Boleh saja berpikir canggih.
Namun, berfokus pada hal penting dan mengabaikan hal yang menarik
perhatian adalah cara untuk menjadi sederhana. Sudah menjadi tugas pemimpin
untuk menyederhanakan hal-hal rumit.
Jangan mengkerdilkan diri
sendiri, keluarga atau orang-orang terdekat kita. Jika orang lain tidak
melakukannya terhadap kita, mengapa kita justru berbuat. Padahal, Allah senantiasa
membesarkan kita dari keadaan yang kerdil (Ayahanda)
Selalu ada pola di dunia ini,
apapun itu. Bahkan saat sesuatu itu tidak berpola, polanya adalah tidak beraturan. Tetapi,
sekacau apapun polanya, kita tetap bisa menemukan hal menarik
dan menyimpulkan sesuatu (Darwis Tere Liye dalam Negeri di
Ujung Tanduk)
Semua orang besar adalah pemimpi.
Mereka melihat banyak hal dalam kabut lembut saat musim semi atau api merah
pada malam musim dingin yang panjang. Beberapa dari kita membiarkan
impian besar itu mati, tetapi yang lain justru memelihara dan melindunginya,
menjaganya untuk melalui hari-hari buruk sampai impian membawa mereka ke
sinar matahari dan cahaya yang selalu datang bagi orang-orang yang tulus
berharap bahwa impian mereak akan terwujud (Woodrow Wilson)
Chapter 10
Mulai seperti Arsenal. Rutinitas posting tulisan-tulisanku mulai seperti Arsenal. Mulai tidak
konsisten. Lalu, mengapa perumpamaannya Arsenal? Ya, kau tahu, dahulu tim
besutan Arsene Wenger ini dicap sebagai tim yang tidak konsisten. Inkonsistensi
dalam penampilan di Premier League, FA Cup, Carling Cup, atau Champions League.
Terkadang bagus, terkadang jelek. Grafiknya fluktuatif.
Namun, tidak untuk musim 2013-2014 ini. Tim London
Utara jagoanku itu mulai konsisten. Buktinya? Konsisten merebut dan
mempertahankan posisinya pada puncak klasemen liga Inggris. Konsisten pula
meningkatkan penampilan hingga performa terbaik saat bersaing dengan tim-tim
jawara di berbagai kompetisi. Mesut Ozil bisa jadi menjadi silver bullet—peluru perak—terbaik yang didatangkan ke Emirates
Stadium. Dan bocah-bocah berseragam merah dan putih itu pun menjadi kian
terpacu untuk konsisten dalam misi mengembalikan masa kejayaan The Gunners yang
telah hilang sekian lamanya.
Tidak dengan rutinitas menulisku. Lihat saja statistik
jumlah tulisannya dalam enam bulan terakhir di tahun 2013. Fluktuatif, tidak
produktif, tak konsisten. Dan di Januari 2014 ini, arsip “Tiga Belas Bulan di
Yogyakarta” baru sampai chapter 10.
Lihat, hanya satu posting dalam satu
bulan. Sangat buruk.
Bagian ini pun ditulis dan diposting tanpa ide yang
kreatif dan tujuan yang jelas. Sifatnya mendadak, karena pada chapter sebelumnya aku tidak menyisipkan
“bagian” lain dari setiap tulisanku pada cerita Merantau Jilid 2. Padahal, saat
kuluangkan waktu semester 4 untuk mengikuti seminar, workshop, atau event-event lainnya—selain
tugas utama menyelesaikan penulisan tesis—sungguh banyak bahan tulisan yang
telah masuk dalam list writing plan untuk
kuuraikan lebih luas.
