Skip to main content

Merantau Jilid 2: Tak mau kurang, selamanya

“...Another aeroplane, another sunny place. I’m lucky, I know.
But I wanna go home. I’ve got to go home. Let me go home.
I’m just too far from where you are. I wanna come home...” (Home: Michael Buble)

Chapter 6

Pelukan hangat Ayahanda. Sambutan pertama masa liburan semester satu magisterku yang kudekap erat di antara dinginnya malam. Kami bertemu di jalan—lorong Abuid. Saat itu, dengan teluk belanga hijau berbalutkan kain sarung hitam beliau melangkah keluar rumah menuju meunasah Drien Rampak. Begitu selesai azan Isya, salam dan peluk jadi awal pengantar kerinduan kami berdua. Lalu, Ayah kembali menerobos gelap.
Oktober dua ribu dua belas, usia Ayah sudah kepala enam. Entah mengapa, sosoknya selalu menginspirasi sepanjang masa. Tegas dan penuh kasih sayang. Prinsip yang teguh dan penuh pertimbangan. Kuat dan tegar, namun kegalauannya senantiasa terasa walau tak terucap. Pria koleris, tetapi juga melankolis.
Sudah tak terhitung aku direpresentasikan oleh orang-orang sebagai Ayah. Punya kemiripan dari segi fisik. Punya profesi yang sama. Punya bakat turunan yang sedikit banyak sama. Bangga bisa diidentifikasikan seperti itu. Sejujurnya, aku jauh dari apa yang diilustrasikan. Tapi, sekali lagi, Ayah memang inspirator terhebat dalam hidupku.
Aku sendiri belum bisa menginspirasi adik-adikku. Entahlah. Menurutku, aku belum mampu menjadi saudara tertua yang teladan buat mereka. Setidaknya, usahaku belum maksimal. Barangkali, mereka pun berpikiran sama denganku.
Tenagaku besar, usiaku muda, waktu luangku banyak.
Tapi, tenaga yang kusalurkan untuk membantu pekerjaan keluarga di rumah masih belum maksimal. Tapi, usia ini masih berkeliaran di tengah ketidakstabilan. Tapi, waktu luang tidak kumanfaatkan untuk ibadah intensif dan kehidupan sosial yang komprehensif.
Justru Ayah yang tengah sakit masih terus berjibaku dengan urusan-urusan rumahan. Justru Ayah yang semakin sepuh tetap konsisten menjadi pemimpin keluarga yang sangat handal. Justru Ayah yang seharusnya lebih banyak beristirahat karena telah purna tugas, malah semakin bersemangat menjadi imam di meunasah dan getol mencari kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan di luar sana.
Bersama Ayah

Itulah Ayah. Dan Masakannya malam itu membuat hidup lebih hidup. Ayam goreng balado dengan sayur singkong santan disajikan adik putriku. Rambutnya semakin terurai panjang. Tubuhnya pun semakin tinggi. Aku masih ingat, ketika hari terakhir sebelum berangkat ke Yogya, si putri membersihkan wajahku dengan bahan-bahan yang ia punya. Biar abang lebih bersih, katanya.
Kebetulan, hanya ada ketiga adikku saja di rumah malam itu. Senang melihat mereka tetap sehat dan kompak.
Segelas teh panas. Minuman andalan keluarga. Di luar, hujan mulai turun. Rasanya, masih belum lengkap jika duduk di meja makan tanpa Ayah dan Ibu. Mumpung perutku tidak bisa diajak kompromi, dengan segera kunikmati sajian si putri. Ia pun bercerita tentang rencananya untuk tampil di sebuah acara kesenian dan berharap aku datang menonton penampilannya.
Si putri sudah demikian beranjak dewasa. Seingatku, aku belum pernah sekalipun melihat ia tampil lincah menari di atas panggung. Di rumah, ia sibuk belajar Korean modern dance—tentu sambil menghafal lagu-lagu boys and girls band yang ia suka. Atau, ia mulai keranjingan mengupas soal-soal latihan matematika yang dulu menjadi momok baginya jika mendapat pekerjaan rumah.

