Pendahuluan
Semenjak
diberlakukannya otonomi khusus bagi Aceh yang telah bergejolak oleh isu
disintegrasi karena konflik, pembiayaan pembangunan di negeri Serambi Mekkah
tersebut dibantu oleh dukungan dana besar dari APBN untuk kemudian ditempatkan sebagai
salah satu sumber penerimaan dan sumber pembiayaan Pemerintah Aceh bagi
program/kegiatan pembangunan yang telah diprioritaskan sesuai peraturan
perundang-undangan.
Alokasi dana
desentralisasi fiskal yang kemudian disebut dengan dana otonomi khusus bagi
Aceh tersebut merupakan salah satu bagian dari prinsip desentralisasi
asimetrik, karena sifatnya dapat mengakomodasikan tuntutan dan identitas lokal
ke dalam suatu sistem pemerintahan lokal yang khas[1].
Berdasarkan sifat tersebut, maka tranfser dana otonomi khusus di Aceh kemudian
dibatasi dalam jangka waktu 20 tahun sehingga dituntut peran pemerintah daerah
agar dapat menggunakan dana tersebut secara efektif dan efisien pada
pelaksanaan otonomi khusus yang lebih diutamakan pada setiap perencanaan pembangunan
setiap tahunnya.
Konsekuensi dari waktu
transfer yang terbatas dan tuntutan penyerapan dana secara baik tersebut
mengharuskan anggaran Aceh semenjak tahun 2008 hingga saat ini didominasi oleh
transfer dana otsus yang besar dibandingkan dengan porsi sumber penerimaan dan
pembiayaan daerah lainnya. Alokasi limpahan dana dalam anggaran yang dikelola
secara sentralistik oleh Pemerintah Provinsi Aceh tersebut apabila terserap
dengan maksimal dan optimal, tentu dapat membantu tercapainya tujuan pemenuhan
kebutuhan masyarakat. Apalagi program prioritas pembangunan yang dibiayai oleh
dana otsus sebagian besar merupakan kebutuhan masyarakat yang mendasar, seperti
pendidikan, kesehatan dan fasilitas publik. Namun, apabila Aceh tidak dapat
menggunakannya secara efektif dan efisien, maka desentralisasi fiskal asimestrik
tersebut berpotensi menimbulkan indikasi keuntungan pihak tertentu saja.
Alih-alih untuk mempercepat pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan,
kegagalan meredistribusikan dana otsus akan membentuk opini publik secara
nasional tentang Aceh yang terindikasi korup, diskriminatif, boros, atau tidak
akuntabel.
Paper ini akan membahas
dan menganalisa sumber pembiayaan pembangunan di Aceh dengan dana otsus
berdasarkan kaidah teoritis dan praktis tentang Pembiayaan Pembangunan. Ada 3
(tiga) hal yang penting untuk dikaji. Pertama,
pengertian dan kedudukan dana otonomi khusus dalam konsep desentralisasi
fiskal. Kedua, gambaran pelaksanaan
pembiayaan pembangunan dengan dana otsus. Ketiga,
upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah Aceh untuk peningkatan sumber pembiayaan
pembangunan setelah transfer dana otsus berakhir.
Dana Otonomi Khusus
Aceh: Desentralisasi Fiskal Asimetrik
Sebelum membahas lebih
jauh tentang dana otonomi khusus Aceh, terlebih dahulu dipaparkan mengenai
konsep desentralisasi fiskal di Indonesia. Menurut Prawoto (2011: 365)
dijelaskan bahwa dalam konteks desentralisasi fiskal, transfer dana dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan hal yang tidak dapat
dihindari yang dilaksanakan sesuai dengan prinsip money follow function.
Prinsip money follow function yang dimaksud
menurut Djaenuri (2012: 50) dimaknai dalam arti kepada daerah diberikan
seperangkat kewenangan terlebih dahulu, kemudian diberikan sumber-sumber
keuangannya. Dalam era otonomi daerah, UU No. 22 Tahun 1999 menyelaraskan
prinsip tersebut melalui pemahaman bahwa dengan kewenangan seluas-luasnya bagi
daerah atas dasar desentralisasi, maka daerah akan menggunakannya untuk
menggali sumber dana keuangan yang sebesar-besarnya sepanjang bersifat legal dan
diterima oleh segenanp lapisan masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, UU No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memaknai bahwa pendanaan
penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah sumber dananya berasal dari
pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah, dan lain-lain
pendapatan yang sah.