Ah, aku ingat. Tesis. Dialah penyebabnya. Aku terpaksa
mengkambing-hitamkan dia. Dialah yang mengikatku, membuatku tak bisa berpaling
pada tema-tema lain. Dia mengurung alam pikiranku agar tidak bebas keluar dari
koridornya. Dan dia harus menyesali perbuatannya, membayar atas perlakuannya
terhadapku. Bayangkan, sejak dimulainya proposal penelitian, ia sudah menjadi
cikal bakal karya ilmiah yang sungguh merepotkanku. Gayanya yang deskriptif
kualitatif, memaksaku menganalisa ratusan lembar dirinya. Belum lagi temanya
yang menantang, out of the backround,
menekanku untuk mengulas lebih detail tentang kelembagaan dan forest management. Sial.
Cukup, cukup. Rasanya cukup satu paragraf saja aku menumpahkan
kekesalan padanya. Bagaimanapun, ia sudah membawaku selangkah lebih dekat
dengan gerbang kesuksesan pendidikan magister. Meluangkan waktu lebih banyak
padanya sudah menjadi suatu kewajaran bagiku. Apalagi, aku dituntut harus
menguasai lebih banyak tentang bidang lain yang aku tidak expert padanya. Adalah sebuah pemakluman bila aku tidak konsisten
untuk menggarap bahan-bahan tulisan lain yang telah kukumpulkan bersamaan
dengan waktu penulisan sang tesis. Dan tampaknya ia perlu menjelaskan tentang
kemunculan dirinya di kehidupanku dan kehidupan rekan-rekanku.
Semester 3 di kemarau pertengahan bulan April 2013.
Hanya perlu dua mata kuliah dan satu seminar proposal lagi untuk menyelesaikan
perkuliahan ini. Isu dan Kebijakan Desentralisasi serta Manajemen Strategis
Sektor Publik tampaknya bukan mata kuliah yang berat bagi kami. Tugas
presentasi kelompok dan review artikel
masih menjadi andalan para dosen agar kami tetap rajin membaca, mengikuti perkembangan
dunia, dan berdiskusi tentang topik-topik terbaru.
Kali ini, di semester ini, waktu luang tersedia cukup
banyak. Walau tugas kuliah tetap menjadi prioritas, ada satu hal penting
lainnya yang statusnya tidak kalah prioritas. Proposal penelitian.
Sederhana: tulis latar belakang dan rumusan masalah
penelitian hanya sebanyak empat atau lima lembar; persiapkan diri untuk
presentasi di depan dosen-dosen MAP yang bergantian hadir saat sesi seminar,
serta di depan rekan-rekan; perbaiki hal-hal yang dikoreksi oleh para dosen;
kumpulkan draf akhir proposal ke bagian akademik; dan tinggal menunggu nama
dosen pembimbing yang menjadi pendamping penulisan tesis.
Mengatur dan memanfaatkan waktu luang untuk refreshing atau kegiatan lainnya di luar
kegiatan prioritas—proposal penelitian dan tugas-tugas perkuliahan—kini harus
direncanakan lebih baik dari sebelumnya. Namun demikian, bukan mahasiswa tugas
belajar perantauan jarak jauh namanya kalau tidak pelesir ke sudut-sudut indah
Yogyakarta dan sekitarnya, bahkan ke luar kota.
Seorang Purna Angkatan XVI dari Sumatera Utara
beragenda dinas ke Yogya. Di akhir kegiatannya, beliau membawa serta tiga orang
personil kontrakan jalan-jalan ke Candi Borobudur. Situs historis salah satu
keajaiban dunia ini tengah dalam masa renovasi dan pemeliharaan saat kami
datang. Masih terlihat pula peninggalan umat Buddha yang baru saja merayakan
Waisak beberapa hari lalu. Suasana terik dan gersang tidak menyurutkan langkah
para wisatawan menjelajahi kamadhatu,
rupadhatu dan arupadhatu. Cahaya
matahari memantul ke arca Buddha dan stupa Borobudur dari wajah mereka yang
penuh peluh. Beberapa bagian batu mulai tampak rapuh, terkikis oleh alam. Dari
puncak paling atas, terhampar alam Magelang yang memukau. Tak ketinggalan pula
siluet Gunung Merapi yang kokoh dan membiru.
