Skip to main content

Catatan Baru: Bagian Tengah

(1)
Tiga puluh tujuh kilometer perjalanan pergi ke tempat pengabdian kemudian pulang kembali ke rumah yang ditempuh dengan sepeda motor memang memberikan kesan mendalam bagiku. Kalau boleh ditambahkan, kecepatan bisa jadi berbanding lurus dengan konsekuensi perjalanan jarak jauh. Jika kau melesatkan sepeda motormu secara konstan dengan kecepatan 40 km/jam, maka konsekuensinya adalah kejenuhan. Namun sebaliknya, jika kecepatan sepeda motormu itu melaju di atas 100 km/jam, maka konsekuensinya adalah kecelakaan. Nah, kalau sudah begitu maka rumus tersebut haruslah diperjelas dengan suatu koefisien—sebutlah dengan simbol huruf k—sehingga perjalanan akan terasa lebih menyenangkan. Koefisien itu bagiku lazimnya terbagi menjadi dua macam.
Koefisien pertama lebih sering kugantikan dengan alunan lagu yang mengalir dari handphone di saku seragam kananku, kemudian melewati headset yang berjejal antara telingaku dan cengkraman helm full-face itu. Beberapa tembang lawas dan masa kini akan menemaniku menuju kantor selama lebih kurang satu jam. Biasanya, apabila aku mengawali perjalanan dengan lagu Menghujam Jantungku dari Tompi, maka perjalananku bagaikan sebuah orkestra yang gegap-gempita memompa darah dari jantung ke sekujur tubuh yang berisikan gumpalan cinta dan semangat pada setiap penghujung pagi. Selain itu, sang composer yang tengah memegang tongkat pagi itu akan mengarahkanku—pendengar solonya—pada lagu-lagu seperti Simfoni Yang Terindah dari Once, Harmoni-nya Padi, Drive dengan Akulah Dia, dan ada pula Cinta Gila miliknya Ungu. Terkadang hits Waka Waka dari Shakira yang menjadi icon Piala Dunia 2010 kemarin sempat membuatku berjoget-joget kecil di atas motorku.
Jamrud dengan vokalis barunya—Azis—acap kali membuat diriku tetap tegar dan tabah dengan perjalanan jauh ini lewat lagu Berakit-rakit. Jika aku melewati jalan yang aspalnya bergelombang, atau wilayah yang rawan dengan kegiatan jogging­ kerbau dan lembu milik warga gampong yang akan mandi pagi dan merumput di tengah jalan, maka Tantri vokalis Kotak akan bersenandung dengan Pelan-pelan Saja—mengingatkanku agar lebih hati-hati melajukan motor. Manakala suatu hari aku berpacu dengan waktu, maka lengkingan James Hetfield Metallica yang membawakan lagu Fuel sangat cocok untuk fokus dan melesat kencang di trek-trek lurus. Sesampainya di wilayah kerjaku, sang composer akan menutup orkestra dengan lagu-lagu lawas bergenre rock n’roll dari Guns N’Roses. Axl Rose, Slash, beserta segenap warga gampong lainnya—termasuk rombongan kerbau dan sapi—seakan berdiri di sepanjang jalan, menyambutku dengan santun sambil melambaikan tangan, lalu mengacungkan jari jempol, telunjuk dan kelingking mereka seraya berseru: Welcome to the Jungle!
*******
(2)
Hari itu, 16 Agustus, adalah hari terakhir untuk mempersiapkan pelaksanaan Upacara Peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-65 di wilayah kerjaku yang akan dilaksanakan esok hari. Tapi, entah mengapa, hampir tidak terlihat gerakan serba sibuk dari panitia maupun masyarakat sekitar. Barangkali, mereka terpengaruh dengan kondisi cuaca yang belakangan kian memburuk menjelang petang. Biasanya, langit mulai bergemuruh pada sore hari selepas waktu Ashar. Namun, siang itu awan hitam yang semula bergantung di sudut horison Samudera Hindia kini mulai beranjak cepat ke daratan. Gumpalan mendung itu sudah kelihatan sangat bersemangat dan sibuk berputar-putar—lebih semangat dan sibuk ketimbang warga gampong yang bermalas-malasan di serambi rumah mereka dengan dalih puasa. Berat memang, jika stamina yang cenderung menurun akibat porsi kerja ditambah dengan kepenatan ketika berpuasa. Namun, mencari berbagai alasan untuk menghindari pekerjaan dan mengkambing-hitamkan puasa sebagai sabab-musababnya sangatlah tidak logis.