Secara teoritis, dasar
desentralisasi fiskal sebagai perwujudan dari redistribusi pendapatan
pemerintah itu dikemukakan oleh Buchanan dalam Prawoto (2011: 366) yang
menjelaskan bahwa mekanisme pasar seringkali menghadapi sifat optimal individu
sebagai free rider pada barang publik,
sehingga pemerintah perlu menyediakan barang yang bersifat non excludable dan non
rivalry tersebut melalu persaingan antardaerah sehingga kesejahteraan
masyarakat tercapai.
Sebagaimana telah
dikemukakan pada bagian pendahuluan tentang desentralisasi asimetrik[2],
maka apabila ditinjau berdasarkan perjalanan sejarah dana otonomi khusus
tersebut bermula dari UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah
Istimewa Aceh menjadi Nanggroe Aceh Darussalam sehingga pemberian kewenangan
khusus kepada Aceh lebih bersifat historis dan sesuai dengan kondisi budaya
masyarakat Aceh. Perubahan kedudukan sumber pembiayaan pembangunan di Aceh
mulai terlihat dari kekhususan pada bagian-bagian tertentu. Contohnya: pajak
penghasilan orang pribumi sebesar 20 % dialokasikan kepada Provinsi NAD,
persentase dari dana bagi hasil minyak bumi naik dari 15 % menjadi 70 %,
persentase dari dana bagi hasil gas alam naik dari 30 % menjadi 70 %, sebesar
30 % dari dana bagi hasil migas dialokasikan untuk keperluan pendidikan,
keuntungan BUMN di Provinsi NAD digunakan untuk peningkatan kesejahteraan
masyarakat, dan penyertaan modal pemerintah provinsi pada BUMN yang hanya
beroperasi dan berdomisili di Provinsi NAD.
Konsekuensi dari
desentralisasi asimetrik tersebut semakin nyata ketika nota kesepahaman
perdamaian antara Pemerintah RI dan pihak GAM pada tahun 2005 terwujud,
sehingga konflik dan ancaman disintegrasi dapat diatasi. Upaya perdamaian
tersebut juga dibarengi dengan upaya membangun kembali Aceh setelah bencana
gempa dan tsunami pada tahun 2004. Dalam
nota kesepahaman yang kemudian dikenal dengan sebutan MoU Helsinki tersebut,
kewenangan pengelolaan sumber-sumber pembiayaan pembangunan di Aceh semakin
dipertegas walaupun tidak begitu banyak perbedaan yang mencolok dari UU No. 18
Tahun 2001.
Setahun kemudian,
kewenangan yang dirumuskan melalui undang-undang otonomi khusus dan nota
kesepahaman perdamaian melahirkan UU No, 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh. Dalam produk hukum inilah kemudian dana otonomi khusus dikategorikan
sebagai salah satu sumber pendapatan Aceh yang digunakan untuk membiayai
pembangunan. Secara rinci, Pasal 183 undang-undang tersebut menjelaskan
kedudukan dana otsus yang memuat poin-poin penting berkenaan dengan sumber
pembiayaan pembangunan di Aceh, diantaranya adalah:
1.
Dana
Otonomi Khusus merupakan penerimaan Pemeritah Aceh yang ditujukan untuk
membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur,
pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan
pendidikan, sosial dan kesehatan.
2.
Dana
Otonomi Khusus berlaku untuk jangka 20 (dua puluh) tahun, dengan rincian untuk
tahun pertama sampai dengan tahun kelima belas yang besarnya setara dengan 2%
(dua persen) plafon Dana Alokasi Umum Nasionan dan untuk tahun keenam belas
sampai dengan tahun kedua puluh yang besarnya setara dengan 1% (satu persen)
plafon Dana Alokasi Umum Nasional.