Beberapa hari kemudian, kontrakan Pandega Siwi 15B
dikunjungi penghuni lama. Empat orang senior kami dari Aceh, Sumatera Utara,
Jawa Barat, dan Jawa Tengah berkumpul untuk nostalgia sekaligus meliburkan diri
dari rutinitas pekerjaan mereka di daerah masing-masing. Berbagai agenda pun
direncanakan. Suatu malam, Himpunan Mahasiswa Nanggroe Aceh Darussalam
(Himanad) UGM melaksanakan acara SEUDATI atau Seni Budaya Aceh untuk Indonesia
di University Club (UC). Menurutku, ini adalah even kesenian dan kebudayaan
Aceh paling inovatif yang pernah kutonton selama di Yogyakarta. Para
penonton—tidak hanya para perantau dari Aceh seperti aku, juga berbagai
kalangan lainnya—berdecak kagum dan tak henti bertepuk tangan saat terkesima
melihat tari Ranub Lampuan, tari Saman, tari Tarek Pukat, dan kesenian Aceh lainnya yang dibawakan dengan apik
oleh para artis. Penampilan pamungkas tentu saja dari bintang tamu spesial yang
didatangkan langsung dari Aceh dan sudah populer namanya diantara para
budayawan, sastrawan dan penggiat seni di Aceh. Ya, Sang Penutur Hikayat Agus
PM Toh dan Si Penyair Fikar W. Eda.
Agus PM Toh menyedot perhatian penonton dengan
mengkisahkan perantauan pemudi asal Aceh yang berpisah dengan kekasihnya untuk
melanjutkan pendidikan tinggi di Yogyakarta. Namun, perempuan yang bernama
Inong itu mengkhianati janji setia pada kekasihnya, lalu berpaling pada seorang
mahasiswa yang berasal dari Papua. Sang kekasih yang ditinggal di Aceh pun
merana dalam duka, hendak mengakhiri hidup agar terbebas dari luka nestapa.
Singkat cerita, Inong dan kekasihnya disadarkan kembali akan janji setia. Mereka
akhirnya bertemu kembali lalu hidup bahagia penuh cinta. Kisah yang dibawakan
dengan teknik bernyanyi ala PM Toh,
logat Aceh yang kental dan pembawaan yang kocak serta humoris sukses membuat
penonton terpingkal-pingkal. Kami takjub akan kemampuan Sang Penutur Hikayat
mengemas kisah perantauan dan asmara dengan bungkus yang amat menarik.
Pada akhir acara, Fikar W. Eda mulai membangkitkan
suasana nostalgia, suasana rindu akan kampung halaman dan suasana keakraban
antara penonton yang berasal dari Aceh maupun dari daerah lainnya. Musikalisasi
puisi yang begitu indah. Iringan lagu Bungong
Jeumpa bersama musik etnik menjadi teman bagi Sang Penyair membacakan
puisi-puisinya. Aku sangat merasakan emosi yang mengalir dan aura puitis yang
luar biasa dari sosok Fikar W. Eda. Bait demi bait puisi dengan warna yang
khas, tata bahasa yang sangat mumpuni, intonasi yang cemerlang, dan
penghayataan yang luar biasa seolah mampu menghadirkan indahnya alam Aceh,
menghadirkan kecantikan gadis-gadis bermata biru dari Lamno dan berbetis putih
indah berseri dari dataran Gayo dan Takengon, menghadirkan semangat juang pemuda-pemuda
Aceh yang bernyali besar, serta secara imajiner membentuk persaudaraan diantara
penonton. Sungguh malam itu menjadi satu pertunjukan kesenian dan kebudayaan
yang amat fantastis.
Esoknya, para personil Pandega Siwi 15B dari dua
periode pelesir ke Balong Water Park di Bantul. Keakraban dan suasana ceria
mengalir bersama air di wahana permainan itu. Cukup bagus untuk menyegarkan
pikiran dari hal-hal yang membosankan.