Ia semakin berubah. Semakin cantik. Semakin perhatian dengan keluarga. Semakin rajin di dapur. Telur dadar buatannya tidak kalah enak dibanding buatan Ayah. Ia juga suka menginovasi mie rebus dengan berbagai variasi. Aku sudah bisa mempercayainya jadi satu-satunya putri di keluarga kami yang memberi ketenangan, kelembutan dan kasih sayang.
Adiknya—seperti biasa—tetap cuek denganku. Namun, ia penasaran dengan kardus besar yang ia jinjing dari tanganku. Sebatang lidi. Itu istilahnya untuk menyebut oleh-oleh yang dibawa oleh anggota keluarga setiap pulang dari perjalanan yang jauh.
Si bungsu yang namanya sama dengan seorang pesebakbola profesional Prancis dan manchester biru itu dengan semangat membuka selotip yang membalut kardus. Tidak banyak, namun cukup membuat mereka bahagia. Beberapa celana dan rok batik dari Malioboro, sejumlah kue bakpia pathuk, serta kaos-kaos khas Dagadu.
Kudengar dari ayah dan ibu, “cinta monyet” si bungsu dan seorang teman wanita sekelasnya semenjak sekolah dasar dulu baru saja berakhir. Lucu, dan topik itu sering menjadi gurauan keluarga yang ampuh untuk menggodanya. Apalagi, akhir Desember ini ia berencana untuk menyaksikan penampilan pujaan hatinya itu menari di sebuah acara hiburan kabupaten. Kebetulan “mantan pacarnya” itu satu grup menari dengan adik perempuanku.

Sementara, adikku yang pertama menemaniku makan malam. Ah, sudah lebih dari satu tahun ia belum mendapat pekerjaan tetap. Usaha-usahanya mengikuti tes masuk kerja ini dan itu belum juga membuahkan hasil. Sebagai saudara tertua, aku turut prihatin. Ya, gelar sarjana hukumnya tak kunjung termanifestasikan untuk menyokong kemandiriannya. Pun demikian untuk menyokong ekonomi keluarga.
Setidaknya, kami menaruh harapan besar padanya. Semua percaya ia mampu bekerja—suatu saat nanti—di tempat yang benar-benar ia inginkan. Sayang, kebiasaannya bangun kesiangan di rumah terkadang menyitir perasaan kecewa. Namun, untuk urusan Sang Nyonya Besar dan kehidupan sosialnya ia menjadi orang yang paling cakap.
Wajar saja ia kerap telat bangun pagi, karena hampir setiap malam ia habiskan bersama teman-temannya di warung kopi. Terkadang, malam-malam tertentu seragam stripes putih dan hitam sudah steady ia kenakan dari pagi hingga pagi lagi. Apalagi kalau bukan kecintaanya yang besar sebagai Juventini sejati.