Sahabat, di wilayah kerjaku yang tergolong terpencil dan juga wilayah gampong lainnya dengan kategori sangat terpencil, peringatan 17 Agustus saban tahun dirayakan dengan mengadakan pertandingan olahraga. Salah satu olahraga yang paling diminati dan menghebohkan adalah pertandingan sepak bola antargampong. Mulai dari remaja yang masih SMP hingga pria-pria berumur yang—maaf cakap—dengkulnya sudah “gemetaran” sebelum bertanding pun ikut meramaikan kegiatan itu. Perawan-perawan desa hingga ibu-ibu kaum duafa juga turun ke lapangan setulus hati, walau hanya untuk menyeduh teh dan kupi gampong buat suami dan ayah mereka. Bagi pemuda-pemuda gampong yang dipercayai oleh Keuchik Gampong berdasarkan rekomendasi dari ketua pemuda setempat untuk memperkuad skuad terbaiknya, maka kepercayaan itu laksana amanah nan mulia dan tidak bisa dibuat main-main yang mutlak ditunaikan hingga titik keringat penghabisan. Jika keinginan sang raja untuk menjadi jawara tidak tercapai, maka bersiaplah menyingsingkan lengan baju untuk membersihkan balai desa, menertibkan ternak yang berkeliaran di pemukiman warga, magang sebagai cleaning servive selama dua minggu di rumah keuchik, atau mendapat tugas ronda malam selama sebulan. Namun, jika titah sang raja terlunaskan dan tim jagoannya bercokol di podium pertama perhelatan itu, maka bersiaplah untuk mendapat bonus dana pembinaan serta menikmati gulai kambing sampai puas.
Pertandingan sepak bola kali ini dilaksanakan sebelum memasuki bulan puasa. Bahkan, jauh-jauh hari sebelumnya panitia bersama dengan masyarakat telah mendesain pertandingan dan perlombaan yang luar biasa meriah—hingga mengabaikan persiapan upacara. Pembahasan alokasi anggaran untuk sepak bola berlangsung lewat perdebatan yang alot agar tidak terjadi korupsi dan tidak memberatkan pihak manapun, sehingga dana dapat terserap semaksimal mungkin. Maklum, dana yang tersedia untuk kegiatan tersebut hanya bersumber dari sumbangan yang tidak mengikat, penjualan stiker bertuliskan “65 Tahun Kemerdekaan RI”, pemotongan gaji pegawai menurut golongannya, uang pendaftaran peserta pertandingan, hingga kutipan dana dari masing-masing gampong. Jika semua unsur telah terlibat di dalamnya, maka jangan berani untuk coba-coba memancing di air keruh. Bisa-bisa beberapa orang yang tinggi tekanan darahnya akan segera menghunus parang. Belum lagi rekam jejak pengelola pertandingan sepak bola tahun lalu yang gagal mengendalikan rusuh di lapangan hijau, hingga akhirnya babak final pun tidak sampai pada peluit terakhir. Akibatnya, hadiah bagi para juara raib entah kemana.
*******
(3)
Tahun ini—setelah penarikan undian dan jalannya babak penyisihan—ada dua tim dari salah satu pool yang berpotensi menyulut api pertengkaran. Pasalnya, dua tim ini berasal dari gampong yang memiliki permasalahan tapal batas desa. Konon, kabarnya satu orang menjadi tumbal akibat penyerangan beberapa orang yang tidak setuju jika batas desanya digeser. Hingga kini, persengketaan gampong yang saling bertetangga itu belum juga usai. Padahal, permasalahan itu telah dimediasi oleh pihak kecamatan hingga kabupaten.
Ketika babak perdelapan final digelar, kedua tim yang dikhawatirkan itu pun bertatap muka di lapangan. Sebagai antisipasi, panitia telah menyebarkan ratusan pihak keamanan dan ketertiban dari gabungan polisi, tentara, dan preman-preman gampong untuk mengamankan jalannya pertandingan. Para penonton yang memadati stadion utama kecamatan itu pun menahan nafas menjelang peluit kick off dilengkingkan. Ada yang takut jika terjadi kerusuhan besar, ada pula yang penasaran hingga ingin ikut ambil bagian jika perkelahian berlangsung. Bapak-bapak yang bertugas sebagai komentator lapangan telah diinstruksikan untuk tidak perlu banyak komentar agar tidak memanas-manasi kedua kubu yang tengah berseteru itu.
Akhirnya, bola babak pertama pun bergulir. Kedua tim memiliki kemampuan merata dalam permainan dengan tempo cepat. Tim kostum merah yang warganya menjadi korban di tapal batas terus melakukan serangan dari daerah sayap. Umpan menyilang dan umpan lambung kerap kali dilakukan ke kotak penalti, namun selalu kandas akibat pemain pertahanan lawan memiliki postur tubuh yang lebih tinggi. Tekanan demi tekanan gencar dilangsungkan lewat tendangan spekulasi jarak jauh. Namun sayang, keeper lawan lebih gesit dan fokus menyelamatkan bola. Menjelang akhir babak pertama, pihak penyerang mulai keteteran dan kehabisan nafas. Bagai lampu kehabisan minyak, pemain di lini tengah telah terkuras staminanya. Begitu pula dengan pemain bertahan yang