Surabaya
Sebulan setelahnya, kami pelesir lagi. Kali ini ke Kota
Juang, Kota Pahlawan. Surabaya. Bersama Sri Tanjung dari Lempuyangan, kami tiba
di Gubeng di siang hari dengan cuaca yang cukup bersahabat. Tak perlu waktu
lama untuk mencari tempat penginapan yang murah dan nyaman: Sparkling
Backpacker Hotel di Jalan Kayoon. Lokasinya sangat strategis dengan destinasi
wisata Kota Surabaya.
Kami langsung menghabiskan waktu liburan ke
tempat-tempat menarik dan punya nilai historis. Pertama, Monumen Kapal Selam di
Embong Kaliasin, Genteng, Surabaya. Bayangkan, sebuah kapal selam dengan warna
hijau dan hitam yang ukurannya cukup besar berada di tengah-tengah kota dan
menjadi museum kapal selam Indonesia. Ditemani wanita dengan pakaian bak
personil kapal selam sebagai pemandu disana, kami menjelajahi ruang demi ruang
di dalam salah satu kapal Angkatan Laut Republik Indonesia yang kemudian
dikenal dengan KRI Pasopati 410 tersebut.
Perjalanan menapaki jejak pahlawan dan sejarah kemudian
berlanjut ke kawasan Monumen Tugu Pahlawan. Kami disambut oleh patung
proklamator kemerdekaan Indonesia, Soekarno-Hatta, yang berdiri kokoh dan
gagah. Di lokasi itu terdapat taman yang luas dan berdiri pula pilar-pilar
bernuansa bekas peperangan yang memuat berbagai macam tulisan-tulisan heroik
seperti: merdeka ataoe mati, rawe-rawe
rantas malang-malang poetoeng, dan freedom
forever.
Tak lengkap ke Surabaya kalau tidak berkunjung ke Mall. Apalagi kalau bukan Tunjungan
Plaza, mall yang didapuk sebagai
pusat perbelanjaan terbesar di Surabaya—mungkin juga di Indonesia. Sambil
melepas penat, kami juga bermain bowling disana.
Usai makan malam, perjalanan dilanjutkan ke Hotel Yamato atau sekarang dikenal
dengan Hotel Majapahit. Saat zaman kolonial, hotel ini disebut juga dengan LMS
atau Hotel Oranje. Bangunan ini menjadi saksi sejarah saat Insiden Bendera 19
September 1945, dimana para pejuang Indonesia di Surabaya merobek bendera
Belanda yang berwarna biru dan kemudian menjadi bendera merah putih, bukti
kemerdekaan Indonesia saat itu. Di penghujung malam, kami mencari hiburan di
klub malam bernama Color. Hiburannya
sangat menarik, musik jazz oleh Maliq
& D’Essentials.
Esok paginya—hari terakhir di Surabaya sebelum kembali
ke Yogyakarta—kami melengkapi destinasi wisata dengan berfoto ria di depan
Patung Hiu dan Buaya di dekat Kebun Binatang yang menjadi simbol atau ikon kota Surabaya. Tak lupa pula
menunaikan kewajiban shalat jumat di Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya.
Bangunan ibadah dengan kubah hijau-biru dan halaman yang amat luas ini ini
disebut-disebut sebagai masjid terluas di Indonesia. Usai rawon kami jadikan
sebagai santapan siang terakhir di kota ini, siang itu Sri Tanjung pun sudah
siap membawa kami pulang, kembali ke Yogyakarta.
Ramadhan
Semester 3 selesai. Proposal penelitianku pun mendapat restu dari
dosen-dosen MAP. Selanjutnya, tahap pemantapan menuju penelitian dan penulisan
tesisku didampingi oleh Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, Bapak Erwan
Agus Purwanto. Sungguh sebuah kehormatan dapat dibimbing oleh beliau di
tengah-tengah kesibukannya mengemban amanah struktural dan rutinitas lainnya.