DI luar, hujan mulai berubah gerimis. Ibuku tiba saat aku membuka sekotak bakpia. Wajahnya menggurat lelah, tapi ia langsung tersenyum. Peluk dan cium. Kupasrahkan rindu pada tubuh yang telah melahirkanku. Kupaksa untuk menyembunyikan mataku yang mulai mengembun. Mulai melankolis, tapi sungguh nikmat.
Kawan. Kau mengerti, bukan?! Tak bisa dibayangkan jika rasa cinta dan sayang dihapus dari hati dan pikiran, walau kita sedemikian kuat dan mandiri. Apa jadinya bila Allah menutup peduli dan rindu dari kita pada ayah dan ibu. Sekilas, aku ingat sebuah kisah melankolisku bersama ibu empat tahun silam.
Siang itu, ibu tiba di Jatinangor selepas selesai tugas dinas di Jakarta. Ini kali pertamanya ibu berkunjung ke tempat perantauanku. Bersama adik laki-lakinya, ibu berdiri menyambutku di depan kekokohan gerbang gading. Kemudian, aku membawa ibu berkeliling kota dan makan siang.
Kerinduan yang teramat sangat membuatku tidak rela melepas kepergian ibu. Antara tidak ikhlas, kecewa dan ingin berkorban lebih banyak. Maksudku, aku berharap ibu bersedia menginap semalam di Cileunyi agar pulang besok paginya. Aku tak tega membiarkan tubuh ibu lelah karena perjalanan yang penat dan panjang. Namun, sebuah bus yang standby di mulut tol Cileunyi merebut ibu dan adik laki-lakinya dariku. Seketika lidahku kelu. Aku bahkan tidak mampu berucap terima kasih dan berbasa-basi agar ibu dan adik laki-lakinya hati-hati di perjalanan.
Bus sialan langsung hilang dari hadapan. Aku masih sempat saksikan mataku yang mengembun dari pantulan jendela bus, sekilas. Sungguh tidak gagah untuk mengharu biru di pinggir jalan seperti ini. Sembari kembali ke Ksatrian, aku memutar otak untuk mencari cara berkomunikasi lewat telefon dengan ibu. Apalagi kalau bukan mengatakan apa yang harus kuucapkan sebagai anaknya yang telah ia kunjungi.
Aku mengerti bahwa ibu harus segera pulang karena tuntutan pekerjaan. Segera kutelefon ibu untuk berterima kasih dan berhati-hati di jalan. Tapi, kawan, kerinduan dan melankolis itu membuatku berkata-kata yang lain. Aku justru mengungkapkan kekesalan dan kekecewaanku pada ibu yang tidak memenuhi harapanku. Aku memaki-maki diriku karena bodoh dan tidak sanggup memaksa ibu untuk tinggal satu malam saja. Yang lebih bodohnya, semua kalimatku yang bernada tidak ikhlas bercampur rindu itu dibanjiri tangis yang tolol.
Di ujung suara—di dalam bus sialan itu—ibu pun tak sanggup bicara. Suaranya tercekat, seolah juga ingin segera kembali padaku. Sedu sedannya terdengar tipis-tipis diurai angin malam. Sementara aku terlambat menyadari lemahnya diriku saat itu. Aku langsung terlihat bodoh, malu dan tidak tangguh. Aku membiarkan embun yang sangkut di bola mataku mengalir deras. Air mata emosional. Sialan.

Walau tak terungkap, aku yakin ibu paham apa yang kurasakan. Dalam hati, saat itu cintaku pada ibu semakin menjadi-jadi. Aku bersyukur rasa sayang dan cinta itu masih tetap ada. Aku bahagia Allah tidak menutup peduli dan rinduku pada ibu. Ibu, aku mencintaimu seperti laut mencintai airnya. Tak mau kurang, selamanya.
Lengkap sudah. Berkumpul kembali di Meulaboh bersama keluarga dan sahabat-sahabat selalu menuai cerita berharga. Harganya adalah bahagia.

Berbicara tentang bahagia, Desember kemarin menjadi bulan yang membahagiakan untuk dua orang sahabatku. Sahabatku saat SMA sukses melantangkan ijab kabul untuk memperistri pujaan hatinya yang telah berpacaran dengannya semenjak sekolah. Sementara, sahabatku saat kuliah juga telah mendapat pendamping hidupnya. Secara kebetulan, keduanya menggelar pesta pada hari yang sama dan mengundang kami hadir. Barakallahu lakuma wa barakalaikuma wa jama’a baina kuma fii khair.

Alhamdulillah untuk dua alasan tertentu, aku juga punya kebahagiaan sendiri. Pertama, aku pulang di musim yang sangat tepat. Maksudnya, aku tidak melewatkan musim durian yang tengah subur-suburnya membanjiri kota kecil kami. Rasanya, hampir tiada hari bahagia tanpa durian.

Kedua, aku bahagia karena jalan provinsi Meulaboh-Banda Aceh selesai diaspal. Berikut jembatan Lhok Bubon yang meliuk bak ular Anaconda juga telah berdiri kokoh, menunggu peresmian oleh Big Boss. Tentu masih lekat di kenanganku ketika perjalanan ke tempat kerja yang kulalui di jalan itu dahulu. Bertarung dengan debu dari jalan yang berkerikil, kadang juga berlumpur. Bahkan, sebelum ada jembatan aku harus merogoh tiga lembar seribuan sebagai ongkos menyeberangi muara Lhok Bubon dengan rakit buatan warga desa setempat. Kini, aku bisa bahagia dan bangga. Aku jamin, engkau akan takjub dengan view samudera hindia dan alam desa yang kembali asri yang tersaji dari atas jembatan itu.