lengah kembali ke wilayahnya akibat terlalu asyik membantu penyerangan. Pemain lawan dengan kostum biru siap membangun serangan lewat strategi counter attack yang cepat dan cemerlang. Lewat umpan terobosan dari tengah lapangan, striker andalan berhasil melewati penjagaan dua orang centre back bertubuh gempal. Dengan sekali gocekan tipuan, penjaga gawang terperdaya. Bola pun menggelinding sendirian ke sudut kiri gawang dan duduk manis bersandarkan jaring-jaring gawang. Para pendukung tim biru bangun dari duduk mereka dan bersorak kegirangan. Pencetak gol mengajak rekan-rekannya sambil melakukan selebrasi seperti menggendong bayi.
Selepas turun minum, tim merah mengganti satu orang pemain belakang dan satu orang pemain tengah. Mereka dianggap kurang disiplin mengawasi pergerakan pemain lawan dan terlalu ngotot menyerang. Bagaikan Arsene Wenger—pelatih Arsenal—pria jangkung itu menasehati anak asuhnya agar sabar dan tidak terpancing keadaan. Hingga jalannya babak kedua, permainan berlangsung apik. Masing-masing tim berupaya memperlihatkan permainan yang menawan. Belum ada tanda-tanda terwujudnya kekhawatiran panitia dan masyarakat tentang persengketaan di luar lapangan. Para penonton pun salut dengan apa yang ditampilkan saat itu. Para petugas keamanan dan ketertiban dapat rehat sejenak sembari menyantap kopi dan snack dari panitia. Namun, kedamaian yang berlangsung itu akhirnya pupus sudah.
Seorang pemain tengah dari kubu tim merah dijegal dengan keras ketika ia hendak melepaskan tembakan di pinggir kotak penalti. Ia tersungkur tak berdaya hingga langsung dibawa ke luar lapangan oleh tim medis dari Puskesmas. Wasit memberikan kartu kuning kepada pemuda kasar itu. Sang kapten dari tim merah menghadap wasit dan protes. Ia tidak terima jika pelanggaran sekeras itu hanya diganjar dengan kartu kuning. Sementara protes berlangsung, wasit mengambil bola, meletakkannya tepat di luar garis kotak penalti dan memberikan isyarat tendangan bebas. Protes tim merah kembali menjadi-jadi. Seharusnya mereka mendapat hadiah penalti, karena pelanggaran itu jelas di dalam kotak penalti. Seluruh pemain terlibat saling dorong di pusat pelanggaran. Wasit tetap pada pendirian teguhnya. Sementara itu, petugas keamanan langsung diterjunkan ke tengah lapangan untuk mencegah terjadinya bentrok. Bapak-bapak petugas komentator menghimbau pemain—juga penonton—agar tetap tenang. Tidak lama kemudian, microphone sang komentator segera dicopot oleh seorang petugas keamanan karena dianggap menambah keributan. Pemuda-pemuda yang mendukung masing-masing kesebelasan sudah standby di pinggir lapangan dan berniat berpartisipasi jika masing-masing tim membutuhkan pertolongan mereka.
Akhirnya, dengan bijak sang kapten menenangkan rekan-rekannya agar lapang dada menerima keputusan wasit. Ketegangan itu tidak berlangsung lama dan suasana pun kembali pada kondisi semula. Permainan pun kembali dilanjutkan. Pemain yang cidera kembali memasuki lapangan. Penonton kembali duduk dengan tenang. Petugas keamanan kembali ke posnya masing-masing. Bapak-bapak komentator lapangan kembali mendapatkan pengeras suaranya dan langsung berkoar-koar memberikan tanggapan. Para begundal kampung yang berniat rusuh terpaksa kecewa karena tidak dapat ikut ambil bagian.
Sang kapten tim merah—sebagai eksekutor tendangan bebas—bersiap menyarangkan si kulit bundar ke gawang lawan. Enam orang pemain dari tim biru merapatkan barisannya untuk membendung tendangan bebas itu. Sang kapten sudah mengambil posisi jauh dari bola dan berniat untuk menghajar bola sekuat tenaga ke tembok pertahanan tim biru. Selepas peluit eksekusi free kick dibunyikan, bagaikan Roberto Carlos, sang kapten berlari menuju bola dan melepaskan tendangan. Tembakannya tepat mengenai kepala seorang pemain bertahan tim biru yang melompat bersama rekan-rekannya untuk menghalau bola. Penjaga gawang tim biru bereaksi karena mengira bola lolos dari tembok rekan-rekannya. Sayangnya, lompatan keeper itu salah arah. Bola tak bermata itu terbang tak karuan sebelum tiba di pojok kiri gawang yang terbuka lebar. Tidak ada yang menduga kejadian seperti itu.