3.
Program
pembangunan yang dimaksud dituangkan dalam program pembangunan provinsi dan
kabupaten/kota di Aceh dengan memperhatikan kemajuan pembangunan
antarkabupaten/kota untuk dijadikan dasar pemanfaatan dana otonomi khusus yang
pengelolaannya diadministrasikan pada Pemerintah Provinsi Aceh.
Mekanisme pengelolaan
dana otonomi khusus di dalam Pemerintahan Aceh diatur pula dalam Qanun Aceh No.
2 tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak
dan Gas Bumi dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus. Pada pasal 11 qanun tersebut
dijelaskan bahwa sebanyak 40% (empat puluh persen) dana otsus dialokasikan
untuk program dan kegiatan pembangunan Aceh, dalam hal ini adalah pemerintah
provinsi. Sementara 60% (enam puluh persen) sisanya dialokasikan untuk program
dan kegiatan pembangunan di kabupaten/kota. Hal ini bermakna bahwa peran dana
otonomi khusus yang dialokasikan oleh pemerintah pusat sangat besar bagi
kemajuan pembangunan di Aceh, terutama alokasi besar yang diperuntukkan bagi
pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Aceh.
Dari sudut pandang
pembiayaan pembangunan yang penulis kemudian mengistilahkan dengan
desentralisasi fiskal asimetrik bagi Aceh, pemanfaatan dana otonomi khusus
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh
karena itulah, kedudukan dana otsus dalam jangka waktu 20 tahun tersebut sangat
penting bagi pemerintah Aceh.
Pembiayaan
Pembangunan Aceh dengan Dana Otonomi Khusus
Dana otonomi khusus
telah menjadi sumber penerimaan terbesar dalam anggaran daerah yang diberikan
hak otonomi khusus di Indonesia, salah satunya adalah Aceh. Dana tersebut mulai
ditransfer oleh pemerintah pusat pada tahun 2008. Hingga kini dan tahun 2013,
jumlah dana otsus yang diterima Aceh menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke
tahun sebagaimana yang ditunjukkan oleh grafik berikut ini.
Grafik 1.
Dana Otonomi Khusus Aceh
Tahun 2008
s.d 2013
Sumber: Diolah dari Nota Keuangan dan
RAPBN 2008-2011
Dari grafik tersebut
dapat diasumsikan bahwa Aceh terus menerima dana otsus yang semakin meningkat
jumlahnya, sehingga kebutuhan Aceh untuk membiayai pembangunan prioritas
otonomi khusus dari tahun ke tahun seharusnya semakin terpenuhi. Selain itu,
dapat pula disimpulkan bahwa tren peningkatan dana otsus sejalan dengan tren
peningkatan Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional, karena perhitungan jumlah dana
otsus yang diterima Aceh selama 15 (lima belas) tahun pertama adalah sebesar 2%
dari dana alokasi umum nasional.
Peningkatan jumlah dana
otsus dari tahun ke tahun juga memberikan gambaran ketergantungan atas jumlah
dana otsus yang mendominasi sumber penerimaan/pendapatan dalam struktur
Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA). Sebelum dana otsus diberikan
kepada Aceh, sumber pembiayaan yang besar ditunjukkan oleh dana perimbangan.
Namun, ketika dana otsus menjadi sumber pendapatan dalam APBA, jumlah dana
otsus yang semakin meningkat tersebut menempati porsi terbesar dalam APBA
dibandingkan dengan sumber pendapatan lainnya seperti pendapatan asli daerah,
dana perimbangan dan lain-lain pendapatan yang sah.
Dominasi dana otsus dalam
struktur anggaran Aceh ditunjukkan lewat grafik berikut.
Grafik 2.
