Tanjung dari Lempuyangan, kami tiba di Gubeng di siang hari dengan cuaca yang cukup bersahabat. Tak perlu waktu lama untuk mencari tempat penginapan yang murah dan nyaman: Sparkling Backpacker Hotel di Jalan Kayoon. Lokasinya sangat strategis dengan destinasi wisata Kota Surabaya.
Kami langsung menghabiskan waktu liburan ke tempat-tempat menarik dan punya nilai historis. Pertama, Monumen Kapal Selam di Embong Kaliasin, Genteng, Surabaya. Bayangkan, sebuah kapal selam dengan warna hijau dan hitam yang ukurannya cukup besar berada di tengah-tengah kota dan menjadi museum kapal selam Indonesia. Ditemani wanita dengan pakaian bak personil kapal selam sebagai pemandu disana, kami menjelajahi ruang demi ruang di dalam salah satu kapal Angkatan Laut Republik Indonesia yang kemudian dikenal dengan KRI Pasopati 410 tersebut.
Perjalanan menapaki jejak pahlawan dan sejarah kemudian berlanjut ke kawasan Monumen Tugu Pahlawan. Kami disambut oleh patung proklamator kemerdekaan Indonesia, Soekarno-Hatta, yang berdiri kokoh dan gagah. Di lokasi itu terdapat taman yang luas dan berdiri pula pilar-pilar bernuansa bekas peperangan yang memuat berbagai macam tulisan-tulisan heroik seperti: merdeka ataoe mati, rawe-rawe rantas malang-malang poetoeng, dan freedom forever.
Tak lengkap ke Surabaya kalau tidak berkunjung ke Mall. Apalagi kalau bukan Tunjungan Plaza, mall yang didapuk sebagai pusat perbelanjaan terbesar di Surabaya—mungkin juga di Indonesia. Sambil melepas penat, kami juga bermain bowling disana. Usai makan malam, perjalanan dilanjutkan ke Hotel Yamato atau sekarang dikenal dengan Hotel Majapahit. Saat zaman kolonial, hotel ini disebut juga dengan LMS atau Hotel Oranje. Bangunan ini menjadi saksi sejarah saat Insiden Bendera 19 September 1945, dimana para pejuang Indonesia di Surabaya merobek bendera Belanda yang berwarna biru dan kemudian menjadi bendera merah putih, bukti kemerdekaan Indonesia saat itu. Di penghujung malam, kami mencari hiburan di klub malam bernama Color. Hiburannya sangat menarik, musik jazz oleh Maliq & D’Essentials.
Esok paginya—hari terakhir di Surabaya sebelum kembali ke Yogyakarta—kami melengkapi destinasi wisata dengan berfoto ria di depan Patung Hiu dan Buaya di dekat Kebun Binatang yang menjadi simbol atau ikon kota Surabaya. Tak lupa pula menunaikan kewajiban shalat jumat di Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya. Bangunan ibadah dengan kubah hijau-biru dan halaman yang amat luas ini ini disebut-disebut sebagai masjid terluas di Indonesia. Usai rawon kami jadikan sebagai santapan siang terakhir di kota ini, siang itu Sri Tanjung pun sudah siap membawa kami pulang, kembali ke Yogyakarta.

Ramadhan

 Semester 3 selesai. Proposal penelitianku pun mendapat restu dari dosen-dosen MAP. Selanjutnya, tahap pemantapan menuju penelitian dan penulisan tesisku didampingi oleh Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, Bapak Erwan Agus Purwanto. Sungguh sebuah kehormatan dapat dibimbing oleh beliau di tengah-tengah kesibukannya mengemban amanah struktural dan rutinitas lainnya.
Penjatahan dosen pembimbing tesis bagi tiap mahasiswa dan mahasiswi MAP Bappenas Angkatan VII juga menandai “perpisahan”. Ya, mulai saat itu semua akan sibuk dengan nasib dan urusan pribadinya masing-masing, “berpisah” dari rutinitas kelas dan perkuliahan yang telah dilalui selama lebih kurang 10 bulan lamanya. Dan kurang rasanya bila tak mengabadikan potret kebersamaan itu sebagai kenangan untuk masa depan.
Di saat yang berbarengan, kebersamaan lainnya datang menggantikan waktu-waktu yang dianggap sibuk untuk urusan duniawi. Aku mengawali Ramadhan dan ibadah puasa untuk pertama kalinya di Yogyakarta, di masa perantauan pendidikan jilid kedua. Sebelum Ramadhan tiba, aku menyempatkan diri pula untuk mengikuti coaching clinic bersama Ikmal Tobing—drummer T.R.I.A.D dan Mahadewa—di Terrace CafĆ© Seturan. Para purna praja yang ada di Yogya juga menutup kegiatan akhir sebelum puasa dengan Paintball seru di Spartan Paintball Zone.
Marhaban Yaa Ramadhan. Ramadhan penuh berkah menjadi momen pelengkap mengasah kesabaran dan keistiqamahan dalam beribadah, juga dalam merampungkan penulisan proposal penelitianku hingga Bab III. Sang dosen pembimbing sangat sabar mengarahkan konteks dan fokus penelitianku ke arah yang tepat. Dalam tiga kali pertemuan, beliau sudi memberi restu bagiku untuk melanjutkan penelitian. Itu artinya aku diizinkan untuk pulang ke daerah. Sangat bersyukur melewati Ramadhan bersama keluarga tercinta dan para sahabat di Meulaboh.