Penjatahan dosen pembimbing tesis bagi tiap mahasiswa
dan mahasiswi MAP Bappenas Angkatan VII juga menandai “perpisahan”. Ya, mulai
saat itu semua akan sibuk dengan nasib dan urusan pribadinya masing-masing,
“berpisah” dari rutinitas kelas dan perkuliahan yang telah dilalui selama lebih
kurang 10 bulan lamanya. Dan kurang rasanya bila tak mengabadikan potret
kebersamaan itu sebagai kenangan untuk masa depan.
Di saat yang berbarengan, kebersamaan lainnya datang
menggantikan waktu-waktu yang dianggap sibuk untuk urusan duniawi. Aku
mengawali Ramadhan dan ibadah puasa untuk pertama kalinya di Yogyakarta, di
masa perantauan pendidikan jilid kedua. Sebelum Ramadhan tiba, aku menyempatkan
diri pula untuk mengikuti coaching clinic
bersama Ikmal Tobing—drummer T.R.I.A.D dan Mahadewa—di Terrace CafĆ© Seturan. Para purna praja yang ada di Yogya juga
menutup kegiatan akhir sebelum puasa dengan Paintball
seru di Spartan Paintball Zone.
Marhaban Yaa Ramadhan. Ramadhan penuh berkah menjadi
momen pelengkap mengasah kesabaran dan keistiqamahan dalam beribadah, juga
dalam merampungkan penulisan proposal penelitianku hingga Bab III. Sang dosen
pembimbing sangat sabar mengarahkan konteks dan fokus penelitianku ke arah yang
tepat. Dalam tiga kali pertemuan, beliau sudi memberi restu bagiku untuk
melanjutkan penelitian. Itu artinya aku diizinkan untuk pulang ke daerah.
Sangat bersyukur melewati Ramadhan bersama keluarga tercinta dan para sahabat di
Meulaboh.
Meulaboh
Cukup banyak perubahan. Kota Meulaboh mulai tertata dan
bergairah. Sudah banyak muncul cafƩ dan
warung kopi baru. Ada pula sebuah gedung makanan cepat saji yang tengah
didirikan, siap menampung tenaga kerja dan siap pula disambut oleh masyarakat
dengan suka cita. Anehnya, kadang-kadang kehadirannya—bersama gambar seorang
bapak tua—dikait-kaitkan atau dipaksakan sebagai indikator kemajuan kota. Barangkali
secara logis ada hubungannya dengan investasi.
Nuansa islami menjalankan Ramadhan di Meulaboh lebih
terasa. Harus diakui, godaan-godaan “lingkungan” di kota yang (pernah) didaulat
sebagai kota tauhid tasawuf ini lebih minim daripada tempat perantauan studiku
di kota pelajar dan juga di kota kembang. Alhasil, meluangkan lebih banyak
waktu untuk beribadah dan quality time bersama
keluarga merupakan pilihan yang tepat, selain kewajibanku lainnya yang
berhubungan dengan penyelesaian studi: penelitian untuk penulisan tesis.
Selain kebersamaan dengan keluarga, layaknya
kebersamaan dalam puasa Ramadhan dengan sahabat-sahabat di kampung halaman
lainnya tentu tidak lepas dari kegiatan buka puasa bersama, sekaligus nostalgia
dan bertemu kembali dengan kerabat yang pada bulan-bulan biasa sungguh jarang
atau sulit bertemu dan ditemui. Merajut ukhuwah
islamiyah dan silaturahmi sesama sahabat menjadi filosofi dari kegiatan
ini.
Lihat saja KARSA. Organisasi alumni Wira Bangsa itu
mengadakan acara buka puasa bersama dan—barangkali bisa disebut sebagai
persiapan—peringatan sewindu pranata KARSA sebagai wadah informasi dan
silaturahmi para alumni. Aku juga tak lupa memenuhi undangan rekan-rekan kerja
saat aku bertugas di Kantor Camat Arongan Lambalek dahulu. Cukuplah gulai
kambing khas Bang Ridwan dan konco-konconya yang menjadi pengobat rinduku akan
kebersamaan yang terjalin selama dua setengah tahun lamanya. Sungguh besar jasa
mereka terhadapku—Pak Ibnu Umar, Pak Syafruddin, Bang Andry, Pak Khalid, Bang
Wahyu, Dedi, Hendra—karena telah setia membina dan membantuku melaksanakan
tugas-tugas di lapangan maupun di balik meja.