Persentase Perbandingan Jumlah Sumber Pendapatan
Aceh
Tahun 2003
s.d 2010
Sumber: Bappeda
Aceh, 2010 (dalam Briefing Paper Aceh Institute)[3]
Sebuah kajian yang
dilakukan oleh Ditjen Perimbangan Keuangan dapat dijadikan acuan tentang
penyebab jumlah dana perimbangan dan dana otsus yang mendominasi dalam anggaran
Pemerintah Aceh sebagaimana yang diperlihatkan pada grafik di atas. Salah satu
penyebabnya adalah ruang fiskal (fiscal
space) Aceh yang terlalu besar. Ruang fiskal merupakan suatu konsep untuk
mengukur fleksibilitas yang dimiliki pemerintah daerah dalam mengalokasikan
APBD untuk membiayai kegiatan yang menjadi prioritas daerah[4],
sehingga semakin besar ruang fiskal yang dimiliki suatu daerah maka akan
semakin besar pula fleksibilitas untuk mengalokasikan belanjanya pada
kegiatan-kegiatan prioritas seperti pembangunan infrastruktur daerah.
Berikut ini adalah
rincian data khusus Provinsi dan Kabupaten/Kota di Aceh yang diolah dari hasil
kajian Ditjen Perimbangan Keuangan terhadap APBD 2012 sebagai berikut.
1. Provinsi
Aceh memiliki ruang fiskal terendah sebesar 22,5% dari rata-rata nasional
sebesar 37,85% sehingga harus memanfaatkan ruang fiskal yang ada dengan
perencanaan belanja daerah yang tepat. (Data Ruang Fiskal Agregat Provinsi,
Kabupaten dan Kota di seluruh Indonesia)
2. Pemerintah
Provinsi Aceh mempunyai ruang fiskal terendah sebesar 17,3% dari rata-rata
pemerintah provinsi di Indonesia sebesar 57,95%, disebabkan karena kontribusi
terbesar pada pendapatan pemerintah provinsi bersumber dari dana otonomi khusus
yang sudah dibatasi penggunaannya (Data Ruang Fiskal Pemerintah Provinsi)
3. Provinsi
Aceh menunjukkan rata-rata pertumbuhan PAD (pendapatan asli daerah) terendah
yaitu sebesar 5%, sangat rendah bila dibandingkan dengan provinsi lainnya di
Indonesia sejak tahun 2009 hingga 2012. (Data Rata-rata Pertumbuhan Pendapatan
Daerah per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota di seluruh Indonesia)
4. Provinsi
Aceh memperlihatkan total rata-rata pertumbuhan belanja daerah terendah selama
tahun 2009 hingga 2012 yaitu sebesar 4,2%, dengan rincian belanja pegawai
sebesar 10,7%, belanja barang dan jasa sebesar 24,6%, serta belanja modal yang
cenderung turun hingga -25%. (Data Rata-rata Belanja Daerah per Agregat
Provinsi, Kabupaten dan Kota di seluruh Indonesia)
Dari hasil kajian
tersebut, penulis menyimpulkan bahwa keadaan ruang fiskal pada anggaran
Provinsi Aceh menyebabkan dana otsus menjadi tumpuan sumber pembiayaan
pembangunan prioritas otonomi khusus di seluruh wilayah Aceh. Asumsinya, jumlah
dana yang besar tersebut harus diimbangi dengan realisasi pembangunan yang
maksimal dan optimal sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga dana otsus
dapat terserap dengan baik.
Berikut ini adalah
perbandingan realisasi penggunaan sumber penerimaan dan pembiayaan pembangunan
di Aceh antara dana otonomi khusus dengan dana perimbangan yang terdiri dari
dana alokasi umum, dana alokasi khusus, bagi hasil pajak, dan bagi hasil bukan
pajak/sumber daya alam dalam hal ini adalah bagi hasil migas.
Tabel 1.
Perbandingan Realisasi Dana Otsus dan Dana
Perimbangan
Tahun 2007 s.d Tahun 2011 (dalam triliun rupiah)
Sumber:diolah
dari LKPJ Gubernur Aceh Tahun 2011[5]
Data tersebut
menunjukkan realisasi sumber penerimaan yang hampir mendekati 100% dari total
anggaran pada tiap tahunnya, terutama realisasi dana otsus yang sama besarnya
dengan jumlah dana yang dialokasikan oleh pemerintah. Asumsi yang terbangun
adalah pelaksanaan pembiayaan pembangunan dengan dana otsus berhasil menyerap dana
tersebut secara maksimal.
