Skip to main content

Posts

Showing posts from July, 2009

Chapter 2: Dua Puluh Sembilan Februari

Begitulah kehidupan keluarga kami saat itu, saat kami baru pindah ke rumah yang baru di sebuah lorong sempit bernama Abuid dengan formasi rumah-rumah warganya yang rapat satu sama lain. Saat-saat bahagia menunggu kelahiran adikku yang ketiga. Saat-saat aku menyongsong naik ke kelas 4 dan mempersembahkan kembali peringkat 1 kepada orang-tuaku yang telah tiga kali kupertahankan dalam setiap caturwulan. Aku dilahirkan di Banda Aceh. Ibu bertaruh dengan maut saat mati-matian berjuang mendesakku keluar dari rahimnya di rumah sakit umum Zainal Abidin. Darah, peluh dan haru berbaur menjadi takbir, tasbih, dan tahmid yang dihaturkan ibu dan ayah bagi Tuhan Seru Sekalian Alam. Kata ayah, ibu dulu bersikeras menahanku untuk tinggal sehari lagi di dalam perutnya karena ia telah memilih tanggal yang tepat bagi anak pertamanya itu untuk lahir ke dunia. Tanggal lahir yang hanya ada satu kali dalam empat tahun. Tanggal yang akan aku ingat seumur hidupku selama berjalan mengikis waktu, mewarnai d

Chapter 1: Rahasia Pengobatan Al-Quran

Kesejukan kota memang menjadi idaman bagi muda-mudi hingga orang tua untuk melajukan sepeda motornya sekedar berkeliling kota menjelang senja turun. Beberapa pengguna mobil juga tak kalah saing. Mereka menghabiskan akhir pekannya bersama keluarga untuk duduk di tepi pantai Batu Putih menyaksikan   sunset   yang indah. Orang-orang yang berada tak jauh dari pesisir juga cukup berjalan kaki untuk berkumpul bersama menenangkan pikiran menyambut azan maghrib di pinggir warung sambil menyeduh secangkir kopi. Pantai Batu Putih memang fenomenal. Bagiku, pantai ini menyimpan sejuta kenangan masa kecil yang tak akan tergantikan oleh apapun. Sebenarnya tidak ada keistimewaan yang begitu memukau dari wilayah di sekitar pesisir pantai. Tidak ada taman bermain yang menyediakan permainan-permainan menarik bagi anak kecil. Tidak juga diperindah dengan berbagai macam karya, seperti indahnya pantai Ancol, Loh Sari, Pangandaran, Kuta, Anyer atau beberapa pantai lainnya di Indonesia. Tidak ada olahra

Dear Andromeda (5)

Sampai jumpa kekasih Aku tak mampu mengisi ruang kosong dalam hatimu Singkat masa yang kita tempuh bersama Suka dan duka terpaut dalam benang perjalanan indah Kenangan abadi kan terpatri sepanjang bentangan jarak kita Tahukah engkau kekasih Aku ingin mencapai ujung benang itu Walau terjal ia berbukit lembah Walau tajam ia berkelok patah Walau sakit ia kelu di dada Namun sontak diriku dilanda gundah Lewati semua, hampir semua Menunggu waktu dan menyiapkan segalanya Tetapi harus jua lagi berhenti Inilah andromeda terakhir bagiku kekasih Seperti bait puisi hambar kutulis, sengau kubaca, tikam hati dan pikiranku Untuk terakhir kalinya kita saling bersandar—bahumu dan dadaku Kemas saja kenangan malam itu, jangan bawa dalam mimpimu Dan bangunlah untuk penulis andromeda yang baru—begitu juga aku

Dear Andromeda (4)

Pada saatnya, ketika musim berganti Dan gugusan mendung yang ranum menitikkan tetes hujan pertama Biduk yang kukayuh akan merapat ke dermagamu Menyibak kabut keraguan Dan mendamparkan rindu yang hangat dibakar hasratku Pada saatnya, di ujung perjalanan Akan kubingkai binar matamu Bersama gelegak gairah jiwaku Menjadi lukisan terindah di lekuk cakrawala Dalam leleh cahaya bulan melumuri langit Ditingkahi angin semilir dari laut Juga tarian ombak membelai lembut kristal pasir pantai kota kita Pada saatnya, akan kubuatmu terjaga dari lelap tidur Lalu bersama merajut impian yang tak segera usai Dalam genangan cinta di palung kalbu Dan getar cumbu tak berkesudahan

Dear Andromeda (3)

Pernahkah kau bayangkan Rangkaian mimpi yang kupahat di temaram langit andromeda Adalah wujud rinduku yang luruh dalam hening Dan tenggelam dalam kerik jengkerik beranda Pernahkah kau bayangkan Di setiap rentang waktu dimana kurekat erat binar matamu Selalu kutitipkan harap disana Dalam desau angin dan desir gerimis senja Pernahkah kau bayangkan Pada kelopak mawar di sudut taman dan jernih embun yang menitik di atasnya Kusimpan gigil gairahku yang membara padamu Di setiap nafas Saat kulukis paras purnamamu di kanvas hatiku

Dear Andromeda (2)

Secercah sinar memancar dari kaki langit Ternyata Andromeda Sinarnya lain dari yang dulu Yang dulu ketika kusitir puisi nelangsa untuknya Kulihat awan hitam berarak menutupinya Aku resah nanti ia tak lagi terang Namun ternyata sinarnya menembus awan itu, bahkan Menembus relung hati jiwa ini yang merindukannya Merindukan kembali ungkapan sayang dan cinta darinya Ungkapan yang datang ketika ia jatuh ke dalam istana hati Inikah isyarat Tuhan tentang sosok keagungan cinta yang telah lama kurindukan itu? Oh Andromeda, Berhari kau kuimpikan Berbulan kau kurindukan Bertahun kau akan kupertahankan

Dear Andromeda (1)

Selenguh nafas menderu dalam dinginnya malam tangannya menunjuk pancaran sinarmu yang indah ingin menggapai kemudian membawanya ke dalam istana hati Namun sayang tangan itu tidak sampai terulur jauh karena bentangan langit yang berlapis-lapis tangan itu pun tak kuasa menarik kembali karena peluh di tubuhnya telah terkuras habis Oh Andromeda, biarlah engkau bersinar di antara ribuan bintang lainnya sebagai isyarat Tuhan akan pesona dan keagungan cinta yang berharap kembali namun suatu saat nanti pelitamu ’kan abadi bersama mimpi