Tak ketinggalan alumni kelas III/A MTsN Model
Meulaboh-I pun ikut ambil bagian melangsungkan acara buka puasa bersama ini.
Cukup banyak yang hadir, terutama seorang teman yang tengah menyelesaikan magisternya
di Jerman. Sungguh menarik melihat perkembangan mereka di dalam pekerjaan atau
karir maupun asmara. Buka puasa bersama purna praja STPDN/IPDN Aceh Barat Raya
yang sudah jadi agenda rutin tahunan pun masih eksis diadakan saat itu. Para
senior dan junior bersama keluarga kecil mereka ikut diboyong bersama menikmati
hidangan berbuka, bersilaturahmi dan saling bertukar informasi sambil membuat
beragam perencanaan. Sungguh bersyukur masih bisa diberi kesempatan berkumpul
bersama teman-teman di kampung halaman.
Idul FItri kali itu terasa berbeda. Beberapa keluarga
dan sanak saudara—termasuk ayahku—sempat jatuh sakit, bahkan ada yang dirawat
inap di rumah sakit dan butuh penanganan serius. Alhamdulillah, Allah memberi
kesembuhkan dan memulihkan kesehatan mereka kembali.
Penelitian tesisku pun berjalan lancar. Hampir tidak
ada kesulitan berarti saat mengumpulkan data. Apalagi, wilayah penelitianku ini
adalah wilayah tempat aku pernah bekerja dan telah mengenal banyak orang. Usai
penelitian, aku masih harus mendapat job tambahan
menjadi pembawa acara di Upacara Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia
ke-68 untuk Kecamatan Johan Pahlawan yang diadakan di Lapangan Teuku Umar,
Meulaboh.
Yogyakarta
Aku membawa bekal yang sangat cukup untuk kembali
melanjutkan perantauan studiku di Yogyakarta. Selain bekal bahan-bahan
penulisan tesis, bekal masakan ibu dari rumah yang sarat dengan sambal pedas
juga rendang beserta kroni-kroninya juga menjadi bekal utamaku.
September 2013 menjadi bulan ke dua belas masa studiku
di MAP UGM. Rencana untuk bisa wisuda di bulan Oktober 2013 tak menjadi
kenyataan, karena batas akhir untuk mendaftar menjadi peserta wisuda adalah di
akhir September. Kabar baiknya, ternyata tidak ada satu pun mahasiswa dan
mahasiswi MAP UGM program Beasiswa Bappenas 2012-2013 yang diizinkan oleh pihak
UGM mengikuti wisuda di bulan Oktober 2013, walaupun ia telah menyelesaikan
ujian tesisnya sebelum bulan wisuda itu. Terlepas dari apapun dalih dari UGM
atau prosedur lain yang tidak kupahami, akhirnya kesempatan menyelesaikan studi
lebih cepat terbuka lebar untuk wisuda di Januari 2014.
Sembari menunaikan kewajiban penulisan tesis serta
konsultasi dengan dosen pembimbing, aku juga meluangkan waktu mengikuti
berbagai seminar yang diadakan oleh beragam fakultas maupun pihak non akademik
lainnya. Idul Adha tahun itu menjadi idul adha kedua bagiku selama di
Yogyakarta. Sang penguasa Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono menggelar pesta
pernikahan putrinya pada bulan Oktober. Kami juga berkesempatan menyaksikan
Kirab Agung pasangan pengantin itu di sepanjang Jalan Malioboro.