Namun, realisasi sumber
pembiayaan pembangunan dengan dana otonomi khusus tersebut tidak sesuai dengan
statistik yang ditunjukkan dari hasil program dan kegiatan pembangunan
prioritas otonomi khusus. Hal tersebut penulis padukan antara data yang telah
ditulis pada salah satu paper akademik[6]
dengan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (ILPPD) Pemerintah
Aceh Tahun 2011[7]
sebagai berikut.
Pertama,
program prioritas pendidikan dengan total pagu sebesar Rp. 1,05 milyar telah
terealisasi sebesar Rp. 990,06 milyar atau sebesar 94,18%. Amanat dari
Undang-Undang Pemerintaha Aceh adalah 20% dana APBA dan APBK termasuk dana
otonomi khusus harus dialokasikan untuk pendidikan. Namun, data BPS menunjukkan
bahwa Angka Partisipasi Kasar (APK) siswa sekolah menengah pertama mengalami
penurunan sejak tahun 2008. Rasio jumlah siswa pun menurun dari 92,16% pada
tahun 2008 menjadi 87,99% pada tahun 2010. Data dari Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP), kualitas guru dari Aceh berada pada peringkat 28 nasional,
sementara kemampuan lulusan siswa sekolah menengah atas bisa menembus perguruan
tinggi negeri berada pada peringkat 31 nasional[8] .
Ini bukan merupakan kontribusi yang sesuai dengan realisasi sumber penerimaan
dana otonomi khusus yang jumlahnya demikian besar.
Kedua,
program prioritas kesehatan dengan total pagu sebesar Rp. 832,84 milyar telah
terealisasi sebesar Rp. 798,87 milyar atau sebesar 95,92%. Program andalan
Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) dengan dana otsus juga belum mampu mengurai benang
kusut pelayanan kesehatan dengan apik. Data dari BPS pada tahun 2010
menunjukkan tingginya angka kematian bayi di Aceh sebesar 26,98 bayi dalam
seribu kelahiran daripada angka nasional sebesar 21,94 bayi dalam seribu
kelahiran. Kondisi kesehatan Aceh pada tahun 2011 berada pada urutan 31
nasional dari 33 provinsi di Indonesia. Tren baru lainnya menunjukkan
peningkatan kasus kumulatif HIV/ AIDS sebesar 112 kasus pada tahun 2011, sangat
meningkat dari 71 kasus pada tahun 2010 dan 46 kasus pada tahun 2009.
Ketiga,
program pengentasan kemiskinan yang dibarengi program ketenagakerjaan dengan
total pagu sebesar Rp. 103,71 milyar telah terealisasi sebesar Rp. 91,11 milyar
atau sebesar 87,85%. Namun, angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada tahun
2010 meningkat sebesar 8,60% yang lebih tinggi dari skala nasional sebesar
7,41%, bahkan lebih tinggi dari Papua (4,08%) dan Papua Barat (7,77%). Hal lain,
ada pula program sosial yang telah terealisasi sebesar Rp 81,77 milyar dari
total dana otsus yang dialokasikan sebesar Rp 84,85 % atau terealisasi sebesar
96,37%. Kedua program tersebut belum menunjukkan hasil yang positif terhadap
upaya pengentasan kemiskinan di Aceh, karena pada bulan Maret 2012 tingkat
kemiskinan di Aceh sebesar 19,46% melebihi rata-rata kemiskinan nasional
sebesar 12,36%. Jumlah penduduk miskin pun cenderung meningkat, dari 861 ribu
jiwa pada tahun 2010 menjadi 900 ribu jiwa pada tahun 2011. Fakta ini juga
kontradiktif dengan realisasi sumber dana otsus.
Keempat,
program pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur yang telah terealisasi
sebesar Rp. 1,64 triliun dari total dana otsus sebesar Rp 1,76 triliun atau
terealisasi sebesar 93,27 % juga menambah deret panjang kontradiksi realisasi
dan output pembangunan yang tercapai.