Namun, siapa yang menyangka permainan selanjutnya adalah milik tim merah. Keberuntungan yang didapatkan usai menyamaikan kedudukan 1-1 itu terus bertahan. Permainan sepenuhnya mutlak menjadi milik tim merah. Hampir separuh lapangan dikuasai oleh mereka. Penguasaan bola yang dominan, pengendalian emosi yang baik, kerja sama tim yang solid, ditambah dengan kepercayaan diri yang mantap, mengantarkan tim merah menjadi pemenang pada laga sore itu setelah sukses berbalik unggul 2-1 dari gol hasil sundulan sang kapten di menit injury time. Selebrasi kemenangan pun diluapkan. Setelah itu, seluruh pemain saling bersalaman dan berpelukan tanpa ada rasa dendam. Aku yakin, mereka bermain baik karena melupakan permasalahan gampong mereka dan tidak terbawa oleh emosi yang berlebihan. Pemuda-pemuda itu menerima kekalahan dengan lapang dada dan tidak berbesar hati ketika menggenggam kemenangan. Semua menjadi pemenang kedamaian.
Para penonton berdecak kagum dengan permainan ciamik yang disuguhkan oleh kedua tim. Para petugas keamanan menyeruput kopi dan makan kue apam terakhir mereka sebelum berganti tugas dengan personil keamanan pada pertandingan berikutnya. Para begundal kampung balik kanan dengan tampang muram dan kesal. Bapak-bapak sang komentator mematikan pengeras suaranya dan bergegas menuju posko panitia untuk menagih honor. Aku pun segera menyalakan motor dan bergegas pulang ke rumah
*******
(4)
Koefisien kedua untuk rumus perjalanan pergi dan pulang ke kantor adalah mengembangkan bakat fotografer amatir. Metode ini sangat cocok jika engkau lebih memilih perjalanan yang lamban, pelan dan santai. Lebih mudah lagi apabila engkau memiliki handphone yang dilengkapi kamera.
Sepanjang perjalanan pulang, khususnya jalan di pinggir pantai, akan banyak angle-angle indah dan menarik yang patut untuk diabadikan. Barisan pohon kelapa, hamparan sawah nan hijau, ombak Samudera Hindia yang diterpa angin laut, hingga pemandangan sunset yang menakjubkan. Sinar jingga dan oranye yang berpendar di angkasa dan membias di pesisir pantai adalah lukisan indah Sang Maha Pencipta. Aku berhasil mengabadikan beberapa gambar sambil tetap mengendarai motorku. Potret gerombolan sapi yang digiring oleh majikannya untuk pulang ke basis mereka, beberapa warung kopi dan cafe pinggir pantai yang menyisakan keluarga bahagia maupun sepasang muda-mudi yang tengah menikmati kesegaran air kelapa muda, pelayan yang menyajikan tiga mangkuk mie rebus spesial pakai kerang, pasukan kerbau yang masih betah mandi di kubangan, dan seorang pemuda berjaket hitam dengan garis-garis merah yang tengah mengarahkan kamera pada dirinya sendiri.
Jika engkau memilih pulang lewat fasilitas rakit yang ada di sebuah gampong yang hancur diterjang tsunami untuk menyeberang ke gampong sebelah, maka akan kau temukan perahu-perahu nelayan tengah berjejal-jejal di sebuah sudut pelabuhan rakit sederhana itu. Jika terlalu lama menunggu antrian rakit, nikmatilah sejenak jagung rebus dan ranub yang dijual oleh seorang ibu di halte rakit. Atau beberapa potongan semangka dingin sudah cukup untuk melepas gerah. Jangan lupa membawa pulang ikan-ikan segar atau udang sabu yang baru saja dipanen nelayan kampung itu. Arahkan pandangan ke sebelah timur dari halte rakit, maka akan kau lihat beberapa anak muda dan bapak-bapak dari kota yang sedang asyik memancing. Jangan pedulikan batu-batu besar dan rangka jembatan yang belum selesai juga dibangun oleh pemerintah.
Ketika tiba di rumah, aku kembali menikmati foto-foto hasil jepretan kamera ponselku. Di antara foto-foto itu, ternyata ada foto pertandingan bola yang kusaksikan sore tadi. Sambil berharap, semoga kedamaian yang tercipta di tengah lapangan dapat pula menjadi kedamaian di luar lapangan.
Berbicara mengenai pertandingan sepak bola tadi, aku jadi teringat sesuatu. Sesuatu yang sedari tadi ingin kuceritakan kepadamu, sahabat. Ya, ternyata alumni sekolah kami juga tengah bersiap untuk mengadakan pertandingan futsal antarangkatan. Perhelatan akbar perdana ini menuai cerita yang luar biasa tentang persaingan kekuatan dan kekompakan masing-masing angkatan, serta buah manis persaudaraan yang seakan tiada habisnya untuk dikenang sepanjang masa. Cerita itu akan dimulai sesaat lagi.
*******
bersambung...