Meulaboh

Cukup banyak perubahan. Kota Meulaboh mulai tertata dan bergairah. Sudah banyak muncul cafĆ© dan warung kopi baru. Ada pula sebuah gedung makanan cepat saji yang tengah didirikan, siap menampung tenaga kerja dan siap pula disambut oleh masyarakat dengan suka cita. Anehnya, kadang-kadang kehadirannya—bersama gambar seorang bapak tua—dikait-kaitkan atau dipaksakan sebagai indikator kemajuan kota. Barangkali secara logis ada hubungannya dengan investasi.
Nuansa islami menjalankan Ramadhan di Meulaboh lebih terasa. Harus diakui, godaan-godaan “lingkungan” di kota yang (pernah) didaulat sebagai kota tauhid tasawuf ini lebih minim daripada tempat perantauan studiku di kota pelajar dan juga di kota kembang. Alhasil, meluangkan lebih banyak waktu untuk beribadah dan quality time bersama keluarga merupakan pilihan yang tepat, selain kewajibanku lainnya yang berhubungan dengan penyelesaian studi: penelitian untuk penulisan tesis.
Selain kebersamaan dengan keluarga, layaknya kebersamaan dalam puasa Ramadhan dengan sahabat-sahabat di kampung halaman lainnya tentu tidak lepas dari kegiatan buka puasa bersama, sekaligus nostalgia dan bertemu kembali dengan kerabat yang pada bulan-bulan biasa sungguh jarang atau sulit bertemu dan ditemui. Merajut ukhuwah islamiyah dan silaturahmi sesama sahabat menjadi filosofi dari kegiatan ini.
Lihat saja KARSA. Organisasi alumni Wira Bangsa itu mengadakan acara buka puasa bersama dan—barangkali bisa disebut sebagai persiapan—peringatan sewindu pranata KARSA sebagai wadah informasi dan silaturahmi para alumni. Aku juga tak lupa memenuhi undangan rekan-rekan kerja saat aku bertugas di Kantor Camat Arongan Lambalek dahulu. Cukuplah gulai kambing khas Bang Ridwan dan konco-konconya yang menjadi pengobat rinduku akan kebersamaan yang terjalin selama dua setengah tahun lamanya. Sungguh besar jasa mereka terhadapku—Pak Ibnu Umar, Pak Syafruddin, Bang Andry, Pak Khalid, Bang Wahyu, Dedi, Hendra—karena telah setia membina dan membantuku melaksanakan tugas-tugas di lapangan maupun di balik meja.
Tak ketinggalan alumni kelas III/A MTsN Model Meulaboh-I pun ikut ambil bagian melangsungkan acara buka puasa bersama ini. Cukup banyak yang hadir, terutama seorang teman yang tengah menyelesaikan magisternya di Jerman. Sungguh menarik melihat perkembangan mereka di dalam pekerjaan atau karir maupun asmara. Buka puasa bersama purna praja STPDN/IPDN Aceh Barat Raya yang sudah jadi agenda rutin tahunan pun masih eksis diadakan saat itu. Para senior dan junior bersama keluarga kecil mereka ikut diboyong bersama menikmati hidangan berbuka, bersilaturahmi dan saling bertukar informasi sambil membuat beragam perencanaan. Sungguh bersyukur masih bisa diberi kesempatan berkumpul bersama teman-teman di kampung halaman.
Idul FItri kali itu terasa berbeda. Beberapa keluarga dan sanak saudara—termasuk ayahku—sempat jatuh sakit, bahkan ada yang dirawat inap di rumah sakit dan butuh penanganan serius. Alhamdulillah, Allah memberi kesembuhkan dan memulihkan kesehatan mereka kembali.
Penelitian tesisku pun berjalan lancar. Hampir tidak ada kesulitan berarti saat mengumpulkan data. Apalagi, wilayah penelitianku ini adalah wilayah tempat aku pernah bekerja dan telah mengenal banyak orang. Usai penelitian, aku masih harus mendapat job tambahan menjadi pembawa acara di Upacara Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-68 untuk Kecamatan Johan Pahlawan yang diadakan di Lapangan Teuku Umar, Meulaboh.