Beberapa contoh yang dikutip dari salah satu paper akademik[9]
penulis antara lain adalah robohnya proyek pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah
di Kabupaten Gayo Luwes pada tahun 2008, pembangunan gedung perpustakaan di
kompleks Unit Penyelenggara Teknis Sanggar Kegiatan Belajar (UPT SKB) Cot Gapu
Kabupaten Bireun yang terbengkalai pada tahun 2011, dan proyek pembangunan
jembatan yang dimulai dari bulan Oktober 2011 dan harus rampung pada bulan
Desember dengan dana otsus sebesar Rp. 6,33 milyar belum selesai.
Dari keempat contoh di
atas yang merupakan sampel dari sekian banyak contoh kontradiktif lainnya,
penulis menyimpulkan bahwa sumber pembiayaan pembangunan di Aceh melalui dana
otonomi khusus yang semakin meningkat dari tahun ke tahun dengan realisasi dana
otsus di atas kertas sebagian besar hampir mendekati 100%, belum menunjukkan
pemanfaatan dana desentralisasi fiskal asimetrik yang efektif dan efisien
sehingga beragam masalah yang melatarbelakangi hasil data dari keempat contoh
tersebut pun muncul. Hal ini menjadi pertanyaan besar bagi masyarakat Aceh dan
publik secara nasional terhadap efisiensi pengeluaran pemerintah Aceh yang
dibiayai oleh dana otonomi khusus.
Dalam konteks teori
pembiayaan pembangunan daerah, efisiensi pengeluaran pemerintah terhadap
kebutuhan masyarakat sangat diperlukan. Menurut Adisasmita (2011: 13-15),
apabila pemerintah kurang atau tidak efisien maka akan terjadi pemborosan
faktor-faktor produksi. Pemerintah juga tidak boleh terlalu berkuasa sehingga
membuat peranan swasta, individu dan/atau badan usaha semakin kecil serta tidak
tertarik untuk mengembangkan dirinya. Sebaliknya, apabila pemerintah tidak
terlalu terlibat dalam penyediaan barang publik maka dapat menimbulkan adanya
pembagian penghasilan yang tidak merata, timbulnya monopoli dan tidak ada usaha
yang sangat penting untuk melayani kepentingan umum. Akibatnya sebagaimana output yang ditunjukkan dari realisasi
anggaran dana otonomi khusus pada pembangunan Aceh. Untuk mengetahui baik
tidaknya pengeluarah pemerintah Aceh dari dana otsus, Adisasmita menambahkan
bahwa perlu menggunakan kriteria umum seperti keadilan (equity), efisiensi ekonomi (economic
efficiency), kebapakan (paternalisme),
dan kebebasan perorangan.
Alternatif Pembiayaan Pembanguan setelah Dana Otsus Berakhir
Setelah mengkaji dan
mengetahui perkembangan pelaksanaan pembiiayaan pembangunan dengan dana otonomi
khusus, maka penting bagi pemerintah untuk menemukan berbagai kriteria yang
dapat dijadikan alternatif untuk menyokong sumber penerimaan dan pembiayaan
bagi program pembangunan di masa yang akan datang. Alternatif tersebut dapat
diidentifikasikan berdasarkan fungsi pemerintah terhadap sumber-sumber
pembiayaan pembangunan.
Menurut Adisasmita
(2011: 157), secara umum ada tiga fungsi yang diemban oleh pemerintah. Pertama,
fungsi alokasi yang meliputi sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan
jasa, serta pelayanan masyarakat. Kedua, fungsi distribusi yang meliputi
pendapatan dan kekayaan masyarakat. Ketiga, fungsi stabilisasi yang meliputi
pertahanan keamanan, ekonomi dan moneter. Ketiga fungsi ini menjadi landasan
penting dalam penentuan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan Aceh,
sehingga melalui tren yang terbangun saat dana otsus mulai menjadi sumber
penerimaan bagi Aceh dalam jangka waktu 20 tahun, maka dapat diperkirakan beberapa
rekomendasi yang menjadi upaya bagi pemerintah Aceh sebagai alternatif sumber
penerimaan selain dana otonomi khusus.