Comments

Popular posts from this blog

Kebijakan Relokasi Kerusuhan terhadap Korban Pengungsi di Kabupaten Sambas Tahun 1999: Konflik Etnis antara Madura dan Melayu

Internally displaced Persons adalah sebuah istilah bagi para kelompok masyarakat yang pindah dari tempat tinggalnya dan menetap di daerah lain untuk menetap sementara waktu atau hal ini dikenal dengan istilah pengungsi. Sambas adalah sebuah Kabupaten yang terletak di bagian pesisir yang di tempati oleh berbagai suku etnis misalnya suku bugis, madura, jawa batak dll, namun Kabupaten Sambas mayoritas ditempati oleh Melayu, Dayak dan Cina (Tiong Hoa). Khusus tentang konflik Sambas pada tahun 1999 yang terjadi adalah etnis Melayu Sambas dengan suku Madura (yang bertempat tinggal di Sambas) yang menewaskan ratusan jiwa dan hancurnya ratusan rumah dan harta warga Madura. Rekonsiliasi Konflik

Rekrutmen dan Seleksi Pegawai Pemerintah: Sebuah Kajian dari Praktek dan Tren Modern Internasional

Pemerintah di seluruh dunia menghadapi tantangan kepegawaian yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pada saat pemerintah butuh bakat daya pikat paling trampil untuk pelayanan publik, kemampuan mereka untuk melakukannya telah begitu jarang sehingga rumit dan dibatasi oleh ekonomi, sosial dan tekanan organisasi. Artikel ini memberikan gambaran jenis inisiatif rekrutmen dan seleksi di tempat di banyak negara yang dapat membantu pemerintah dunia ini menarik dan mempertahankan bakat. Bergantung pada contoh dari Amerika Serikat dan Eropa Barat, namun juga mengintegrasikan pengalaman dari berbagai negara maju dan kurang berkembang (LDCs), kami menjelaskan serangkaian perekrutan dan seleksi "praktik terbaik." Suasana Penerimaan Peserta Tes CPNS

Bintang dari Manglayang dan Nakhoda Pemerintahan: Sebuah Refleksi Ikrar Pamong yang didedikasikan untuk seluruh Purna Praja STPDN/IPDN di Indonesia

Ksatrian IPDN Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat (Rabu, 28 Agustus 2013) “ Kami Putra-putri Indonesia yang memiliki profesi sebagai Pamong, berjanji: Setia kepada Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 ; Sedia berkorban untuk kepentingan, negara/bangsa dan masyarakat ; Siap melayani dan mengabdi untuk kepentingan masyarakat dimana pun kami bertugas. Kami sadar, ikrar ini didengar oleh Tuhan dan manusia, semoga Tuhan memberikan kekuatan lahir dan batin agar kami dapat melaksanakan ikrar kami ini.” ( Ikrar Pamong ) Bintang Purna Praja kembali bertambah jumlahnya dan bersinar di langit Indonesia. Sesaat setelah pin Purna Praja berwarna kuning keemasan itu disematkan di sebelah kanan dada pakaian kebesaran, suara lantang dari Pamong Praja Muda IPDN Angkatan XX berkumandang di Ksatrian dan seantero Jatinangor. Suara keyakinan dan kesiapan putra-putri Kawah Candradimuka yang menegaskan Ikrar Pamong bagi bangsa dan negara. Saat ikrar itu d