Yogyakarta

Aku membawa bekal yang sangat cukup untuk kembali melanjutkan perantauan studiku di Yogyakarta. Selain bekal bahan-bahan penulisan tesis, bekal masakan ibu dari rumah yang sarat dengan sambal pedas juga rendang beserta kroni-kroninya juga menjadi bekal utamaku.
September 2013 menjadi bulan ke dua belas masa studiku di MAP UGM. Rencana untuk bisa wisuda di bulan Oktober 2013 tak menjadi kenyataan, karena batas akhir untuk mendaftar menjadi peserta wisuda adalah di akhir September. Kabar baiknya, ternyata tidak ada satu pun mahasiswa dan mahasiswi MAP UGM program Beasiswa Bappenas 2012-2013 yang diizinkan oleh pihak UGM mengikuti wisuda di bulan Oktober 2013, walaupun ia telah menyelesaikan ujian tesisnya sebelum bulan wisuda itu. Terlepas dari apapun dalih dari UGM atau prosedur lain yang tidak kupahami, akhirnya kesempatan menyelesaikan studi lebih cepat terbuka lebar untuk wisuda di Januari 2014.
Sembari menunaikan kewajiban penulisan tesis serta konsultasi dengan dosen pembimbing, aku juga meluangkan waktu mengikuti berbagai seminar yang diadakan oleh beragam fakultas maupun pihak non akademik lainnya. Idul Adha tahun itu menjadi idul adha kedua bagiku selama di Yogyakarta. Sang penguasa Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono menggelar pesta pernikahan putrinya pada bulan Oktober. Kami juga berkesempatan menyaksikan Kirab Agung pasangan pengantin itu di sepanjang Jalan Malioboro.
Akhir November dipenuhi dengan hari yang menegangkan, namun menjadi hari yang membahagiakan. Dosen pembimbingku menyetujui tesisku untuk ujian di tanggal 29 November. Aku diuji oleh dosen dari Prodi Manajemen dan Kebijakan Publik serta dosen dari Fakultas Kehutanan. Alhamdulillah, berkat ikhtiar dan doa, Allah memudahkan ujian tesisku berjalan lancar.
Kelarnya kewajibanku untuk memenuhi salah satu syarat dalam rangka penyelesaian pendidikan magisterku sudah selayaknya diredakan ketegangannya. Dan salah satu passion yang kusukai dan kudalami tentang musik menjadi terpuaskan manakala Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM menghelat Economics Jazz 2013 pada 30 November dan Jazz Traffic menggelar Jazz Traffic Festival Yogyakarta 2013 pada 7 Desember.
Economics Jazz kali itu menampilkan musisi jazz Indonesia dan legenda jazz Jepang, Casiopea. Marcell dan Raisa didapuk sebagai opening artist di awal acara. Penampilan mereka diiringi band yang diisi oleh Idang Rasjidi di keyboard, Mus Mujiono di guitar dan vocal, Didiek SSS di saxophone, dan Echa Soemantri di drum. Musik jazz yang mengalun indah membuat hangat suasana dan mengakrabkan kebersamaan diantara penonton. Saat Casiopea sebagai artis utama masuk panggung, suasana pun berubah. Musik jazz khas band edisi ketiga ini menghentakkan seluruh ruangan. Tensi penonton yang sedari tadi lebih cool kemudian semakin naik dan antusias fans Casiopea semakin memuncak. Menurutku yang baru mengenal band ini, musik instrumen yang dibawakan mereka sangat apik dan punya warna tersendiri di musik jazz, walaupun bagi orang yang pertama kali mendengar dan melihat penampilan mereka menganggap musik ini cukup aneh dan agak membosankan. Namun, sebagai sebuah sajian konser musik yang menghadirkan musisi jazz dunia dan musisi jazz dalam negeri yang sudah populer di kalangan penggemar jazz, Economics Jazz ini sangat layak untuk ditonton oleh masyarakat di Yogyakarta dan umumnya para mahasiswa, karena harga tiket masuknya yang cukup terjangkau.
Kalau masalah harga tiket masuk, Jazz Traffic Festival Yogyakarta pun tidak mau kalah. Mereka hanya mematok HTM delapan puluh ribu rupiah hingga seratus ribu rupiah saja, dan menyajikan lima musisi jazz dan blues papan atas Indonesia. Sangat menyenangkan saat menyaksikan penampilan dari Kirana Big Band Yogyakarta, Kayon yang diisi oleh Indra Lesmana, Gilang Ramadhan dan Pra Budidharma, lalu si cantik Andien, kemudian ada Gugun Blues Shelter, dan penampilan terakhir dari Maliq and D’Essentials. Dengan konsep dua panggung yang berbeda, musik jazz dan blues secara bergantian menghidupkan suasana dan menciptakan sensasi tersendiri saat transisi pergantian aliran musik itu. Salut untuk Jazz Traffic.
Begitulah tesis. Selain berlembar-lembar tulisan ilmiah dan empiris di dalamnya, ia juga menjadi penyebab munculnya lembaran lainnya di masa akhir studiku. Desember menjadi akhir tahun 2013 yang manis untukku. Apalagi perbaikan tesisku selesai lebih cepat dari waktu yang direncanakan. Tinggal mengisi waktu-waktu yang tersisa untuk pergantian tahun dan menanti wisuda pascasarjana di Grha Sabha Pramana Universitas Gadjah Mada. Lalu, mengucapkan terima kasih kepada mereka—sebagai sebuah persembahan yang terukir di berlembar halaman perjalanan hidup--yang telah banyak membantu dan berdoa untuk kelancaran studiku selama satu tahun dua bulan.