Alternatif
pertama, merangsang pertumbuhan ekonomi melalui
pemberdayaan ekonomi kerakyatan yang berbasis pada sektor riil dan juga menciptakan
iklim investasi yang kondusif bagi para pelaku usaha baik domestik maupun
internasional. Dalam Rencana Kerja Pemerintah Aceh (RKPA) Tahun 2012[10]
dijelaskan bahwa, PDRB Aceh terus mengalami peningkatan yang fluktuatif karena
Aceh pernah mengalami bencana tsunami. Pada tahun 2005, PDRB Non Migas Aceh
hanya sebesar 1,22 %. Namun, selanjutnya
PDRB Aceh tumbuh sebesar 7,72% (2006), 7,02% (2007), 1,89% (2008) dan 3,92%
(2009) dimana sektor pertanian berkontribusi sebesar 33%. Aceh juga merupakan gerbang
lalu lintas perdagangan internasional yang memiliki posisi strategis di
perrairan Selat Malaka dan Teluk Benggala, sehingga potensi alam Aceh
memungkinkan para investor domestik maupun mancanegara untuk mengembangkan
usahanya. Contohnya adalah keberadaan pelabuhann bebas Sabang. Namun, selama
ini dana otsus kurang dimaksimalkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
sehingga sektor-sektor riil dan iklim investasi kurang terbangun dengan baik.
Oleh karena itu, melalui fungsi yang diemban oleh Pemerintah Aceh maka perlu
dilakukan kebijakan yang mampu menciptakan iklim perekonomian yang baik dengan
mengarahkan penggunaan dana otsus bagi sektor riil, seperti perdagangan dan
perkembangan usaha kecil menengah yang selama ini belum optimal serta kemudahan
investasi pada sektor-sektor yang potensial dan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat Aceh. Ini adalah salah satu upaya untuk menutupi kekurangan ruang
fiskal Aceh yang rendah sehingga mampu menyumbang sumber penerimaan baru ketika
dana otsus berakhir.
Alternatif
kedua, memaksimalkan dan mengoptimalkan upaya yang
mengarah pada perbaikan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terdiri dari
pajak daerha, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah dan hasil
penyertaan modal, zakat, dan lain-lain pendapatan asli Aceh yang sah.
Kewenangan khusus yang dimiliki oleh Aceh dari segi pengelolaan pajak dan
retribusi, serta kontribusi zakat yang potensial perlu untuk mendapat perhatian
serius agar sumbangan bagi sumber pembiayaan pembangunan di Aceh lebih besar. Oleh
karena itu, perlu dilakukan perbaikan yang menyeluruh baik dari segi aparatur
pemerintah, swasta dan masyarakat sehingga mencegah tindakan penyimpangan yang
mengancam kontribusi PAD bagi sumber penerimaan Aceh. Hal ini juga diperlukan
untuk kemandirian Aceh agar tidak dominan tergantung pada dana perimbangan dan
dana otonomi khusus. Komitmen kemandirian juga perlu ditunjukkan dengan target
dan realisasi PAD yang semakin meningkat setiap tahunnya hingga dana otonomi
khusus berakhir di masa yang akan datang.
Alternatif
ketiga, melakukan perbaikan pengelolaan dana otonomi
khusus dengan baik sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Selama ini, berdasarkan
masalah-masalah yang ditemukan saat realisasi fisik dana otsus, sebagian besar
proyek pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur terbengkalai, tidak tepat
sasaran dan tidak selesai tepat pada waktunya. Belum lagi seringkali adanya
tumpang-tindih alokasi dana pada program atau kegiatan yang dibiayai antara
dana otonomi khusus dengan dana alokasi khusus, sehingga realisasi keuangan
dana otonomi khusus terkesan hanya di atas kertas belaka. Oleh karena itu,
pemerintah bersama dengan seluruh rakyat Aceh secara kolektif perlu untuk
menentukan perencanaan strategis yang baik melalui perumusan arah kebijakan
pengelolaan dan pemanfaatan dana otsus, melalukan implementasi yang sinergis
antara pemerintah, swasta dan masyarakat serta menjamin output yang tidak kontradiktif dengan realisasi anggaran, dan
mengintensifkan pengawasan secara menyeluruh bagi para aktor yang berperan pada
setiap proses pengelolaan sumber pembiayaan pembagunan tersebut. Dengan
demikian, walaupun dana yang digunakan sedikit namun mampu memberikan
eksternalitas positif bagi seluruh elemen masyarakat.