Ohya, jika kau singgah di sekitar daerah itu, jangan lupa nikmati sejenak mie kepiting Suak Timah, atau mie kerang Suak Geudebang, dan pastinya kelapa muda plus sirup merah yang segar. Tunggu, tunggu. Pilihan minum kopi tubruk terbalik juga seru. Tertarik?

Di akhir liburan, aku menunaikan janjiku menonton si Putri menari dalam pagelaran kesenian Aceh Barat sekaligus peresmian Dewan Kesenian Aceh Barat. Luangnya waktu liburku lebih banyak kuhabiskan bersama keluarga. Setelah ini, aku kembali merindukan momen-momen itu lagi. Meulaboh, keluarga dan sahabat menitipkan harapan besar.

Akhirnya, udara bawaku kembali. Tubuh rebah lagi di Pandega Siwi.

Comments

Popular posts from this blog

Kebijakan Relokasi Kerusuhan terhadap Korban Pengungsi di Kabupaten Sambas Tahun 1999: Konflik Etnis antara Madura dan Melayu

Internally displaced Persons adalah sebuah istilah bagi para kelompok masyarakat yang pindah dari tempat tinggalnya dan menetap di daerah lain untuk menetap sementara waktu atau hal ini dikenal dengan istilah pengungsi. Sambas adalah sebuah Kabupaten yang terletak di bagian pesisir yang di tempati oleh berbagai suku etnis misalnya suku bugis, madura, jawa batak dll, namun Kabupaten Sambas mayoritas ditempati oleh Melayu, Dayak dan Cina (Tiong Hoa). Khusus tentang konflik Sambas pada tahun 1999 yang terjadi adalah etnis Melayu Sambas dengan suku Madura (yang bertempat tinggal di Sambas) yang menewaskan ratusan jiwa dan hancurnya ratusan rumah dan harta warga Madura. Rekonsiliasi Konflik

Rekrutmen dan Seleksi Pegawai Pemerintah: Sebuah Kajian dari Praktek dan Tren Modern Internasional

Pemerintah di seluruh dunia menghadapi tantangan kepegawaian yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pada saat pemerintah butuh bakat daya pikat paling trampil untuk pelayanan publik, kemampuan mereka untuk melakukannya telah begitu jarang sehingga rumit dan dibatasi oleh ekonomi, sosial dan tekanan organisasi. Artikel ini memberikan gambaran jenis inisiatif rekrutmen dan seleksi di tempat di banyak negara yang dapat membantu pemerintah dunia ini menarik dan mempertahankan bakat. Bergantung pada contoh dari Amerika Serikat dan Eropa Barat, namun juga mengintegrasikan pengalaman dari berbagai negara maju dan kurang berkembang (LDCs), kami menjelaskan serangkaian perekrutan dan seleksi "praktik terbaik." Suasana Penerimaan Peserta Tes CPNS

Bintang dari Manglayang dan Nakhoda Pemerintahan: Sebuah Refleksi Ikrar Pamong yang didedikasikan untuk seluruh Purna Praja STPDN/IPDN di Indonesia

Ksatrian IPDN Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat (Rabu, 28 Agustus 2013) “ Kami Putra-putri Indonesia yang memiliki profesi sebagai Pamong, berjanji: Setia kepada Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 ; Sedia berkorban untuk kepentingan, negara/bangsa dan masyarakat ; Siap melayani dan mengabdi untuk kepentingan masyarakat dimana pun kami bertugas. Kami sadar, ikrar ini didengar oleh Tuhan dan manusia, semoga Tuhan memberikan kekuatan lahir dan batin agar kami dapat melaksanakan ikrar kami ini.” ( Ikrar Pamong ) Bintang Purna Praja kembali bertambah jumlahnya dan bersinar di langit Indonesia. Sesaat setelah pin Purna Praja berwarna kuning keemasan itu disematkan di sebelah kanan dada pakaian kebesaran, suara lantang dari Pamong Praja Muda IPDN Angkatan XX berkumandang di Ksatrian dan seantero Jatinangor. Suara keyakinan dan kesiapan putra-putri Kawah Candradimuka yang menegaskan Ikrar Pamong bagi bangsa dan negara. Saat ikrar itu d