Akhir November dipenuhi dengan hari yang menegangkan,
namun menjadi hari yang membahagiakan. Dosen pembimbingku menyetujui tesisku
untuk ujian di tanggal 29 November. Aku diuji oleh dosen dari Prodi Manajemen
dan Kebijakan Publik serta dosen dari Fakultas Kehutanan. Alhamdulillah, berkat
ikhtiar dan doa, Allah memudahkan ujian tesisku berjalan lancar.
Kelarnya kewajibanku untuk memenuhi salah satu syarat
dalam rangka penyelesaian pendidikan magisterku sudah selayaknya diredakan
ketegangannya. Dan salah satu passion yang
kusukai dan kudalami tentang musik menjadi terpuaskan manakala Fakultas Ekonomi
dan Bisnis UGM menghelat Economics Jazz 2013 pada 30 November dan Jazz Traffic
menggelar Jazz Traffic Festival Yogyakarta 2013 pada 7 Desember.
Economics Jazz kali itu menampilkan musisi jazz Indonesia
dan legenda jazz Jepang, Casiopea. Marcell dan Raisa didapuk sebagai opening artist di awal acara. Penampilan
mereka diiringi band yang diisi oleh Idang Rasjidi di keyboard, Mus Mujiono di guitar
dan vocal, Didiek SSS di saxophone, dan Echa Soemantri di drum. Musik jazz yang mengalun indah
membuat hangat suasana dan mengakrabkan kebersamaan diantara penonton. Saat
Casiopea sebagai artis utama masuk panggung, suasana pun berubah. Musik jazz
khas band edisi ketiga ini menghentakkan seluruh ruangan. Tensi penonton yang
sedari tadi lebih cool kemudian
semakin naik dan antusias fans Casiopea semakin memuncak. Menurutku yang baru
mengenal band ini, musik instrumen yang dibawakan mereka sangat apik dan punya
warna tersendiri di musik jazz, walaupun bagi orang yang pertama kali mendengar
dan melihat penampilan mereka menganggap musik ini cukup aneh dan agak
membosankan. Namun, sebagai sebuah sajian konser musik yang menghadirkan musisi
jazz dunia dan musisi jazz dalam negeri yang sudah populer di kalangan
penggemar jazz, Economics Jazz ini sangat layak untuk ditonton oleh masyarakat
di Yogyakarta dan umumnya para mahasiswa, karena harga tiket masuknya yang
cukup terjangkau.
Kalau masalah harga tiket masuk, Jazz Traffic Festival
Yogyakarta pun tidak mau kalah. Mereka hanya mematok HTM delapan puluh ribu
rupiah hingga seratus ribu rupiah saja, dan menyajikan lima musisi jazz dan
blues papan atas Indonesia. Sangat menyenangkan saat menyaksikan penampilan
dari Kirana Big Band Yogyakarta, Kayon yang diisi oleh Indra Lesmana, Gilang
Ramadhan dan Pra Budidharma, lalu si cantik Andien, kemudian ada Gugun Blues
Shelter, dan penampilan terakhir dari Maliq and D’Essentials. Dengan konsep dua
panggung yang berbeda, musik jazz dan blues secara bergantian menghidupkan
suasana dan menciptakan sensasi tersendiri saat transisi pergantian aliran
musik itu. Salut untuk Jazz Traffic.
Begitulah tesis. Selain berlembar-lembar tulisan ilmiah dan empiris di dalamnya, ia juga menjadi penyebab munculnya lembaran lainnya di masa akhir studiku. Desember menjadi akhir tahun 2013 yang manis untukku.
Apalagi perbaikan tesisku selesai lebih cepat dari waktu yang direncanakan.
Tinggal mengisi waktu-waktu yang tersisa untuk pergantian tahun dan menanti
wisuda pascasarjana di Grha Sabha Pramana Universitas Gadjah Mada. Lalu,
mengucapkan terima kasih kepada mereka—sebagai sebuah persembahan yang terukir
di berlembar halaman perjalanan hidup--yang telah banyak membantu dan berdoa
untuk kelancaran studiku selama satu tahun dua bulan.
Comments
Post a Comment