Kesimpulan
Desentralisasi fiskal asimetrik berupa dana
otonomi khusus bagi Aceh sangat besar jumlahnya, namun terbatas penggunaanya.
Pemerintah Aceh perlu secara serius berbenah untuk menutupi kekurangan ruang
fiskal akibat dominasi dana otsus dan sumber pendapatan lain yang kontribusinya
minim. Kontradiksi yang terlihat dari hasil pembiayaan dana otsus perlu untuk
dikurangi dengan melalukan berbagai alternatif yang mendorong pada pertumbuhan
ekonomi, optimalisasi PAD dan perbaikan pengelolaan dana. Kewenangan khusus
melalui dukungan dana otsus diamanatkan pada pemimpin rakyat, dan tiap pemimpin
bertanggung-jawab atas realisasi.
Daftar Pustaka
Adisasmita, Rahardjo. 2011. Pembiayaan Pembangunan Daerah. Graha
Ilmu: Yogyakarta.
Djaenuri, Aries. 2012. Hubungan Keuangan Pusat-Daerah:
Elemen-elemen Penting Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah. Ghalia Indonesia:
Bogor.
Prawoto, Agus. 2011. Pengantar Keuangan Publik. BPFE:
Yogyakarta.
Sumber Bacaan Lainnya
Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran
2008 s.d 2010.
UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
UU No. 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh.
Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan
Penggunaan Dana Otonomi Khusus.
Peraturan Gubernur Nomor 23 Tahun 2011
tentang Rencana Kerja Pemerintah Aceh (RKPA) Tahun 2012.
Foot Notes
[1]
Desentralisasi Asimetrik di Aceh oleh Djohermasnyah Djohan (hal. 47-61). Jurnal Ilmu Pemerintahan Edisi 22 Tahun
2006: Desentralisasi Asimetris.
[2] ibid
[3] Briefing
Paper Aceh Institute Quaterly Report-III (Mai 2010, hal: 6) http://www.acehinstitute.org.
Diakses dan diunduh pada tanggal 11 November 2012.
[4]
Deskripsi dan Analisis APBD 2012 oleh Ditjen Perimbangan Keuangan Kementerian
Keuangan Republik Indonesia. Diunduh pada tanggal 15 November 2012.
[5]
Laporan
Keterangan Pertanggungjawaban Akhir Masa Jabatan Gubernur Aceh Periode
2007-2012, Irwandi Yusuf, http://irwandi.info/index/detail/ruangpers/72/2011-11, diakses dan diunduh pada tanggal 15 November 2012
[6]
Modernisasi Baru Pembangunan Otonomi Khusus Aceh: Meweujudkan Percepatan,
Kesejahteraan dan Kemandirian oleh Kemal Pasya. Disusun untuk memenuhi tugas
paper akademik mata kuliah Konsep dan Isu Pembangunan dalam rangka Ujian Akhir
Semester I Tahun 2012.
[7]
Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (ILPPD) Pemerintah Aceh
Tahun 2011 oleh Biro Pemerintahan Provinsi Aceh, http://dpr-aceh.atjehpost.com/read/2012/11/05,
diakses tanggal 15 November 2012.
[8] Menakar
Mutu Pendidikan Aceh, http://aceh.tribunnews.com/2012/10/24,
diakses tanggal 15 November 2012.
[9]
Akuntabilitas dan Transparansi Birokrasi Pemerintahan di Aceh dalam
Penyelenggaraan Otonomi Khusus oleh Kemal Pasya. Disusun untuk memenuhi tugas
paper akademik mata kuliah Prinsip-prinsip Administrasi Publik dalam rangka
Ujian Akhir Semester 1 Tahun 2012.
[10]
Peraturan Gubernur Aceh Nomor 23 Tahun 2011 tentang Rencana Kerja Pemerintah
Aceh (RKPA) Tahun 2012.
Comments
Post a Comment