Comments

Popular posts from this blog

Kebijakan Relokasi Kerusuhan terhadap Korban Pengungsi di Kabupaten Sambas Tahun 1999: Konflik Etnis antara Madura dan Melayu

Internally displaced Persons adalah sebuah istilah bagi para kelompok masyarakat yang pindah dari tempat tinggalnya dan menetap di daerah lain untuk menetap sementara waktu atau hal ini dikenal dengan istilah pengungsi. Sambas adalah sebuah Kabupaten yang terletak di bagian pesisir yang di tempati oleh berbagai suku etnis misalnya suku bugis, madura, jawa batak dll, namun Kabupaten Sambas mayoritas ditempati oleh Melayu, Dayak dan Cina (Tiong Hoa). Khusus tentang konflik Sambas pada tahun 1999 yang terjadi adalah etnis Melayu Sambas dengan suku Madura (yang bertempat tinggal di Sambas) yang menewaskan ratusan jiwa dan hancurnya ratusan rumah dan harta warga Madura. Rekonsiliasi Konflik

Rekrutmen dan Seleksi Pegawai Pemerintah: Sebuah Kajian dari Praktek dan Tren Modern Internasional

Pemerintah di seluruh dunia menghadapi tantangan kepegawaian yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pada saat pemerintah butuh bakat daya pikat paling trampil untuk pelayanan publik, kemampuan mereka untuk melakukannya telah begitu jarang sehingga rumit dan dibatasi oleh ekonomi, sosial dan tekanan organisasi. Artikel ini memberikan gambaran jenis inisiatif rekrutmen dan seleksi di tempat di banyak negara yang dapat membantu pemerintah dunia ini menarik dan mempertahankan bakat. Bergantung pada contoh dari Amerika Serikat dan Eropa Barat, namun juga mengintegrasikan pengalaman dari berbagai negara maju dan kurang berkembang (LDCs), kami menjelaskan serangkaian perekrutan dan seleksi "praktik terbaik." Suasana Penerimaan Peserta Tes CPNS

Bintang dari Manglayang dan Nakhoda Pemerintahan: Sebuah Refleksi Ikrar Pamong yang didedikasikan untuk seluruh Purna Praja STPDN/IPDN di Indonesia

Ksatrian IPDN Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat (Rabu, 28 Agustus 2013) “ Kami Putra-putri Indonesia yang memiliki profesi sebagai Pamong, berjanji: Setia kepada Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 ; Sedia berkorban untuk kepentingan, negara/bangsa dan masyarakat ; Siap melayani dan mengabdi untuk kepentingan masyarakat dimana pun kami bertugas. Kami sadar, ikrar ini didengar oleh Tuhan dan manusia, semoga Tuhan memberikan kekuatan lahir dan batin agar kami dapat melaksanakan ikrar kami ini.” ( Ikrar Pamong ) Bintang Purna Praja kembali bertambah jumlahnya dan bersinar di langit Indonesia. Sesaat setelah pin Purna Praja berwarna kuning keemasan itu disematkan di sebelah kanan dada pakaian kebesaran, suara lantang dari Pamong Praja Muda IPDN Angkatan XX berkumandang di Ksatrian dan seantero Jatinangor. Suara keyakinan dan kesiapan putra-putri Kawah Candradimuka yang menegaskan Ikrar Pamong bagi bangsa dan negara. Saat ikrar itu d